1078. Rejim OC

2/2/20232 min read

Apa esensi dari neoliberalisme? Jawab Pierre Bourdieu : “A program for destroying collective structures which may impede pure market logic.”[1] Ataukah kita juga bisa bertanya, apakah ada pemuja habis-habisan collective structures dan sekaligus menghancurkan logika pasar murni? Dari dua hal ini kita bisa belajar banyak, terutama dari bermacam catatan sejarah. Bagaimana sejarah mencatat ungkapan ‘laissez-nous faire’ yang muncul di tahun 1681-an, misalnya. Dan bagaimana itu kemudian mempengaruhi sebagian cara manusia bertindak. Sebuah ‘rumus’ sederhana layaknya e=mc2 itu, tetapi dampaknya sangat luas. Tinggalkan kami, biarkan kami urus sendiri, demikian kira-kira jawaban pedagang ketika petinggi ‘mega’ struktur kolektif saat itu bertanya apa yang bisa dilakukannya untuk memajukan perdagangan, tahun 1681 di Perancis sono. Menjadi ‘rumus’ sederhana layaknya e=mc2 karena ungkapan itu menjadi terdukung secara sosial melalui bermacam tulisan via media cetak yang dikembangkan Guttenberg 200 tahun sebelumnya. ‘Laissez-nous faire’-pun kemudian menjadi salah satu horison dimana di dalamnya menjadi lebih mungkin diletakkan bermacam kemungkinan. Adam Smith yang lahir 50 tahun setelah ungkapan ‘laissez-nous faire’ terlontar, dan di tengah ‘semangat jaman’ untuk mencari ‘penjelasan umum’ terhadap segala hal saat itu, melalui karya-karyanya kemudian menjadi semakin jelas mengapa ‘laissez-nous faire’ itu ternyata tidak hanya ngibul saja. Tetapi ngibul atau tidak, ternyata di ujung-jauh-nya ‘laissez-nous faire’ semakin menampakkan sisi gelapnya, ketidak-adilan, ketimpangan, dan bahkan kemudian ‘perbudakan baru’, exploitation de l’homme par l’homme. Dan berapa biaya yang harus dibayar oleh sejarah kemanusiaan terhadap hal tersebut? Sejarah mencatat korban manusia ada di puncaknya.

Empat tahun sebelum ‘laissez-nous faire’ terlontar, Spinoza sudah menegaskan bahwa hasrat adalah merupakan esensi dari manusia. Dan bagaimana jika Nietzsche di penghujung abad 19 benar bahwa gejolak hasrat dominan manusia adalah soal power? Soal kuasa? Gejolak hasrat yang selalu bergejolak dalam ‘prinsip kesenangan’ di ‘dunia’ id –the “It” freudian itu? Gejolak hasrat yang menjadi ‘tidak bebas’ ketika super-ego menjadi sosok ‘diktator’. “Tuhan telah mati!” demikian seru Nietzsche untuk lebih menguak soal ‘superman’. Atau menurut group asal Bali itu : “Superman is dead!” ‘Superman’ mati karena kebebasannya telah dibelenggu oleh ‘super-ego’ yang berubah menjadi sewenang-wenang.

Maka cerita-besarnya adalah soal batas, yang bahkan sudah dibawa Bumi sejak ia menjadi mungkin untuk hadirnya makluk hidup, termasuk manusia. Bumi yang ada di zona Goldilocks-nya. Bahkan kemajuan-pun adalah soal batas, memajukan batas, memajukan horison. Dalam perjalanan hidup manusia, memajukan batas itu bisa-bisa tidak selalu berlangsung damai-damai saja. Ada yang ingin status-quo karena segala kenikmatan yang diperolehnya, tetapi ada yang ingin memajukan batas karena dengan itu ia menjadi lebih besar potensinya. Bagaimana manusia semakin paham akan ‘batas’ adalah juga bagaimana manusia menapak jalan kedewasaannya. Dalam dunia patron-klien, kedewasaan, terlebih yang ada dalam posisi klien-nya, sangat perlu untuk diperhatikan dengan sangat-sangat serius. Supaya rejim tidak jatuh dalam situasi Oedipus complex. Tanpa beban ia akan membunuh republik demi cintanya pada si-patron. *** (02-02-2023)

[1] https://mondediplo.com/1998/12/08bourdieu