1145. Wajah-wajah Viral
28-04-2023
Hal viral di dunia netizen bisa mempunyai bermacam wajah. Bagi sementara stakeholders, itu merupakan cuan sendiri. Atau juga promosi gratis. Di ranah politik, ranah olah-kuasa, juga mempunyai paling tidak tiga wajah. Viral di ranah politik, menurut Manuel Castell di era Revolusi Informasi ini, bisa dikatakan akan lekat dengan ‘politik skandal’. Wajah pertama adalah bagi khalayak, dengan viral-nya skandal dalam politik di res-publika, maka selain bisa menguak bermacam hal yang selama ini tersembunyi, jika itu hadir terus-menerus maka ia akan sangat terlibat dalam ‘proses-proses molekuler’ menuju perubahan. Bagi figure publik yang muncul dalam viral-nya politik skandal ini jelas baginya adalah musibah. Tetapi dalam ‘gambar-besar’-nya, katakanlah figur-figur publik yang sedang kena musibah itu adalah bagian dari rejim berkuasa, bisa-bisa ia kemudian dimainken sebagai ‘kambing hitam’. Yang menurut Bourdieu, adanya kambing hitam itu dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan antara model dan subyek (yang meniru model) akibat dari berkembangnya rivalitas. Pada titik tertentu subyek yang meniru model dalam menghasrati kuasa (dengan segala kenikmatannya) akan menganggap model sebagai rival-nya. Wajah ketiga, terkait dengan soal orgasmus, dan sayangnya yang terjadi lebih soal ejakulasi dini. Khalayak yang sudah gregetan itu merasa sudah puas dengan, katakanlah, pejabat yang sedang kena musibah itu, padahal belum terjadi perubahan-perubahan seperti yang dibayangkan. Sedang yang pro-status quo, ejakulasi dini khalayak bahkan jika itu berulang-ulang-pun ia –si-pro status quo, akan tetap merasa di atas angin. Ndableg, biar sang-waktu akan menyelesaikan, toh dalam banjir informasi seperti sekarang ini ada prinsip ‘logika waktu pendek’ yang memang meski pertama-tama berkembang dalam pers, toh itu bisa-bisa juga sudah menjadi ‘penyakit’ yang mewabah. Tetapi bagaimana jika itu terhayati oleh khalayak, -soal viral-nya skandal dalam politik, bukan sebagai ejakulasi dini tetapi itu adalah foreplay? *** (28-04-2023)
1146. Saintoloyo
29-04-2023
Dalam Prisma tahun 1975 (No. 1 dan 6)[1], Sumitro Djojohadikusumo menuliskan pendapatnya soal bagaimana teknologi sebaiknya dikembangkan di republik. Prof. Sumitro berangkat dengan membedakan antara adaptive technology, advanced technology, dan protective technology. Bayangkan jika ketiga hal itu betul-betul dikembangkan, terlebih untuk protective technology ketika hampir 50 tahun kemudian muncul kegundahan soal kedaruratan iklim seperti sekarang ini. Bagaimana jika Prof. Sumitro hidup sekarang ini, dan menulis pendapatnya soal ‘sain-polling’ yang marak bertahun terakhir ini? Nampaknya akan sangat berbeda dengan yang diyakini oleh ‘kaum saintoloyo’, ketika sain di tangan orang-orang sontoloyo. Soal man behind the gun.
Maka sain yang lebih untuk hal praktis, dalam hal ini ‘teknologi-polling’ itu, akan dibedakan oleh para saintoloyo menjadi tiga lapangan, input, proses, dan output. Tetapi meski bermain di tiga lapangan, intinya ada dua, pembunuhan karakter lawan dan memberikan latar belakang kecurangan. Dan poros utamanya adalah soal kecurangan, bagaimana hal curang itu nantinya akan menjadi mulus, dan baik-baik saja. Saintoloyo, si-sontoloyo itu membawa sain ke sisi gelapnya. Bahkan sain hanyalah soal legitimasi saja, maka akan tidak sungkan-sungkan lagi, tanpa beban, dijungkir-bailk secara brutal. Sain di tangan saintoloyo menjadi ‘sain-palsu’. Juga sama sekali tidak punya imajinasi soal, meminjam istilah Prof. Sumitro di atas, protective technology. Dalam konteks republik yang mesti juga ‘dijaga’. Para saintoloyo itu tidak peduli lagi apakah ‘sain’ yang dimainken itu akan merusak republik atau tidak. Orang-orang jenis seperti itu sama sekali tidak punya imajinasi soal ‘merawat republik’. Para saintoloyo, entah ada yang ‘bersembunyi’ di BRIN, atau tempat lainnya, atau dalam konteks tulisan ini yang menampakkan diri sebagai pollsterRp itu, bukanlah sosok si-zoon politikon, tetapi hanyalah si-zoon saja. Karena seorang zoon-politikon, ia akan masih peduli akan sekitarnya, polis dengan segala isinya. *** (20-04-2023)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/
1147. Salam Dari Rakyat!
01-05-2023
“Raja yang merasa lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada bangsa asing sebaiknya membangun benteng. Tetapi raja yang merasa takut terhadap serangan musuh asing daripada rakyatnya sendiri tidak usah memusingkan soal benteng,” demikian Machiavelli dalam Sang Penguasa.[1] Serasa akrab dengan kutipan pendapat Machiavelli di atas, terkait dengan ‘peristiwa politik’ akhir-akhir ini?[2] *** (01-05-2023)
[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit Pustaka Gramedia, 1987, hlm. 90
[2] Lihat juga, https://www.pergerakankebangsaan.com/238-Machiavelli-dan-Benteng-nya/
1148. Bukan Fake Death
02-05-2023
“War is nothing but a continuation of politics with the admixture of other means,” demikian Clausewitz pernah menulis dalam On War. Jika benar apa yang disampaikan Clausewitz ini maka soal politik memang tidak boleh main-main, supaya tidak berlanjut pecahnya perang. Bagaimanapun juga dalam perang kerusakan itu begitu nyata, kematian-kematiannya juga nyata, bukan fake deaths. Terlebih bagi prajurit-tentara yang tugas utamanya adalah mempersiapkan diri untuk perang demi menjaga kedaulatan. Bagi prajurit, ketika kontak senjata meletus dalam perang, menghadapi kematian adalah kenyataan senyata-nyatanya. Tetapi fokus tulisan ini bukan soal melanjut atau tidak, tetapi adalah soal politik dan perang itu, se-erat apapun hubungannya, dalam imajinasi ia mestilah bisa dikelola secara ‘terpisah’. Atau ‘perang sebagai kelanjutan dari politik’ itu kita tunda lebih dulu, kita beri ‘tanda kurung’ lebih dahulu.
Menurut Carl Schmitt, ‘yang politikal’, the political, hal yang membuat politik itu ada, adalah pembedaan lawan dan kawan. Dalam perang, langsung saja adalah soal lawan dan kawan. Jadi baik politik maupun perang memang tidak jauh dari bau-bau lawan dan kawan. Meski ketua Mao memberikan ‘batas’ tegas beda antara politik dan perang: politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, perang adalah politik dengan pertumpahan darah, dan dalam imajinasi bisa ditarik garis tegasnya, tetapi dalam praktek bisa menjadi penuh komplikasi. Politik dan perang kemudian tidak hanya berhenti pada urusan sama: lawan-kawan, tetapi juga bisa ‘bersaing’ satu sama lain. ‘Persaingan’ itu hanya akan ‘produktif’ –atau katakanlah, otentik, jika masing-masing dihadapkan akan kemungkinan kematian, satunya, politik, matinya rejim, sedang perang, nyawa melayang. Jika masing-masing justru mengingkari kemungkinan kematian maka bisa-bisa bukan ‘persaingan-produktif’ tetapi ‘persekutuan’ yang out-come-nya bisa-bisa kelamnya hidup bersama. Tidak akan beda bagi khalayak siapa yang dominan, entah yang berasal dari dunia politik atau dunia perang, sama saja.
Di atas disebut soal rejim, bukan negara, karena dalam ‘persaingan’ antara politik dan perang itu, negara semestinya menjadi ‘pihak ketiga’ sehingga ‘persaingan’ itu tidak kemudian ‘menghancurkan’. Masalahnya, menurut Laski hampir seabad lalu, khalayak hanya bisa menghayati negara melalui pemerintahannya. Demikian juga penghayatan khalayak terhadap yang ada di ranah perang. Tetapi meski begitu, yang di ranah perang meski ia akan dihayati oleh khalayak sebagai bagian dari pemerintah, ia sebenarnya menjadi bagian dari pemerintah (rejim demokrasi) hanya karena soal imajinasi ‘pihak ketiga’ itu, negara. (Bandingkan dengan rejim monarki, misalnya) Maka tidak mengherankan jika negara dirasakan oleh khalayak telah dikelola oleh rejim carut-marut, kadang khalayak kemudian berpaling ke yang sebenarnya ada di ranah perang itu. Mengapa ini bisa terjadi?
Dari Platon kita bisa membayangkan bahwa rejim semestinya berangkat dari ‘ranah’ filsuf raja –di ‘kepala’, sedang yang di ranah perang itu berangkat dari denyut kuat ‘kehormatan’, dibayangkan Platon ada di ‘area dada’. ‘Persekutuan yang menghancurkan’ antara politik dan perang tidak hanya karena area ‘kepala’ dan ‘dada’ sedang sakit-sakitan, tetapi juga bergesernya ‘pihak ketiga’ tidak di negara lagi, tetapi ke ‘area bawah perut’, terutama soal uang, kekayaan. Maka dalam ‘persekutuan yang menghancurkan’ itu dapat dirasakan bagaimana keutamaan prudence itu melenyap. Juga bisa dirasakan bagaimana soal kehormatan itu juga melenyap atau dilenyapkan. Ketika kematian di ranah perang itu nyata dan bahkan sudah terjadi, ranah politik tetap saja tanpa sungkan, tanpa beban, tanpa tahu batas lagi selalu sibuk pecicilan-pethakilan dengan ‘fake-famous’-nya.
‘Ketidak-seimbangan’ dalam ‘permainan-persaingan’ ini, dan ketika kemudian lebih terarah pada ‘persekutuan gelap’ yang lebih berdendang di atas pihak ketiga ‘area perut ke bawah’ itu, tak terhindarkan lagi munculnya pertanyaan diantara mereka-mereka yang bersekutu, siapa yang akan dominan? Maka di ranah politik muncul atau dimunculkan fanatisme itu –pada dasarnya adalah gertak, yang bukan lagi soal matinya rejim, tetapi bagi si-‘fanatismo’ seperti sudah layaknya masuk ranah perang, nyawa melayang-pun akan dihadapi. Tak mengherankan jika ini terjadi, sipil-pun akan berdandan atau didandani layaknya seorang prajurit. Seakan sudah bersiap jika perang (saudara) meletus. Gertak sana, gertak sini, asal mangap, asal njeplak, semau-maunya, seakan negara sudah jadi miliknya sendiri. *** (02-05-2023)
1149. Dewi Fortuna
02-05-2023
“Karena itu, saya mengambil kesimpulan bahwa dewi fortuna atau nasib mujur dapat berubah-ubah dan orang yang tetap memegang teguh cara-cara mereka, akan berhasil selama cara-cara ini sesuai dengan situasi, tetapi kalau cara-cara itu berlawanan [dengan situasi yang berkembang], maka mereka akan mengalami kegagalan,” demikian Machiavelli dalam Sang Penguasa.[1] Dalam ‘masyarakat pembelajar’ terlebih didukung oleh merebaknya modus komunikasi mass-to-mass seperti sosial-media seperti sekarang ini, berkembangnya kondisi bisa dibayangkan potensinya. Bisa tetap sebagai fakta potensial saja dengan bermacam sebabnya, tetapi sangat mungkin telah menjadi fakta faktualnya. Semakin luas dan intensitas inter-subyektifitas itu seakan menguak adanya ‘dewa’ lain, aletheia, dewa kebenaran. ‘Dewa kebenaran’ yang membantu menyingkap lapis-demi-lapis sehingga kebenaran semakin menampakkan dirinya. Lihat misalnya kasus mobil Esemka itu. Ketika masyarakat pembelajar itu semakin berkembang dan dengan inter-subyektifitas secara ‘bersama-sama’ menguak lapis-demi-lapis kebenaran ‘mobil nasional’ itu, bahkan kemunculannya lagi dengan bungkus ‘mobil elektrik’-pun justru memberikan respon kemuakan yang meluas. Sangat berbeda ketika isu mobil Esemka itu hadir untuk pertama kalinya, lebih dari 10 tahun lalu.
Tetapi bukankah Machiavelli juga menyebut bahwa banyak orang memang ‘suka’ ditipu? Ataukah soal tipu-menipu ini juga tidak lepas dari campur tangan Dewi Fortuna dalam bayang-bayang ‘gelap’-nya, keberuntungan dari seorang penipu yang sebenarnya itu tidaklah di ruang kosong belaka, ia pas ada di situasi yang ‘tepat’. Jika situasi berkembang? Maka Lincoln benar dengan mengatakan bahwa, “anda bisa menipu semua orang pada suatu saat, atau sebagian orang untuk selama-lamanya, tetapi anda tidak bisa menipu semua orang selama-lamanya.” Tetapi mengapa masih ada yang nekad saja yakin bahwa Lincoln salah, yaitu berkeyakinan bahwa semua orang dapat ditipu untuk selama-lamanya? Mungkinkah ini dibangun dengan keyakinan bahwa ‘masyarakat pembelajar’ itu hanya mitos saja? Atau bermacam ‘program’ pembodohan massal itu diyakini berhasil? Atau sudah punya back-up dari dewa-dewi lain sebagai ganti dewi fortuna? Misal, dengan dewi Apate, dewi kecurangan, lawan dari aletheia. Bahkan masih belum cukup, diundang pula dewa kecurangan, Dolos. Komplit. *** (02-05-2023)
[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 10