1375. Salah Input?! Ndasmu!
1376. Kebudayaan Yang Diperjuangkan
15-02-2024
Born to revolt? Why the French go on strike, demikian judul laporan French24 setahun lalu terkait maraknya demonstrasi yang dipicu kebijakan baru tentang pensiun. Usia pensiun yang diundur 2 tahun oleh pemerintah. Tentu redaksi memilih sudut pandang di atas bukannya tanpa alasan. Ada bermacam peristiwa yang selalu berulang dalam kurun waktu lama, atau katakanlah ada budaya tertentu. Tentu kita akan juga tidak mau jika ada laporan yang berjudul: “Lahir untuk curang? Mengapa kecurangan itu dibiarkan.”
Tentu melawan kecurangan dalam pemilihan umum tidak akan lepas dari soal menang-kalah, tetapi di atas itu adalah soal ‘kebudayaan’ yang diperjuangkan. Perjuangan melawan ‘pembiasaan’ terhadap laku curang. Jika beberapa waktu lalu para civitas akademika dari bermacam perguruan tinggi menyuarakan soal pentingnya pemerintah untuk menjaga demokrasi tetap pada rel-nya, mereka tidak hanya seorang akademisi tetapi juga adalah guru. Dan guru akan selalu lekat dengan ‘proses’, termasuk dalam hal ini: pembiasaan. Meminjam istilah dari Peter L. Berger, melawan pembiasaan, habitualisasi terhadap laku curang ini misalnya, adalah untuk mencegah terjadinya ‘pelembagaan’-nya. Atau katakanlah supaya tidak menjadi bagian dari kebudayaan.
Maka kecurangan dalam pemilihan, bahkan jika tidak akan mengubah hasil menang-kalah-pun mesti dilawan. Mesti ‘di-urus’. Dan jika terbukti ada kesengajaan atau bahkan kelalaian sekalipun, sangsi harus diberikan. Paling tidak sangsi sosial, mosi tidak percaya pada KPU dan Bawaslu, misalnya. Naif? Tidak-lah. Pemilihan yang baru saja digelar menunjukkan rute yang digambarkan oleh Gramsci soal penggunaan apparatus ideologis negara dan apparatus represif negara. Maka membangun counter-culture adalah ‘wajib’ hukumnya. Sehingga ketika menghadapi penggunaan apparatus represif negara maka perlawanan menjadi perlawanan yang terdukung. Jadi, apakah kita memang dilahirkan untuk curang? Tidak! Tidak! Tidak! Maka jangan ragu, jangan setengah-setengah dalam melawan kecurangan. Kebudayaan nampaknya memang harus diperjuangkan. *** (15-02-2024)
1377. Kekuatan Ke-empat
16-02-2024
Kekuatan ke-empat yang dimaksud adalah kekuatan di luar tiga kubu kaum oligark. Di republik yang disebut oligarki ada di tiga kubu, dengan ‘patron-global’ berbeda. Dan hampir semua adalah produk jaman ketika depolitisasi mulai gencar dimantapkan, di jaman old. Mulai sekitar setengah abad lalu. Maka karakter dasarnya adalah ‘mudah bersepakat’ diantara mereka-mereka itu. Orang akan mudah berperang atau bersepakat jika itu terkait masalah perut. Jika ingin ‘damai’ siap-siaplah untuk ‘perang’. Atau ‘perang-perang-an’. Demikian juga partai-partai yang sekarang wira-wiri dari pemilu ke pemilu, sebagian besarnya adalah anak-anak jaman depolitisasi itu. Yang ‘terpaksa’ ikut dalam ‘sekolah panjang’ dengan kurikulum utamanya: depolitisasi.
Maka kekuatan ke-empat adalah kekuatan politik, atau tegasnya: partai politik. Tentu kekuatan politik tidak hanya ada di partai politik, tetapi apapun itu, melalui partai politik-lah sebenarnya politik bisa lebih dimungkinkan akan mewujud sebagai ‘gerakan politik’. Bahkan jika partai itu masih ada dalam ‘in-mind’, hadir sebagai yang di-imajinasikan. Jaman now kekuatan ke-empat itu sudah ada, tetapi masih sangat lemah. Ia ada di PKS dan sebenarnya ada juga di Partai Demokrat (PD) –melihat rentang waktu kelahirannya. Lihat bagaimana PD beberapa waktu lalu dengan susah payah ingin di-begal potensinya. Semestinya para kader utama-nya sadar posisi sebagai yang berpotensi menjadi kekuatan ke-empat itu (konsekuensinya) akan berhadapan dengan kekuatan yang begitu besar. Memang perlu ‘kesabaran’ dan terutama bagaimana soal soliditas internal terbangun. Maka memang tinggal PKS yang mempunyai potensi besar untuk berkembang menjadi kekuatan ke-empat, saat ini. Bagaimana ke depannya?
Dalam ‘spektrum-ideologis’ mengandalkan PKS sebagai kekuatan ke-empat jelas jauh dari mencukupi. PDIP sebenarnya bisa berkembang menjadi kekuatan ke-empat jika dan hanya jika ia meninggalkan ‘paradigma’ fusi-nya, yang terpaksa diterima sebagai bagian dari depolitisasi jaman old. Katakanlah menjadi ‘PNI-reborn’ dengan nama tetap PDIP. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, jika Anies B. ternyata benar ‘dikalahkan’ dalam hajatan pilpres kali ini, mengapa tidak membuat partai-politik? Memang tidak murah untuk membangun sebuah partai politik, tetapi ketika ada momentum untuk membangun sebuah ‘gerakan politik’ maka bisa-bisa itu menjadi tidak mahal lagi. Dengan partai politik baru yang masih ‘ekstra-parlementer’ ini ada kesempatan luas selama lima tahun ke depan untuk terus menggonggong dan sekalgus membangun struktur-jaringannya. Dengan tanpa berkurang sedikitpun kewaspadaan terhadap bermacam infiltrasi dari ‘partai telik sandi’ atau ‘setan-setan gundul’ yang seakan-akan freelance. *** (16-02-2024)
1378. Brutal Yang (Sudah) Banal
17-02-2024
Bagaimana jika mitos ‘bangsa malas’, the myth of the lazy native seperti ditulis oleh Syed Hussein Alatas (1977) memang benar ada di kepala penjajah? Bagaimana jika mitos tersebut kemudian bersekutu dengan segala hasrat akan kekayaan, gold? Bahkan David Hume hampir 300 tahun lalu sudah memperingatkan bahwa rasio itu bisa-bisa akan diperbudak oleh hasrat. Maka dari sejarah kita bisa melihat bagaimana kebrutalan itu dengan mudahnya terjadi. Brutal terhadap yang dijajah. Kebrutalan kemudian menjadi banal-banal saja, banality of evil, yang menurut Hannah Arendt karena ke-tidak-berpikir-an sudah begitu mewabah. Dan ketika berpikir lebih diselimuti oleh mitos maka memang akan cenderung untuk tidak mau berpikir keras lagi.[1]
Pemilihan umum pasca 1998 semakin ke-sini semakin nampak wajah brutal-nya. Seakan brutal sudah menjadi banal. Dan nampaknya rute kebrutalan itu tidak jauh-jauh amat dari jaman kolonialisme doeloe, ketika mitos bersekutu dengan segala hasrat. Bukan mitos ‘bangsa malas’, tetapi perlahan diyakini dan bahkan sudah dekat dengan penghayatan sebuah mitos: bangsa yang mudah ditipu. Dan ketika hasrat merampok republik semakin tak terkendali, tipu-tipu-pun semakin tak terkendali. Semakin brutal. Mitos lahir tidaklah di ruang kosong, biasanya ada hal kongkret-nya dulu, perlahan semakin melebar-juga ditambah-tambahi, dan kemudian terjadi ‘pembiasaan’. Mitos bisa dilihat sebagai salah satu bentuk ‘pelembagaan’ dari sebuah proses pembiasaan. Sebenarnya mitos ‘bangsa yang mudah ditipu’ ini bisa dikatakan cukup baru, sebelumnya ada mitos yang sungguh mbèlgèdès, mitos ‘bangsa yang harus ditekan’. Katakanlah, bangsa yang suka akan ‘fasisme’. Suatu bacaan yang semau-maunya terhadap apa yang disebut Hofstede sebagai komunitas dengan power distance tinggi, beberapa tahun sebelum penyederhanaan partai politik menjadi tiga saja itu dirancang dan ditetapkan di jaman old.
Tulisan ini adalah untuk memberikan apresiasi tinggi pada siapa saja yang terus mengawal perolehan suara dalam pemilihan saat ini yang ada di form C1, dan terus dikawal sampai rekapitulasi-nya. Juga pada siapa saja yang meng-upload bermacam kejanggalan atau kecurangan dalam proses penghitungan suara. Jangan sampai ‘bangsa yang mudah ditipu’ benar-benar menjadi mitos bagi siapa saja yang sedang berkuasa. Sama hal-nya dengan kebrutalan kaum penjajah, kita tidak bisa meminta mereka untuk tidak brutal, tetapi hanya jika dilawan-lah kebrutalan itu bisa dihentikan. Tidak ada jalan lain. *** (17-02-2024)
[1] “The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought”. (John F, Kennedy 1962)
1379. Election by Dispossession
19-02-2024
Judul memang plèsètan dari istilah David Harvey: accumulation by dispossession. Satu bentuk akumulasi di era kapitalisme neoliberal. Tetapi lebih dari sekedar plèsètan, yang dimaksud di sini adalah bagaimana ‘basis’ itu memang akan banyak menentukan apa-apa yang terjadi di ‘bangunan atas’. Ketika di ‘basis’ poros utama dari akumulasi itu lekat dengan nuansa dispossession maka politik sebagai bagian dari ‘bangunan atas’-pun bisa-bisa akan lekat juga dengan dispossession. Termasuk juga dalam hal ini pada proses pemilihan umum-nya.
Accumulation by dispossession menurut Harvey mempunyai beberapa fitur: privatisasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, dan soal state redistributions. Bagaimana politik yang ada di ‘bangunan atas’ akan sangat dipengaruhi oleh dinamika ‘basis’ relasi-relasi produksi dominan seperti di atas menampakkan diri? Pertama-tama akan kita lihat semakin nampak dan semakin vulgar saja soal privatisasi ini. Tidak hanya b-u-m-n yang diprivatisasi, tetapi juga republik! Semakin bukan res-publika, tetapi res-privata. Penampakan yang ‘ringan-ringan’ saja sudah bertahun mulai ada, seakan pejabat publik kalau di-kritik kemudian dianggap sebagai serangan atas diri pribadi. Masalah ke-publikan dihayati sebagai masalah privat saja. Yang memuncak ketika mucul istilah dinasti itu.
Finansialisasi dalam pemilihan umum kali ini semakin vulgar dan telanjang. Semua adalah soal komoditas, termasuk juga suara rakyat terlebih dari yang kurang beruntung. Kekuatan uang maju paling depan, dalam bermacam bentuknya. Sebenarnya tidak hanya pada kelas yang belum beruntung, tetapi juga berlaku pada para ‘elit’. ‘Bansos’ dalam bentuk konsensi, atau lainnya. Juga bagi para pelaku ‘pemburu rente’. Maka tak mengherankan uang dalam jumlah gigantisnya dengan tanpa beban kemudian dihambur-hamburkan demi meraup suara. Semua regulasi ditabrak demi proses komodifikasi suara rakyat, dan juga terutama sebenarnya, untuk para ‘elit’ atau ‘tokoh’.
Bagaimana dengan manajemen dan manipulasi krisis? Pemilihan umum sebenarnya bisa dilihat sebagai satu bentuk krisis terutama bagi petahana. Sebuah krisis yang mempunyai potensi untuk kehilangan kuasa. Maka jika di ‘basis’ itu lekat dengan accumulasi by dispossession dengan salah satu fitur-nya ‘manajemen dan manipulasi krisis’, tak mengherankan jika manajemen dan manipulasi pemilihan-pun akan mengemuka. Ketika pemilihan terhayati sebagai krisis oleh penguasa maka segera saja soal manipulasi ini akan mendesak kuat untuk ‘keluar’ dari kepala. Juga sebenarnya soal sandera kasus ini adalah bagian dari ‘manajemen dan manipulasi krisis’. Soal ‘state redistributions’ tidak usah lagi dijelaskan di sini.
***
Machiavelli (1469-1527) sudah memperingatkan bagaimana ‘sisi-gelap’ manusia dalam soal kuasa itu bisa begitu kelamnya. Thomas Hobbes (1588-1679) yang hidup ketika soal ‘kepentingan diri’ mulai diangkat sebagai hal yang biasa-biasa saja, mengawali Leviathan dengan menggambarkan manusia sebagai apa adanya. Dan kemudian ingin menunjukkan supaya hidup bersama tidak jatuh dalam situasi ‘state of nature’ manusia perlu membangun kesepakatan-kesepakatan. Adam Smith (1723-1790) meneruskan ‘paradigma kependingan diri’ tetapi dalam The Theory of Moral Sentiments edisi terakhir ia mengintrodusir soal ‘sekte agung’, famous sect. Karl Marx (1818-1883) mengingatkan bahwa soal kesepakatan, soal ‘sekte agung’, bahkan juga soal ‘sisi gelap’ manusia dalam kuasa akan ditentukan oleh bagaimana relasi-relasi kekuatan produksi yang berkembang di ‘basis’. Lenin (1870-1924) dalam interpretasi-nya pemikiran Marx sampai pada salah satu kesimpulannya, perlu adanya ‘partai pelopor’. Yang dalam banyak hal bisa dihayati sebagai ‘kumpulan’ dari apa yang disebut Gramsci (1891-1937) sebagai ‘intelektual organik’.
Apa yang bisa kita pelajari dari hal-hal ringkas di atas? Sebelum Machiavelli, di ‘jaman kegelapan’, soal ‘kepentingan diri’ itu ada di sudut ruang gelap. Ketika teosentrisme masih kuat di Eropa sana doeloe. Ketika mesin cetak massal Gutenberg ditemukan sekitar 1450-an, maka pergeseran dari teosentris (sebelum teosentris: kosmosentris) ke antroposentris –berpusat pada manusia, seakan mengalami percepatannya. Ketika teleskop dikembangkan oleh Lippershey pada tahun 1608, segera saja itu menarik perhatian Galileo Galilei yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa bumi bukanlah pusat dari semesta. Yang membuat Galileo dikucilkan oleh gereja. Tetapi kepenasaran ternyata terus berkembang, terutama soal apa yang menjadi hukum dari keteraturan semesta. Isaac Newton (1643-1727) kemudian menemukan hukum gravitasinya sendiri. Atau Spinoza (1632-1677) mengatakan bahwa hasrat adalah hal yang paling sesensial bagi manusia. Katakanlah, pusat gravitasi manusia itu adalah hasrat.
Maka kembali pada pernyataan di atas, jangan-jangan yang bisa kita pelajari adalah soal manusia itu sendiri, khususnya terkait dengan hasrat-hasratnya. Tentang terutama soal ‘kuda hitam’ seperti gambaran Platon tentang ‘alegori kereta’. Dibalik istilah baby boomers sebenarnya tidaklah sederhana, bahkan ketika generasi boomers menjadi olok-olok generasi yang lebih muda sekalipun. Karena dibalik baby boomers itu ada sebuah kesejahteraan yang dicapai melalui suatu paradigma tertentu dalam sosial-politik pasca Perang Dunia II, negara kesejahteraan. Tetapi sekitar 50 tahun lalu, hal itu dikoreksi habis-habisan oleh paradigma lama dalam bentuk neo-nya, neoliberalisme. Negara kesejahteraan itu digeser menjadi ‘ultra-minimal state’. Dengan segala modus baru akumulasinya, salah satunya seperti disebut oleh David Harvey di awal tulisan, accumulation by dispossession itu. Dengan segala konsekuensi-ikutan-nya. *** (19-02-2024)