1420. Taat
21-04-2024
Mulai dari awal tahun 1960-an, Stanley Milgram mengadakan serangkaian penelitian tentang ketaatan, obedience. Di menjelang tahun 1970-an hasil-hasil mulai dipublikasikan, dan dalam bentuk buku lengkap terbit tahun 1974, Obedience to Authority: An Experimental View. Dalam Bagian I: The Dilemma of Obedience, Milgram mengutip CP. Snow tentang obedience ini: “When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion.” (hlm. 3) Kutipan berasal dari buku CP. Snow, Public Affairs, terbit tahun 1971 –di puncak Perang Dingin, 25 tahun setelah Hitler dangan Nazi-nya kalah perang. Atau hampir 20 tahun setelah buku Hannah Arendt terbit, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Buku berdasarkan pengadilan atas Adolf Eichmann di awal tahun 1960-an, atas keterlibatan dalam kejahatan holocaust.
Lantas obedience, ketaatan, kesetiaan, adalah sebuah kutuk? Bagaimanapun apa yang disebut dengan ketaatan itu sudah melekat dalam diri manusia saat mengarungi perjalanan hidupnya. “Human are tribal,” demikian Amy Chua mengawali Political Tribes (2019). Dan adakah ke-tribal-an itu tanpa adanya konsep ketaatan? Jika kita memakai term dalam Fenomenologi, maka bisa dibayangkan ada dua hal terkait dengan ketaatan ini, taat dalam modus ‘sikap alamiah’ dan ‘sikap fenomenologis’.
‘Sikap alamiah’ (natural attitude) bisa dibayangkan sebagai sikap sehari-hari, katakanlah, taken for granted. Sedangkan ‘sikap fenomenologis’ melibatkan langkah ‘pemberian tanda kurung’ atau ‘penundaan’ (bracketing/epoche). Bermacam yang ngendon akibat pengalaman atau pengetahuan masa lalu itu ‘ditunda’ atau ‘diberi tanda kurung’ lebih dahulu. Kemudian kita kembali pada sesuatu-nya sebagai ‘pemula’. Hal-nya kemudian kita lihat dari bermacam sisi, aspek, dan profilnya. Imajinasi bisa kemudian berkembang, kita lakukan cek-ricek lagi pada hal-nya, pada sesuatu-nya lagi –back to the thing themselves (lagi), atau kita lakukan komunikasi dengan imajinasi lainnya tehadap hal tersebut. Kemudian bermacam ‘endapan’ masa lalu itu kita ‘buka’ lagi. Maka kemungkinan akan terjadi pula hal atau sesuatu itu kita lihat secara ‘baru’, atau memakai ‘horison’ baru. Atau tidak.
Jika Mangunwijaya melihat pentingnya retorika dalam mendorong kemajuan Barat, dapat dilihat di atas bagaimana peran retorika dalam mengomunikasikan ‘imajinasi’. Retorika yang dalam pendidikan klasik - dalam trivium, akan diajarkan bersama-sama dengan logika dan grammar. Retorika yang akan juga mengajak untuk ‘menunda’ dulu apa-apa yang seakan sudah ‘mapan’ dan melihat secara ‘baru’ apa-apa yang sedang dihadapi. Apa-apa yang sedang dialami. Melalui retorika –salah satunya, horison kemudian dimajukan.
Tetapi bagaimanapun retorika tidaklah ada di ruang kosong. Ia perlu menjadi ‘retorika yang terdukung’. Salah satunya adalah melalui pendidikan. Tetapi bagaimana jika pendidikan-nya lebih ber-‘gaya bank’, seperti digambarkan oleh Paulo Freire? Atau pendidikan lebih untuk memenuhi pasar tenaga kerja? Atau gonta-ganti kurikulum sehingga semakin tidak jelas kemana arah pendidikan? Atau politik lebih di-boboti dengan gaya olok-olok? Atau bahkan soal retorika itu sendiri lama telah mengalami ‘pembunuhan karakter’-nya. Terakhir secara tidak langsung dikatakan sekedar omon-omon belaka. Apa yang mau dicapai jika dikaitkan dengan ‘ketaatan’ terhadap situasi ini? Apakah ‘taat’ sedang terus dipelihara dalam modus ‘sikap alamiah’-nya? ‘Taat’ yang tidak lagi mempersoalkan tidak hanya yang ‘ditaati’, tetapi juga tidak lagi mempersoalkan ‘model-model’-nya. Dalam dunia ‘sekuler’, model apa yang akan ‘ditiru’ terhadap hasrat akan ‘ketaatan’ dalam modus ‘sikap alamiah’ ini? Model dari dunia militer?
Apakah hal-hal di atas bisa sedikit memberikan ‘konteks’ terhadap kegundahan Ben Anderson dalam Petrus Menjadi Ratu (New Left Review 3, May/June 2000) yang dalam satu bagiannya ia menulis: “To make a big fuss about the corruption of Suharto and his family, as though his criminality were of the same gravity as Eddy Tansil’s, is like making a big fuss about Idi Amin’s mistresses, Slobodan Miloševic’s peculations, or Adolf Hitler’s kitschy taste in art. That Jakarta’s middle class, and a substantial part of its intelligentsia, still busy themselves with the cash stolen by ‘Father Harto’ (perhaps in their dreams they think of it as ‘our cash’) shows very clearly that they are still unprepared to face the totality of Indonesia’s modern history. This attitude, which is that of the ostrich that plunges its head into the desert sands, is very dangerous. A wise man once said: Those who forget/ignore the past are condemned to repeat it.” Dan apa yang sedang dipertaruhkan di sini? The long and gloomy history of man (-republic)? *** (21-04-2024)
1421. "Kematian Republik" Sebagai Horison
23-04-2024
Paling tidak ada dua pengalaman ketika ‘hal tidak pasti’ menjadi horison hidup bersama, ada masanya itu dinamakan ‘tinggal landas’, atau bertahun terakhir: ‘masa emas 2045’. Tentu tidak ada yang salah menjadikan ‘harapan’ sebagai horison. Tetapi bagaimana jika itu kemudian ‘terpompa’ dengan –sadar atau tidak, meminggirkan horison ‘yang pasti-pasti’? Politik riil kata Mangunwijaya, itupun berurusan dengan ‘yang pasti-pasti’, yang masih mampu diraih. Maka pertanyaannya, apa ‘yang pasti-pasti’ akan dihadapi oleh kita semua sebagai manusia? Kematian. Dan bisakah kemudian urusan kematian menjadi sebuah horison? Bisa, kata Heidegger.
Maka kita bisa juga membayangkan ‘kematian republik’ sebagai sebuah horison hidup bersama. ‘Kematian republik’ sebagai sebuah kemungkinan yang ketika itu datang, kemungkinan kemudian akan melenyap, menjadi tidak-mungkin lagi. Kemungkinan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”-pun perlahan akan melenyap. Bahkan membayangkan kemungkinan hidup bersama bisa ‘tinggal landas’ atau kemungkinan masuk ke ‘masa emas 2045’-pun menjadi tidak mungkin lagi.
Menghadapi kematian tentu ada mood-nya sendiri, dan sebaiknya itu adalah dengan ‘rasa cemas’, bukannya takut.[1] Kecemasan yang sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah antisipasi. Kecemasan sebagai ‘moments’, sebagai ‘nonindependent parts’ dari sebuah antisipasi. Dan dalam antisipasi itu pemahaman akan diri akan semakin terbuka. Ke-otentik-an diri akan semakin menampakkan diri lapis demi lapis. Demikian juga kita bisa membayangkan ketika ‘kematian republik’ menjadi horison, bagaimana antisipasi-nya itu akan semakin menguak apa atau siapa ‘unfinished nation’ (Max Lane) ini. Maka jika beberapa waktu lalu ada yang mengatakan ‘Indonesia bubar tahun 2030’, pertanyaannya, apa kemudian antisipasi-nya? Jika dikatakan ‘Indonesia bubar tahun 2030’ itu bisa juga dihayati sebagai kemungkinan akan ke-tidak-mungkin-an lagi untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Bagi Heidegger, hanya ‘kematian-ku’-lah yang akan membawa antisipasi yang akan semakin menguak ke-otentik-an. Hal ini dikritisi oleh Simon Critchley yang berpendapat bahwa melalui kematian-kematian yang lain-pun[2], katakanlah, kita bisa membangun antisipasi. Contoh akhir-akhir ini ketika hadir di depan mata melalui bermacam media sosial atau pemberitaan, korban-korban perang. Atau akibat kelaparan. Atau ‘kematian massal’ di masa lalu. Atau hilangnya kemungkinan dari diri seseorang atau beberapa orang yang tiba-tiba saja ‘menghilang’ fisiknya. Atau juga pengalaman dari sebuah atau beberapa ‘negara gagal’.
Dengan terus ‘melatih diri’ melalui ‘kematian-kematian yang lain’ atau ‘kematian akibat negara gagal’ yang lain, maka kemungkinan ‘kematian republik’ sebagai horison akan lebih mendapatkan jalan menuju pintu masuknya. Sayangnya, demikian juga sebaliknya jika ternyata ‘kurang latihan’. Atau sama sekali tidak (mau) ‘berlatih’ diri. *** (23-04-2024)
[1] Ataukah rasa takut yang kemudian ditebar? Takut yang bisa-bisa akan ‘berjalan sendiri’ dan lepas dari sebuah antisipasi? ‘Antisipasi’-nyapun justru akan semakin mengaburkan pemahaman akan diri?
[2] https://www.theguardian.com/commentisfree/belief/2009/jul/13/heidegger-being-time
1422. Dari Dissenting Opinion ke Political Dissidence
24-04-2024
Untuk hal-hal krusial, dissenting opinion bisa sungguh bermakna, misalnya dalam sidang Mahkamah Konstitusi baru-baru ini. Dan sangat tepat komentar BW sebagai kuasa hukum paslon 01 terhadap adanya dissenting opinion dari tiga hakim MK, dengan memberikan apresiasinya. Apresiasi karena dengan itu pula soal martabat dari MK paling tidak masih ada ‘penjaga’-nya. Katakanlah juga, dengan adanya tiga hakim memberikan dissenting opinion itu paling tidak ada yang sedang ‘merawat jiwa’ MK. Dalam ranah politik, political dissidence adalah juga upaya ‘merawat jiwa’ (care for the soul), paling tidak menurut Jan Patocka (1907-1977), filsuf dari Czechoslovakia sebelum pecah jadi Czech dan Slovakia di tahun 1992. Atau kita bayangkan tubuh kita, bagaimana jika feedback mechanism (mekanisme umpan-balik) tidak ada? Bisa-bisa saat kita menginjak paku akan tidak merasakan lagi, tak jauh berbeda dari penderita diabetes kronis yang lama tak terkendali gula darahnya.
Tetapi apakah political dissidence masih diperlukan jika imajinasinya adalah Ratu Adil? Jika imajinasinya ‘diktator yang baik hati’? Atau jika kita ingat tulisan Ignas Kleden dalam Sosialisme dari Tepi Sungai Elbe (Kompas, 6 Juli 1996), dalam obrolannya dengan dosen ex-Jerman Timur, dosen itu menjawab pertanyaan Ignas Kleden: mana yang akan dipilih, kapitalisme atau sosialisme (setelah dosen tersebut beberapa tahun merasakan kapitalisme di Jerman bagian barat setelah unifikasi)? Dijawab oleh dosen itu bahwa sosialis itu baik selama tidak ada sistem lain yang menjadi saingan atau musuhnya. Sebaliknya, masyarakat kapitalis itu baik selama ada sistem lain yang menjadi musuh atau saingannya. Atau bagaimana tentang ‘gimmickisme’, yang tujuannya memang untuk manipulasi saja?
Maka political dissidence memang tidak di ruang kosong. Apakah memang benar jika sosialis itu akan baik jika tidak ada distem lain yang menjadi musuhnya, seperti pendapat dosen ex-Jerman Timur di atas? Bukankah sosialisme itu adalah juga political dissidence dari kapitalisme? Apa konsekuensi dari menjadi ‘baik selama tidak ada sistem lain yang menjadi saingan atau musuhnya’? Karena bagaimanapun juga mengharapkan ‘maksud baik’ dari sistem lain untuk tidak mengganggunya akan terasa naif juga. Karena faktanya hidup bersama tidak hanya berdasarkan ‘maksud baik’ saja. Tetapi harus diingat juga, bahkan dari para pembuka jalan sosialisme-pun dikenal juga soal kritik-otokritik.
Bagaimana soal ‘merawat jiwa’ ini jika ada dalam sebuah habitat lekat dengan nuansa depolitisasi? Apakah nuansa depolitisasi ini akan memungkinkan lahirnya political dissidence? Tetapi apakah depolitisasi itu akan hadir tanpa dukungan tingkah represi? Dalam sejarah kita bisa melihat bahwa represi se-brutal apapun tetaplah tidak melenyapkan potensi political dissidence itu. Karena bagaimanapun ini berurusan juga dengan si-zoon politicon. Tetapi bagaimana jika depolitisasi itu adalah juga soal melemahkan ‘yang politikal’? ‘Yang politikal’ –the political, adalah hal mendasar yang membuat politik itu ada, dan menurut Carl Schmitt hampir se-abad lalu, itu adalah pembedaan antara kawan dan lawan. Jadi tidak hanya berurusan dengan si-zoon politicon, tetapi juga dengan imajinasi-imajinasinya. *** (24-04-2024)
1423. Batas Gimmickisme
25-04-2024
Ada masanya maksud baik dari pihak-pihak tertentu kemudian diberi nama ‘sosialisme utopia’. Apakah jika dilihat dengan kacamata sekarang, segala maksud baik itu sekedar gimmick saja? Tentu saat itu istilah gimmick belumlah ada. Istilah gimmick sendiri baru muncul di sekitar tahun 1920-an, katakanlah plèsètan dari kata magic. Memang artinya tak jauh-jauh amat dari manipulasi. Maka tak mengherankan dari rentetan istilah camera obscura dan seterusnya itu, lahirlah apa yang disebut sebagai ‘sosialisme ilmiah’ itu. Menjadi ‘ilmiah’ karena tidak hanya berdasarkan ‘pengamatan sesaat’ tetapi dilengkapi pemahaman akan sebuah ‘pola’ di masa-masa lalu. Maka tindakan yang berangkat dari keprihatinan dan kepedulian itu akan mencapai hasil seperti yang diharapkan, maksud baik nampaknya tidak cukup dengan menggelinding begitu saja, tetapi kadang perlu ada dasar-dasar ‘teori’-nya. Yang di awal abad 20 kemudian semakin diyakini bahwa ‘tanpa teori revolusioner, tidak akan ada gerakan revolusioner’.
Tentu para penggerak ‘sosialisme utopia’ itu banyak yang memang sungguh punya maksud baik. Benar-benar ingin membantu. Benar-benar sungguh peduli. Maka mestinya tidak pada tempatnya jika kemudian dilabeli sebagai ‘gimmick’ saja, jika saat itu kata tersebut memang sudah ada. Bahkan yang merasa prihatin terhadap situasi bisa-bisa tidak sedikit. Mungkinkah ini yang disebut silent majority? Bisa juga. Pada tahun 1965 dalam Who Is Man? Abraham J. Heschel menulis bahwa ‘teori tentang bintang tidak akan mengubah eksistensi bintang, tetapi teori tentang manusia dapat mengubah keberadaan manusia.’ Tak jauh-jauh amat dari kutipan tentang ‘teori revolusioner’ di atas, sekitar 60 tahun sebelumnya.
Mengapa gimmick sering bisa begitu berhasilnya? Salah satunya karena kesadaran bukanlah hal kosong yang siap diisi apa saja, tetapi kesadaran akan selalu ‘sadar akan sesuatu’. Dan seperti dikatakan oleh Toynbee mengenai ‘hukum pertukaran budaya’, sinar budaya yang bernilai ‘rendah’ akan masuk dengan resistensi yang rendah juga, demikian sebaliknya. Gimmick berarti juga hal yang tidak bernilai atau nilainya rendah, dan seperti sudah disinggung diatas, bertujuan untuk memanipulasi. Menyihir. Maka kemudian gimmick-gimmick memang bisa juga menjadi sangat berhasil. Lihat misalnya, bagaimana feodalisme itu bisa bertahan lama sebagai ‘kerajaan gimmick’, jika dilihat dari kacamata sekarang. Pernak-pernik-nya sering ditujukan untuk ‘pendisiplinan’ orang kebanyakan. Pernak-pernik untuk ‘mengurung’ kebanyakan orang. Tentu ini tidak berdiri sendiri karena kekuatan kekerasan akan berperan penting juga. Terutama bagi kaum ‘dissident’. Kaum yang sudah tidak mau lagi ‘dikurung’ dalam dunia gimmick belaka.
Karena ranah ‘bermain’ dunia gimmick adalah imajinasi maka memang seakan tiada batas lagi, dari macam dan keberulangannya. Apalagi kata Machiavelli, ‘manusia itu bersifat sederhana, dan begitu banyak manusia di sekitarnya sehingga penipu akan selalu menemukan seseorang yang siap untuk ditipunya’. Ada beberapa klaster yang sebenarnya cukup berjarak dengan dunia gimmick ini, salah satunya yang terpenting adalah dunia pendidikan. Elan vital dari dunia pendidikan ini sebenarnya adalah ‘kepenasaran’. ‘Kepenasaran’ yang kemudian didasari dan dilatih dengan langkah-langkah tertentu. Dunia seni sebenarnya juga lekat dengan elan vital ‘kepenasaran’ ini, bedanya ia lebih bebas dalam menentukan langkah-langkahnya. ‘Kepenasaran’ yang kemudian mendorong untuk melihat bermacam penampakan untuk tidak hanya berhenti pada hal-hal yang tampak saja. Termasuk tebaran bermacam penampakan gimmick.
Manusia tidak hanya hidup dari roti dan anggur, atau nasi dan es teh, atau jagung dan tuak, tetapi juga dari imajinasinya, dari harapan-harapannya. Imajinasi dan harapan yang sering lebih muncul dari pintu hasrat. Termasuk hasrat akan ‘hidup kekal’ atau hasrat akan ‘will to power’, misalnya. Karena itulah ‘olah kuasa’ kemudian tidak hanya urusan roti dan anggur saja, tetapi juga soal harapan-harapan. Soal imajinasi. Sola bagaimana pintu hasrat dibuka dan ditutup. Maka kadang dilahirkan pula ‘omnibus-gimmick’ dalam ‘pendisiplinan’ yang banyak itu. Atau bahkan meski tetap gimmick, ia bisa saja menampakkan diri sebagai sosok ‘monster’ tertentu. Ketika bermacam gimmick itu ada dalam ‘perlindungan’ si-‘omnibus-gimmick’ maka memang kemudian menjadi tidak mudah lagi untuk diretakkan. Bahkan sering diperlukan momentum tersendiri, yang kadang momentum itu hadir ketika ‘rantai-gimmick’ sedang ada dalam kondisi ‘rantai-terlemah’-nya. Ketika pilar-pilar gimmick yang menyangga ‘langit-langit kognitif’ itu seakan sedang digoyang oleh situasi yang membuat lubang besar dalam program ‘pendisiplinan’ itu. Maka pertanyaannya, siapa yang akan paling siap jika momentum itu datang? *** (25-04-2024)
1424. Mosaik Palsu
29-04-2024
Ada pendapat, jika ada ‘orang kuat’ maka rentang-kendalinya tidak terlalu jauh atau cukup sempit-pun tidak apa-apa, katakanlah tiga partai-pun diyakini si-‘orang kuat’ akan mampu mengendalikan. Tetapi jika ‘orang kuat’ tidak hadir, sebaiknya rentang kendali dibuat lebih lebar, sehingga katakanlah jika jumlah total kekuatan kuasa itu 10, paling banyak diharapkan hanya ada 1 saja mempunyai katakanlah kekuatan 3. Lainnya kecil-kecil, bahkan kalau bisa yang paling kuat-pun masih di bawah 20%. Dan juga menjadi lebih mungkin untuk di-‘adu domba’. Bayangan awal mungkin begitu, tetapi siapa nyana ada berkah-nomplok di balik itu, berkembangnya ‘mosaik palsu’.
Menurut Alvin Toffler dalam Powershift (1990), demokrasi mendatang akan lebih bercorak sebagai ‘demokrasi mosaik’. Maksudnya adalah akan lebih banyak pihak-pihak atau kelompok-kelompok kepentingan yang mesti diajak bicara oleh yang mau menang dalam pemilihan. Ternyata tidak hanya pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang semakin banyak harus diajak bicara, tetapi dunia ‘representasi’-nya pun bisa membuat bermacam panggung-nya sendiri. Atau kalau kita bayangkan sebuah ‘rejim campuran’ –campuran antara monarki, aristokrasi, demokrasi, tidak hanya dalam demokrasi ada ‘demokrasi mosaik’, tetapi ada ‘aristokrasi mosaik’. Salah satunya adalah kaum aristokrat yang menempatkan atau ditempatkan sebagai bagian dari representasi. Maka katakanlah yang dulu bisa sebagai satu partai kuat, sekarang dipecah-pecah, dalam praktek sebenarnya adalah juga ‘mosaik palsu’. Karena sebenarnya masih dalam satu komando, atau mau penthalitan di atas panggungya bahkan sampai gemoy-kayang sekalipun, tetaplah masih dalam ‘pakta dominasi’ yang sama.
Dalam the society of the spectacle seperti dibayangkan oleh Guy Debord hampir enam-puluh tahun lalu, terlebih sekarang dalam Abad Informasi ini, ‘yang palsu-palsu’ itu bisa-bisa sungguh menentukan dalam olah kuasa. ‘Yang palsu’ dan ‘yang asli’-pun tidak hanya sering sulit dibedakan, tetapi bisa dimainken secara simultan juga. Contoh dan semakin marak saja dalam soal ‘cuci uang’. Bermacam bentuk usaha sebagai tempat cuci uang itu sebagian besarnya asli –ada untung dan ruginya, meski masih ada yang memang sungguh ‘tipu-tipuan’ ala akuntansi misalnya, modal yang disuntikkan meski itu hasil dari bermacam kejahatan, besaran uangnya itu tetaplah asli bisa dihitung. ‘Yang palsu’ adalah asal dari uang-uang itu, makanya perlu dicuci. Bahkan dunia cuci uang-pun bisa dikelola sebagai semacam ‘rejim campuran’. Di level demokrasi, bermacam usaha itu akan melibatkan ‘orang-orang biasa’ yang bahkan kebanyakan akan tidak sadar terlibat dalam rantai cuci uang. Rejim aristokrasi akan melibatkan orang-orang ‘pengumpul dan penikmat’ bermacam sumber daya melalui jalan kejahatan, terutama korupsi. Bagaimana dengan level monarkinya? Bisakan ia kemudian berperan tidak hanya sebagai ‘pelindung’ tetapi bisa juga sebagai pengelola melalui macam-macam ‘lembaga’ semacam SWF –Sovereign Wealth Funds? Yang itu tidak hanya kemudian mampu mengalokasikan untuk ‘biaya politik’, tetapi juga sebagai bagian dari kontrol terhadap kaum ‘bangsawan’-nya? Kontrol yang tandem dengan ‘pendisiplinan’ melalui ‘sandera kasus’? *** (29-04-2024)