1470. Ternyata Marx Benar ... (1)

03-08-2024

Ternyata Marx benar bahwa ‘bangunan atas’ itu akan sangat ditentukan oleh ‘basis’. Yang ‘merepotkan’ dalam hal ini adalah over-deterministik-nya. Yang diyakini oleh sebagian pengikut-pengikutnya. Tidak hanya politik, atau negara, hukum, bahkan identitas-pun akan dipengaruhi oleh ‘basis’. Atau juga agama, ideologi. Intinya, salah satunya adalah soal ‘kesadaran kolektif’. ‘Sangat ditentukan’ bukan berarti ‘bangunan atas’ menjadi sama sekali ‘tidak berdaya’ ketika ‘berhadapan’ dengan ‘basis’. Meski kecil, tetap ada peluang ‘bangunan atas’ untuk mempengaruhi, misalnya, bagaimana ‘pembagian kekayaan’ itu mesti dilakukan. Godaan penghayatan over-deterministik sebenarnya bisa dihindarkan jika mengingat bagaimana konteks Marx dalam menekankan peran basis, yaitu sebagai ‘kritik-frontal’ terhadap kuatnya ‘idealisme’ pada saat itu, di bagian akhir Abad 19.

Maka ‘penghuni’ bangunan atas semestinyalah mampu ‘menunda’ apa-apa yang menjadi ‘langgam’-nya basis dalam menentukan dirinya. Sebab, bahkan ia-pun harus ‘berhadapan’ pula dengan sesama ‘penghuni’ bangunan atas, sebab ‘siasat’ di basis itu bisa bermacam pula, salah satunya adalah mendorong terciptanya ‘kesadaran palsu’. Bermacam ‘kelas’ yang lahir dari dinamika basis itu menjadi tidak serta merta melahirkan ‘kesadaran kelas’ juga. Dan bagaimana akan lahir ‘perjuangan kelas’ jika ‘kesadaran kelas’ menjadi begitu tipisnya?

"From each according to his ability, to each according to his needs," demikian Marx pernah mengatakan dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Tetapi siapa atau apa yang menentukan needs seseorang? Apalagi hampir 75 tahun kemudian Maslow memperkenalkan ‘hirarki kebutuhan’. Dan bisa dilihat dari perjalanan manusia dengan segala pernak-perniknya, apa yang di-konsumsi itu ternyata memang bisa ‘mengaburkan’ apa yang disebut Marx sebagai ‘kelas’ itu. Pembagian ‘kelas’ kemudian lekat dengan bermacam eksploitasi konsumsi ini. Dan kapitalisme sangat paham dengan ini, bahkan sangat trampil dalam mengantisipasinya. Bukan ‘penderitaan’ karena eksploitasi manusia atas manusia yang dinampakkan – atau jika ternyata masih juga menampakkan diri: negosiasi, jangan revolusi-lah, tetapi penampakan ‘digeser’ lebih pada ‘kenikmatan’ melalui eksploitasi konsumsi: “A specter is haunting Communism – the specter of Hyper-consumerism.” *** (03-08-2024)

1471. Pertemuan Prabowo - Putin, Pelajaran Apa?

04-08-2024

It's important for our Nation to be able to grow foodstuffs to feed our people. Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation that would be subject to international pressure. It would be a nation at risk. And so when we're talking about American agriculture, we're really talking about a national security issue,” demikian dikatakan George W. Bush di depan organisasi petani AS, 27 Juli 2001. Pada tahun 2005 Putin mulai mencanangkan bahwa pertanian menjadi prioritas negara. Dan sekitar 15 tahun kemudian, Rusia telah mampu masuk dalam ‘liga utama’ produsen beberapa produk pangan. Salah satunya adalah gandum. Bahwa kemudian dalam invasi ke Ukraina salah satu taktik-nya adalah merusak produksi gandum Ukraina – dan ekspornya, dan menyebabkan harga gandum dunia meningkat tajam, bukan fokus tulisan ini. Tetapi adalah kita bisa melihat bukti benarnya apa yang dikatakan Bush di atas, dengan contoh kongkret di Abad-21 ini. Meski kita juga bisa melihat contoh-contoh lain di abad-abad sebelumnya.

Tetapi mungkin Putin tidak mau mengulangi sejarah suku Inca dengan sejarah ‘kentang’-nya. Dengan berkembangnya pasokan makanan dari kentang, suku Inca menjadi lebih banyak waktu untuk mengembangkan peradabannya. Tetapi menjadi hancur ketika Spanyol menyerbu, dan juga kemudian membawa pulang tanaman kentang ke Eropa. Maka begitu Putin naik ke puncak kekuasan menggantikan Yeltsin, yang dilakukan adalah bagaimana menghidupkan lagi senjata-senjata beratnya setelah kembang-kempis karena keringnya kas negara akibat privatisasi ugal-ugalan di era Yeltin yang melahirkan para oligark kaya raya. Putin kemudian ‘mendisiplinkan’ para oligark itu[1] sehingga sumber daya alam, gas-minyak terutama, menjadi mampu untuk membiayai perawatan hulu ledak nuklirnya. Juga mulai tahun 2005 menjadi mampu membiayai program prioritas di sektor pertanian. Lima-belas tahun kemudian, terbukti pertanian Rusia mengalami kebangkitannya.

Bagaimana dengan republik 10 tahun terakhir ini? Apa yang harus ditanggung oleh republik ketika ngibul-isme menjadi arus utamanya? Rusak-rusak-an?! *** (04-08-2024)

[1] Lihat, Simon Saragih, Bangkitnya Rusia, Peran Putin dan eks KGB, Penerbit Buku Kompas, 2008

1472. Ternyata Marx Benar ... (2)

05-08-2024

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menegaskan pentingnya ‘bangunan atas’ dan syarat-beratnya sehingga mampu ‘lebih otonom’ dalam membuat pilihan-pilihan. Yang dihadapi memang sungguh berat, tidak hanya kuatnya ‘tekanan’ dari basis, tetapi juga dari sesama ‘penghuni’ bangunan atas. Sekaligus tetap menempatkan dinamika basis sebagai titik-berangkat dalam memahami realitas yang berkembang.

Sekitar 60 tahun sebelum Marx lahir, Adam Smith melalui The Theory of Moral Sentiments menekankan bagaimana ‘kepentingan diri’ – self-interest, berperan penting dalam masyarakat. Tetapi peran penting ‘kepentingan diri’ ini hanya akan ‘berguna’ dalam bangunan kemasyarakatan jika ia mengenal apa yang disebut Adam Smith sebagai simpati, yang dalam pengertian sekarang: empati, ‘mampu menempatkan diri dalam posisi yang lain’. Tetapi apa atau siapa yang ‘menjamin’ simpati seperti dimaksud Adam Smith itu akan selalu dijalankan? Adam Smith bagaimanapun hidup dalam suasana semangat ‘modernisasi’ pasca Abad Pertengahan di Eropa sana, yang ditandai dengan pergeseran dari nuansa teosentris ke antroposentris, berpusat pada manusia. Hasrat yang digendong ‘manusia apa adanya’ itu dilepaskan dari segala ‘kutuk’-nya dan diterima sebagai ke-normal-an baru. Tetapi apa dan siapa yang kemudian menjaga sehingga segala ledakan hasrat itu kemudian tidak menghancurkan hidup bersama? Yang dulu-dulunya selalu dikutuk oleh kaum ‘agamawan’ di era teosentris itu? Inilah yang kemudian dikenal sebagai renaissance – re-birth, mulai demen lagi membuka-buka pemikiran jaman Yunani Kuno. Demikian juga Adam Smith dalam konteks di atas, ia kemudian menggali-banyak pemikiran Stoa. Mungkinkah ini juga yang mendorong pada edisi terakhir Theory of Moral Sentiments ia mengintrodusir istilah ‘sekte agung’, famous sect? Lapis yang mempunyai keutamaan lebih dari ‘yang biasanya’. Dan dari Stoa paling tidak kita bisa belajar pentingnya ‘tahu-batas’ dan apa yang masih dalam kendali dan yang tidak. Tetapi dari bermacam catatan sejarah kita juga bisa melihat bahwa soal hasrat itu tidak hanya soal bagaimana mengendalikan diri – bagaimana kualitas diri mampu mengendalikan diri, tetapi juga dalam banyak halnya perlu latihan keras bagaimana hasrat itu ‘ditabrakkan’ dengan hasrat lainnya, agere contra. Atau dapat kita bayangkan pula terkait trias-politika, misalnya.

Sepuluh tahun terakhir di republik adalah sejarah yang sangat berharga. Kita bisa melihat dengan telanjang apa yang terjadi ketika ‘penghuni bangunan atas’, dalam hal ini politik komplit dengan dinamika di ranah negara, ketika ‘tidak-tahu-batas’ tiba-tiba saja semua menjadi rusak-rusakan. Mendadak rusak-rusakan. ‘Tiba-tiba’ – atau mendadak, tentunya bukan kata tepat, sebab ‘proses-proses molekuler’ itu sebenarnya terus terjadi, disadari atau tidak. ‘Proses-proses molekuler’ yang berbasis dari ugal-ugalannya ‘kepentingan diri’ ditambah dengan merebaknya nir-empati. Mengapa ‘kepentingan diri’ itu menjadi ugal-ugalan? Apakah ‘kepentingan diri’ itu pada dasarnya memang cenderung ugal-ugalan? Bahkan bisa tanpa beban akan melakukan ‘eksploitasi atas manusia (lain)’? Dan sik-J, dan sik-sik lainnya yang ada di ‘bangunan atas’ itu kemudian juga ditentukan ‘ugal-ugalan-tak-tahu-batas’ dari ‘basis’, tanpa sedikit-pun ruang ‘otonomi’ diri? *** (05-08-2024)

1473. Ternyata Marx Benar ... (3)

06-08-2024

Dari Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (terbit pertama kali dalam bahasa Belanda sekitar 1971-an), kita bisa membayangkan ‘modus’ dalam menghayati apa yang disebut Marx sebagai ‘basis’, apakah dalam ‘tahap’ mitis, ontologis, atau fungsionil? Mungkin banyak ‘penyerderhanaan’, tetapi bisalah jika kaum over-deterministik itu dilihat sebagai yang memakai ‘modus’ mitis dalam menghayati (determinasi) ‘basis’. Atau di sisi lain dengan ‘rute’ berbeda, juga kaum ‘sosialis-utopia’. Atau bahkan orang kebanyakan, apapun dinamika ‘basis’ akan terhayati sebagai ‘normal-normal’ saja tanpa harus dipertanyakan lagi. Tidak mampu ‘menjaga jarak’ dan seakan tenggelam sekaligus tidak mampu lagi untuk melihat apa yang jadi esensi dari dinamika ‘basis’, seperti yang dilakukan pada tahap ‘ontologis’. Marx dengan sangat susah-payah akhirnya mampu menguak apa yang menjadi esensi dari dinamika ‘basis’. Tetapi pada saat bersamaan menegaskan bahwa yang paling penting adalah mengubahnya, jangan berhenti pada bagaimana ‘mengintepretasikan’ hal esensi itu. Atau jangan sampai jatuh dalam -istilah Van Peursen, eskapisme. Atau jika memakai istilah Van Peursen lainnya: beranilah masuk ke tahap fungsionil. Menguak ‘hal esensi’ mestinya termasuk juga mempertimbangkan apakah dinamika yang menampakkan diri itu suatu hal yang longue durée sifatnya, atau mid-term, atau merupakan event-history yang layaknya kerlap-kerlip kunang-kunang itu?

Maka pemegang ‘kapital-modal’ (Bourdieu-an) tinggi yang ada di ‘bangunan atas’ semestinyalah mempunyai ‘otonomi-khusus’ dalam berbagai tingkatannya, sehingga mampu meraba apa-apa yang menjadi esensi bermacam dinamika yang ada di ‘basis’. Mampu ‘menjaga jarak’ sehingga terbangunlah horison tertentu, dan dengannya kemudian dibuat pilihan-pilihan. Atau meraba kemungkinan-kemungkinan lain. Ada yang berpendapat bahwa sains relatif ‘otonom’ terhadap dinamika ‘basis’ nampaknya cukup beralasan. Bandingkan misalnya ketika politik-ranah-negara itu banyak orang-orang teknokrat-nya, dan yang tidak. Baik teknokrat ‘teknis’ maupun ‘ideologis’. Sains paling tidak akan memberikan elan vital-nya sehingga lebih mampu ‘menjaga jarak’ terhadap determinasi ‘basis’. Atau lihat ketika ‘otonomi’ itu benar-benar hancur karena ‘sandera kasus’. Atau perlu ditekankan, bagaimana polah-tingkah para ‘relawan’ itu akhirnya justru membangun ‘kesadaran palsu’ dari para pemegang ‘kapital’ tinggi, bahkan tertinggi di ranah politik-negara.

Pada satu kesempatan Machiavelli bertanya pada Sang Pangeran, anda sedang berusaha merebut kuasa atau menggunakan/mempertahankan kuasa? Maksudnya, hal merebut kuasa itu bisa berbeda dengan hal menggunakan kuasa. Pemilihan umum pasca-1998 telah mengenal apa yang dikenal sebagai relawan (politik) dengan bermacam sebutannya. Tetapi hanya dalam 10 tahun terakhir ‘relawan’ itu terus saja beredar secara intens saat di rentang ‘penggunaan kuasa’. Akhirnya penampakannya tak jauh-jauh amat dari apa yang disebut Machiavelli: penjilat. Dan ketika penjilat-penjilat ini terus dipelihara, tidak hanya perlahan terbangun ‘ke-normal-an’ baru dalam dunia politik-ranah-negara, tetapi perlahan pula terbangun sebuah ‘kesadaran palsu’. Bukan soal si-demos yang berjibaku di ‘basis’ yang kemudian mendapat perhatian lebih-nya, tetapi dunia hasil proses jilat-menjilat itu yang menyesaki imajinasinya. Apa yang terjadi? Bangunan atas, katakanlah politik-ranah-negara yang semestinya mau dan mampu bekerja keras untuk mempengaruhi ‘basis’ demi distribusi kesejahteraan, atau vulgarnya: pembagian kekayaan, itu bisa semakin dirasakan oleh si-demos, ternyata ujung-ujungnya hanya beredar dalam kalangan terbatas saja. Sebangun dengan sempitnya imajinasi yang mampu terhayati dalam dunia jilat-menjilat itu. *** (06-08-2024)

1474. Nasionalisme Utopis (di IKN)

08-08-2024

Judul sebenarnya agak problematis, bukankah soal nasionalisme itu memang dekat sekali dengan utopia? Sudah sebagai ‘komunitas terbayang’ masih membayangkan ini-itu pula. Akhirnya menjadi sangat mudah jatuh pada istilah si-Bung, ‘ideologi’ kenang-kenangan saja. Katakanlah, ideologi dengan kesibukan utamanya, bahkan satu-satunya: legitimasi. Bahkan bisa-bisa dalam praktek hanya hadir sebagai tirai asap tebal saja. Ideologi kemudian berubah menjadi ‘kejahatan logika’ yang menutup erat dan mendukung habis-habisan berkembangnya ‘kejahatan hasrat’.

Masalahnya jika kita bicara soal ‘isme-isme’ sering lupa bahwa itu seperti bicara soal warna merah, misalnya. Kita bisa menulis bahwa warna merah itu panjang gelombangnya sekian, dan jika dicampur dengan warna A akan menjadi X, dan seterusnya. Tetapi bagaimanapun kita hanya akan bisa melihat adanya warna merah itu jika dan hanya jika ia menempel pada kursi, meja, atau sebagai pelangi, misalnya. Demikian juga soal ‘ideologi’, mau penataran sekian ratus jam, atau dibuka kelas-kelas kader, kursus kader, atau ajaran utamanya dipigura dan dipasang di pintu masuk kantor pusat, kita hanya akan bisa menghayati ideologi itu hanya jika ia ‘menempel’ pada perilaku kongkret manusia-manusia pendukungnya, atau kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, komplit dengan pelaksanaannya.

Maka ‘isme-isme’ itu mestinya akan ada dalam sebuah ‘durasi’, waktu yang benar-benar dialami. Bukan sekedar ‘waktu kalender’ saja, yang kemudian tiap tahun pada hari atau tanggal tertentu seakan-akan mendadak ‘ideologis’ saat merayakan sesuatu. Lihat misalnya – yang begitu telanjangnya, dalam sebuah perayaan berulang setiap tahunnya, selalu (gegayaan-sambil-plendas-plendus) pakai pakaian adat, tetapi kelakuan dari-hari-ke-hari penuh penindasan atau peminggiran secara brutal terhadap komunitas adat. Demi penguasaan lahan-tanah-nya. Maka ketika ada seorang pejabat terkait dengan besarnya biaya perayaan 17 Agustus di IKN mendatang mengatakan bahwa “Sewa Mobil di IKN: Natioan Day, Tak Ada yang Mahal[1], dari apa-apa yang sudah dialami rakyat si-pembayar pajak, dan sedang dihadapi hari-hari ini, apa yang pantas bagi si-pembayar pajak untuk berkomentar atas kata-kata asal njeplak-mangap ini? Hanya satu kata: entut-lah …. Atau ada kata lain? Bangsat, misalnya.

Tetapi tujuan tulisan ini bukanlah untuk memaki, meski ‘mereka-mereka’ itu memang sangat pantas untuk dimaki. Si-pembayar pajak sangat pantas untuk memaki ‘mereka-mereka’ itu. Sangat pantas. Bahkan sejak bertahun lalu. Tetapi karena bagaimanapun kita tak akan lepas dari adanya ‘isme-isme’ itu. Suka atau tidak, sadar atau tidak. Karena juga sulit dibayangkan jika kita hidup tanpa harapan. Dan dalam ‘isme-isme’ itu bersemayam juga bermacam harapan. Harapan yang dalam ‘bablasannya’ bisa-bisa akan serasa sebagai utopia. Tetapi utopia tidaklah sepenuhnya ‘bècèk’, terlebih dalam salah satu fungsinya, menegur ‘isme-isme’ ketika dalam praktek banyak melencengnya. Jadi utopia dalam ‘tahap’ fungsionilnya, bukan dalam ‘tahap’ mitisnya. Maka memang ‘isme-isme’ itu perlu kerja keras sehingga adanya tidak hanya ‘ikut arus’ saja, atau bahkan berfungsi sebagai camera obscura. Atau menjadi ideologi kenang-kenangan saja. ‘Isme-isme’ pada ujungnya memang adalah bertindak, atau katakanlah: praxis, seperti ditegaskan oleh Marx dalam tesis ke-11, dalam Tesis Tentang Feurbach (1845): “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara: namun intinya adalah mengubahnya.”[2]

Tetapi dalam praxis tindakan tidaklah berdiri sendiri, ia menjadi bagian tidak terpisahkan dengan refleksi, aksi-refleksi menjadi tak terpisahkan lagi. Selain melalui intersubyektifitas dalam kritik-otokritik misalnya, sains dalam banyak halnya akan sangat membantu ‘kualitas’ refleksi. Bahkan dalam ber-iman-pun ada baiknya mendapat teman seperjalanan, rasio – fides et ratio, demikian seru Paus Yohanes Paulus II di 1998. Apalagi ‘isme-isme’, termasuk ‘nasionalisme’ yang sedang dibahas dalam tulisan ini. Tanpa rasio, tanpa keberpikiran, tanpa sains maka tiba-tiba saja akan sampai di tepi jurang ‘nasionalisme utopis’, jauh dari bayangan ‘nasionalisme saintifik’ misalnya. ‘Nasionalisme’ dalam praktek kemudian hanya menjadi tirai asap tebal bagi laku korup yang sungguh ugal-ugalan. Merdeka, cuk …. *** (08-08-2024)

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240806131134-32-1129781/istana-soal-sewa-1000-mobil-di-ikn-national-day-tak-ada-yang-mahal?utm_source=twitter&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed., Lihat juga: https://bisnis.tempo.co/read/1901091/hambur-anggaran-untuk-perayaan-upacara-17-agustus-di-ikn?utm_source=Twitter&utm_medium=dlvr.it

[2] https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/18450401-tesisfeuerbachversisuntinganengels.html