1210. Pengkhianatan Kaum Berkata-kata
13-08-2023
Hampir seabad lalu, Julian Benda, pemikir asal Perancis, menerbitkan Pengkhianatan Kaum Intelektual. Siapa yang dimaksud Benda sebagai kaum intelektual? Apakah semacam ‘intelektual tradisionil’ ala Gramsci? Ataukah sebenarnya ‘intelektual organik’? Atau yang lebih mengabdi pada hal-hal praktis, atau demi berkembangnya olah pikir itu sendiri –hasrat akan kepenasaran yang tak pernah padam? Yang dimaksud ‘kaum berkata-kata’ di sini bukanlah menunjuk langsung pada ‘kaum intelektual’, tetapi kaum yang lebih menggunakan kata-kata untuk mempengaruhi yang lain demi akumulasi kuasa di tangan, kaum politisi. Apakah berbeda juga dengan ‘kaum kerja-kerja’?
Jika kita meyakini bahwa berpikir itu mendahului bahasa, mendahului kata, apakah kemungkinan akan dikenal juga sebuah ‘pengkhianatan kaum berkata-kata’? Ketika ‘binatang berpikir’ itu melalui kata-katanya kemudian terhayati sebuah pengkhianatan? Ketika melalui tebaran kata ia mempengaruhi pihak lain, tetapi setelah pihak lain terpengaruh justru ia mengingkari kata-katanya itu? Apapun pendapat kita tentang Machiavelli, ia tidak pernah mengatakan bahwa ‘iblis’ itu baik. Tetapi Machiavelli menunjukkan bahwa manusia memang bisa sangat dekat dengan ‘prinsip-prinsip iblis’ terlebih dalam urusan kuasa. Maka memang dalam praktek, ‘toleransi’ terhadap pengkhianatan kaum berkata-kata itu bisa lebih lentur dibanding dengan pengkhianatan kaum intelektual. Tetapi laksana takaran garam dalam memasak, tambah sedikit-sedikit malah menambah nikmat, tetapi jika terlalu banyak? Kuantitas ‘ke-banyak-an’ garam itu tiba-tiba saja telah merusak ‘kualitas’ rasa masakan. Hukum ‘kuantitas-kualitas’ bisa-bisa akan menjelaskan banyak penghayatan, termasuk juga ketika tiba-tiba saja politisi X itu terhayati sebagai yang berwatak pengkhianat, misalnya.
Tetapi apakah ‘ke-tidak-satu-nya kata dan tindakan’ merupakan satu-satunya benih khianat dari ‘kaum berkata-kata’ itu? Kita lihat misalnya, ‘satunya kata dan tindakan’ dari seorang Hitler, bahkan ia terberitakan memilih bunuh diri demi ‘satunya kata dan tindakan’. Sebagai ‘binatang berpikir’ yang dalam evolusinya secara bersamaan kaki depan dilepaskan dari fungsi berjalan sehingga menjadi semakin mampu mengembangkan ‘motorik halus’-nya, dan dengan itu pula bagian otak yang bertanggung jawab terhadap kemampuan bicara bisa menjadi lebih berkembang, ‘binatang berpikir’ itu menjadi tahu mana yang baik dan yang buruk. Dan berkembanglah etika dalam hidup bersamanya. Maka ‘satunya kata dan tindakan’ itu dalam perkembangannya masih harus diletakkan dalam ‘koheransi’-nya dengan etika. Masalahnya dalam ‘sistem kata-kata-nya’, ia bahkan membangun ‘jaringan baik-buruk’-nya sendiri. Atau bahkan pada satu waktu, melakukan itu tanpa tahu bahwa itu adalah hal buruk, perbudakan misalnya. Maka baik buruk-pun terus berkembang, dan perlahan bisa menjadi angin semangat suatu jaman.
Dari beberapa hal di atas, dapat dilihat bahwa ‘mau dibuktikan salah’ adalah hal yang menjadi penting. Etika yang dibangun dari ‘jaringan baik-buruk’ itupun mestinya terbuka untuk ‘dibuktikan salah’ juga. Kaum berkata-kata, jika tidak mau dibuktikan salah maka ia sebenarnya sedang menebar benih-benih pengkhianatan. Pengkhianatan terhadap apa? Terhadap denyut-dinamika si-‘binatang rasional’ itu. Terhadap dinamika dan dialektikanya si-‘binatang rasional’ dalam mengarungi hidup bersamanya. Kata si-Bung, hanya asyik-masyuk dalam dunia romantika saja. Konsistensi, koherensi, dan mau dibuktikan salah sebenarnya adalah juga dasar-dasar berkembangnya ilmu pengetahuan, bahkan sains dalam arti modern-nya. Kaum berkata-kata yang andalan utamanya adalah romantika[1], ia perlahan bisa-bisa akan mengubur sains sebagai ‘gejala sosial’, contohnya Trump. Di republik? Ada, banyak. *** (13-08-2023)
[1] Apakah termasuk ‘romantika-spiritual”?
1211. W-Mania
15-08-2023
Dalam ilmu jiwa ada yang namanya manic-episode, dan biarlah guru-guru saya di bidang kejiwaan yang menjelaskan. Sayang sebagian besarnya sudah bahagia di alam sana, salam hormat! Tetapi tidak salah-salah amat jika mania di sini dihayati sebagai kegilaan, madness. Kegilaan ini dalam perjalanan sejarah manusia akan selalu membayang, paling tidak jika mengingat pendapat Spinoza, desire is the essence of a man. Hasrat laksana kuda –bahkan kuda liar, dan sering tidak manut dengan sais-nya, dengan nalar-nya. Maka pula kita mengenal, katakanlah, M-mania, megalomania. Ada juga, katakanlah, W-mania, warisan-mania. Sebuah ke-obsesi-an yang sudah melangkah ke-kegilaan akan bermacam warisan, bermacam hal mewujud sebagai sebuah warisan yang mana dengan itu namanya akan selalu dikenang. Maunya. Hasrat akan kekekalan yang sudah mulai bergejolak.
Yang membedakan rejim demokrasi dan rejim-rejim lainnya salah satunya adalah soal ‘kekekalan’ ini. Dalam rejim demokrasi, kekuasaan itu paradigmanya: tidak kekal. Horisonnya adalah ‘kematian rejim’. Dan ‘kematian’-nya merupakan urusan publik, res-publika. Bagi yang sedang mengelola kekuasaan, kematian rejim-nya semestinya tidak membuat takut, cemas mungkin saja. Dalam ke-cemas-an itu maka akan ada ruang untuk membuat keputusan-keputusan dengan bermacam pertimbangan-pertimbangan. Tetapi jika ketakutan yang dominan, bisa-bisa ruang untuk membuat pertimbangan itu akan menyempit. Dan ruang yang sudah sempit itu bisa-bisa akan digunakan untuk ‘kepuasan diri’ lebih dahulu –untuk ‘menyelamatkan’ diri lebih dahulu, sedangkan ‘kepuasan publik’ menjadi nomer sekian.
Politik riil -sebagai perbandingan dari politik ideal, adalah pertama-tama berurusan dengan ‘yang masih bisa dicapai’. Di seberang batas apa yang masih bisa dicapai itu ada ‘bintang’ yang terus bersinar di antara beribu kemungkinan, ‘bintang penuntun’ di tengah gejolak samudera kemungkinan. Termasuk juga kemungkinan yang sedang mau dicapai dalam politik riil. Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya juga memuat sila-sila Pancasila adalah ‘bintang penuntun’ itu, leitstar. Sehingga apapun itu, apa-apa yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 ia juga bisa ‘menegur’, ‘mengingatkan’ gejolak dalam politik riil. Jika politik adalah salah satu dari intrumen penting dalam membangun kemajuan, maka ‘apa yang masih bisa dicapai’ adalah itu adalah juga soal ‘memajukan’ batas. Batas-batas yang bisa dibayangkan untuk masih bisa dicapai, dan terus menerus ‘dimajukan’ mendekati si-bintang penuntun.
Maka ketika si-pengelola kekuasaan itu tiba-tiba saja terjangkit gejolak hasrat bahkan kegilaan akan kekekalan, demokrasi pada dasarnya akan ada dalam bayang-bayang kebusukannya. W-mania akan tanpa sungkan-sungkan lagi mengorbankan urusan-publik, res-publika. W-mania akan juga membuat para penjilat semakin dekat dan semakin banyak. Karena W-mania itu katakanlah juga masih sepupu dengan M-mania. Asal puja-puji ditebar maka akan diajak pula dalam ‘keagungannya’. Komplit dengan rejekinya. W–mania bagi publik justru berarti rusak-rusakan. Tak jauh-jauh amat dari daya rusak seorang dengan M-mania. *** (15-08-2023)
1212. Lik Kio Ogah Cuti
16-08-2023
Pak Tholé siap-siap budhal nang Balé Déso, ono tanggapan péntas seko Pak Lurah Mukidi. Lumayan iso nggo mbayar listrik sesasi. Karo siap-siap Pak Tholé omong nang Mak’é Tholé: “Lik Kio[1] cuti sik waé yo Mak, lèrèn dhisik. Karo Sis Pini[2] waé ...”
“Waah nèk kuwi omong dhéwé Pak. Langsung nang Lik Kio waé ... Kiiii lho Lik Kio-né ..... ,” Mak’é Tholé karo nggendong Lik Kio nyedhak Pak’é Tholé.
“Lik …, kowé nang omah waé ... Lèrèn, istirahat ....” Pak Tholé omong karo Lik Kio. Lik Kio gèdhèg kenceng. “Iki maksudé opo?” Pak Tholé takon nang Mak’é Tholé.
“Ogah .....,” jawab Mak’é Tholé singkat karo mèsem geli.
Pak Tholé mbalèni ujar: “Dino iki karo Sis Pini waé, Lik Kio istirahat, lèrèn nang omah ..... Cuti ...”
Manèh, Lik Kio gèdhèg tambah kenceng. “Ogah ...” Mak’é Tholé njelaské karo rodo ngampet ngguyu. Ngikik sithik, ik ... ik ... ik.
Pak Tholé ndelok jam, terus waé ngajak Sis Pini lan asistèn budhal nang Balé Déso, Mak’é Tholé karo Lik Kio ditinggal nang omah: “Tulung Lik Kio dikandhani manèh. Cuti waé sik ...”
Mak’é Tholé njawab: “Okélah kalo begitu .....”
Pak Tholé karo rombongan cilik sirkus mini terus numpak angkot. Sedhélok waé wis tekan Balé Déso. Pak Tholé ndelok jam, jebul kegasiken. Jamé kepunjulan sak-jam-an, bedo karo jamé asistèn sing pas maknyus. Mampir tuku pisang nggo Sis Pini terus ménggok nang Mie Ayam Yu Yatmi ngejak sarapan asistèné.
Tekan Mie Ayam jebul wis podho kumpul sak gerombolan, Likwan, Totok, Kang Yos, Cak Babo, lan Koh Bos. Yu Yatmi langsung unjuk akrab: “Lho Pak Tholé kok gasik?”
Jawab Pak Tholé: “Iyo Yu, kegasiken. Jamé kesregepen maju sak jam ..”
Kang Yos nimbrung: “Lik Kio kok ora diajak?”
Pak Tholé: “Iyo Kang, Lik Kio lagi cuti ....” Cak Babo ujug-ujug waé inguk-inguk ndelok nang dalan: “Lho Pak, kaé sopo?”
Pak Tholé njur mèlu-mèlu inguk-inguk : “Lha kaé kan Mak’é Tholé karo Lik Kio ....” Pak Tholé terus kongkonan asistèn mapag Mak’é Tholé sing nggéndong Lik Kio.
Mak’é Tholé mèlu mlebu warung, langsung waé Koh Bos takon: “Omongé Bapaké Lik Kio cuti Mak ...”
Mak’é Tholé: “Lik Kio pancèn angèl kandanané Koh, njaluké mèlu waé ... coba ki takoni dhéwé Koh ...”
Koh Bos karo pecingas-pecingis omong karo Lik Kio :”Ora gelem cuti yooo ....”
Lik Kio terus gèdhèg kenceng. Totok terus nyambung takon nang Mak’é Tholé: “Maksudé kuwi opo Mak?”
“Maksudé Lik Kio Tok?” Mak’é Tholé mestèké.
“Hè’èh Mak ...”
“Maksudé: Ogaaah ...!” jawab Mak’é Tholé.
Cak Babo sing lungguh cedhak Mak Tholé langsung ngelus-elus gundulé Lik Kio sing isih digendong Mak Tholé: ”Ogah cuti yaaa ....”
Lik Kio nunjuk pisang sing nang mejo karo terus gèdèg kenceng. “Ogaaah ....,” Totok sing nerjemahké.
Mak’é Tholé terus mèlu pesen mie ayam karo mothès gedang loro nggo Lik Kio, karo kasih penjelasan: “Lik Kio kuwi nèk ora cawé-cawé terus malah gatelen Tok …”
“Gatel sak awak Mak?”
“Hè’èh Tok, luwih-luwih cedhak selakangan karo sekitar ngisor irung …”
“Tenané Mak …”
“Tenan kui Tok … Wis apal aku … Lha kuwi kan wis garuk-garuk irung … Nèk jebul tenan ora mèlu pèntas, wis garuk-garuk selakangané iso-iso ora mandek-mandek … ”
Ujug-ujug waé HP-né Pak Tholé muni: “Hallo, ooo Pak Lurah, pripun ..., nggih ... nggih... Lakonipun?” Pak Tholé njawab telpon karo manthuk-manthuk. Kétoké Pak Lurah Mukidi takon opo sing dadi lakoné ngko pas péntas. Kang Yos unjuk usul terus bisik-bisik nang Pak Tholé, diteruské Pak Tholé nang Pak Lurah Mukidi: “Lakonipun Pak Lurah ... meniko ... : Lik Kio Ogah Cuti ....” *** (12-03-2019 - 16-08-2023)[3]
[1] Soal Lik Kio meniko monggo dipun waos : “Pinokio Numpak KRL” wonten ing https://www.pergerakankebangsaan.com/232-Pinokio-Numpak-KRL/
[2] Sis Pini meniko adikipun Lik Kio, namung bènten ibu
[3] Versi asli: https://www.pergerakankebangsaan.com/236-Lik-Kio-Ogah-Cuti/
1213. Membunuh Jiwa Di Atas Jembatan Keledai
16-08-2023
Ternyata tidak hanya sebuah partai politik yang ‘sedang dibunuh’[1], tetapi adalah sebuah ‘jiwa’. Sesuatu bisa menjadi penting ketika ada di atas ‘jembatan keledai’ karena menurut Ernst Cassirer kita adalah juga animal symbolicum. ‘Jembatan keledai’ padanannya dalam bahasa Inggris adalah mnemonic, me-ji-ku-hi-bi-ni-u misalnya, adalah ‘jembatan keledai’ untuk mengingat warna-warna, atau kalau orang sono akan bilang Richard Of York Gave Battle In Vain. Atau lihat bagaimana orang bisa menjadi begitu sensitif-nya terkait dengan simbol-simbol negara itu. Kadang simbol-simbol itu bisa mewujud sebagai mitos, atau juga tokoh, pejuang. Biasanya masing-masing komunitas mempunyai ‘pejuang organik’-nya sendiri-sendiri, demikian juga suatu bangsa. Atau sebuah gerakan. Suka atau tidak, sosok Bung Karno telah menjadi salah satu ‘jiwa’ yang ada di atas ‘jembatan keledai’. Melalui si-Bung –salah satunya, banyak dari kita dengan cepat menangkap bagaimana dinamika merebut kemerdekaan. Dan tentu juga menjadi salah satu inspirasi mengapa kemerdekaan itu harus dipertahankan. Bahkan ‘eksternalisasi’ dari bermacam pemikiran si-Bung masih saja mampu menggetarkan banyak pihak. Tentu si-Bung tidaklah sempurna, nobody perfect, tetapi ke-tidak-sempurnaan-nya belumlah mampu mengubur bermacam lontaran ide-idenya. Bahkan dengan ketidak-mampuan dari ‘penerus-penerus’-nya untuk ‘mengobyektifisir’ dan mendorong ‘internalisasi’ dari ide-ide si-Bung pun belum juga mampu mengubur si-Bung. Atau kalau memakai istilah Karl Polanyi tentang double movement, si-Bung paling tidak dari ide-semangat-jiwanya, selalu akan ditemukan di salah satu sisinya.
Sayangnya memang, yang mengklaim sebagai ‘pewaris’ si-Bung itu –terutama yang ada di atas ‘permukaan’, kemampuan utamanya adalah ‘jualan’ nama si-Bung saja. Dalam politik praktis, si-Bung hanya digunakan untuk meraup suara saja. Salahkah itu? Tidak juga, masalahnya setelah suara diraup, tidak pernah mengucapkan terimakasih sedikit-pun pada si-Bung. Buktinya? Bahkan ketika menang-pun terlalu banyak ide-ide si-Bung yang ditinggalkan dengan enteng-enteng saja. Seakan-akan jika sudah membuat patung si-Bung, atau dibuatkan patung raksasa si-Bung itu sudah menjadi ucapan terimakasih. Bisa juga sih itu jadi ucapan terimakasih, tetapi kapan beranjak dewasa-nya? Umur boleh melampaui umur si-Bung, tetapi penghayatan akan sebuah ide-ologi seperti masih anak-anak saja. Maunya yang langsung masih bisa diraba-raba saja.
Tetapi bahkan dengan bermacam hal di bawah ‘standar’ seperti di atas, si-Bung ternyata tetap saja masih ‘mapan-gentayangan’ di ‘dunia ketiga’-nya popperian itu. Yang ketika situasi kongkret tiba-tiba saja berubah drastis terutama ketika ancaman kedaulatan semakin mendekat, si-Bung dkk bisa-bisa saja akan kembali ke ‘dunia satu’-nya popperian melalui penghayatan patriotik-nya perlawanan. Maka kemungkinan bahwa ‘petugas partai’ itu tidak saja berkhianat menjadi ‘pembunuh partai’, tetapi adalah juga ‘pembunuh jiwa’ tetaplah ada. Tidak hanya partai yang dikhianati, tetapi juga republik. Karena ini soal penguasaan, dan sejarah selalu akan menorehkan –dulu, sekarang, atau masa datang, bagaimana seorang pengkhianat itu akan selalu ada. *** (16-08-2023)
1214. Sopan Santun
16-08-2023
Bagaimana seorang pelukis dengan alam pikiran mitis menggambarkan sebuah sopan santun? Apakah berbeda penampakannya dengan yang alam pikiran ontologis? Dan dengan alam pikiran fungsionil? Tulisan ini berdasarkan buku Strategi Kebudayaan-nya C. A. van Peursen, diterjemahkan oleh Dick Hartoko, terbit pertama kali dalam bahasa Indonesia tahun 1976.
Ke-sopan-santun-an dalam penghayatan mitis bisa-bisa begitu menyihirnya. Bahkan tanpa sadar telah membagi hidup bersama dalam kelas-kelas yang berbeda. Bagi rakyat biasa, kesopanan kaum bangsawan bisa-bisa dirasakan sangat jauh untuk digapai. Apalagi segala tata-santun di istana. Tetapi yang mau ditekankan di sini bukanlah baik-buruknya, tetapi bagaimana hal sopan santun itupun bisa juga hadir dalam penghayatan mitis, dengan penuh sihir-sihirnya. Sopan santun akan selalu melibatkan bahasa, baik verbal maupun bahasa tubuh. Maka pada dasarnya bagaimana sopan santun itupun tidak akan lepas dari konteks. Dalam konteks komunitas A, memegang kepala orang lain itu tidak ada urusannya dengan sopan santun, sedang di tempat lain bisa-bisa tidak sopan.
Tetapi meski akan ada dalam konteks, sebagian tutur dan gerak sopan akan diterima begitu saja seakan sebuah mitos. Taken for granted, dijalankan saja. Pergeseran-pergeseran tentu akan terjadi juga, terlebih ketika personalitas other directed semakin kuat hembusannya dibanding inner directed seperti dipotret oleh Reisman dkk dalam The Lonely Crowd: A Study of the Changing American Character (1950). Bagaimana sopan santun dalam konteks politik? Dalam ranah politik? Dalam ranah kuasa-negara?
Mungkin kita bisa mulai dari ungkapan Theodore Roosevelt (1858-1919), presiden AS ke-26, yang mengatakan bahwa ‘politeness is a sign of dignity, not subservience’. Dan memang dalam konteks politik ternyata sopan santun tidak hanya sekedar sopan dan santun saja. Mungkin memang pada awalnya adalah soal ‘sihir’, soal ‘mitos’ sopan santun, tetapi dari waktu ke waktu orang akan bertanya-tanya, apa hal esensial di belakang sopan santun itu? Dan lebih lanjut, bagaimana itu akan dioperasionalkan? Penghayatan akan sopan-santun di ranah politik akan melibatkan penghayatan mitis, ontologis, dan fungsionil. Orang pada awalnya bisa-bisa akan tersihir dengan kata-kata sopan dan santun ketika si J menjelaskan bahwa tidak akan ada penggusuran. Tetapi bagaimana jika sehari kemudian ternyata terjadi sungguh itu penggusuran?
Maka benar kata Roosevelt di atas, kesopanan adalah sebuah tanda dari kemartabatan. Dan bukan tanda dari kemunafikan, mestinya. Tentu dalam politik tidak akan steril dari tipu-tipu, tetapi ketika tipu-tipu itu seakan sudah tidak tahu batas lagi, ‘kualitas’-nya bisa-bisa akan terhayati sebagai yang tidak bermartabat lagi. Dan bagaimana orang yang tidak paham soal batas, tidak paham soal martabat, tidak paham soal kehormatan, masih saja sok-sok-an bicara soal sopan santun di ranah res-publika? *** (16-08-2023)