1340. Kemampuan Tatap Muka
31-12-2023
Bagi Hannah Arendt –jauh sebelum sosial media ada, ‘tindakan’ sebagai salah satu ‘vita activa’ akan memungkinkan sebuah ‘kelahiran kembali’. ‘Tindakan politik’ itu memang utamanya adalah bicara. Tetapi jelas juga sebenarnya tidak ‘asal bicara’ sebab jika dilihat lebih jauh, bicara, berbahasa itu dari sono-nya akan selalu didahului dengan berpikir. Tetapi sebagian besar hidup kita jalani dengan modus taken for granted, termasuk juga dalam berbahasa. Menggunakan bahasa sebagai yang ready-to-hand (Heidegger) saja. Maka jika kita seakan ada dalam situasi ‘jeda’, kemungkinan masuknya keberpikiran dalam berbahasa –bahasa sebagai yang present-at-hand, mestinya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, sehingga hal tersebut bisa benar-benar menjadi bagian dari sebuah ‘tindakan politik’.
Jika epigenetic menyelidiki bagaimana pengaruh lingkungan dalam dinamika dunia super-kecil genetika, bagaimana dengan oralitas yang sudah mengiringi sejarah evolusi manusia, paling tidak sejak 50.000 tahun lalu? Maka yakinlah bahwa soal oralitas ini tidak akan ‘tenggelam’ begitu saja dengan berkembangnya oralitas sekunder yang adanya dideskripsikan oleh Walter J. Ong. Bahkan ‘oralitas primer’ itu akan dirasakan lebih genuine[1] dibandingkan ‘oralitas sekunder’. Yang dimaksud dengan ‘oralitas sekunder’ bisa dibayangkan ketika seorang pembaca berita menyampaikan berita secara oral dengan membaca teks. Atau kalau kita membayangkan ‘tiga-dunia’-nya popperian, apa-apa yang muncul dalam ‘oralitas-primer’ itu akan ‘terlempar’ dalam dunia ke-3, dan dengan kemampuan persepsi manusia kemudian di ‘lekatkan’ pada dunia-1, entah melekat dalam kertas, atau perangkat elektronik-digital, dan kemudian di-oral-kan dalam ‘oralitas sekunder’.
Apa yang mau disampaikan di sini adalah bagaimanapun oralitas itu sudah begitu dalamnya terikat dalam ‘DNA’ kita, dan suka atau tidak, seakan kita akan selalu ‘merindukan’-nya. Maka ‘tindakan politik’ seperti disinggung di awal tulisan yang lekat dengan bicara itu, akan lebih ‘mengasyikkan’ jika terjadi dalam peristiwa ‘tatap-muka’ –modus komunikasi face-to-face atau man-to-man, dimana oralitas akan mendominasi. ‘DNA’ kita jauh di lubuk terdalamnya selalu siap untuk menyambutnya.
Apalagi di modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet yang sudah begitu merebaknya ini juga banyak kepengapan dengan hadirnya bermacam ‘simulasi’, atau lihai-licik-nya sebuah propaganda.[2] Atau akun Ismail Fahmi yang bisa menjadi masukan tentang cybertroop, atau juga computational propaganda, bagaimana orkestrasi atau juga fabrikasi bermacam isu begitu berkembangnya di dunia digital itu. Tetapi bagaimanapun juga hadirnya dunia digital itu adalah fakta, dan kita akan menjalani hidup dengan selalu akan dibayangi-lekat dengan dunia itu. Maka meski ada kepengapan karena bermacam hal seperti disebut di atas, tetaplah akan ada ruang-ruang besar untuk mengembangkan hidup bersama ke arah yang lebih baik. “Selamat datang di dunia kami,”[3] demikian reply salah satu akun menyikapi ‘kegagapan’ Ismail Fahmi di dunia ‘tik-toker’.
Maka pada masanya bermacam ‘reality show’ akan menyedot perhatian –bahkan sejak awal-awal televisi mulai merebak, Candid Camera itu pertama tayang tahun 1948. Atau dalam dunia sosial media bagaimana keinginan mengunggah aktivitas sehari-hari, itu juga sebuah ‘reality show’. Dan apa ‘reality show’ paling mendasar dalam ‘tindakan politik’? Adalah peristiwa ‘tatap muka’. Ketika oralitas menjadi ‘bintang-tayangan’-nya. Bagaimana kemampuan sebuah oralitas dalam peristiwa tatap muka itu akan menjadi ‘latihan’ bagi khalayak, entah itu warga-lokal yang dekat dengan peristiwa itu maupun, katakanlah: netizen, ketika peristiwa itu diunggah di dunia digital-internet. ‘Latihan’ dalam membangun persepsi tentang siapa yang layak jadi pemimpin.
Dalam oralitas, dalam komunikasi tatap-muka, Albert Mehrabian menunjukkan bahwa bahasa tubuh akan sangat berpengaruh, kemudian intonasi, baru kemudian isi dari pembicaraan dalam berhasilnya sebuah komunikasi. Tetapi Walter J. Ong juga menunjukkan bagaimana sebuah oralitas itu lekat dengan soal ‘mempersatukan’. Berbeda dengan melalui teks misalnya, yang lebih cenderung untuk ‘memecah belah’. Tetapi jika beberapa ‘kubu’ saling bertemu dan memaksimalkan kemampuan oralitasnya, maka jangan-jangan akan ada benturan keras karena masing-masing kubu akan semakin ‘disatukan’ melalui kemampuan oralitas masing-masing. Maka di sini kita bisa ingat soal hadirnya etika dalam sebuah peristiwa tatap muka, face-to-face dari Levinas. Wajah-wajah yang hadir dalam peristiwa tatap-muka itu menurut Levinas seakan juga ‘menuntut’ tanggung jawab dari ‘yang lain’. Seakan wajah-wajah itu mengatakan: “jangan bunuh aku …” Maka yang paham etika dalam satu komunikasi tatap-muka, dalam sebuah debat misalnya, mungkin ada taktik –meski ini ada dalam level terendahnya, menanyakan soal singkatan pada lawan debat yang dipastikan lawan debat tidak tahu. Dan ada yang bilang itu sah-sah saja, meski sekali lagi itu ada di level terendah dalam ‘ilmu komunikasi’ perdebatan. Tetapi jika diteruskan dengan olok-olok? Sudah level permainannya ada di level terendah, masih saja tanpa beban melanjutkan dengan olok-olok. ‘Politisi’ jenis ini dapat dipastikan ia belum paham soal etika.
Maka jika kembali ke judul, kemampuan tatap muka dalam sebuah ‘tindakan politik’ itu menjadi dimungkinkan untuk mendorong sebuah ‘kelahiran kembali’ jika dan hanya jika ‘air ketuban’-nya adalah etika. Dengan hadirnya etika, oralitas akan menampakkan kecantikan dan kekuatannya. Bahkan jika itu kemudian ‘dilempar’ dalam dunia digital-internet sekalipun. *** (31-12-2023)
[1] really proceeding from its reputed source", https://www.etymonline.com/word/genuine
[2] Lihat misalnya ‘laporan’ dari Narasi Newsroom, Menguak Propaganda Asing untuk Penonton YouTube di Indonesia, https://www.youtube.com/watch?v=6CPfN5hONM4
[3] https://twitter.com/dailyshansine/status/1741260014759850407
1341. Para Pencipta Monster
01-01-2024
Ketika Woodrow Wilson sebagai presiden AS mau terlibat dalam Perang Dunia I di Eropa sono, ia perlu dukungan rakyat. Rakyat AS yang sebenarnya apatis-enggan terlibat dengan perang di Eropa itu. Dan dalam kampanye pemilihannya Wilson memang juga banyak menawarkan soal perdamaian: jangan ikut-ikutan perang. Untuk itulah kemudian dibentuk apa yang dikenal sebagai Komite Creel, karena diketuai oleh George Creel. Tugasnya cuma satu, mencari dukungan rakyat AS saat itu untuk mau mendukung AS ikut-ikutan perang di Eropa sono. Dalam hitungan bulan, Komite Creel berhasil mengubah rakyat AS saat itu, dari apatis-anti perang menjadi begitu keranjingannya mendukung Woodrow Wilson untuk mengirim pasukan perang-nya ke Eropa, membantu pihak sekutu terutama Inggris. Dari peristiwa tersebut, segala strategi dan taktik Komite Creel, lahirlah kemudian apa-apa yang kita kenal sebagai ‘konsultan politik’ sekarang ini.
Tetapi apakah ada hal baru dalam ‘strategi dan taktik’ Komite Creel saat itu? Yang baru adalah pe-maksimalan modus komunikasi man-to-mass yang sudah berkembang saat itu, melalui pamphlet, radio, film. Baru dalam soal menyebarkan ‘monsterisasi’. Baru soal bagaimana sebuah ‘monster’ diciptakan, dan kemudian dimainken. Jauh sebelum modus komunikasi man-to-mass merebak, para ‘monster’ diciptakan dan diteruskan secara turun-menurun sehingga terbentuklah sebuah ‘mitos’, melalui modus komunikasi man-to-man. Ada ‘mitos’ terkait adanya para monster, ada ‘mitos’ juga tentang ‘yang baik’, dan seterusnya.
Tetapi apakah ‘paradigma monster’ ini akan selalu berhasil? Meminjam alur pikiran Noam Chomsky maka kita bisa menjawab, sangat mungkin akan berhasil jika diantara khalayak kebanyakan masih begitu minimnya kesempatan untuk ‘yang satu’ tahu apa yang menjadi sentiment ‘yang lain’. Kalau memakai istilah jaman now, orkestrasi dan fabrikasi isu ‘monster’ itu benar-benar memang menjadi monopoli dari satu pihak, dan biasanya itu adalah penguasa yang diuntungkan dengan adanya si-‘monster’. ‘Monster’ yang akan memberikan ‘rasa takut’ dan sekaligus dalam waktu-waktu tertentu akan menjadi ‘kambing hitam’. Dan seakan berjalan ‘tanpa lawan’ berarti, dalam dominan-nya modus komunikasi man-to-mass.
Tetapi yang harus diingat adalah ‘monsterisasi’ itu bagaimanapun pastilah ada peristiwa kongkretnya. Sebagaimana sebuah ‘mitos’, pastilah di ujung jauuuh sana ada peristiwa kongkretnya. Seperti ‘kegilaan-kegandrungan’ akan ‘mobil-nasional’ a la ‘mobil esemka’ pada suatu masa, itu pastilah ada ‘prototipe’-nya. Apapun itu yang kemudian dibaptis sebagai ‘prototipe’ –dengan tabur air-bunga segala, bahkan jika itu ‘prototipe’ tipu-tipu sekalipun.
Mengapa menulis soal ‘monster’ ini? Karena peristiwa pengusiran kasar oleh gerombolan ‘mahasiswa’ di Aceh sana beberapa waktu lalu, dan setelah itu nampak mereka lonjak-lonjak kegirangan seakan sedang menari-nari, itu bukanlah penampakan yang biasa-biasa saja. Itu adalah salah satu penampakan bagaimana para ‘pencipta monster’ itu masih gentayangan-aktif di republik! Para ‘pencipta monster’ yang begitu menikmati ‘khasiat’ dari hadirnya bermacam monster saat mereka ‘besar’ di modus komunikasi man-to-mass. Apakah cukup dengan menunjukkan bahwa mereka-mereka para ‘dedengkot pencipta monster’ itu pada akhirnya akan tersapu oleh kekuatan ‘inter-subyektif’ dalam dunia modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet? Sebaiknya kita jangan berpikir seperti itu, sebab ketika mereka ada di ujung jurang batas-tumpulnya imajinasi ‘monster’, mereka akan tidak sungkan lagi menciptakan ‘monster’ sungguhan melalui kekuatan kekerasan. Yang pegang senjata itu riil, demikian juga senjatanya juga riil. Se-riil peluru-peluru-nya. Maka sebelum sampai pada yang terakhir ini, segera saja para ‘pencipta monster’ ini ditaklukkan pada dunia riil juga, dunia pemilihan yang sedang hadir di depan mata kita semua. Jangan sampai rejim ‘para pencipta monster’ ini masuk ke ‘fase stabilisasi rejim’-nya. Jika itu yang terjadi akan terlalu mahal yang harus dibayar oleh segala anak bangsa. Jika ‘rasa takut’ tetap menjadi ‘resep-untuk-berkuasa’, ‘kecerdasan kolektif’ pastilah akan sulit berkembang. Yang ujung-ujungnya adalah juga ‘kecerdasan masing-masing’ akan terganggu juga berkembangnya. Mau jadi bodoh-dibodohi permanen? *** (01-01-2024)
1342. 70 Triliun dan Tutupnya Kantor Pos
02-01-2024
Ketika terjadi ‘kekacauan’ pengiriman dan coblosan surat suara ke Taiwan bagi pemilih luar negeri, kepala negara dan kepala pemerintahan itu menjawab karena ada ketakutan kantor pos tutup. Bagi penulis atau juga bagi banyak pihak, hal ini semestinya menjadi perhatian serius bagi warga negara, dan sekaligus juga para pembayar pajak. Sama seperti kita harus menaruh perhatian lebih terhadap laku gerombolan ‘mahasiswa’ yang mengusir dengan kasar pengungsi di Aceh beberapa waktu lalu. Jangan biarkan ke dua peristiwa ini –paling tidak, berlalu saja tanpa upaya melihat apa-apa yang ‘tersirat’ atau masih ‘tersembunyi’.
Kemungkinan adanya ‘skenario’ kecurangan yang sedang menguak-diri kita ‘tunda’ lebih dahulu, tetapi kita lihat itu sebagai sebuah ‘respon’ dari sebuah peristiwa. Apakah ‘respon’ terkait dengan carut-marut pengiriman surat suara itu cukup dengan hal yang begitu mudah-nya dipatahkan argumentasinya? Netizen misalnya, cukup dengan menyodorkan informasi bahwa tanggal 2 Januari kantor pos di Taiwan sudah buka maka argumentasi atau ‘respon’ itu dengan mudah ‘digugurkan’. Mungkin di balik si-pemberi ‘respon’ terkait dengan begitu mudahnya argumentasi-nya digugurkan akankah ia berpikir: so what gitu loh …? Atau, pala lo péyang!
Apapun itu, dari hal di atas kita juga bisa membayangkan sebuah pertanyaan, bagaimana adanya ‘pembayar pajak’ di rejim monarki/tirani, atau di rejim aristokrasi/oligarki, atau di rejim demokrasi akan dihayati oleh yang sedang berkuasa? Akankah di rejim monarki/tirani soal pajak ini akan terhayati sebagai ‘upeti’? Apakah di rejim aristokrasi/oligarki soal pajak juga terhayati tak jauh-jauh amat sebagai ‘upeti’ ketika adanya mereka lebih ‘terserap’ dalam ‘logika’ monarki/tirani? Bagaimana rejim demokrasi akan menghayati adanya pajak?
Jelas bukan seperti contoh di awal tulisan. Dalam rejim demokrasi, pajak adalah pajak, bukan ‘upeti’ dan bagi yang sedang berkuasa dari aspek pajak ia tidak hanya pengumpul pajak, tetapi juga pengelola pajak. Tetapi jika kita membayangkan adanya ‘lembaga’ pengumpul dan pengelola pajak ini maka mestinya ini akan juga melibatkan ‘kondisi politik’, ‘kondisi teknis’ dan ‘kondisi sosial’-nya. Yang dimaksud dengan ‘kondisi politik’ adalah kita sebagai negara-bangsa merdeka maka punya hak untuk menetapkan keputusan soal pajak ini, termasuk payung hukumnya. ‘Kondisi teknis’ kita punya lembaga khusus perpajakan bahkan bertingkat-tingkat ke bawah. Juga punya ahli-ahli perpajakan-nya. Bagaimana dengan ‘kondisi sosial’-nya? Sebagian besar warga negara -sadar atau tidak, penerimaan terhadap adanya bermacam pajak nampaknya sudah menjadi keseharian. Soal kepatuhan sebagian besarnya juga sudah patuh. Beli rokok-pun sudah patuh meski ada cukainya. Tetapi apakah ‘kondisi sosial’ dalam konteks pajak ini hanya ada pada si-wajib pajak? Nampaknya tidak, ia mestinya juga terkait erat dengan si-pengumpul dan pengelola pajak. Seperti contoh di atas misalnya, semestinya memberikan jawaban bukan dengan asal njeplak, bukan asal mangap –yang dalam waktu kurang dari 24 jm dengan telak dapat digugurkan, karena kegiatan pemilihan umum ber-biaya 70 triliun itu dibiayai oleh pembayar pajak.
Maka peristiwa di atas, peristiwa asal njeplak, asal mangap, yang tidak hanya kali ini tetapi berulang dan berulang, itu mengindikasikan bahwa si-pemungut dan pengelola pajak itu merasa tidak sama ‘kondisi sosial’-nya dengan si-pembayar pajak. Mungkin ‘kondisi sosial’-nya adalah imajinasi soal ‘kerajaan’, monarki. Sehingga itu dihayati bukan sebagai pajak tetapi ‘upeti’. Hanya raja yang boleh asal njeplak, asal mangap. Dan berulang-ulang pula, tanpa beban lagi. Maka dapat dipastikan republik di tangan pemimpin seperti itu, peradaban tidak akan berkembang, bahkan potensi mungkret-nya semakin besar. Peradaban berkembang menurut Toynbee, karena adanya tantangan dan respon. Bagaimana jika respon-nya terlalu sering menampakkan sebagai yang asal njeplak dan asal mangap? *** (02-01-2024)
1343. Pemilihan dalam "The Space of Places/Flows"
04-01-2024
Manuel Castells membedakan antara the space of places dan the space of flows. Dalam konteks rentang waktu pemilihan, the space of places itu bisa dicontohkan seperti peristiwa Desak Anies, misalnya. Desak Anies yang ada dalam ‘dunia fisik’ dimana kita hidup makan-minum-buang air besar/kecil sehari-hari. Sedangkan the space of flows ketika menyeruak Anies Bubble, yang boleh dikatakan ada di kanan-kiri kita, sehari-hari pula. So what gitu loh ….
Apa yang terjadi ketika pengetahuan mulai bisa ditransfer melalui gambar-gambar di dinding-dinding gua? Atau ketika masuk era manuskrip? Dan kemudian masuk ke era cetak-massal? Ketika telegram-telepon-radio-film-televisi kemudian berkembang? Dan akhirnya kita masuk ke era komunikasi digital-internet? Dan bagaimana kemudian kita menghayati ‘dunia obyektif’ sekitar kita? Apakah persepsi kita atas dunia sekitar harus selalu diuji-ulang untuk menakar ‘ke-obyektifannya’? Tetapi bukankah ‘aliran inter-subyektifitas’ dalam the space of flows itu akan menemukan sendiri apa yang bisa dikatakan ‘obyektif’ itu? Ketika bermacam persepsi itu dikomunikasikan satu sama lainnya? Saling cek-ricek satu sama lain. Kadang kita menjumpai analisis dimana berkembangnya kafe-kafe di Perancis sono dulu sekali itu juga merupakan bagian erat dari merebaknya Revolusi Perancis. Dan bukankah sekarang the space of flows itu juga menyediakan bermacam ‘kafe-kafe digital’-nya?
Atau bisakah kita bayangkan bahwa merebaknya produk cetak sejak Guttenberg itu juga sebuah ‘flows’? Sebuah ‘flows’ yang ‘mampir’ ke ‘nodes-nodes’, salah satunya di kafe-kafe doeloe sekali itu, di Perancis sebelum Revolusi Perancis? Yang beberapa dekade sebelumnya ada cerita ketika pedagang saat ditemui oleh petinggi kerajaan dan ditanya apa yang bisa kerajaan bantu, pedagang itu menjawab: laissez-nous faire.
Beberapa hal di atas bisa juga kemudian memberikan pertanyaan, bagaimana persepsi kebanyakan orang terhadap apa-apa yang bergejolak di ‘basis’, gejolak relasi-relasi kekuatan produksi yang ada di ‘basis’? Terlebih yang namanya ‘basis’ itupun jika dilihat di jaman now, bahkan volume yang ada di ‘space of flows’ itu besarnya sudah berkali lipat dibanding dengan yang ada di ‘space of places’. Mungkin ada baiknya kita ingat apa yang pernah disampaikan oleh David Korten, 20 tahun lalu: “We humans live by stories. The power of the right-wing comes not from their numbers, which are relatively small, but from their ability to control the stories by which we answer three basic questions. How do we create prosperity? How do we achieve security? And how do we find meaning? By monopolizing the stories by which we answer these questions, they define and control the political debate to advance an imperial agenda.”[i]
Ada hal yang bisa kita kembangkan dari kutipan pendapat dari David Korten di atas, salah satunya adalah bagaimana soal ‘we humans live by stories’, dari mana titik berangkatnya? Atau, bukankah jaman now sangat memungkinkan untuk melakukan cek-ricek bermacam dongeng yang seliweran? Sehingga ‘monopoli dongeng’ mendapatkan tantangan beratnya? ‘Monopoli persepsi’ yang akan bertemu dengan bermacam persepsi dalam ruang besar inter-subyektifitas via dunia digital-internet? Apakah dengan itu semua kemudian boleh dikatakan bahwa ‘tipu muslihat’ sebagai salah satu senjata paling kuno manusia –dan bahkan juga binatang, mendapat tantangan seriusnya di jaman now?
Tetapi bagaimana jika persepsi ini dilihat dari kacamata dinamika ‘mirror neuron system’? Sama-sama soal ‘apa yang dialami’, kita memersepsikan sesuatu dengan (vs.?) kita ingin ‘meniru’ sesuatu melalui rute ‘mirror neuron system’ yang ada di otak kita? Maka ‘apa yang sedang kita alami’ menjadi penting di sini, jika kita ada bencana misalnya, persepsi tentang ke-bencanaan bisa macam-macam. Tetapi ketika kita melihat orang-orang dengan sekuat tenaga membantu para korban, bisa-bisa kitapun akan ikut tergerak juga. Atau ketika kita melihat kondisi korban-korban, empati kita dengan serta-merta akan menyeruak ke kesadaran kita. Tidak peduli latar belakang si-korban, bahkan mungkin sekali persepsi tentang siapa korban sebelumnya akan kita tinggalkan lebih dahulu.
Judul tulisan ‘Pemilihan dalam “The Space of Places” dan “The Space of Flows” adalah lebih dalam konteks di atas, persepsi kebanyakan orang itu seakan ‘tidak dalam kendali’ kita,, yang ada dalam kendali adalah bagaimana melahirkan sosok atau sesuatu yang sangat mungkin akan di-mirror-i oleh kebanyakan. Atau katakanlah, artis-artis Kpop atau juga Ruth Sahayana, God Bless, sampai Rhoma Irama. ‘Dalam kendali’ artinya lahir dari proses-proses meritokrasi dan ketrampilan manajemennya. Pemilihan umum adalah upaya untuk melahirkan apa-apa yang akan di-mirror-i itu juga. Tidak sekedar memenangkan hitungan pemilih. Kalau mengambil dari sebuah dialog dalam film (lupa judulnya, maaf), yang dibutuhkan bukanlah seorang raja tetapi adalah pahlawan. Dan siapa pahlawan di Era Pengetahuan –menurut Alvin Toffler, ini? Siapa yang ketika di-mirror-i akan mendorong ‘ikut-ikutan’ berhasrat akan pengetahuan? Sehingga republik akan semakin mampu mengejar bermacam ketertinggalannya? *** (04-01-2024)
[i] https://davidkorten.org/balle-renewing-the-american-experiment/
1344. Saat Para Monster Patroli
05-01-2024
Hampir 800 juta CCTV untuk pengawasan khalayak di berbagai tempat di bumi, dan sekitar 50%-nya ada di RRC. Apakah kita sedang masuk era “Big Brother”-nya George Orwell? Tetapi apakah hanya karena sebaran CCTV itu kemudian kita merasa tidak bebas? Bagaimana dengan ‘para monster’ yang seakan terus saja ‘patroli’ dalam kesadaran? Brain-washing itu tidak hanya soal IKN, yang terus saja bertubi-tubi diyakinkan pada khalayak bahwa tanpa IKN Indonesia akan tidak maju. Baik secara verbal maupun dengan ‘main kemah-kemah-an’ itu. Untung saja masih banyak pihak yang waras dan berani melakukan ‘counter-brain-washing’ sehingga khalayak mempunyai ‘alternate universe’-nya.
Tetapi nampaknya ‘alternate universe’ itu akan lebih tidak mudah ketika ‘para monster’ itu membayang lekat dengan bermacam kebutuhan. Dari hirarki kebutuhan Maslow kita bisa juga membayangkan bagaimana ‘para monster’ bisa-bisa akan diciptakan sesuai dengan ‘target’-nya. Ada ‘monster’ yang diciptakan untuk yang masih sibuk memenuhi kebutuhan dasar kebutuhan fisik-nya misalnya. Ada ‘monster’ yang akan mengganggu ‘rasa aman’. Atau bahkan ‘monster-monster’ yang gentayangan untuk memberikan rasa takut akan hilangnya kesempatan ‘aktualisasi diri’. Macam-macam. Dan memang salah satu rute menciptakan ‘monster’ itu adalah lewat –seperti disinggung di atas, brain-washing.
“Brain-washing” paling ‘alami’ adalah ketika bencana dahsyat menerjang, seperti ditunjukkan Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007). Apa yang ditulis oleh Klein itu juga menunjukkan bahwa brain-washing itu akan lebih berhasil ketika dihadapkan pada kematian, baik faktual maupun potensial, seperti disinggung di atas, misalnya soal ketika potensi bermacam kebutuhan akan ‘melenyap’ sesuai dengan ‘imajinasi’ tentang ‘kematian’-nya. Maka memang tidak mudah untuk melawan bermacam gentayangan-nya ‘para monster’ itu. Tidak mudah melawan ketika tebaran ‘rasa takut’ ini ditebar secara massif, sistematis, terstruktur, baik melalui apparatus ideologi maupun apparatus represif negara. Bahkan ketika ditunjukkan fakta-fakta atau katakanlah ‘rekam jejak’ bukan berarti kemudian terus tiba-tiba saja ‘para monster’ itu akan melenyap dalam kesadaran.
Semestinya dengan merebaknya modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet, ‘monster-monster’ dalam kepala itu bisa lebih mudah untuk ‘dikurung’ lebih dahulu. Tetapi melihat apa yang terjadi dalam Skandal Cambridge Analytica, modus komunikasi mass-to-mass ternyata juga menyediakan rute ‘pemeliharaan para monster’, bahkan menyebarkan ‘monster-monster’ baru. Apa yang terjadi dalam Skandal Cambridge Analytica sekitar 8 tahun lalu itu adalah ketika berjuta data pengguna Facebook bocor, maka dibuatlah pengelompokan profil psikologis dari pengguna-pengguna itu. Dan berdasarkan itu dikirimkanlah pesan-pesan yang sudah ‘disesuaikan’ dengan kelompok ‘profil psikologis’-nya. Bagaimana dengan 8 tahun kemudian, sekarang ini, atau ke depan-nya ketika AI sudah semakin berkembang? Apa yang dikenal sebagai ‘deep fake’ itu bisa-bisa akan mempermudah pemeliharaan ‘para monster’ itu. Sekali lagi tidak mudah, kalau mudah-mudah saja maka Gramsci tidak akan mengulik soal ‘intelektual organik’. Atau lainnya mengintrodusir soal ‘partai pelopor’. Atau Paulo Fraire tanpa henti mendorong soal ‘pendidikan kritis’, sekitar 60 tahun lalu. *** (05-01-2024)