1570. Dua Kelas Di Depan Kematian (3)

03--12-2024

Menurut Manuel Castells, di Abad Informasi seperti sekarang ini informasi semakin terlibat dalam pembentukan-perebutan kuasa. Castells menyebutnya sebagai informasionalisme. Ketika Castells mencontohkan Zapatista sebagai contoh bagaimana jaringan internet mampu memperluas perjuangan, sosial media belumlah muncul. Bahkan Wikipedia-pun belum lahir. Apalagi istilah post-truth. Juga belum terbayangkan bagaimana Skandal Cambridge Analytica itu muncul di tahun 2016. Dan pasti pula belum terbayangkan bagaimana Artificial Intelligence bisa-bisa membuat politik menjadi panas-dingin secara instan dengan olah disinformasi yang semakin canggih, misalnya. Maka kitapun bisa membayangkan bagaimana pilihan ‘jalan gampang’ dalam politikpun menjadi semakin banyak. Dan dibalik itu, hasrat untuk semau-maunyapun seakan juga semakin banyak dalam kesempatan. Tanpa beban lagi. Tak mengherankan pula jalan berat dalam membangun etikapun bisa-bisa akan dihindari. Mengapa harus bersusah payah ber-etika? Sinyalir adanya logika waktu pendek telah melampaui ranah media massapun semakin banyak yang meyakini. Contoh gamblang adanya istilah viralisme itu, katanya misalnya, no viral no justice. Padahal setelah moment viral dilalui, ya menjadi lupa lagi. Tetap no justice. Maka gimmick-gimmickpun kemudian beranak-pinak dengan mudahnya, seiring dengan berkembangnya ‘industri’ alih isu itu. Katakanlah kalau memakai contoh Zapatista di atas, Abad Informasi ini tidak hanya mendorong revolusi, tetapi ternyata counter-revolusi juga.

Bahkan ‘kematian-kematian’pun bisa-bisa akan terolah dengan ‘jalan gampang’ juga. Glècènan, gegayaan, sok-sok-an, asal mangap, asal njeplak, adalah sedikit penampakan dari ‘jalan gampang’ itu. Maka ‘kematian’ sebagai kemungkinanpun akan dengan mudah saja diingkari. Apalagi ‘kematian’ republik yang jauh untuk dirasakan pori-pori kulitnya, sesak paru-parunya, dan darah mengucur. Membayangkan sebagai kemungkinan saja menjadi tidak mampu lagi. Seakan ia hidup terlepas dari ‘dinamika’ dan ‘dialektika’nya republik. Dan tiba-tiba saja ‘kematian’ industri tekstil itu seakan hadir di depan hidung, misalnya. Atau ‘kematian’ hutan-hutan karena dibabat habis-habisan, ugal-ugalan. Bahkan ‘kematian’ kepemilikan tanah yang dipaksa ‘mati’ atas nama proyek strategis nasional. Dan banyak lagi ‘kematian-kematian’.

Bukankah hakikat dari kerja mengurus negara adalah melihat lebih dahulu ke depan. Gouverner, c’est prévoir, to govern is to foresee,” demikian pernah ditulis Daoed Joesoef mengutip Emile de Girardin, seorang pelopor jurnalisme modern. Maka bagi seorang negarawan, kematian sebagai salah satu dari kemungkinan-kemungkinan di masa datang tidaklah berhenti pada kematian diri saja, tetapi juga misalnya kematian republik. Dan persis dalam hal inilah mengapa ketika kelas pedagang kepengin juga ada di ruang kemudi, perlu latihan panjang dan keras karena seakan berlawanan dengan kecenderungan dalam diri, seperti sudah disinggung di bagian (2), dimana si-kuda hitam itu digambarkan Platon sebagai yang semau-maunya, cenderung tuli, maka juga: egois, dan maunya meluncur ke bawah saja. Membayangkan kematian yang bukan dirinya memang perlu imajinasi lebih. Si-kuda putih akan lebih mudah terlatih (untuk menjadi negarawan) sebab pada dirinya menurut Platon, ia lebih mau mendengar kata sais, atau nalar/rasio. Tetapi bagaimana jika orang-orang sekitar ternyata bukan yang dekat dengan nalar/rasio, atau katakanlah jika memakai bayangan bagian pertama di jaman old, justru malah kering akan teknokrat? Yang banyak di sekitarnya malah tukang buat gimmick. Sayangnya lagi, yang sering dimasukkan sebagai ‘golongan’ teknokrat itu bertahun perlahan sudah berubah sebagai economic hitman/woman, sudah terlatih dari sononya bahwa perubahan rejim itu kadang memang harus melalui sebuah krisis. Repot memang. *** (03-12-2024)

1571. Saintifik (1)

04-12-2024

Ada banyak pesan dapat dibayangkan dari tulisan Prof. Sumitro Djojohadikusumo, 49 tahun lalu, dalam “Perkembangan Kebijaksanaan Riset”, Prisma No. 6, Desember 1975. Pada tulisan tersebut Prof. Sumitro membedakan teknologi dalam advance technology, adaptive technology, dan protective technology. Advance technology misalnya bagaimana terkuaknya struktur-struktur terkecil dari partikel, misalnya. Atau juga DNA-genetika. Atau juga teknologi ruang angkasa. Dan banyak lagi. Dan semua itu bisa dipertanggung jawabkan. Tetapi apakah kita hidup sehari-hari dalam penghayatan tentang rangkaian DNA itu? Atau ketika makan pakai sendok garpu membayangkan struktur partikel terkecil pembentuknya? Kemajuan atau penemuan dari advance technology jelas semakin memperluas pemahaman kita tentang realitas alam semesta. Tetapi apakah realitas yang dibangun dari bermacam temuan yang advance itu kemudian bisa melakukan dengan sewenang-wenang peminggiran terhadap realitas sehari-hari yang dialami-dihayati kebanyakan orang? Sesuatu yang di luar ‘saintifik’ dalam konteks di atas kemudian menjadi ‘kebenaran’ kelas dua?

Dari pada ‘berkelahi’ di atas lapangan ‘dikotomi’ di atas, kiranya pembedaan Prof. Sumitro terkait adaptive technology bisa menjadi ‘latihan’ dalam membangun jembatannya. “Berhubung dengan pengembangan jenis industri, misalnya, yang harus mengutamakan penyerapan tenaga kerja dan penggunaan bahan setempat, maka teknologi industri harus disesuaikan dengan perimbangan-perimbangan faktor produksi yang tersedia dengan situasi kongkrit yang terdapat di masyarakat yang bersangkutan. Artinya, harus diadakan ‘adaptasi’ dengan perimbangan-perimbangan kenyataan masyarakat itu sendiri,” demikian ditulis Prof. Sumitro.

Bahkan hampir 50 tahun lalu Prof. Sumitro sudah menyinggung soal protective technology, bicara soal kelestarian, pemeliharaan dan konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam: “Dalam hubungan ini menonjol kebijaksanaan untuk pengembangan dan penerapan teknologi yang bersifat protektif (protective technology) agar kekayaan alam mengandung manfaat secara terus menerus bagi kepentingan masyarakat.”

Fokus tulisan ini adalah pada teknologi adaptif. Selain hal-hal yang sudah disinggung di atas, ini adalah soal ‘pembiasaan’, dan bahkan ‘pelembagaan’. Tidak hanya soal ‘prakondisi politis’ atau ‘prakondisi teknis’, tetapi juga ‘prakondisi sosial’. Pelembagaan terkait dengan ‘kekuatan pengetahuan’ pada umumnya, dan bagaimana peran teknologi mampu beriringan erat dengan denyut berkembangnya masyarakat pada khususnya. Bertahun terakhir, bahkan kita tidak hanya tidak melihat strategi dalam hal ini, tetapi justru ‘prakondisi politis’ dan ‘teknis’-nya telah mengebiri apa yang dibayangkan oleh Prof. Sumitro tentang teknologi adaptif itu. Rejim kacung itu memang sungguh merusak ‘rasa-merasa’ republik soal kekuatan pengetahuan, atau teknologi pada khususnya. Yang dilembagakan adalah sisi gelap dari ‘kekuatan uang’ yang kemudian bersekutu dengan ‘kekuatan kekerasan’. Akibatnya? Kita bisa membayangkan rejim bertahun terakhir adalah rejim ‘pembuka kotak Pandora’, dengan menampakkan diri pada keluaran bagaimana bermacam kejahatan itu kemudian pethakilan-pecicilan dengan sudah tanpa sungkan lagi, tanpa beban lagi. Semau-maunya. *** (04-12-2024)

1572. Saintifik (2)

05-12-2024

Ketika banyak orang diminta memperkirakan berat suatu benda, tak satupun yang bisa dengan tepat menyebutnya. Tetapi ketika perkiraan-perkiraan itu dirata-rata, ternyata hasilnya sangat mendekati berat yang sesungguhnya. Apakah itu kemudian dapat disimpulkan bahwa the wisdom of crowd itu ada? Mungkin saja. Tetapi memang dalam crowd itu mestilah ada yang mempunyai ‘profesi’ sebagai juru timbang. Jika ia dibebaskan untuk menggunakan alat-alat dan metode pengukuran tertentu, maka bisa dipastikan ia mampu menyebut secara persis berapa berat benda itu. Dari sedikit hal di atas maka kita bisa membayangkan mengapa ranah-ranah atau fields itu kemudian lahir atau dilahirkan. Dari contoh di atas, ranah ‘timbang-menimbang’ misalnya. Bagaimana hidup keseharian kita sering masuk atau loncat dari satu ranah ke ranah lain. Dan kemudian bagaimana kita bertindakpun akan terpengaruh juga. Ketika kita masuk ranah rumah sakit misalnya, tiba-tiba saja kita menyesuaikan diri dan berbeda ‘kelakuan’ kita seperti saat jalan-jalan ke mall, misalnya. Atau ketika kita masuk ke ranah sekolah saat menjemput anak. Pierre Bourdieu mengatakan bahwa tindakan kita akan dipengaruhi oleh ranah, kapital, dan habit. Kapital tidak mesti dalam bentuk kapital uang, tetapi bisa juga kapital sosial. Dalam konteks lebih besar, dengan sedikit spekulasi, kita bisa membayangkan kapital sebagai juga ‘prakondisi politis’, ranah sebagai ‘prakondisi teknis’, dan habit sebagai ‘prakondisi sosial’.

Yang dimaksud dengan habit di atas lebih dari sekedar kebiasaan, tetapi katakanlah kebiasaan yang sudah ‘melembaga’. Atau bisa dibayangkan ia telah ada dengan nyaman di ketidak-sadaran, dan menurut Freud sebagian besar tindakan kita justru dipengaruhi oleh bagian tidak sadar ini. Tahun 1956 Erving Goffman berpendapat bahwa diri akan melakukan ‘pertunjukan’ dalam interaksinya dengan yang lain, the presentation of self in everyday life. Kita bisa membayangkan ketika konsumerisme semakin mencengkeram hidup keseharian, bahkan diripun ‘dipoles’ sedemikian rupa sehingga dapat ‘memuaskan konsumen’. Dan itu dilakukan dari ‘panggung’ ke ‘panggung pertunjukan’ lain dalam ranah interaksi. Bagi Bourdieu lebih dari sepuluh tahun kemudian, hal ini tidak hanya sekedar didorong oleh konsumerisme misalnya, tetapi tidak lepas dari soal dominasi. Ada relasi-relasi kuasa di situ. Di antara rentang-waktu pendapat Goffman dan Bourdieu itu, Guy Debord melempar pendapat tentang the society of the spectacle. Yang pendapatnya ‘diperkeras’ lagi 20 tahun kemudian, ketika jaringan internet mulai merebak.

Pada sekitar 1952, Leo Strauss memberikan kuliah, salah satunya menyoroti tentang krisis modernitas, yang dibaginya dalam tiga gelombang. Gelombang pertama krisis modernitas menampakan diri dalam (kapitalisme) liberal, yang didorong ketika ‘filsafat klasik’ ditinggalkan. Bisa dibayangkan ketika modernitas bergeser dari teosentrisme ke antroposentrisme, maka ‘filsafat klasik’ jaman Yunani Kunopun mengalami ‘kelahiran kembali’. Konteksnya adalah, dengan apa segala gejolak hasrat dari manusia apa adanya itu akan ‘terkendali’, setelah manusia menjadi ‘pusat’, antroposentrisme? Itulah mengapa Adam Smith banyak menulis tentang Stoa dalam bagian-bagian bukunya, misalnya. Kurang lebih 15 tahun sebelum Leo Strauss memberikan kuliah di atas, Edmund Husserl menerbitkan The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (1936).

Jika ada yang berpendapat bahwa makna krisis dalam bahasa China, Weiji, wei: krisis, ji: kesempatan, tidaklah salah-salah amat, karena adanya krisis itu sebenarnya adalah kesempatan juga untuk melihat mengapa sampai muncul sebuah krisis? Selain tentu, ‘kesempatan-kesempatan’ lain. Dan hari-hari ini, nampak dengan telanjang kita sedang ada dalam situasi krisis. Suka atau tidak, diakui atau tidak. *** (05-12-2024)

1573. Saintifik (3)

06-12-2024

Apa yang dapat kita pelajari dari dilarangnya media sosial untuk anak-anak di bawah 16 tahun di Australia sana, yang kira-kira satu minggu lalu peraturannya sudah disahkan? Apakah ‘hiper-konsumerisme’ terhadap bermacam ‘hiper-realitas’ itu sudah sedemikian mengganggu? Beberapa penghayatan akan krisis di Bagian (2) sedikit banyak tidak hanya menggambarkan adanya ‘bablasan’ tetapi juga ‘pelupaan’. ‘Lupa’ tentang ‘keberakaran’, tercerabut dari ‘keberakaran’ sebagai manusia. Berpikir itu mendahului berbahasa, tetapi apa ‘bahan dasar’ dari keberpikiran itu? Nampaknya adalah kepenasaran, bahkan dalam arti luasnya: keterpesonaan. Dengan adanya keterpesonaan yang melanjut pada keberpikiran, bahasa kemudian terlibat aktif dalam proses keberakaran manusia, sekaligus secara umpan-balik mengembangkan keberpikiran juga.

Pembedaan pengembangan tekhnologi menurut Prof. Sumitro seperti disebut dalam Bagian (1), adalah juga soal keterpesonaan, terpesona akan ‘batas’ sehingga berkembanglah teknologi yang advance itu, terpesona dengan problem kongkret manusia sehari-hari maka berkembanglah teknologi adaptif, dan keterpesonaan terhadap alam semesta, terlebih alam yang dekat dengan manusia sehingga keinginan untuk merawat alampun kemudian muncul. Keterpesonaan tidaklah mesti berurusan dengan olah pikir, tetapi juga soal rasa-merasa. Maka keterpesonaan akan mampu juga mendorong lahirnya bermacam seni. Tetapi senipun dalam banyak kesempatan akan berurusan dengan bahasa, atau bagaimana itu dinarasikan, meski si-pencipta diam seribu bahasa. Atau sudah tidak bisa berkata-kata lagi karena sudah lama meninggal.

Tetapi keterpesonaan itu bagai dua sisi mata uang, atau jika memakai skema Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, apakah ia dihayati dengan modus mitis, ontologis, atau fungsionil? Bertahun terakhir keterpesonaan itu tidak hanya digiring dalam nuansa mitisnya, tetapi bahkan juga seakan ‘dipagari’ sehingga nuansa-tahap ontologis dan fungsionil tidak ‘mengganggu’. Bangsat-lah. Ketiga nuansa atau tahap di atas itu akan selalu ada, masalahnya ada yang kemudian ‘nakal-kurangajar’ mengeksploitasi tahap tertentu. Maka bahasapun kemudian dieksploitasi untuk mendukung eksploitasi tahap mitis, dengan hanya dipakai sebagai alat saja, ready for hand. Itupun lebih dipakai untuk sihir-sihiran, sekitar itu. Perlahan bahasapun semakin menjauh dari ranah ‘keberakaran’, bahkan juga semakin miskin dalam memberikan ‘umpan-balik’ terhadap keberpikiran. Terlalu banyak contoh bisa diajukan dalam bermacam peristiwa bertahun terakhir, bahkan sampai sekarang.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus-intensionalitas tulisan adalah pada pengembangan teknologi adaptif, dalam konteks bagaimana itu bisa membantu untuk perlahan ‘menemukan’ kembali keberakaran hidup bersama. Bagai kritik Marx terhadap berkembangnya ‘sosialisme utopia’ di akhir abad-18 sampai bagian pertama abad-19, bagaimana keseriusan mengembangkan teknologi adaptif adalah juga sebagai koreksi dari ‘republik utopia’ bertahun terakhir ini. *** (06-12-2024)

1574. Tumbuh Kembang Bangsa (1)

09-12-2024

Dalam mata kuliah Ilmu Kesehatan Anak bagi mahasiswa kedokteran, pastilah ada bagian tentang tumbuh kembang anak. Anak tidak hanya tumbuh saja, tetapi juga berkembang. Tidak hanya tambah besar dan panjang, tetapi juga semakin matang termasuk juga dalam fungsinya. Tingkat kematangan psikologisnyapun ikut berkembang. Kemampuan motorik juga berkembang. Macam-macam. Maka asupan gizi dan stimulasi menjadi penting dalam proses tumbuh kembang anak. Tak mengherankan puisi Dorothy Law Nolte, Children Learn What They Live (1954) serasa tak pernah kehilangan maknanya.

Sebuah komunitas juga akan menapak jalan tumbuh-kembangnya sendiri. Tentu kita tidak bisa serta merta membayangkan apa yang terjadi pada manusia di tahap anak-anak seperti contoh di atas dan kemudian meyakini itulah yang terjadi dalam hidup bersama, karena hidup manusia sebagai kumpulan manusia-manusia dan semesta itu akan jauh lebih kompleks. Tetapi hal di atas dapat membantu kita bahwa memang soal asupan gizi dan stimulasi dapat juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam tumbuh-kembang bangsa. Stimulasi yang dalam banyak halnya bisa kita hayati sebagai: tantangan, misalnya. Kata Toynbee di sekitar (mulai sebelumnya) Dorothy Law Nolte menulis puisi di atas, bahwa berkembangnya peradaban itu akan sangat lekat dengan bagaimana sebuah respon terbangun dalam menghadapi tantangan. Tantangan terlalu besar, misal bencana dahsyat –‘gigabencana’, akan menghancurkan peradaban, tetapi tantangan kecil-kecil saja akan membuat peradaban stagnan atau bahkan mundur. Maka tak mengherankan dua tahun setelah penuh eforia dengan naiknya Jokowi sebagai Presiden di 2014, Richard Robinson sudah mengendus bahwa republik di bawah Jokowi akan menjadi kuat adalah sebatas klaim saja, ngibulnya para pendukung. Robinson dalam kuliahnya waktu itu, telah melihat-mengendus bagaimana ‘kepentingan nasional’ tidak direfleksikan pada (dinamika) ‘kepentingan internasional’. Kalau dalam kata-kata Toynbee di atas, rejim lebih ‘memilih’ pada tantangan yang ‘biasa-biasa’ saja. Akhirnya peradaban tidak hanya ‘stagnan’, tetapi sedikit ‘kesalahan’ saja maka akan terjerumus dalam spiral kemunduran. Akhirnya sadar atau tidak, ‘kelemahan’ ini kemudian mendorong untuk secara konsisten jualan ‘utopia’. Dalam konteks bertahun terakhir, ngibul yang tidak habis-habisnya. Dan delapan tahun kemudian, Robinson dalam analisisnya di atas ternyata benar. *** (09-12-2024)