1385. Mabuk Jalan Gampang
29-02-2024
Clotaire Rapaille memberikan saran marketing supaya kopi bisa menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jepang yang berabad-abad adalah peminum teh dengan lebih dahulu memasukkan rasa kopi dalam biskuit, pada permen. Setelah bertahun itu dilakukan, ‘kode-kode kultural’ itu ternyata bekerja-berdampak juga, maka segera saja cabang-cabang Starbucks bertambah secara signifikan di kota-kota Jepang. Upaya-upaya penetrasi pasar minum kopi di Jepang sebelum saran Rapaille kebanyakan gagal. Rapaille menyebut metodenya itu sebagai ‘archetype discovery’. Mungkinkah pengalaman Rapaille yang ditulis dalam The Cultural Code (2007) adalah soal deep frame meminjam istilah George Lakoff? Sedangkan Starbucks dkk kemudian bermain di surface frame yang akan ‘digantungkan’ pada deep frame yang sudah tersedia?
Perkembangan dalam penelitian neuroscience dan epigenetic memberikan masukan penting soal nature (baca juga: potensi) dan nurture, soal lingkungan sekitar kita hidup yang akan memberikan stimulasi. Ketika kaki depan dilepaskan dari fungsi berjalannya, manusia mengalami percepatan dalam evolusinya. Tangan kemudian semakin trampil dalam olah motorik halus-nya. Dan ini kemudian memicu lebih berkembangnya bagian otak yang bertanggung jawab dalam kemampuan bicara. Berkembangnya kemampuan bicara ini sebenarnya juga menggambarkan berkembangnya kemampuan berpikir, sebab bagaimanapun berpikir itu mendahului bahasa, meski dalam sebagian besarnya kita berbahasa seakan taken for granted saja. Maka sebenarnya, nurture di luar asupan gizi pertama-tama adalah terkait dengan bahasa. Dan bagi sebagian kalangan atau komunitas, itu bahkan adalah soal keberanian bicara juga.
Bahasa memang sebagian besarnya adalah alat, seakan sudah ‘siap di tangan’ untuk digunakan, ready-to-hand. Tetapi pada titik tertentu, bahasa kemudian tidak sekedar hanya alat saja, dan menjadi tidak mudah lagi ketika harus menjelaskan bahwa prognosis penyakitnya tidak baik, misalnya. Atau ketika memberikan pilihan bahwa menghentikan alat penunjang hidup adalah pilihan yang patut dipertimbangkan karena status ‘vegetatif’-nya. Meski bahasa sudah present-at-hand, kadang kita seakan dipaksa berperilaku sebagai ‘pemula’ dalam berbahasa untuk menemukan kata-kata yang tepat. Atau karena ‘tanggung-jawab publik’-nya sehingga pilihan kata-kata menjadi tidak mudah. Demikian juga penyair. Bahkan Wittgenstein se-abad lalu pernah mengatakan, “whereof one cannot speak thereof one must be silent.”
Dekade berikutnya, dalam kuliah-kuliahnya Wittgenstein mengintrodusir istilah ‘language games’. Sama-sama bilang A bisa bermakna lain tergantung konteks dalam penggunaannya. Tergantung ia ‘dimainkan’ dalam permainan seperti apa. Kadang-kadang seorang ahli bedah mempunyai asisten ‘favorit’-nya masing-masing. Yang ketika ia butuh salah satu jenis gunting atau pisau, ia segera menangkap maksud dari si-ahli bedah, dan segera memberikan gunting atau pisaunya. Tidak salah ambil. Juga ketika ia minta darah disedot, atau jarum jahit ukuran tertentu, komplit dengan benangnya. Bayangkan jika 50 tahun lalu ada yang bilang bahwa ada bagian besar komunitas yang masih suka (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh[1] seakan ‘ditemukan’ lagi, kemudian dirawat dan dikembangkan dengan ‘permainan bahasa’ yang tepat? ‘Kode-kode kultural’ ditebar melalui ‘permainan bahasa’ tertentu seakan sedang membangun ‘deep frame’-nya. Dan salah satu ‘surface frame’ adalah bansos-serangan fajar ketika rentang waktu pemilihan digelar.
Ke-lima hal di atas sebenarnya bisa kita hayati secara lebih ringkas: jalan gampang. Menurut Toynbee dalam ‘hukum pertukaran budaya’ maka memang sinar ‘jalan gampang’ ini akan mudah menembus, dibandingkan ajakan untuk menempuh ‘jalan sulit’ misalnya. Tetapi adakah sebuah negara-bangsa menjadi kuat dan mampu mensejahterakan warganya dengan menapak jalan gampang-gampang saja? Mabuk jalan gampang, bahkan sudah sampai pada kegilaannya, pada dasarnya hanyalah menjerumuskan hidup bersama dalam kegelapan. Potensi untuk masuk dalam ‘tahap penguasaan’ dalam Perang Modern yang sering disinggung oleh Ryamizard itu semakin membesar saja. Pemimpin yang sudah ‘gila jalan gampang’ adalah juga pengkhianat. Benar apa yang ditulis oleh Edward Routledge beberapa waktu setelah Amerika menyatakan kemerdekaannya dalam suratnya ke John Jay: “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit.”[2] *** (29-02-2024)
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, hlm. 45
[2] https://digital.lib.niu.edu/islandora/object/niu-amarch%3A9035
1386. Rusak Sampai Ke-akar-akar-nya
29-02-2024
Bukannya tanpa alasan jika ada yang melihat bahwa hal mendasar dari manusia adalah soal hasrat. Dan soal bagaimana hasrat itu dikelola, itulah yang membuat manusia kemudian menjadi berbeda dengan binatang. Bermacam kesibukan manusia dalam membangun peradabannya salah satunya adalah kesibukan dalam mengelola hasrat ini. Bermacam ‘eksperimen’ telah dilakukan dan jejak-jejaknya dapat dipelajari ulang dari bermacam sejarah. Salah satu ‘keseimbangan’ yang mau dicapai adalah bagaimana hasrat dapat dikelola sehingga tidak menjadi liar tak terkendali tanpa harus mengingkari peran sentral hasrat bagi manusia. Tidak mudah memang.
Kadang-kadang hidup bersama perlu sebuah kompetisi olah raga sehingga sebagian hasrat bisa disalurkan. Kadang-kadang tentara yang dipersiapkan untuk menghadapi perang itu perlu latihan perang-perangan sehingga hasrat perangnya bisa disalurkan, tidak justru malah mengganggu hidup keseharian saat tidak perang. Atau kadang kritik perlu diajukan sehingga hasrat seakan mempunyai cermin. Tidak sedikit yang memandang bahwa adanya ‘orang baik’ masih belum cukup, sehingga perlu cek-ricek atau oposisi yang efektif. Atau berkembangnya trias-politika itu. Ada pula sistem hukum komplit dengan penjara-nya. Bahkan jika kepepet bisa-bisa kemudian dimunculkan ‘musuh bersama’. Genderang perang-pun ditabuh bertalu-talu tiada henti. Bagaimana jika sex-libido ditekan habis-habisan? Kata Wilhelm Reich, jangan-jangan malah jadi pra-kondisi bagi tumbuhnya fasisme. Dan banyak lagi contoh betapa ribet-nya urusan hasrat ini.
Bahkan Platon lebih dari 2000 tahun lalu sudah menggambarkan bagaimana tidak mudahnya mengendalikan hasrat, terutama hasrat yang berasal dari perut ke bawah, makan-sex-uang, dan kenikmatan ikutan lainnya. Dalam Alegori Kereta hasrat perut ke bawah itu digambarkan sebagai kuda hitam. Kereta ditarik oleh dua kuda, satunya kuda putih menggambarkan kehormatan. Sais menggambarkan nalar atau rasio. Semestinya kereta diarahkan ke atas untuk mendekat pada ‘kebaikan para dewa-dewa’. Tugas yang tidak mudah bagi sais meski sudah dibantu adanya sayap yang merupakan energi atau katakanlah élan vital untuk membantu naiknya kereta. Karena selain energi dahsyat dari si-kuda hitam, karakter si-kuda hitam itu cenderung semau-maunya, sulit dikendalikan oleh si sais. Juga karena si-kuda hitam itu maunya meluncur ke bawah saja. Bahkan menurut David Hume (1711-1776) ada kemungkinan besar “reason is a slave to the passion.” Atau di sekitar Perang Dunia II, Albert Camus membedakan antara crimes of logic dan crimes of passion. Bagaimana (crimes of) passion itu lebih dimungkinkan untuk semakin ‘halus’ dalam memperbudak (crimes of) logic.
Yang dimaksud dalam judul ‘rusak sampai ke-akar-akar-nya’ adalah kerusakan yang sudah menyentuh hal mendasar manusia, soal hasrat-nya. Bermacam hal yang terbangun dalam peradaban manusia sehingga ia bisa dibedakan dengan binatang dalam hal ‘tata-kelola’ hasrat telah mengalami kerusakan parahnya. Tidak hanya soal pimpinan-nya, tetapi ketika bermacam panggung yang hadir di depan khalayak itu semakin disesaki aksi-telanjang ugal-ugalan-nya hasrat –berulang dan berulang, maka suasana kebatinan hidup bersama-pun akan terasa ‘aneh’, dan sangat dimungkinkan akan terjadi ke-normal-an baru yang sebenarnya adalah mundurnya peradaban. Ke-barbar-an akan menjadi ke-normal-an baru. Kekerasan akan semakin telanjang hadir di sana-sini. Kotak Pandora segala hasrat gelap itu tidak hanya sudah dibuka dan dibiarkan liar menjarah peradaban yang sedang dibangun, tetapi ketika ‘para pengawal’ keliaran hasrat itu mau keluar juga, tutup segera ditutupkan rapat-rapat, dan disegel pula. Ditutup rapat lagi bahkan sambil pecingas-pecingis tanpa beban. Tidak urusan dengan apa yang sedang dipertaruhkan. *** (29-02-2024)
1387. Dari Tanpa Beban ke Impunitas?
02-03-2024
Tiga tahun lalu pasca pemilihan presiden di AS sono, pendukung garis keras Trump merengsek ke dalam Capitol Hill. Sebuah peristiwa yang membuat syok khususnya warga AS. Trump terkait dengan peristiwa itu kemudian sering dikatakan sebagai inciter-in-chief. Persidangan terus bergulir, dan terakhir Trump menyampaikan argumentasi bahwa ia mempunyai hak impunitas sebagai presiden saat itu sehingga tidak bisa dituntut ikut bertanggung jawab. Klaim Trump tersebut ditolak tidak hanya oleh otoritas pengadilan, tetapi juga oleh sebagian besar wakil rakyat, bahkan ada juga dari kalangan Republik. Survei juga menunjukkan sebagian besar berpendapat bahwa terkait peristiwa tersebut Trump tidak bisa mengajukan argumentasi impunitas.
Trump memang dikenal sering asal mangap saja. Ketika Covid-19 menerjang AS, beberapa kali ia melontarkan kata-kata asal mangap, bahkan kadang seperti orang anti-sains saja. Jika mengikuti pendapat Lakoff, sosok Trump itu sebenarnya ‘sangat ideologis’ dalam arti sosok yang merepresentasikan konservatisme terlebih dalam hal sosok pemimpin sebagai ‘strict father’. Karena menurut kaum konservatif, dunia kita hidup itu penuh dengan ancaman, persaingan, dan hanya yang terkuatlah akan bertahan hidup. Maka dalam moralitas ‘strict father’ itu, pemimpin mestilah dipatuhi, di-setia-i, dan jangan banyak tanya-tanya lagi. Karena pemimpin adalah juga penjaga nilai-nilai luhur. Maka bisa kemudian dikatakan bahwa dalam alam konservatisme itu memang ada bibit-bibit seorang pemimpin itu seakan ‘in-poena’, tidak bisa di-punishment, atau katakanlah mempunyai impunitas. Ketika keranjingan asal mangap-nya kena batunya, yaitu ketika tiba-tiba saja ia mendapat ‘gelar-kehormatan’ sebagai inciter-in-chief terkait kerusuhan di Capitol Hill 6 Januari 2021 lalu, dan menerus dengan kemungkinan yang semakin membesar sebagai salah satu tersangka, Trump kemudian berkelit bahwa sebagai presiden waktu itu ia mempunyai hak impunitas. Asal mangap atau asal njeplak-nya, apapun akibat ikutannya, ia merasa tidak bisa diberikan punishment, tidak bisa dihukum karena mempunyai hak impunitas.
Jika mengikuti pendapat Leo Strauss tentang krisis modernitas, dimana penampakan gelombang pertama krisis berangkat dari kontrol alam semesta: kapitalisme liberal, gelombang kedua krisis berangkat dari kontrol terhadap manusia: komunisme, maka krisis modernitas gelombang ketiga ini adalah soal kontrol atas semesta dan manusia. Jika krisis modernitas gelombang pertama dan kedua masih lekat dalam bayang-bayang ekonomisme, pada krisis gelombang ketiga baik kontrol atas alam maupun atas manusia tidak berhubungan langsung dengan ekonomisme lagi. Dan Leo Strauss menyebut krisis modernitas gelombang ketiga ini: fasisme. Pendapat Strauss itu diajukan sekitar dekade 1950-an, yang nampaknya semakin menampakkan relevansinya lima-puluh tahun kemudian, terlebih ketika kita masuk di Abad Informasi ini.
Dari beberapa hal di atas, maka salah satu ‘gejala awal’ dari fasisme adalah hadirnya penampakan dari dua ‘kelas’, kelas yang ‘tidak bisa dihukum’ dan kelas yang ‘dapat dihukum’, sebagai hal vulgar dari apa yang dikatakan oleh Strauss, kontrol atas manusia. The dictatorship of law adalah dalam konteks seperti itu. Karena merasa ada di ‘kelas’ yang ‘tidak bisa dihukum’ -bahkan 'hukuman sosial' sekalipun, maka godaan untuk semau-maunya-pun menjadi membesar pula. Asal mangap asal njeplak-pun kemudian mewabah seakan menjadi normal-normal saja. Meski ‘kontrol terhadap alam semesta’ sudah ditegur oleh krisis iklim, tetapi tetap saja masih terlalu banyak yang ndableg. Katanya, jaman batu itu berakhir bukan oleh karena habisnya batu, menyitir apa yang diyakini diucapkan juga oleh Syekh Yamani. Mengapa fasisme seperti digambarkan Strauss seakan mendapat momentum-nya di Abad Informasi ini?
Salah satunya karena mereka seakan mendapat ‘mainan’ baru, identitas. Menurut Manuel Castells, di era yang semakin cepat dan ringkas karena fasilitasi dari media digital-internet, identitas bisa-bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna. Atau jika meminjam kata-kata Amy Chua dalam Political Tribes (2019), penampakan ‘permainan’ sering menampakkan diri melalui eksploitasi ‘an instinct to exclude’. Maka tidak berlebihan jika ada yang mengharapkan bahwa Abad-21 ini sebagai ‘Abad Etika’. Leo Strauss sendiri juga melihat bahwa bermacam krisis modernitas itu adalah juga karena nilai (value), keutamaan (virtue) banyak ditinggalkan. Apakah kita harus menunggu terjadinya ‘krisis kemanusiaan’ sehingga ‘sok-impunitas’ sebagai penampakan vulgar dari ‘kontrol atas manusia’ baru bisa dikoreksi? Itulah mengapa Hak Angket, Pansus, gugatan ke MK semestinya kita dukung terkait dengan carut-marut-amburadul-brutal-nya pemilihan umum kali ini. *** (02-03-2024)
1388. Kritik Sebagai Tantangan
04-03-2024
Tantangan memang bisa berasal dari ‘luar’, katakanlah Korea Selatan yang selalu saja merasa mendapat tantangan dari Korea Utara. Atau Taiwan selalu saja khawatir dengan China ‘daratan’. Atau Jepang yang selalu akrab dengan gempa. Dalam evolusi, yang mampu beradaptasi dengan lingkungan akan bertahan. Tetapi manusia tidak hanya beradaptasi, ia bahkan mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan dirinya. Manusia mampu membangun peradaban. Peradaban yang dibangun karena adanya tantangan dan respon, demikian menurut Toynbee sekitar enam-puluh tahun lalu.
Tetapi tantangan tidaklah selalu berasal dari ‘luar’. Tantangan dari ‘dalam’ bahkan bisa bermacam bentuknya, salah satunya adalah kritik. Bahkan di negara dengan ‘partai tunggal’-pun ada mekanisme ‘kritik-otokritik’. China mempunyai sejarah panjang soal kritik-otokritik ini dan bahkan dianggap sebagai salah satu yang sentral seperti ditegaskan oleh Ketua Mao. Kritik tentu akan berangkat dari sebuah penilaian, dan semestinyalah ada dasar pengetahuannya, entah pengetahuan itu diperoleh dari bermacam sumber yang mana. Dan sepertihalnya uang dan senjata, pengetahuan itupun adalah juga sebuah power. Maka kritik, terlebih di ranah negara akan selalu berurusan dengan power, entah itu besar atau kecil.
Jika benar “sifat watak, wajah, dan suasana bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan” seperti dikatakan Mangunwijaya (Kini Kita Semua Perantau, 1989) maka bagaimana kritik di-respon menjadi salah satu bagian pentingnya. Ada masanya kritik maunya dibungkam, tetapi di waktu lain kritik sama sekali tidak di dengar, mbudeg habis-habisan. Kritik dalam bentuk demonstrasi-pun sama sekali tidak didengar, bahkan milih ngacir di tinggal pergi ngelayap kemana-mana, berulang dan berulang. Baik kritik dibungkam atau tidak didengar sama sekali sebenarnya tak jauh berbeda bagaimana ‘sifat, watak, wajah’ dalam pengendalian kekuasaan. Hanya saja yang terakhir ini sebenarnya ‘lebih kejam’. ‘Dibungkam’ itu masih dianggap manusia, sedang ‘tidak didengar’ jangan-jangan sudah dianggap ‘sub-human’, atau kelas di bawah manusia. Bahkan jika menilik bagaimana pajak-pajak digunakan semau-maunya dan bagaimana harga-harga ‘dimainken’, jangan-jangan dianggap ‘abdi’ saja, atau bahkan: budak.
Jika kita membuat perbandingan dengan mengajukan sebuah benchmarking –patok duga, 50 tahun lalu Koentjaraningrat menulis soal mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan seperti (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh, bukankah bertahun terakhir dan semakin nampak-vulgar dalam proses pemilihan umum sekarang ini, panggung kekuasaan seakan justru kembali tanpa beban merengkuh ke-lima mentalitas di atas? Bukankah ‘patok-duga’ yang seakan tidak-bergeser itu salah satunya karena kritik yang dibungkam atau tidak didengar? Apakah kita mesti menimbang Marx juga bahwa itu semua tidak akan terjelaskan jika kita tidak mengajukan pertanyaan, seperti apakah dinamika relasi-relasi kekuatan produksi yang ada di ‘basis’? Kapitalisme kroni kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat, perburuan rente habis-habisan, korupsi yang ugal-ugalan, mafia ini mafia itu? Kalau David Harvey mau mengkoreksi istilah mestinya jadi: ‘accumulation by dispossession plus-plus’. Gila-gilaan dan sungguh rusak-rusakan. Depolitisasi itu justru semakin menguak bahwa yang sebenarnya terjadi adalah dehumanisasi.
Tetapi, apakah karena tidak didengar kemudian berhenti mengajukan kritik? Dan menyerahkan sepenuhnya nasib republik pada kaum bangsat itu? Tentu tidak. Kritik diajukan itu bukanlah hanya soal relasi ‘vertikal’ saja, tetapi adalah juga ‘relasi horisontal’. Tentu Marx tidak salah jika mengatakan bahwa kaum filsuf, atau katakanlah dalam hal ini kaum kritikus adalah yang pandai dalam menginterpretasikan dunia tetapi bagaimanapun yang penting adalah mengubahnya. Bermacam kritik akan terus diajukan sehingga pada titik tertentu ketika momentum perubahan itu terjadi, perubahan kemudian bisa menjadi hal yang terdukung. Jika memperjuangkan perubahan itu salah satunya adalah dengan terus mengajukan kritik, maka dalam dirinya sendiri perubahan itu juga harus mau menerima kritik-otokritik-nya. Hanya dengan itu pula maka perubahan kemudian berarti juga mengembangkan peradaban. *** (04-03-2024)
1389. Clash of Barbarisms, the Making of the New Republic Disorder
05-03-2024
Judul adalah plèsètan dari buku Gilbert Achcar, Clash of Barbarisms: The Making of the New World Disorder (2002/2006). Bukan ‘New World Disorder’ tetapi ‘New Republic Disorder’. Clash of Barbarisms sendiri adalah counter terhadap buku Samuel P. Huntington yang terbit pertamakali tahun 1996, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Maunya dalam mengelola republik ‘menyesuaikan’ diri naik gelombang ‘the clash of civilizations’ tetapi justru yang terjadi ‘the clash of barbarisms’, demikian plèsètan judul dimaksudkan. Menebar kodran-kadrun, yoman-yaman selama bertahun-tahun, menuai ke-bar-bar-an, menuai ke-disorder-an. Kebrutalan yang sudah sungguh telanjang. Kenapa bisa begitu? Dan apa cerita selanjutnya ketika disorder semakin menampakkan diri?
Salah satu yang perlu disebut adalah ‘paradigma sogokan’. Jika ada yang demen dengan ‘clash of civilizations’ maka disogoklah dengan apa-apa yang menyenangkan. Kalau perlu diadakan peristiwa terorisme. Mau nikel? Kasih saja itu tambang nikel. Perlu tempat strategis dalam olah tarung kekuatan militer? Ya kasih saja. Demikian juga untuk ‘dalam negeri’, mau dapat dukungan? Bagi-bagilah ijin tambang. Atau kuota impor. Atau tanah-tanah dibagi. Perlu demo tandingan? Tinggal cari massa bayaran! Bahkan apa yang sering disebut sebagai ‘sandera kasus’ itupun dapat dilihat sebagai bagian dari ‘paradigma sogokan’ pula. Apa collateral damage utama dari ‘paradigma sogokan’ ini? Adalah semakin nampak bahwa memang tidak ada nilai (value) yang sedang diperjuangkan! Apa yang akan terjadi jika tidak ada nilai yang diperjuangkan? Maka bisa-bisa akan masuk pada situasi apa-apa saja boleh dilakukan. Selanjutnya adalah akan begitu mudahnya terbentuk bermacam kerumunan-kerumunan itu. Bermacam kerumunan yang akan dengan mudah digiring dalam sebuah fanatisme, misalnya. Dan ke-disorder-an pun semakin menampakkan diri. Ujung cerita? Fasisme! Apa lagi kalau bukan itu? *** (05-03-2024)