1535. Peristiwa Ketiga (1)

24-10-2024

Konteks ‘tiga peristiwa’ pada dasarnya adalah ‘unholy trinity’, karena orkestrasinya ada di panggung Empire, atau katakanlah di republik, little empire.[i] Peristiwa pertama adalah pesta demokrasi, kedua: pesta oligarki, dan peristiwa ketiga: pestanya si-mono. Pasca 1998, melalui Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, ranah si-mono bisa dikatakan pesta berakhir tanpa gejolak. Riak-riak jelas ada, tapi tetap bisa dikatakan tanpa gejolak, bahkan sebagai ‘fakta potensial’-pun tidak membayang lekat. Bisa dikatakan, tidak meninggalkan ‘api dalam sekam’. Tetapi sebelum ‘api dalam sekam’ ini diurai lebih lanjut, ada hal perlu diperhatikan lebih, yaitu katakanlah, aliran atau flow dari ‘otoritas’. Carl Schmitt se-abad lalu menunjuk bahwa ‘konsep negara modern itu adalah sekulerisasi dari konsep teologi’. Ungkapan ini bisa kita hayati juga bagaimana manusia itu selalu saja terpesona terhadap kekuatan-kekuatan yang serba maha. Bahkan jika bisa menyamai-Nya. Satu hasrat-angan yang ada jauh terpendam di alam ketidaksadaran, yang adanya bermacam hal terpendam itu digambarkan oleh Freud dalam penampakan ‘slip of tongue’. Dari hikayat Menara Babilon, sampai dengan bangunan pyramid. Atau lainnya. Menjadi ‘unholy’ seperti disinggung di atas karena sihir ‘otoritas top-down’ yang di tangan manusia itu tiba-tiba saja menjadi begitu memabukkan. Maka bisa dibayangkan bagaimana keras dan ‘mahalnya biaya’ jika terjadi perebutan di puncak otoritas. Demokrasi dengan logika ‘bottom-up’ salah satunya adalah mencoba benar-benar-total ‘mensekulerkan’ posisi puncak otoritas.

Jika Carl Schmitt benar, maka konsep negara modern akan lebih diwarnai oleh ‘akal sehat’. ‘Pendekatan’ keimanan dalam konsep teologi itu kemudian ‘diganti’ dengan olah rasional. Tentu dalam dunia iman di tengah-tengah perjalanannya bisa saja akan bertemu dengan hal rasio, satu hal yang tak terelakkan. Demikian juga dalam konsep negara modern, hal rasional tetap saja akan berjalan berdampingan dengan penghayatan ‘keimanan’, atau dalam hal ini sebutlah: fanatisme. Dan itu juga tak terelakkan, paling tidak secara fakta potensialnya. Karena bagaimanapun juga, jika memakai pendapat Freud, kesadaran manusia itu akan melibatkan id, ego, dan super-ego. Masalahnya, mana yang akan dieksploitasi?

Beberapa tahun setelah Carl Schmitt berpendapat tentang konsep negara modern seperti disinggung di atas, Wilhelm Reich (1897-1957) menulis buku tentang fasisme. Dari dua pemikir ini nampaknya kita bisa membayangkan bahwa fasisme bisa dikatakan sebagai copy-paste ugal-ugalan dari konsep teologi seperti bayangan oleh Carl Schmitt. Fasisme yang terdukung oleh eksploitasi hal-hal instingtual, hasrat, dan hal-hal tidak rasional. Atau kalau dalam terminology Freud, eksploitasi lebih pada level id. Juga bagaimana ritual puja-puji pada pemimpin yang seakan mengalir tanpa henti. Jika perlu ada peristiwa disembah-sembah pula. ‘Paket komplit’ ini kemudian secara spiral akhirnya juga mempengaruhi sang-pemimpin, seakan ia adalah pemimpin dalam ‘konsep teologi’. Bahkan merasa sebagai yang serba-maha itu. Seakan tak tergoyahkan lagi, bahkan tidak pernah dilihat sebagai ‘yang salah’. Terlebih menurut Reich, fasisme akan lebih mudah berkembang jika si-pemimpin itu berasal dari ‘little man’. Tentu kita boleh setuju atau tidak. *** (24-10-2024)

[i] Lihat, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-92, no. 1531

1536. Peristiwa Ketiga (2)

25-10-2024

Ada banyak hal bisa dikembangkan dari ‘pertanyaan’ Machiavelli pada Sang Pangeran, “Anda sedang merebut kuasa atau menggunakan kuasa?” Hal merebut kuasa dan hal menggunakan kuasa ternyata bisa berbeda, dan memang sebagian besarnya akan berbeda. Saat merebut kuasa janji ditebar, dan semestinya ketika kuasa di tangan digunakan untuk melaksanakan janji-janji. Tidak terus hanya sibuk menebar janji-janji baru, ngibul tak ada habis-habisnya. Atau kebalikan kelamnya, saat merebut kuasa menapak jalan demokratis, setelah kuasa di tangan menjadi ugal-ugalan. Atau juga, bagaimana jika hal sama tetapi itu dilakukan oleh orang punya kuasa dan yang tidak, akankah berbeda akibatnya? Atau dalam konteks tulisan ini, keranjingan olah kerumunan saat kampanye bisa-bisa berbeda akibatnya jika itu dilakukan di luar kampanye setelah memegang kuasa. Ketika kampanye segala upaya digunakan untuk merebut hegemonia, tetapi ketika hegemonia ada di tangan, ia akan berubah menjadi arche, yang berarti kontrol, dengan kesibukan utamanya adalah ‘merawat hirarki’.[1]

Pernyataan SBY sekitar sebulan sebelum pengambilan sumpah presiden terpilih terkait dengan jangan ada matahari kembar, sangat-sangat-sangat beralasan. Dan tulisan ini didorong supaya kita semakin terjauhkan dari kemungkinan berulangnya kegelapan sejarah. Ketika ada matahari kembar yang masing-masing sibuk ‘merawat hirarki’. Tidak hanya itu, bagaimana jika kemudian ada imajinasi fasisme –sadar atau tidak, yang berkembang? Bertahun terakhir ‘penggunaan kuasa’ itu seakan semakin mendekat pada imajinasi fasisme itu. Bagaimana olah kerumunan berulang dan berulang seakan mengulang-ulang segala puja-puji -langsung atau tidak, terhadap si-pemimpin. Kerumunan sebagai kumpulan individu-individu yang sudah dibidik id-nya, dieksploitasi segala aspek ‘prinsip kesenangan’-nya. Atau bagaimana keranjingannya ingin menampakkan diri sebagai ‘axis mundi’-nya di tengah-tengah dunia yang penuh kekacauan, dengan gegayaan sok-sok-an tak tahu malu tak tahu diri tak tahu tempat, ber-solo-ria mengambil citra diri di tengah-tengah bencana. Berulang dan berulang. Salah satu perilaku paling bangsat dari seorang pemimpin dalam sejarah republik. Belum lagi dalam upaya-keras ‘melembagakan’ eksploitasi hal-hal irasional, maka bisa dilihat dengan begitu telanjangnya hal akal sehat semakin dipinggirkan. Bahkan salah satu ‘lembaga akal sehat’ penting-pun diacak-acak, diolok-olok, ‘dibunuh karakternya’, berulang dan berulang. Meski Marx tidak pernah membayangkan lahirnya fasisme, tetapi adanya fasisme ini seakan juga membuktikan dengan begitu telanjangnya pendapat Marx lain, negara yang tidak akan pernah lepas dari dinamika kelas. Dalam fasisme, kelas yang demennya ‘akumulasi’ habis-habisan, akan habis-habisan pula menggunakan negara untuk akumulasi diri semata. Dan mereka ini akan melakukan apapun terkait dengan kuasa demi ‘mengamankan’ apa-apa yang sudah diperolehnya. Tak jauh seperti dikatakan Thomas Hobbes dalam Leviathan, hampir empat ratus tahun lalu. Apapun, termasuk di sini, membangun-melanjutkan fasisme di sekitar ‘sang-pangeran’. *** (25-10-2024)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

1537. Peristiwa Ketiga (3)

26-10-2024

Paparan Freud tentang id-super ego-ego memang sudah berumur lebih dari satu abad. Sudah banyak pendapat yang mengembangkan, menambah, ataupun melakukan koreksi sampai sekarang. Tetapi apapun itu, pembedaan Freud itu layaknya Hukum Gravitasi-nya Newton, banyak yang masih terjelaskan dengan menggunakan pembedaan itu. Coba kita lihat bertahun terakhir, penampakan kritik terhadap penguasa yang bisa dibayangkan terbagi dua, satu, kritik soal etika, moral, tentang yang baik dan yang buruk. Yang kedua, di sana-sini penampakan (kritik) tentang perlunya akal sehat selalu saja berulang. Jika memakai pembagian Freud di atas, itu bisa dikatakan adalah soal lapis super ego dan ego. Atau kemudian bisa dikatakan, memang telah terjadi eksploitasi id, dengan akibat ‘instansi’ super ego dan ego menjadi tertekan.

Jika memakai Alegori Kereta-nya Platon, akan semakin jelas. Meski tidak terlalu sama, bisa kita bayangkan id sebagai si-kuda hitam, super ego sebagai si-kuda putih, dan ego adalah sais. Dalam Alegori Kereta, Platon membayangkan sebagai ‘perluasan teori tripartite jiwanya’, sais adalah rasio, nalar. Kuda putih adalah soal kehormatan, dan kuda hitam adalah tempat segala hasrat seperti makan, seks, dan terutama hasrat akan uang. Kuda hitam mempunyai karakter semau-maunya, dan cenderung meluncur ke bawah, dan sayangnya lagi, cenderung tuli, cenderung ‘mbudeg’. Ada sayap yang terlibat dalam Alegori Kereta itu, dan bisa dibayangkan itu adalah ‘elan vital’. Semangat-energi hidup yang membantu supaya tujuan kereta, berjalan ‘naik’ untuk semakin mendekat pada kebaikan dewa-dewa, tercapai. Jika dilihat dengan ‘berjarak’, mungkin saja akan segera nampak bagaimana susah-payahnya untuk mengendalikan si-kuda hitam itu. Sais masih perlu bantuan si-kuda putih yang memang sebenarnya mempunyai karakter ‘mudah diajak mudah dibisiki’ menuju kebaikan, dan memang pada dasarnya cenderung ‘naik ke atas’. Bahkan untuk itu semua, sais masih perlu juga dorongan semangat melalui sayap-sayap kereta.

Dari Alegori Kereta Platon itu, sedikit banyak bisa membantu ‘peta masalah’. Ketika id dieksploitasi, atau katakanlah ketika kuda hitam memang dibiarkan ugal-ugalan, maka si-kuda putih mulai dilatih soal ‘prinsip kesenangan’. Bahkan jika ia serdadu –dalam imajinasi Platon memang si-kuda putih adalah kelas serdadu, sejak masih perwira paling rendah, misalnya. Sehingga nantinya, si-kuda putih akan lebih manut dengan genderang kuda hitam dari pada sais. Demikian juga yang ber-nalar, jika tidak bisa diajak bicara maka akan ditendang, ditekan dengan tanpa beban lagi. Bagaimana dengan sayap-sayapnya? Inilah yang akan dimanipulasi habis-habisan sehingga energi hidup tidak untuk mendorong mendekat pada kebaikan dewa-dewa, atau kalau di republik yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi diarahkan untuk merayakan tiada habis-habisnya ritual penyembelihan kambing hitam. Atau juga yang serba asing-asing itu, jika berani. Melalui teori segitiga hasrat-nya Rene Girard akan semakin jelas. *** (26-10-2024)

1538. Matematika Sejak TK?

26-10-2024

Karena keinginan matematika diajarkan sejak TK muncul dari presiden maka ini mau tidak mau harus dianggap serius. Dalam konsep pendidikan dasar sebenarnya baik PAUD maupun TK tidak termasuk di dalamnya. Tetapi katakanlah TK-pun akan dihayati sebagai bagian pendidikan dasar, bagaimana ‘pelajaran’ matematika akan dilaksanakan pada usia TK tersebut? Maka ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, pertama, jangan sampai kemudian itu menjadi syarat masuk SD. Jangan sampai! Bahkan tidak hanya matematika, tetapi juga membaca, dan lain-lainnya. Jika kemudian menjadi syarat masuk SD, bisa kacau semua. Kacau, sungguh bisa kacau-berantai.

Yang kedua adalah, apa sebenarnya esensi pelajaran matematika di tingkat pendidikan dasar? Terlebih katakanlah sampai kelas empat SD, misalnya? Titik beratnya adalah membangun logika, cara berpikir. Bukan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi ahli matematika!

Ketiga, karena ini melibatkan anak-anak usia dini, baiknya melibatkan ahli pendidikan anak dan juga ahli tumbuh kembang. Anak bagaimanapun juga bukan manusia dewasa versi kecil. Juga mulai dikembangkan desain alat-alat peraga edukatif-nya. Apapun itu, yang ahli dan juga masukan-masukan dari yang berpuluh tahun pengalaman dalam dunia pendidikan anak bisa berkolaborasi. Setelah itu libatkan pengadaannya melalui tenaga-tenaga trampil dalam negeri, termasuk melalui bermacam jaringan UMKM, jika bisa: padat karya. Terakhir, persiapkan guru-guru dengan serius, sehingga tidak ‘salah tangkap’ terkait dengan mau-maunya ‘matematika diajarkan sejak TK’ itu. Sekian. *** (26-10-2024)

1539. Membangun - Membunuh Karakter

28-10-2024

Bahkan usia belum genap satu bulan, penampakan ‘gerakan ganda’ bahkan juga ‘gerakan triple’ terkait ‘membangun – membunuh karakter’ sudah mulai menggeliat. ‘Gerakan ganda’ karena di satu pihak ada upaya semakin telanjang dalam ‘membangun karakter’, di pihak lain juga semakin telanjang, ada upaya ‘membunuh karakter’. ‘Triple’ karena ternyata pihak satunya ada dua – satunya, dengan tanpa beban nimbrung minta diikutkan, yang sedang ‘membangun karakter’, dan satu pihak lainnya sedang mulai diupayakan ‘dibunuh karakter’-nya. Lihat misalnya penampakan ketika pagi-pagi yang tidur-makan-menari di atas (ekspor) pasir laut itu, seakan membela atau membangun karakter si #1, tetapi sebenarnya ia sedang membangunkan ‘musuh’. Orang lain sedang ‘diminta’ –bahkan tanpa dibayar, gratis, untuk melakukan salah satu tugas diemban: ‘membunuh karakter’ si-#1. Permainan cantik? Enggaklah, terlalu mudah dibaca. Ketika logika hukum dimainken, bagi sementara pihak pada dasarnya menjadi semakin mudah bacaannya.

Semestinya setelah pemilihan, bermacam karakter itu adalah untuk eksekusi janji-janji. Jika pasca pemilihan masih saja serasa masa kampanye, godaan untuk menapak jalan fasisme akan semakin lebar. Bayangkan ‘gaya-nuansa kampanye’ itu terus saja dilakukan ketika kuasa di tangan. Ketika hegemonia di tangan sudah berubah menjadi arche, yang sifatnya: kontrol. Dan apa-siapa yang paling mudah dikontrol? Kerumunankah? Kerumunan yang terdiri dari individu-individu, dan kemudian ‘prinsip kesenangan’ yang dominan di id (Freud) dieksploitasi habis-habisan. Maka, jika tidak hati-hati, justru di ujung sana: ‘dialektika tuan – budak’ yang akan menguat. Bagaimana jika pada satu titik yang menjadi ‘tuan’ adalah kerumunan massa-individual yang sudah tereksploitasi sisi irasional-nya, berulang dan berulang? Yang tereksploitasi sisi keserakahannya, berulang dan berulang? Ketika si-pemegang hegemonia itu seakan menjadi ‘tidak berdaya’ jika tidak ada di tengah-tengah kerumunan? Jangan kaget ketika para ‘relawan’ itu kemudian minta jatah proyek!

‘Para bangsawan’ itu memang mesti diperingatkan, jangan sampai ‘gajah bertarung pelanduk mati di tengah’. Jangan sampai khalayak kebanyakan yang sudah susah hidup kesehariannya ini, justru semakin terseok-seok ketika para ‘bangsawan’ èkèr-èkèran sendiri, sibuk dengan dunianya sendiri. Kalau toh ada kegelapan masa lalu yang ingin ‘dikelola secara baru’, apapun itu, satu-satunya cara adalah dengan prestasi, sekarang dan masa depan. Hanya dengan itu, prestasi, atau jika memakai logika republik, prestasi dalam melaksanakan amanat yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, terutama alinea ke-empatnya. Sekali lagi, hanya dengan prestasi dan bukan yang lainnya.

Ada satu frase dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen, dapat digunakan sebagai titik berangkat dalam ber-prestasi: efisiensi berkeadilan. Memang frase itu ada di pasal ekonomi, tetapi dengan menjadikan sebagai pintu masuk dalam upaya berprestasi, soal efisiensi berkeadilan ini akan menguak banyak hal dan mau tidak mau akan menuntut hadirnya keutamaan prudence. Hal yang bertahun terakhir sudah dibuang masuk got dengan tanpa beban. Berani? *** (28-10-2024)