1300. The Right to an Adequate Standard of Living
27-11-2023
The right to an adequate standard of living atau hak atas standar kehidupan yang layak secara eksplisit ada dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB yang mulai berlaku tahun 1976, pada artikel 11: soal pangan, sandang, papan, dan juga disinggung soal the continuous improvement of living conditions –perbaikan kondisi penghidupan yang terus menerus. Indonesia sendiri telah meratifikasi kovenan ini di tahun 2005 melalui disahkannya UU No 11 Tahun 2005. Beberapa hal diangkat karena dari bermacam unggahan capres-cawapres segera nampak hanya capres Anies B. yang mampu menyampaikan hal-hal di atas dengan baik, meski tanpa menyebut soal kovenan-nya secara eksplisit. Dan ini adalah pendidikan politik yang sangat penting, khalayak kebanyakan menjadi lebih paham akan hak-haknya. Apakah karena Anies B. mempunyai latar belakang dosen? Tetapi apapun latar belakangnya, si-calon negarawan –yang mengurus negara, memang seharusnyalah paham soal, terutama: hak-hak rakyat dan kewajiban negara. Apapun latar belakangnya, atau usianya.
Kesepakatan akan konvenan itu sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1966, di puncak keberhasilan paradigma ‘negara kesejahteraan’ pasca Perang Dunia II, tetapi konvenan itu baru berlaku di 3 tahun setelah Operasi Djakarta di Chile atau 3 tahun sebelum Thatcher naik ke puncak kekuasaan dengan mengusung program neoliberalisme-nya. Mengapa beberapa peristiwa di atas dipersandingkan? Karena kita sedang bicara soal peran negara, entitas dimana hak-hak yang ada dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya itu bisa dituntut, paling tidak bisa dituntut ke-seriusannya dalam upaya pemenuhan. Dalam pandangan neoliberalisme, mereka maunya menghindar saja dalam kewajiban pemenuhan hak-hak tersebut. Tetapi jika ada big-business yang terancam kolaps, mereka akan dengan sigap menyiapkan langkah-langkah bailout dengan argument too big to fail. Dengan adanya krisis di awal abad-21 kemudian pandemi dan ancaman perang di sana-sini, ultra-minimal state itu semakin menampakkan diri sebagai yang banyak ngibul-nya.
Maka jika seorang pemimpin itu sudah sungguh keranjingan ngibul-nya, ia tidak saja merusak an adequate standard of living, tetapi ia nampak semakin saja tidak kompatibel dengan ‘semangat jaman’ yang berkembang. ‘Perang microchip’ semakin membuka mata kita bagaimana kepentingan nasional atau paling tidak kepentingan regional menjadi semacam ‘anti-tesis’ dari ‘rantai produksi’ dalam imajinasinya globalisasi abad-20. Inilah saatnya ketika ‘semangat jaman’ lebih memberikan negara peran lebihnya, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang sudah di-sahkan melalui UU No 11 Tahun 2005 bisa segera saja mengisi imajinasi pengelola negara sehingga tidak terjurumus justru naik gelombang ‘semangat jaman’ itu untuk membangun otoritarianisme. Calon pengelola negara yang tidak paham soal hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebaiknya pagi-pagi sudah ditendang masuk got saja. Bahkan jika ia sudah berusaha untuk tampil riang, lucu, atau imut. Terlalu besar yang dipertaruhkan untuk sekedar riang-riang-an, lucu-lucu-an, dan imut-imut-an. *** (27-11-2023)
1301. Perang Microchip
28-11-2023
“It’s important for our nation to build – to grow foodstuffs, to feed our people. Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation that would be subject to international pressure. It would be a nation at risk. And so when we’re taking about American agriculture, we’re really taking about a national security issue,[1] demikian ditegaskan George Bush dalam Future Farmer of America, 27 Juli 2001. Hampir 25 tahun kemudian, kurang lebihnya Biden juga bicara seperti itu tapi kali ini masalah industri microchip. Globalisasi abad-20 mengimajinasikan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya melalui investasi lintas-negara dengan salah satu pertimbangan adanya tenaga kerja yang lebih murah. Maka dibawalah industri microchip ini ke Taiwan sebagai salah satu tempat investasi. Dibayangkan ‘rantai produksi’ tetaplah berjalan sesuai dengan ‘jatah-jatah-an’ globalisasi. Tetapi panas dinginnya perang di tahun-tahun terakhir serta menggeliatnya China yang ada di depan hidung Taiwan membuat negara-negara barat berpikir ulang soal ‘rantai produksi’ microchip. Bagi sebagian besar industri, bicara microchip ini seakan seperti bicara soal pangan dalam gambaran Bush di awal tulisan.
Hampir 50 tahun lalu, Sumitro Djojohadikusumo menulis di Prisma (Desember, 1975) dengan judul Teknologi dan Penataan Ekonomi Internasional. Judul yang seakan selalu saja relevan, bahkan juga untuk situasi saat ini. Tetapi fokus tulisan lebih pada pendapat Sumitro yang membedakan pengembangan teknologi menjadi tiga, adaptive technology, advanced technology, dan protective technology.[2] Bahkan sebelum ribut-ribut soal kedaruratan iklim seperti sekarang ini, Prof. Sumitro sudah dengan genuine –hampir 50 tahun lalu, menerjemahkan semangat Club of Rome (1972) secara mendalam, melalui salah satu teknologi yang mesti dikembangkan: protective technology. Bagi kita sekarang ini, ‘perang microchip’ jelas itu ada di luar kendali kita, meski tentu kita akan selalu mengejar ketertinggalan di soal advanced technology. Maka fokus tulisan ini adalah pada adaptive technology. Yang dimaksud dengan ‘adaptasi’ di sini adalah dengan memperhitungkan perimbangan-perimbangan kenyataan masyarakat itu sendiri.[3] Juga harus mengutamakan penyerapan tenaga kerja dan penggunaan bahan setempat.[4]
Pangan selain merupakan salah satu kebutuhan dasar utama, seperti dikatakan Bush di awal tulisan, adalah bicara juga soal ‘ketahanan-keamanan nasional’. ‘Contract farming’ menurut FAO[5] sebenarnya sudah dikenal sejak lama, tetapi latar belakang situasi global seperti ini, entah itu karena gejolak geopolitik atau perubahan iklim, rasa-rasanya menjadi semakin penting dan strategis. Jika kita bicara soal ‘hard power’: pertahanan semesta, ‘contract farming’ sangat bisa dikembangkan dalam imajinasi tersebut, sebagai salah satu yang katakanlah, ada di soft power. Terlebih jika negara juga hadir, maka ini harus dipastikan bukan hanya soal produksi-konsumsi, tetapi juga soal seperti disebut oleh Prof. Sumitro di atas, pengembangan teknologi adaptif. Maka kritik yang diajukan Anies B. soal food estate dengan mengajukan pendekatan lain: contract farming[6] adalah sangat tepat. Semestinya kaum petani dan yang demen-nya bicara soal gotong-royong itu mendukung tekad ini. Jika itu benar-benar dilakukan nantinya, dalam konteks republik, itulah salah satu bentuk revolusi yang bisa kita bayangkan hari-hari ini. Dan itulah sebenarnya salah satu bagaimana semestinya kita menghadapi salah satu ‘perang’ (lama) yang sungguh bisa menentukan nasib hidup bersama: perang pangan. Baik terkait dengan dinamika tata geopolitik global, maupun perang melawan ‘kapitalisme bangsa sendiri’ –kata si Bung, dalam hal ini melawan para ‘mafia pangan’. *** (28-11-2023)
[1] https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/07/20010727-2.html
[2] Sumitro Djojohadikusumo, Teknologi dan Penataan Ekonomi Internasional, dalam Y.B. Mangunwijaya (ed.), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. 1, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2, hlm. 3
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] https://www.fao.org/in-action/contract-farming/background/what-is-contract-farming/en/
[6] https://nasional.kompas.com/read/2023/11/25/15330611/anies-ingin-ganti-kebijakan-food-estate-jadi-contract-farming
1302. Infantile Disorder
28-11-2023
Soré kuwi koyo biasané sak gerombolan podho nongkrong nang cakruké Nyah Ndut, minus Totok. Dè’é seko ésuk tekan soré sibuk mèlu kursus kader partai, wis patang dino, iki dino pungkasan-penutupan. Seko kadohan kétok Totok mlaku arep kumpul bareng karo konco-konco nang Nyah Ndut. Koh Bos: “Lha kaé cah-é Nyah …”
“Sopo Koh?”
“Totok Nyah … mau kan Nyah Ndut nakok-é…”
Nyah Ndut terus ingak-inguk seko jendélo: “Hè’èh Koh bener … Kok mlakuné sajak bédo yo …”
Cuk Bowo: “Bar kursus kader Nyah …”
“Ngono yo Cuk …”
Sedhélok waé Totok wis tekan ngarep lawang cakruk-é Nyah Ndut, durung nganti mlebu cakruk Nyah Ndut wis penasaran: “Piyé kursus kader partai-né Tok?”
Totok langsung mandeg, ora sido mlebu cakruk, ning terus mlirik nang Cuk Bowo. Cuk Bowo langsung paham karepé Totok, langsung waé ‘nyanyi’ koyo tabuhan lèdhèk kethèk kaé: “Duuung .. tak-dung-tak-dung-dung …” Totok langsung nyambung lan terus wae njogèt, asliné jogèt sak-kenané. “Duuung … tak-dung-tak-dung-dung …”
Nyah Ndut setengahé geli karo jèngkèl. Ditakoni sérius kok malah dijawab karo jogèt-an. Wis kucluk tenan kaé, dab. Nyah Ndut takon manèh, setengah mbengok: “Piye kursus kader partai-né Tok?!”
Totok mandeg jogètan-é ning terus mlirik nang Cuk Bowo manèh. Saiki ora mung Cuk Bowo sing nge-rèp tabuhan a la lèdhèk kethèk kaé, ning Koh Bos mèlu-mèlu nuthuki (alon) gelas ès-tèh sing wis kosong, Kang Yos nuthuk-nuthuk mejo sajak nabuh kendang kaé, Likwan njupuk nampan terus dithuthuk-thuthuk, Cak Babo ambil piring kosong, Mas Amir njupuk panci kosong, kabeh kompak nabuhi jogèt-é Totok. “Duung tak-dung-tak-dung ….” Thing-thing-thing-thing …. Thong-thong-thong-thong …. Tèk-tèk-tèk-tèk … Totok terus njogèt ora mandeg-mandeg mergo terus waé ditabuhi.
Ponakané Koh Bos karo gerombolané terus nyedhak. Cah-cah cilik liyané yo terus kumpul karo ndodok nonton penthalitané Totok. Lumayan hiburan gratis tinimbang kudu mbayar lèdhèk-kethèk opo sirkus mini. Ponakané Koh Bos: “Kayang … kayang ….” Plok … plok …. plok … “Guling-guling …..” Plok … plok …. plok … “Maikel Jèksen …” Plok … plok …. plok ….
Nyah Ndut mèlu-mèlu kucluk karo mentul-mentul sithik: “Tum … diundang mbok-mu …. Tum … diundang mbok-mu …” *** (28-11-2023)
1303. Dampak Seorang Messi di AS
29-11-2023
Yang dimaksud dengan judul adalah dalam ranah sepak bola AS. Dari tulisan di BBC-football[1] kita bisa melihat bagaimana kedatangan Messi[2] di FC Inter Miami itu telah mengubah secara signifikan aura kompetisi sepak bola di AS sana. Kemampuan Messi, dan juga Ronaldo misalnya, tidaklah semata hanya soal bakat atau potensi, tetapi juga kerasnya latihan yang mereka jalani. Bagaimana mereka disiplin menjalani latihan-latihan pribadi. Tentu jika kita bicara soal Messi-Ronaldo, persaingan diantara mereka berdua juga merupakan salah satu faktor pendorong mereka mau berlatih keras.
Apakah logika ‘seorang Messi’ ini akan juga ada dalam ranah politik? Karena kita sering dengan soal pentingnya sistem? Juga soal logika checks and balances itu? Tentu soal checks and balances itu adalah sangat penting, paling tidak bertahun terakhir dengan tidak beerjalannya checks and balances hasilnya ternyata: rusak-rusak-an. Tetapi tetaplah soal aktor: ‘seorang Messi’ tetaplah menempati posisi sentral-nya, terlebih dalam komunitas dengan power-distance tinggi (Hofstede). Power distance tinggi itu adalah penghayatan kebanyakan khalayak akan power yang serba ‘putih’ sehingga jarang mempertanyakannya. Dalam komunitas dengan power distance tinggi, memilih ‘seorang Messi’ menjadi jauh lebih penting dibanding dalam komunitas dengan power distance rendah. Jelasnya, baik-buruk aktornya menjadi lebih penting dibanding sistem-nya.
Kita yang hidup dalam nuansa power distance tinggi ini maka dalam pemilihan semestinya memilih ‘seorang Messi’ sehingga dampak terhadap perbaikan dan kemauan hidup bersama bisa sungguh signifikan. Bisa sungguh berkembang sesuai dengan cita-cita awal yang ada dalam kesepakatan: Pembukaan UUD 1945 itu. Jika Messi ada dalam ranah sepak bola, maka ‘bahasa’ yang digunakan adalah bagaimana bola disepak. Bagaimana memainkan bola dengan kaki. Bagaimana dengan ranah politik? Itu adalah soal bermacam hal dimainkan lewat: bicara. Lewat bahasa. Melalui bagaimana seseorang bicara atau membicarakan banyak hal, terutama di republik hal-hal yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 itulah bisa terhayati apakah ia seorang Messi atau tidak. Atau apakah ia sebenatnya kelasnya masih pemain ‘antar-kampung’ tetapi dikarbit di sana-sini. Pemain karbitan yang sebenarnya memang ‘kosong’ untuk kompetisi tingkat negara. Juga perlu diingat di sini, berpikir itu mendahului bahasa. Bakat dan latihan keras itu mendahului trampilnya kaki menyepak bola seorang Messi.
Ketika kita bicara soal Messi, Ronaldo, ‘bahasa sepak-bola dengan kaki’-nya tidak usah dipermasalahkan lagi apakah ia mampu membikin gol atau tidak. Atau Dino Zoff dengan ketrampilan tangkap-bola sebagai kiper. Atau Xavi sebagai pengumpan. Jika kita masih saja mempermasalahkan apakah yang dibicarakan itu akan dilakukan atau tidak maka sebenarnya kita sedang bicara tentng yang ‘bukan Messi’. Jika itu adalah ‘seorang Messi’ di ranah politik maka apa yang dibicarakan itulah yang akan dilakukan.[3] Tentu dalam politik kadang ada tipu-tipunya, seperti Messi atau Ronaldo kadang licik juga, tetapi jelas ‘cerita besar’-nya bukanlah soal licik atau tipu-tipunya karena rekam jejak-nya memang dominan bukan soal licik atau tipu-tipu. Gol-gol yang tercipta itu pastilah bukan tipu-tipu. *** (29-11-2023)
[1] https://www.bbc.com/sport/football/67553832
[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/080-Inmessionante/
[3] https://www.pergerakankebangsaan.com/099-Merkel-Bukan-Khrushchev/
1304. Politik dan (Tubuh) Anak-Anak
29-11-2023
Anak-anak mestinya dibahas serius dalam ranah politik. Tetapi jelas juga –sebagai figur tidak boleh terus di-eksploitasi. Figur-tubuh anak-anak terus jangan menjadi alat untuk menaikkan tingkat keterpilihan. Tidak hanya bertentangan soal hak-hak anak, tetapi bisa saja akan ada ‘efek kupu-kupu’-nya –butterfly effect, yang sungguh bisa merusak tertib-tatanan hidup bersama. Kepakan kecil permainan imut-imut-an ke-kanak-kanak-an dalam ranah kuasa itu bisa-bisa akan memulai badai di nun jauh sana. Paling tidak kita membayangkan bahwa politik itu adalah ranah dunia manusia dewasa, maka janganlah dunia anak-anak ikut-ikut-an dimainkan.
Apalagi jika kita ingat apa yang memungkinkan politik itu ada, ‘yang politikal’ atau the political itu. Dari bermacam pendapat tentang ‘yang politikal’ Carl Schmitt berpendapat bahwa pembedaan antara lawan-kawan-lah yang memungkinkan politik itu ada. Bahkan pendapat-pendapat lain yang lebih ‘lunak’-pun jelas itu jauh dari dunia-nya anak-anak. Apalagi digambarkan anak-anak yang lebih mendekat pada figur bayi. Tidak hanya soal ‘beda dunia’ tetapi juga adalah soal ‘eksternalisasi’ yang akan ter-‘obyektifikasi’ dan akhirnya ter-‘internalisasi’ tidak hanya bagi para pendukungnya atau khalayak kebanyakan, tetapi juga pada dirinya, si-calon yang sudah keranjingan memainkan ‘dunia anak-anak’ ini.
Dalam bertahun terakhir ini berapa kali kita di-‘paksa’ menikmati perilaku ke-kanak-kanak-an dari seorang pemimpin? Dari glécénan-nya, tidak mau bertanggung-jawab, sampai gerakan tubuh yang ke-kanak-kanak-an itu? Atau bahkan rutin setiap tahun di-dandani layaknya mau berangkat karnaval tujuh-belasan. Dan kemudian seakan kegirangan lihat sirkus-mini main di depannya, saat pembantu-pembantunya joget-an kayak orang kesurupan. Lalu mengapa pemimpin ke-kanak-kanak-an seperti ini untuk sebagian pihak bisa ‘menakutkan’? Jangan-jangan ‘bapak’-nya memang ‘preman’ beneran. “preman’ di dunia kasus: sandera kasus. Ataukah ‘infiltrasi’ yang merupakan salah satu tahapan dari Perang Modern itu jangan-jangan sudah sedemikian dalam-nya? Apa yang terjadi adalah khalayak kebanyakan seakan tidak sekedar dibuat ‘tumpul’ oleh dunia anak-anak itu –mau menjitak karena sudah jengkel tetapi kok masih anak-anak misalnya, tetapi juga di belakang itu ternyata ‘monster-modal’, ‘monster-monster proyek strategis’, dan monster-monster lain bekerja tanpa henti mengeruk kekayaan republik. Bisa lancar-lancar saja karena sekali lagi, jangan-jangan ‘bapak’-nya memang ‘preman’ sungguhan. Berdiri di belakang sambil matanya klayapan kemana-mana.
Maka jika kita ingin peradaban bersama ini terus maju, horison hidup bersama ini terus saja dimajukan, maka hati-hati pada yang sudah keranjingan mengeksploitasi figur-figur anak-anak terlebih dengan wajah yang ke-bayi-bayi-an. Siapapun itu segera-lah bermacam figur-figur anak-anak itu ditarik dari peredaran ranah elektoral. Banyak negara sudah memberikan batas tegas soal penggunaan figur-tubuh anak dalam pemilihan. Apakah pelajaran hampir sepuluh tahun terakhir ini masih kurang? Rusak-rusak-an karena publik terlalu sering disajikan perilaku ke-kanak-kanak-an dari pemimpinnya?[1] Rusak-rusakan karena di bawah permukaan itu sebenarnya ‘premanisme’ sedang merayap-meluas? Karena pada titik tertentu, akan banyak dirasakan juga bermacam keanehan: bagaimana mungkin dunia dewasa itu dikelola dengan pakem seorang anak-anak? Sekali lagi otak-atiknya: itu hanya bertahan jika ada kediktatoran di belakangnya. Apakah ‘smiling-general’ itu sedang diganti dengan sosok ke-kanak-kanak-an? Atau bahkan jangan-jangan sudah ada yang sedang memanaskan mesin A-B-G-nya? Déjà vu? *** (29-11-2023)
[1] Lihat juga, “Bayi Trump”, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-45, no. 1299