1575. Tumbuh Kembang Bangsa (2)
10-12-2024
Bagaimana jika judul diganti dengan ‘Tumbuh Kembang Demos’? Apakah kemudian bisa dibayangkan ada juga ‘tumbuh kembang mono atau katakanlah dinasti’, dan ‘tumbuh kembang oligarki’? Karena fakta sepuluh tahun terakhir –paling tidak, ada pelajaran sungguh berharga dimana ‘tumbuh kembang bangsa’ itu secara brutal, tanpa beban, diganti dengan ‘tumbuh kembang dinasti’ dan ‘tumbuh kembang oligarki’. Tetapi menurut Robert Michels enam tahun sebelum Revolusi Bolshevik pecah, dalam ranah demokrasi perwakilan, tumbuh dan berkembangnya oligarki di partai politik misalnya, seakan tak terelakkan. Bukti di republik lebih seabad kemudian nampak dengan telanjangnya. Dan jika kita bicara soal ‘tumbuh kembang bangsa’ atau katakanlah, nations building, justru banyak partai menjadi lembaga yang nyrimpeti, mengganggu langkah kaki republik dalam mendorong tumbuh kembang bangsa.
Jika ‘tumbuh kembang bangsa’ kemudian dibaca juga melalui buku Amartya Sen, Development as Freedom (1999) maka tiba-tiba saja banyak hal bisa dibayangkan. Apa yang terjadi di Suriah hari-hari ini bisa pula dibayangkan bagaimana tiba-tiba saja imajinasi menumbuh-kembangkan suatu bangsa memenuhi hadirnya sebuah harapan, ketika sang diktator tersungkur. Ketika berpuluh tahun ‘the iron law of oligarchy’ itu melakukan ‘faustian bargain’ dengan ‘pihak luar’, tiba-tiba saja freedom kemudian perlahan melenyap. Hasilnya? Apa yang dibayangkan sebagai development itupun kemudian berjalan tertatih-tatih. ‘Jiwa yang bebas’ itu sudah digadaikan oleh dinasti dan kroni-kroninya. Dan nasib apakah yang akan dihadapi ketika sik-Mephistopheles sang-iblis sudah ‘bosan’?
Pelarangan sosial-media bagi anak-anak di bawah 16 tahun di Australia baru-baru ini juga bisa dilihat dari kacamata freedom ini. Pelarangan itu tidaklah berlawanan dengan freedom, tetapi justru untuk mendukung bagaimana freedom kelak mesti dihayati-dihadapi, atau juga diperjuangkan. Anak-anak yang masih dalam rentang-percepatan tumbuh kembang itu juga memerlukan kebebasan. Sekaligus bebas dalam ‘mengeksplorasi’ manusia-manusia kongkret di sekitarnya, dan juga alam kongkret tempat ia hidup. Pengalaman inilah yang tidak diperoleh melalui sosial media. Yang bahkan konten dari sosial media kadang (atau sering?) menjauhkan pengalaman si anak dalam berinteraksi dengan anak-anak lain dalam dunia kongkret sebelah menyebelah, misalnya. Atau kalau meminjam istilah Gilbert Ryle, dalam konteks ‘kemanusiaan’, sosial media lebih mengajarkan know-that, sedang interaksi langsung antar sesama anak akan mengajarkan kebebasan dalam ranah know-how, komplit dengan ‘ajaran’ etika di dalamnya.
Atau yang sungguh telanjang di sekitar-sekitar, bagaimana ‘sandera kasus’ itu membuat development sungguh tertatih-tatih. Bagaimana ‘tumbuh kembang bangsa’ ditelikung habis-habisan oleh keluaran dari ‘sandera kasus’ itu. Bagaimana sik-tersandera kasus itu dengan tanpa beban melakukan ‘salto mortale’ yang sungguh berdampak pada proses ‘tumbuh kembang bangsa’, pada proses ‘tumbuh kembang demos’. Dengan akibat justru yang mengalami percepatan berkembang adalah ‘tumbuh kembang mono atau dinasti’, komplit dengan ‘tumbuh kembang oligarki’-nya. Dan lihat apa yang digambarkan Amartya Sen berhubungan dengan freedom yang dimaksud, banyak yang diingkari, seperti kebebasan dalam politik yang kemudian di sana-sini muncul intimidasi melalui aparat yang pegang senjata, baik langsung atau melalui bermacam ‘bantuan’ itu. Transparansi semakin melenyap, contoh telanjang pat-gu-li-pat dalam Protek Strategis Nasional itu. Lanjutan cerita tak jauh-jauh amat dari cerita kediktatoran di ranah ‘pakta dominasi sekunder’, melakukan faustian bargain dengan sik-Mephistopheles yang ada di luar itu. Maka sekali lagi, freedom akan semakin melenyap, development-pun akan semakin tidak jelas pula. *** (10-12-2024)
1576. Celah
13-12-2024
Tertutupnya Kotak Pandora adalah mau-maunya hidup bersama. Angan yang dalam kenyataan tidak mungkin akan dicapai. Dalam praktek, hanya mempersempit celah antara tutup dan bibir Kotak Pandora yang bisa diupayakan. Dalam perjalanan panjang upaya mempersempit celah itu kita bisa melihat bagaimana mahalnya biaya, bermacam besar dan bentuk biayanya. Dari perang sampai revolusi. Juga bermacam ‘eksperimen’ telah dilakukan.
Horison juga soal celah, ‘mega-celah’ antara kita berdiri dan ‘batas’ horison yang sedang kita hayati. Ada yang berpendapat, kemajuan pada dasarnya adalah juga ‘memajukan horison’. Dan bagaimana potensi ‘memajukan horison’ akan membesar jika tidak ada kebebasan? Ketika hidup bersama terus mengalami ‘tumbuh kembang’-nya, bermacam ranah (dalam dunia kebebasannya) kemudian hadir sebagai hal yang tak terelakkan. ‘Celah-horison’pun kemudian dapat ‘dipersempit’ demi sebuah ‘kedalaman’ dalam ranah tertentu. Dan itu kemudian ‘dimajukan’ sedikit demi sedikit melalui bermacam metode yang disepakati. Ilmu pengetahuan dan sains kemudian berkembang, di banyak ranah. Maka horison tidak hanya soal ‘keluasan’, tetapi juga ‘kedalaman’. Teknokrasi adalah orkestrasi dari aktor-aktor dengan bermacam ‘kedalaman’, tetapi bagaimana itu kemudian hadir dalam luasnya partitur-partitur?
Tetapi apa yang dihembuskan sebagai ‘jiwa’ dalam luasnya partitur-partitur di atas itu? ‘Jiwa’ menurut Nietzsche yang dipenuhi will to power? Atau jiwa si-binatang ekonomi, atau si-binatang rasional? Atau siapakah menjadi bintangnya ‘penumpang gelap’? Jika mengikuti Leo Strauss terkait dengan krisis modernitas gelombang ketiga, ia menyebut: fasisme, dan itu ternyata lekat dengan ‘manusia nietzscheian’ di atas. Penguasaan atas manusia lain dan semesta atau fasisme itu, sudah dijauhkan dari kepentingan ekonomisme. Dorongan untuk menguasai sudah lebih sebagai penampakan dari ‘manusia unggul’. Atau menurut group rock Bali, Superman is (not) Dead. Dan apakah kemudian ‘ekonomisme’ menjadi bintangnya ‘penumpang gelap’?
Apapun itu, fakta hari-hari ini kita bisa melihat bagaimana upaya keras dan panjang mempersempit celah antara tutup dan bibir Kotak Pandora semakin berat saja. Di awal Abad 21, Negri dan Hardt dalam Empire sudah mengingatkan adanya pergeseran dari pendisiplinan khalayak kebanyakan (Foucault) ke kontrol. Dalam konteks ‘kontrol’ ini, polisi disebut dalam banyak halamannya. Memang polisi sebagai aktor akan berperan dalam (membantu) gelar kontrol ini, tetapi sebenarnya lebih dimaksudkan sebagai ‘negara polisi’ dalam konteks dimana negara akan selalu mengawasi dan mengontrol khalayak kebanyakan, melalui bermacam aparatusnya. Baik melalui (terlebih) ‘soft power’ maupun ‘hard power’. Melalui pengintaian jaringan CCTV sampai pada pengawasan ‘jejak digital’, misalnya. Atau ‘kontrol isu’. Atau pada titik tertentu gas air mata dan pentungan. Bahkan senjata lain yang mematikan. Tetapi bagaimana jika kemudian ‘diterjemahkan’ secara vulgar saja, polisi menjadi sebagai aktor ujung tombak dari tegaknya Empire? Empire – atau little empire, yang dalam praktek merupakan ‘rejim campuran’ (campuran dari monarki, aristokrasi/oligarki, dan demokrasi) dan kemudian polisi akan lebih berfungsi dalam mengontrol yang banyak, atau si-demos? Tentu ini akan sampai juga pada kontrol prosedur demokrasi. Tetapi bagaimana kemudian untuk mengontrol polisi sehingga selalu taat-perintah dari si-little empire? Dengan uang-kah? Dengan dinaikkan anggaran per-tahun-nya (dari pembayar pajak) secara gila-gilaan? Atau diberi kesempatan luas untuk ‘menumpuk harta’ melalui ‘underground economy” dan sejenisnya? Artinya kemudian diberilah tunggangan ‘kuda hitam’ (dalam Alegori Kereta-nya Platon) itu? Jika ini adalah keputusan rejim, maka sebenarnya ia sedang membuka tutup Kotak Pandora lebar-lebar. Karena sifat si-kuda hitam itu menurut Platon memang semau-maunya, cenderung tuli, dan maunya meluncur ke bawah saja. Dan sekali celah antara tutup dan bibir kotak melebar, akan sulit sekali untuk mempersempitnya. Biayanya akan menjadi terlalu mahal. *** (13-12-2024)
1577. Seratus Hari Untuk Sik-Eks
15-12-2024
Biasanya setelah pemenang pemilihan ditetapkan-dilantik, ada rentang waktu seratus hari pasca pelantikan bagi khalayak membuat prediksi apakah janji-janji yang ditebar saat perebutan kuasa itu mempunyai potensi besar untuk dikongkretkan di kemudian hari. Tidak mesti ada tenggat waktu memang, bahkan kalau ada tidak juga mesti harus seratus hari. Kebiasaan saja. Tetapi dalam situasi penuh dengan ke-sontoloyo-an, ternyata rentang waktu seratus hari itu juga bisa berlaku tidak hanya bagi pemenang pemilihan, tetapi juga yang sudah lengser. Apakah sik-eks itu akan mengidap post power syndrome kronis, atau hanya akut-akut saja. Yang ‘diprediksi’ bukan lagi sik-eks, tetapi justru khalayak kebanyakan. Jika post power syndrome itu ternyata melanjut kronis bisa-bisa ‘kesabaran’ khalayak kebanyakan itu akan terkikis habis. Seratus hari pasca-lengser mungkin saja khalayak kebanyakan masih bisa ‘mentoleransi’ post power syndrome yang sedang ‘akut-akut’-nya itu. Tetapi lebih dari itu? Sebab ‘mentoleransi’ sampai seratus hari itu sangat mungkin sambil menahan diri sehingga tidak muntah-muntah berulang karena sudah menjadi begitu muaknya dengan pethakilannya sik-eks itu.
Yang dimaksud dengan situasi penuh ke-sontoloyo-an di atas adalah ketika tingkah-polah sik-eks, sik-mantan, ternyata memang sungguh mengganggu suasana. Apapun itu, pasca pemilihan adalah suasana yang akan lekat diwarnai dengan harapan (baru). Tentu di balik harapan biasanya akan ada was-was. Makanya ada ‘uji-coba’ selama seratus hari, baik dinyatakan atau tidak. Intinya, ada rentang waktu tertentu bagi khalayak kebanyakan untuk melihat apakah harapan-harapan itu akan mempunyai potensi besar untuk menjadi kenyataan di kemudian hari? Setelah sepuluh tahun mempermainkan bermacam harapan khalayak kebanyakan, kok masih saja tega-teganya mengganggu suasana yang sedang penuh harapan. Mengganggu dengan pethakilan di atas panggung gelaran ‘pesta harapan’ itu. Siapa yang tidak jengkel? Itupun banyak khalayak masih mau menahan muntah selama seratus hari, katakanlah begitu.
Tetapi sebenarnya ini bukan hanya soal muak-mual-muntah, ada yang lebih mendasar. Menurut Hannah Arendt, aktifitas manusia itu bisa dibayangkan sebagai vita kontemplasia dan vita activa. Vita activa dapat dibedakan sebagai kerja, karya, dan tindakan. ‘Kerja’ lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan biologis-kelangsungan hidup, misalnya. Sedangkan ‘karya’ akan melibatkan hasil-hasil karya-cipta yang tidak pertama-tama ditujukan pada pemenuhan kebutuhan biologis. Politik ada di ‘ranah’ tindakan menurut Hannah Arendt, dan itu bersumber dari ‘tindakan komunikasi’ yang bebas. Dan apa salah satu ujung dari tindakan politik itu? Itu adalah ‘kelahiran kembali’, rebirth.
Bagi yang selama berkuasa tidak pernah menghayati hal mendasar dari politik sebagai komunikasi, dan sering bermain-main dengan kebebasan, memang akan sulit menghayati adanya kemungkinan ‘kelahiran kembali’ dalam politik. Ngibul tiada henti, tipu sana tipu sini, penuh dengan upaya melambungkan citra diri –bahkan di tengah bencana, gegayaan sok-sok-an, tidak mau mendengar: mbudeg, adalah sebagian penampakan telanjang bagaimana politik memang dijauhkan dari komunikasi yang ‘otentik’. Belum lagi adanya pasal-pasal karet dalam perundangan yang sering digunakan untuk membungkam lawan politik. Jadi situasi ke-sontoloyo-an seperti digambarkan di atas, memang karena terlalu banyak disesaki oleh penthakilan-nya sik-sontoloyo. Khalayak kebanyakan mengalami kekerasan sebenarnya, karena akses untuk menggapai potensi ‘kelahiran kembali’ telah dihalang-halangi oleh sik-sontoloyo itu. Sadar atau tidak. *** (15-12-2024)
1577. Sebelum Otak-atik Prosedur (Demokrasi)
1579. Lupa
17-12-2024
Dengan skema Strategi Kebudayaan-nya Van Peursen kita bisa mempermasalahkan soal ‘lupa’ ini. Skema atau tahap-tahap: mitis, ontologis, dan fungsionil. Mengapa masalah ‘lupa’ ini menjadi penting? Sebagai ilustrasi kita bisa melihat bagaimana soal ‘lupa’ ini begitu lekat terkait dengan Donald Trump. Bagi Nietzsche melupakan masa lalu itu bukanlah masalah besar terutama masa lalu yang gelap dan menyakitkan, lupakan dan capailah yang lebih besar lagi. Jika memakai skema Strategi Kebudayaan di atas, masa lalu tidak hanya dihayati dalam tahap fungsionilnya, bahkan dalam modus ‘bablasannya’: operasionalisme. Masa lalu terkait uang sogokan untuk tutup mulut, hush money meski sudah diputus bersalah, lupakan saja. Atau bagaimana dokumen rahasia negara bisa sampai rumah pribadi Trump di Florida sana, lupakan. Dan masalah-masalah lain di masa lalu yang ada di sekitar Trump, lupakan. ‘Operasionalisme’ penghayatan akan masa lalu yang berujung pada pelupaan itu semakin mendapat lahan suburnya ketika logika waktu pendek semakin merebak. Situasi yang didorong oleh cepat-ringkasnya hilir mudiknya informasi. Apakah kemudian krisis modernitas gelombang ketiga: fasisme, yang dibayangkan Leo Strauss di sekitar 1950-an itu semakin membayang ketika ‘manusia nietzscheian’ semakin mengemuka? Fasisme yang urusannya pada penguasaan manusia atas manusia lain dan alam semesta itu semakin mem-‘booster’ pelupaan masa lalu demi ‘kejayaan’ masa depan?
Tetapi dilupakan atau tidak, masa lalu tetaplah akan ada dalam bermacam bentuknya, katakanlah paling tidak akan selalu ada di dunia ketiganya popperian itu. Atau katakanlah, sudah ter-obyektivasi, dan bagaimana akan di-internalisasi? Atau ngendon jauh dalam ketidak- sadaran. Dalam olah kuasa terlebih di dunia ‘fasisme’ seperti gambaran di atas, maka masa lalu yang akan dilupakan tetapi tidak bisa dihilangkan itu bisa-bisa akan dieksploitasi dalam tahap ‘mitis’-nya. Semata lebih pada kekuatan ‘sihir’-nya. Maka dalam konteks contoh Trump di atas, lahirlah MAGA itu, make American great again. Atau di republik, olah-narasi ‘nusantara’ itu.
Lalu apa yang paling menjadi ‘korban’ dalam skema Strategi Kebudayaan di atas? Nampaknya adalah tahap ontologis. Kegagapan bahkan pelupaan akan hal-hal mendasar. Termasuk juga dengan penampakan telanjangnya: pelupaan terhadap etika. Anti-sainspun bisa-bisa akan membesar. Bukan karena sains berhenti atau tidak berkembang, tetapi sains-pengetahuan kemudian menjadi salah satu ‘pembeda kelas’. Khalayak kebanyakan akan dijauhkan dari sains atau pengetahuan yang perlahan akan menjadi milik atau kekuatan ‘kelas’ tertentu. Khalayak kebanyakan tidak ‘dilatih’ untuk mengakrabi sains dan pengetahuan. Atau katakanlah, pembodohan massal sebenarnya telah terjadi dimana-mana, melalui bermacam pintunya. Dan apakah seratus-limapuluh tahun kemudian akan lahir Marx baru? *** (17-12-2024)