1080. Dari 'Sosialisme Utopis' ke 'Sosialisme Digital'?
05-02-2023
“Kamu adalah apa yang kamu makan, der mensch ist, was er isst,” demikian Feurbach sedikit menjelaskan soal materialisme. Bicara soal Marx tidak bisa lepas dari Feurbach. Dan bisakah kita menemui Feurbach tanpa ditemani Hegel? Atau yang disebut sebagai ‘sosialisme ilmiah’ itu tanpa ‘sosialisme utopis’? Tulisan ini bukan soal ‘sosialisme utopis’, atau ‘sosialisme ilmiah’, atau istilah spekulatif seperti ‘sosialisme digital’, tetapi adalah soal ‘dunia ke-tiga’-nya popperian. Bagaimana dunia ke-tiga popperian itu lebih mampu memajukan horison ketika di-‘materialisasi’ dalam bermacam ‘kotak-kotak penyimpanan’, baik dalam bentuk corat-coret di dinding gua, atau manuskrip, atau hasil cetakan, atau simpanan elektronik, atau sampai sekarang : simpanan digital. Dan juga bagaimana itu semua kemudian terdistribusi. Dimana distribusi ‘kekuatan pengetahuan’ itu seakan melebar-dan-terus-melebar layaknya sebuah proses molekuler yang sedang ‘menunggu’ datangnya si-katalis.
Maka se-utopia-utopia-nya ‘sosialisme utopis’ misalnya, ia bukannya kemudian tanpa arti meski memang perubahan yang dicapai tidaklah ‘radikal’. Paling tidak ia telah ikut melempar hal-hal yang nggak bener itu ke dunia ke-tiganya popperian itu. Atau katakanlah hal-hal yang nggak bener itu di-‘eksternalisasi’ dan perlahan mengalami ‘obyektivisasi’ sendiri, dan dengan bantuan produk media cetak saat itu hal tersebut di-‘internalisasi’ oleh banyak orang. Sedikit banyak suasana kebatinan ‘mainstream’ itu mulai mengalami keretakan di sana-sini. Rerum Novarum, ensiklik Gereja Katolik yang muncul di dekade akhir abad-19 ‘terpaksa’ dikeluarkan karena gereja kemudian banyak ditinggalkan karena diam saja terhadap situasi nggak bener itu, yang mulai terkuak di bagian akhir abad-18 dan menggelinding terus di abad-19. Kalau nggak mau ditinggalkan oleh umat, yang bersikaplah, maka keluarlah Rerum Novarum itu –di tahun 1891. Jaman sedang bergerak dengan tanda-tanda jaman yang kadang meletup kecil di sana-sini.
Dari ‘kotak-kotak penyimpanan’ itu kita bisa meraba bahwa di balik itu ‘kemajuan’ itu memang perlu ruang dan waktu. ‘Kotak-kotak penyimpanan’ itu memberitahu pada kita bahwa dengan adanya itu ruang dan waktu menjadi mungkin untuk sebuah uji ulang, atau pendalaman. Dan juga yang lebih penting, untuk bisa sampai pada posisi ‘terdukung’. Singgungan dengan gejolak hasrat ‘utama’, kuasa, sekaligus juga mulai mendekat. Maka ‘kompetisi’-pun menjadi mungkin, diakui atau tidak. Misal, teori apa yang akan mendapat ‘dukungan’ dari khalayak, atau kadang paling tidak peer-groupnya? Tetapi dibalik uji-ulang dan pendalaman itu sebenarnya bukanlah pertama-tama soal ‘kebenaran’, tetapi adalah upaya melawan kekuatan kuno maha dahsyat di ranah pengetahuan : tipu muslihat. Atau dalam kata-kata Karl Popper, ada kemungkinan untuk dibuktikan salah, falsifikasi. Karena selalu ada dalam radar pembuktian salah, maka ranah sains-pun kemudian tidak bisa ugal-ugalan lagi. Bahkan jika itu berangkat dari imajinasi ‘sama’ ketika bertemu bermacam kemiripan-pun harus membuka diri untuk masuknya radar pembuktian salah itu, melalui intersubyektifitas dengan imajinasi lain misalnya. Atau di-cek-recek lagi dengan realitas yang ada. *** (05-02-2023)
1081. Salto Mortale Mobil Esemka
06-02-2023
Apa yang ada dalam imajinasi kita soal mobil nasional Esemka itu? Bertahun-tahun seakan terus saja menjadi salah satu hantu-gentayangan dalam hidup bersama ini? Apakah ini hanya soal olah-citra, olah tipu-tipu, olah ‘nasionalisme’, atau bahkan juga jadi olah-olok-olok? Ataukah membenarkan ungkapan Abraham Lincoln di tahun 1858 itu, “You can fool all the people some of the time and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time”? Ataukah ada yang ikut nguping saat Khrushcev ketemu Nixon, kata Khruschev seperti diceritakan Nixon: “If the people believe there’s an imaginary river out there, you don’t tell them there’s no river there. You build an imaginary bridge over the imaginary river.”
Jika kita boleh membayangkan dua ‘ranah’, soal ‘merebut kuasa’ dan ‘menggunakan kuasa’, maka salto mortale akan terjadi ketika menjadi tidak hati-hati soal pergeseran dari ‘ranah’ merebut kuasa ke ‘ranah’ penggunaan kuasa. Jika pintu ‘tipu-tipu’ dibuka, salto mortale akan membesar potensinya jika tidak sekaligus menyiapkan ‘pintu keluar’ secara elegan –terlebih jika sudah masuk ‘ranah’ penggunaan kuasa, meski sebenarnya tidak ada singgungan sama sekali soal tipu-tipu itu dengan soal elegan. Jika sudah sampai di ‘ranah’ penggunaan kuasa tetap saja tidak mampu membuka ‘pintu keluar’, bahkan kemudian justru semakin keranjingan, tipu-tipu jenis ini –disadari atau tidak, akan mendorong hidup bersama menuju ‘lompatan kematian’-nya, salto mortale. Bukan masalah ‘tipu-tipu-berantai’, tetapi karena ‘lompatan kematian’ itu ada dalam bentuk ketertinggalan dibanding bangsa lain. Ketertinggalan dalam tata-global yang semakin kompetitif itu berarti juga semakin mendekat ke jurang kematian.
Salto mortale mobil Esemka semakin menampakkan diri jika kita ingat lagi soal mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan seperti disinyalir oleh Koentjaraningrat 50 tahun lalu, (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Jika kita mau belajar dari ‘macan-macam’ Asia, katakanlah Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan kemudian juga China sekarang ini, bukankah paling tidak ke-lima hal di atas berhasil mereka atasi dengan elegan-nya? Maka rejim yang gagal dalam mengatasi ke-lima hal di atas –paling tidak, dan bahkan dengan penuh kesadaran melanggenggakannya demi kuasa tetap di tangan, jika ada rejim seperti itu maka itu bukanlah rejim monarki, aristokrasi, ataupun rejim demokrasi, tetapi adalah rejim bangsat! Ke-bangsat-an yang semakin menampakkan diri ketika olah-kuasa dengan tanpa beban lagi mencampakkan soal nation building yang genuine -"really proceeding from its reputed source" [1]. Bukan berangkat dari yang anti-anti-an. Anti-ini, anti-itu, tetapi faktanya sinyalir Koentjaraningrat 50 tahun lalu –lihat atas, tetap saja ada dan bahkan di-‘fasilitasi’ berkembang-biaknya. *** (06-02-2023)
1082. Empat-puluh-dua Tahun Lalu
08-02-2023
What's irritated me about the whole direction of politics in the last 30 years is that it's always been towards the collectivist society. People have forgotten about the personal society. And they say: do I count, do I matter? To which the short answer is, yes. And therefore, it isn't that I set out on economic policies; it's that I set out really to change the approach, and changing the economics is the means of changing that approach. If you change the approach you really are after the heart and soul of the nation. Economics are the method; the object is to change the heart and soul.
Kutipan di atas adalah bagian akhir dari wawancara Margaret Thatcher dengan Sunday Times, 1 Mei 1981, dua tahun setelah ia naik menjadi PM Inggris. Yang dimaksud Thatcher 30 tahun terakhir adalah paradigma ekonomi pasca Perang Dunia II, welfare state. Maka tidak berlebihan jika Pierre Bourdieu menekankan bahwa esensi neoliberalisme yang diusung oleh Thatcher sejak 1979 –dan Reagen yang jadi presiden AS 1980, itu adalah, a program for destroying collective structures which may impede pure market logic.[1] Tetapi adakah ‘pasar bebas murni’ itu? Robert Reich, 6 Februari 2023 menulis di The Guardian terkait penilaiannya terhadap ekonomi-nya Biden : “Biden’s larger achievement has been to change the economic paradigm that has reigned since Reagan. He is teaching America a lesson we once knew but have forgotten: that the “free market” does not exist. It is designed. It either advances public purposes or it serves the monied interests. Biden’s democratic capitalism is neither socialism nor “big government”. It is, rather, a return to an era when government organized the market for the greater good”.[2] Memang bukan sosialisme, atau ‘big government’, tetapi jelas juga bukan ‘ultra-minimal state’[3].
Tulisan ini bukan soal pergeseran ‘paradigma ekonomi’ seperti tergambarkan di atas yang bisa-bisa berlangsung tidak dengan damai-damai saja, tetapi soal pentingnya ‘heart and soul’ seperti disinggung Thatcher di atas. Di tahun 1980-an itu Thatcher sedang membayangkan bahwa paradigma kapitalisme-neoliberal yang diusungnya itu perlulah perubahan ‘heart and soul’ dari rakyat Inggris saat itu, yang dalam kacamata neoliberal menjadi hilang ke-individu-annya, individu yang harus berhadapan-bertarung dalam pasar bebas. Maka kita bisa juga membayangkan, bagaimana jika yang diusung itu kapitalisme-kroni? Kapitalisme pat-gu-li-pat, kapitalisme kong-ka-li-kong? Atau rent-seeking activities yang sudah ugal-ugalan itu? Atau ‘resources-curse-capitalism’? Maka ‘metode’ ekonomi seperti itu perlulah ‘heart and soul’ tertentu sehingga bisa beroperasi dengan enaknya. ‘Heart and soul’ yang sebenarnya berujung pada berkembangnya satu bentuk habitat tertentu. Lempar-lempar bingkisan dari jendela mobil yang berjalan pelan itu menjadi sudah bukan lagi lucu-lucu-an atau soal keranjingan main raja-raja-an lagi, tetapi adalah ‘perang psikologis’ yang outcome-nya adalah berkembangnya ‘heart and soul’ yang kompatibel dengan kapitalisme aèng-aèng seperti di atas. Dan itu barulah satu contoh bagaimana memang ‘heart and soul’ hidup bersama sedang digarap habis-habisan untuk langgengnya kapitalisme aèng-aèng itu. Nggak ada itu usaha untuk membuat menjadi bangsa petarung, menjadi bangsa bermartabat, tetapi yang sedang terjadi adalah dibiasakan untuk mengemis dan menjilat. Juga dibiasakan untuk menipu-munafik, atau menapak jalan gampang seperti hikayat mobil Esemka itu : jalan gampang, tanpa kehormatan sama sekali. Bangsat-lah. *** (08-02-2023)
[1] https://mondediplo.com/1998/12/08bourdieu
[3] Lihat juga, http://www.pergerakankebangsaan.com/553-Akhir-Dari-Ultra-minimal-State-1/, dan seterusnya
1083. Keutamaan Publik
09-02-2023
“When we are planning for posterity, we ought to remember that virtue is not heredity.” Thomas Paine, Common Sense, 1776
Ada dua peristiwa yang baru-baru ini menggelitik, pertama soal naiknya PBB di Solo yang ugal-ugalan, dan kedua adalah harus bayar bagi pengguna Skywalk Kebayoran Lama, Jakarta. Kedua-duanya terberitakan batal setelah banyak protes muncul ke permukaan. Apakah ini soal lucu-lucuan? Atau main pahlawan-pahlawan-an? Atau coba-coba tes reaksi khalayak? Atau sebenarnya merupakan puncak gunung es, yaitu melenyapnya ‘keutamaan publik’. Keutamaan publik yang jika kita mencari di awal-awal kemerdekaan AS sono, sekitar tahun-tahun 1776-an, banyak ‘diskusi’ diantara founding fathers mereka soal keutamaan ini, soal virtue. Sampai-sampai Thomas Paine-pun mengingatkan seperti kutipan di awal tulisan, terkait peran sentral virtue dalam bangunan negara yang baru dimerdekakan itu.
Dari ke-empat keutamaan ‘utama’, kebijaksanaan (prudence), keberanian (fortitude), keadilan (justice), dan pengendalian diri (temperance), keutamaan prudence adalah ‘ibu’ dari segala keutamaan. Keberanian, keadilan, pengendalian diri, dan keutamaan-keutamaan lainnya akan tidak lepas dari hal kemampuan timbang-menimbang ini. Prudence tidak usah dilawankan dengan keragu-raguan. Tidak ada urusannya dengan ragu-ragu, atau kepengecutan. Supaya kita tidak mudah termakan oleh ‘propaganda’ atau spin ini-itu demi mengaburkan apa yang sebenarnya terjadi. Atau kemudian menjadi ringan tangan untuk memberikan tepuk tangan meriah bagi laku sok-sok-an, ugal-ugalan, yang sejatinya kelakuan itu jauh dari keutamaan prudence.
Keutamaan prudence ini menjadi semakin penting di tengah-tengah merebaknya ‘logika waktu pendek’ akibat cepat dan banjirnya informasi di era digital ini. Apalagi jika disinggungkan oleh post-truth-post-truth-an itu. Tetapi lebih dari itu, keutamaan prudence sebenarnya bisa menjadi benteng tangguh dalam menghadapi apa yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession, yang merebak dalam paradigma kapitalisme-neoliberal.
Maka semakin nampak bahwa pemimpin yang tidak punya keutamaan prudence, yang jenis seperti ini adalah ‘sahabat sejati’ bagi pelaku accumulation by dispossession. Tetapi bagi kebanyakan khalayak, ia adalah musibah. Bahkan bagi republik. Pemimpin jenis seperti ini sangat tidak layak bagi republik di era yang disebut oleh Alvin Toffler, era dimana kekuatan pengetahuan yang mestinya memimpin. Pemimpin jenis seperti ini hanya akan menjerumuskan republik ke era kegelapan saja. Lihat saja misalnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk ‘industri-alih-isu’, atau untuk memoles habis-habisan supaya nampak mak-nyus. Baik dari segi rupiah maupun biaya sosial-nya. Sangat-sangat-sangat mahal, terlebih di tengah situasi yang semakin sulit diprediksi ini. Belum lagi dengan segala yang sudah dirampas dari republik. *** (09-02-2023)
1084. Multitude
12-02-2023
Dalam pandangan Negri dan Hardt, multitude bukanlah sekedar kerumunan, atau massa yang tiba-tiba saja memenuhi lapangan dan jalanan. Melalui kacamata Manuel Castells tentang networking society, multitude menjadi semakin jelas. Katakanlah multitude itu semacam ‘mosaik massa’ yang terhubungkan oleh bermacam jaringan. Merebaknya modus komunikasi mass-to-mass melalui yang serba digital itu ‘memaksa’ kekuatan ‘yang banyak’ berkembang melalui rute yang berbeda dibanding saat dominannya modus komunikasi man-to-mass. Ketika banyak orang berkumpul, maka bisa-bisa pula banyak alasan-alasan yang berbeda mengapa ia ikut berkumpul. Pendapat Alvin Toffler soal ‘mosaic democracy’ sedikit banyak mendukung hal ini. Masalahnya jika kita membayangkan soal multitude, networking society, mosaic democracy, mereka ada tidak di ruang kosong. Mereka selalu ada dalam produksi-dinamika kuasa. Atau meminjam analisa Robert Reich terkait ‘ekonomi-nya Biden’ yang maunya dinamika ekonomi bisa menuju pada ‘era when government organized the market for the greater good’ [1], dan itu akan vs pelaku-penikmat accumulation by dispossession-nya David Harvey itu, era ultra-minimal state. Atau katakanlah, ngèyèl-nggak-mau-digesernya ‘kelas pedagang’ oleh ‘filsuf raja’. Dan banyak catatan sejarah bagaimana kekuatan ‘kelas pedagang’ ini, dan biasanya kalau toh mau digeser rute yang ditapak akan panas-dingin.
Potensi terbentuknya multitude menjadi membesar memang karena merebaknya komunikasi digital melalui jaringan internet. Atau jika kita mengikuti Noam Chomsky [2], potensi untuk mengetahui sentimen yang lain itu menjadi semakin besar dengan adanya, misal, sosial media itu. Maka akan ada proses kon-formasi, pembentukan bersama dengan saling membuka diri, saling memahami, bahkan jika itu tanpa melebur menjadi satu. Dengan adanya modus komunikasi mass-to-mass ini sebenarnya ‘masyarakat pembelajar’ bisa dikatakan mendapat momentum-nya. Tetapi sekali lagi, kita harus ingat juga pendapat Arnold Toynbee soal ‘hukum’ pertukaran kebudayaan, katakanlah sinar budaya yang bernilai ‘tinggi’ justru malah banyak resistensinya, menjadi sukar menembus, tetapi yang ‘rendah’ nilainya maka akan lebih mudah diserap. Dan juga perlu diingat pula apa yang disampaikan Walter J. Ong, bahwa ‘modus’ melihat akan cenderung ‘memecah-belah’, sedang ‘modus’ mendengar akan cenderung ‘mempersatukan’. Satu gambar tampil di media sosial, masuk ke akun A, B, C, dan seterusnya, dan A, B, C melihat tampilan itu di masing-masing alat di tangan dengan imajinasinya masing-masing. Bisa sama, bisa beda. Maka memang tidak mudah ‘membentuk’ multitude itu, terlebih ketika mau didorong ke ranah demokrasi. Machtsvorming di ranah demokrasi yang di-imajinasikan akan mendorong outcome pasar ke arah ‘the greater good’ seperti kutipan analisis Robert Reich di atas. Apalagi ini adalah soal ‘menggeser’ kekuatan uang yang bisa kita pelajari bersama dari bermacam peristiwa masa lalu, berlangsung dengan tidak mudahnya. Machtsaanwending yang akan berhadapan dengan kekuatan uang. Jika dalam ‘yang banyak’ ada power, maka soal ‘merebut’ dan ‘menggunakan’ power bisa sama-sama tidak mudahnya. Dari Engels kita bisa belajar soal pentingnya ‘proses-proses molekuler’ dan peran penting ‘katalis’. Tetapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ.
Ketika Putin naik ke kekuasaan di akhir abad-20-awal abad-21, ugal-ugalannya kaum oligark berhasil dikendalikan, dan dengan itu uang yang saat itu banyak dikangkangi kaum oligark bisa diminta lagi masuk kas negara dan dengan itu pula perawatan dan pengembangan senjata, terutama senjata nuklir menjadi mungkin dilakukan lagi. Tetapi hikayat Putin 20 tahun kemudian, nampaknya ia sudah diangkat menjadi ‘sultan’-nya kaum oligark. Bahkan mungkin sekali sudah berjalan bertahun-tahun terakhir. Tetapi mau ‘sultan’ atau ‘boneka’ bagi kaum oligark sama saja outcome-nya, selama kekuatan uang bisa bersekutu dengan kekuatan kekerasan dengan kuatnya. Memang jika boleh memilih tentulah ‘boneka’ saja. Lebih mak-nyos bagi mereka, tetapi jelas musibah bagi ‘yang banyak’. *** (12-02-2023)
[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-02, tulisan no. 1082
[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/041-Belajar-Dari-Noam-Chomsky/