1565. Hikayat Kupu-kupu Asal Mangap

26-11-2024

Tidak hanya kepakan kupu-kupu di Amazon bisa mengakibatkan badai di nun jauh sana, tetapi mulut kecil kupu-kupu yang asal mangap, asal njeplak bisa mengakibatkan ‘badai’ di republik. Sudah tidak lucu lagi asal mangap, asal njeplak itu, atau ngibul tak tahu batas, juga gegayaan sok-sok-an keranjingan tebar gimmick, atau juga glècènan komplit dengan bahasa tubuhnya …, lihat bagaimana kemudian soal tanggung jawab (publik) itu mengalami keretakan besarnya. Bagaimana kehormatan semakin menjadi barang langka. Yang memegang senjata api semakin ‘ringan tangan’ saja, toh akhirnya selesai dengan asal mangap, asal njeplak. Wakil rakyat juga mulai senang asal mangap, tanpa beban lagi. Tanpa konsekuensi sedikitpun. Kata-katapun ‘dikorupsi’ dengan tanpa beban lagi. Semau-maunya. Sudah tidak lucu lagi. Rusak-rusakan. Sungguh kerusakan yang sangat tidak mudah untuk memperbaikinya. Maka hanya satu kata yang pantas untuk rejim asal mangap, asal njeplak itu: ASU!! *** (26-11-2024)

1566. N(S)KRI

28-11--2024

Masih ingat kasus Bruneigate jaman Gus Dur? Bagaimana gorengan kasus itu kemudian berujung lengsernya Dus Dur. N(S)KRI dalam judul adalah singkatan dari “negara sandera kasus republik i” yang jangkauannya bisa menerobos batas negara, seperti gorengan Bruneigate itu. Rentang ‘bahan dasar’ penyanderaanpun bisa bermacam-macam, dari pengadaan bis kota sampai pesawat terbang misalnya. Macam-macam.

Dan tidak mesti ‘person of interest’ yang digoreng-goreng sampai gosong, bisa ‘keponakan’ dulu untuk kemudian (jika diperlukan) mlipir lagi ke anak dan menantu. Kasus biasanya berangkat dari liarnya si-kuda hitam dalam Alegori Keretanya Platon, yang menunjuk segala hasrat perut ke bawah, terutama hasrat akan uang, dan sex. Juga hasrat akan makan. Bayangkan jika rekaman sex-liarnya ada di tangan-tangan tak berhak, bisa-bisa akan tersandera kasus habis-habisan. Atau juga ketika hasrat akan ‘makan’ –dalam hal ini ‘makan-kenyang’ narkoba, bisa-bisa bapaknya misalnya, akan mau melakukan apa saja supaya kasus anaknya itu tidak muncul ke permukaan. Kasus yang umum memang berangkat dari hasrat akan uang. Bisa melalui keponakan, anak, atau menantunya. Atau dia sendiri. Macam-macam.

Jika kita membayangkan bagaimana ‘mesin’ fasis ala Hitler bekerja, maka bayangkan pula jika itu terjadi dalam ‘dunia mikro’ si-individu-individu. Semua ‘waktu’ dieksploitasi, baik masa lalu, masa depan, dan jelas juga masa sekarang, dengan bahan dasar eksploitasi adalah ke-megalomaniaan. Entah itu nama baik atau ‘kebesaran’ diri, atau juga apa-apa yang sudah diperolehnya, yang kemudian itu semua sedang dipertaruhkan sekarang ini. “Sandera kasus” adalah soal pintu masuk saja untuk kemudian terolah dalam ‘mesin’ fasis dalam dunia mikro itu. Cerita selanjutnya adalah seperti dikatakan oleh Hannah Arendt, banality of evil. Orang kemudian membuat status janda sebagai bahan olok-olok. Atau melakukan guyonan tak pantas di depan publik. Atau bahkan kecurangan yang sudah telanjang tanpa rasa sungkan lagi. Hampir bisa dikatakan, semua bentuk kejahatan itu satu demi satu menampakkan diri sekan sudah sebagai bagian yang normal-normal saja. Hannah Arendt menunjuk ‘ketidak berpikiran’ sebagai pintu masuk utama dari banality of evil ini. Tak jauh-jauh amat dari tesis Wilhelm Reich 10 tahun sebelumnya, dimana Reich berpendapat bahwa fasisme itu lekat dengan eksploitasi irrasional ‘massa-individual’. Hal yang dalam pandangan Freud ada di bagian tidak sadar, dimana id bersemayam. Maka segera nampak saja, bahkan dari pengalaman bertahun terakhir sampai sekarang, ‘musuh’ utama situasi seperti ini adalah pihak-pihak yang mau mengajak untuk ‘berpikir’. Tak mengherankan pula jika kebodohan dan kemiskinan kemudian seakan ‘dipelihara’ saja.

Inilah salah satu pelajaran (lagi) dari daya rusak ‘sandera kasus’, juga terkait gelar pilkada kemarin. Mesin partai tiba-tiba saja meredup gara-gara sandera kasus ini. Tentu masih banyak faktor lain. Ataukah sebaiknya kita mulai melihat kemungkinan lain, seperti sistem distrik misalnya. Intinya adalah bagaimana rentang-kontrol oleh orang kebanyakan dari laku semau-maunya orang-orang tersander kasus itu ‘dipersempit’, seakan semakin mendekatkan diri pada model ‘demokrasi langsung’. Dengan memperkecil rentang daerah pemilihan, pengawasan oleh masyarakat local akan semakin mudah ‘diorganisir’. Dan sekaligus yang terpilih dan atau partainya dapat semakin mudah ‘ditunjuk hidungnya’ jika semau-maunya. Tetapi pada kesempatan ini yang ingin ditekankan adalah bagaimana ‘sandera kasus’ itu telah begitu lekat mewarnai (juga) pilkada kemarin. Dan itu bukanlah ‘politik transaksional’, tetapi sudah merupakan ‘banality of evil’. Rusak-rusakan. *** (28-11-2024)

1567. Fordisme vs Fordisme

30-11-2024

Fordisme lebih seabad lalu memang berangkat dari dinamika pabrikan, dari korporasi, tetapi bagaimana jika itu ada-diterapkan juga di Indonesia Inc., atau bagaimana dengan Jepang Inc., atau juga China Inc.? Istilah Indonesia Inc., diperkenalkan oleh Christianto Wibisono sekitar 35 tahun lalu. Pada awal-awalnya Fordisme banyak mendapat perhatian karena keberhasilannya. Tidak hanya dari korporasi, tetapi juga dari negara-negara lain seperti Jepang, Rusia, Italia, Jerman misalnya. Bahkan ada yang mengkaitkan bagaimana Fordisme ini mempengaruhi ‘gaya’ Nazi dalam membangun kekuatan industrinya. Tak mengherankan adanya bayang-bayang fasisme jika itu digabungkan dengan pemikiran ekonomi dari Friedrich List.

Pada bagian akhir abad 19, Friedrich Engels ‘membaptis’ pemikiran Marx sebagai ‘sosialisme saintifik’. Pada tahun 1910, pemikiran Frederick Taylor tentang manajemen ada yang kemudian menamai sebagai ‘manajemen saintifik’. Teori yang dikembangkan oleh Taylor untuk semakin mencapai kondisi efisien. Dari hal di atas sebenarnya istilah dalam Amandemen UUD 1945: efisiensi berkeadilan, bisa berangkat untuk diperdebatkan, diperdalam. Fordisme kira-kira juga mendapat dorongan dari nuansa Tylorisme di atas, muncullah upaya efisiensi melalui ‘rantai-berjalan-produksi’ –assembly line, dalam produksi mobil Ford model-T. Membuat satu mobil tidak lagi dikeroyok beberapa teknisi atau tukang-montir sehingga jadi satu mobil, tetapi mobilnya dijalankan di atas ‘papan-berjalan’ untuk dipasang-dirakit mesinnya, terus pindah, dipasang bodinya, pindah lagi dipasang ini dan itu, dan seterusnya. Spesialisasi dalam pekerjaanpun kemudian berkembang, dalam konteks misalnya, ‘spesialis’ pasang mesin, pasang bodi mobil, pasang ban, dan seterusnya. Juga sebagai konsekuensi logisnya, standardisasipun juga berkembang. Lihat misalnya, bagaimana kemudian cikal-bakal ISO itu berkembang selama Perang Dunia II bergejolak. Itu juga tak lepas dari ‘rantai produksi’ alat-alat perang. Sebenarnya tidak hanya itu yang dilakukan Henry Ford, tetapi ia juga menaikkan gaji karyawannya sehingga mereka menjadi mampu membeli mobil yang ‘dibuat’-nya. Untuk hal terakhir ini ada akibatnya memang, meski tidak dituju pada awalnya, yaitu ‘konflik kelas’ menjadi semakin diperkecil, dan organisasi pekerja semakin kurang bergigi.

Di akhir abad lalu Amartya Sen menerbitkan Development as Freedom (1999). Dari judul maka kita bisa membayangkan mengapa Sen kemudian menekankan pentingnya kapabilitas, the power or ability to do something. Kebebasan itu mengandaikan juga adanya kapabilitas. Dan bagaimana meningkatkan kapabilitas ini jelas tidak hanya mengandalkan mekanisme pasar melalui logika ‘invisible hand’-nya, tetapi juga ‘visible hand’, meminjam istilah yang sering disematkan pada lulusan-lulusan business administration yang mulai berkembang di akhir abad 19 di Amerika sono. ‘Visible hand’ yang dalam kasus di atas adalah Henry Ford, misalnya. Maka kebebasan bukanlah dilempar begitu saja ke ruang ‘survival of the fittest’. Si-‘visible hand’ di ranah negara mempunyai kewajiban juga dalam meningkatkan kapabilitas bagi warganya, terutama yang mempunyai potensial besar menjadi terpinggirkan dalam ‘mekanisme pasar’. Maka pada dasarnya memang semestinya ‘pasar’ atau ekonomi dalam arti lebih luas, dihayati sebagai yang lekat (embeddedness) dengan dinamika sosial tempat ia berkembang-hidup (Karl Polanyi, 1944). Atau kalau memakai asal kata ekonomi itu sendiri: oikos-nomos.

Hal-hal di atas adalah sebagian kecil saja ‘pelajaran’ dari abad-20. Jadi untuk abad 21 ini …, what is to be done? *** (30-11-2024)

1568. Dua Kelas Di Depan Kematian (1)

01-12-2024

Yang dimaksud dengan ‘kelas’ adalah berangkat dari olahan tripartite jiwanya Platon dalam ranah polis. Menurut Platon dalam Alegori Kereta, ada kelas filsuf raja, kelas serdadu, dan kelas pedagang. Atau digambarkan dalam alegori tersebut, sais, kuda putih, dan kuda hitam. Bagaimana jika yang memimpin republik adalah pasangan dari kuda putih dan kuda hitam? Dan mereka memimpin tidak di ruang kosong, tetapi memimpin dengan segala bentuk kematian ada di depan mata? Terutama kematian akibat perang. Siapa bilang perang (besar) tidak semakin mendekat? Bagaimana jika misalnya, hegemoni dollar AS sebagai mata uang utama global itu kemudian diusik? Jika itu terjadi bisa dipastikan cepat atau lambat perang besar akan terjadi.

Maka ‘kematian-kematian’ itu adalah juga ‘tantangan’. Adalah kemungkinan yang mesti dihadapi, bahkan jika potensi perang besar itu tidak ada. Apalagi jika fakta potensialnya dari hari ke hari terus saja membesar. Atau juga kematian-kematian akibat kemiskinan, atau akibat dari segala bentuk represi-ketidak adilan. Belum lagi misalnya keruwetan akan bertambah jika kita memakai istilah ‘problem penumpang gelap’ itu. Artinya memang tantangan itu telah berkembang sedemikian rupa yang mestinya perlu respon lebih kreatif pula.

Dari Carl Schmitt se-abad lalu kita bisa belajar salah satu dimensi keberdaulatan, sovereign is he who decides on the exception. Perang apalagi perang besar jelas akan mendorong situasi exception itu, baik terlibat (langsung) atau tidak. Apalagi jika kemiskinan masih banyak. Apalagi juga, ketika banyak lembaga-lembaga di ranah negara tidak berjalan dengan semestinya. Belum lagi masih harus berhadapan dengan ‘free rider problem’. Maka ketika situasi exception itu masih sebagai fakta potensial, waktu menjadi sangat berharga. Waktu untuk mempersiapkan diri sehingga pada waktunya semakin mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan jika exception itu benar-benar menjadi fakta faktualnya.

Tetapi ada satu hal ‘problem tandem’ yang mesti diperhatikan lebih yaitu ‘free rider problem’ seperti disebut di atas, dan ‘patron-client problem’. Dari catatan sejarah bertahun lalu, nampaknya kedua problem itu mesti dipahami secara bersamaan. Contoh paling mudah adalah aktivitas perburuan rente, rent seeking activity. Dengan memanfaatnya nuansa relasi-relasi patron-klien, korupsi dengan jual pengaruh itu serasa semakin mendapat kesempatannya. Bahkan juga ‘legitimasi’-nya. Selama upeti ke si-patron tak berhenti, maka iapun bisa semau-maunya. Patron kemudian seakan juga menjadi ‘kaisar markus’, godfather dari dunia makelar kasus. Apalagi jika dibooster dengan sandera kasus. Jadi begitu banyak ‘penumpang-penumpang gelap’ yang ikut naik gelombang gejolak hasrat yang ugal-ugalan dari si-pemimpin. Dan ‘logika’ inipun bisa-bisa sampai menembus batas-batas negara. Batas-batas kedaulatan negara. Tak mengherankan jika di jaman old, kebocoran ‘bantuan’ Bank Dunia itu sampai 30%. Itu juga masih angka ‘moderat’. Tak salah-salah amat jika ada ‘pepatah’ Yunani Kuno: ikan busuk mulai dari kepala.

Atau apa yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession (akumulasi yang jauh lebih ugal-ugalan dibanding ‘akumulasi primitif’) di sana-sini lekat dengan free rider problem, contoh telanjang fitur: manipulasi krisis. Dan bagaimana jika itu kemudian kong-ka-li-kong dengan si-pemburu rente yang ‘tidak terjelaskan’ jika dilepas dari logika patron-klien? Demikian juga dengan fitur state redistributions. *** (01-12-2024)

1569. Dua Kelas Di Depan Kematian (2)

02-12-2024

Tulisan ini berandai-andai bagaimana jika si-pemimpin dari kelas serdadu (baca juga: yang pegang senjata) dan wakilnya dari kelas pedagang, berangkat dari tripartit jiwa-nya Platon. Semestinya menurut Platon, yang memimpin adalah kelas filsuf raja, atau dalam Alegori Kereta, sais yang menggambarkan juga nalar/rasio. Sedang kelas serdadu digambarkan sebagai kuda putih, juga kehormatan. Kelas pedagang digambarkan sebagai kuda hitam, segala hasrat perut ke bawah: makan, seks, dan terutama uang. Dalam Alegori Kereta juga digambarkan adanya sayap di kanan-kiri, katakanlah itu menggambarkan ‘elan vital’, energi hidup.

Meski gambaran Platon di atas cenderung ‘idealistik’ tetapi dalam banyak halnya bisa membantu membayangkan ‘peta masalah’ terkait dengan bagaimana republik dikelola, bahkan sejak kemerdekaan. Ada masanya republik dipimpin oleh si-filsuf raja, tetapi bagaimana ketika kuda putih dan kuda hitamnya belum terbentuk dengan kuat? ‘Eksploitasi elan vital’ dalam bermacam ‘retorika’-nya mungkin saja itu yang diperlukan saat itu, jaman old-old, tetapi seperti disinggung di atas, kereta tetaplah tersendat untuk naik mendekati ‘kebaikan dewa-dewa’ ketika kuda putih dan kuda hitam kurang bertenaga, di tengah-tengah tantangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Di tengah-tengah bermacam tantangan itu, pada titik tertentu si-kuda putih dalam sebuah peristiwa, naik ke puncak kekuasaan, masuklah ke jaman old.

Jaman old selama tiga dekade bisa dibayangkan dua bagian, bagian pertama ketika si-kuda putih yang sudah duduk di ‘ruang kemudi’ itu masih mau mendengar ‘sais’, dalam hal ini para teknokrat yang direkrutnya. Tetapi seiring kuda hitam semakin kuat, pada bagian kedua jaman old si-kuda hitam kemudian semakin lebih ‘didengar’. Bahkan ‘perwakilan’ si-nalar atau rasio menjadi semakin tumpul saja karena kemudian lebih sering berkata: “Atas petunjuk bapak.” Sekali lagi, republik keluar dari orbit-zona goldilocks-nya. Cerita selanjutnya ternyata bisa juga di-otak-atik-gathuk dengan gambaran di atas, dengan bantuan bermacam imajinasi dan catatan-catatan yang ada.

Sampailah jaman now, ketika hadir ‘kombinasi’ kelas serdadu dan kelas pedagang. Menurut Platon memang menjadi sais itu ‘jatahnya’ kelas filsuf raja, tetapi bukannya kelas serdadu mupun kelas pedagang menjadi tidak mungkin duduk di belakang ruang kemudi, bisa tapi syaratnya berat. Sedikit gambaran, di beberapa negara tentu saja bekas serdadu boleh terjun ke kontestasi politik, hanya saja ia perlu ‘jeda’ dulu. Dan nampaknya syarat lebih berat jika dari kelas pedagang, si-kuda hitam yang digambarkan oleh Platon sebagai yang semau-maunya, cenderung tuli, maka juga: egois, dan maunya meluncur ke bawah saja. Seakan kenal ciri-ciri itu? Deja vu? *** (02-12-2024)