1560. Menghayati Pembukaan UUD 1945 (1)
21-11-2024
Tidak mungkin kata-kata dalam Pembukaan UUD 1945 itu hadir sebagai bagian sejarah tanpa olah pikir yang mendalam. Tidak mungkin juga kreatifitas olah pikir tersebut berkembang tanpa adanya elan vital yang perlahan berkembang berpuluh tahun sebelumnya. Bahu membahu, berkelindan, entah disadari atau tidak, dari banyak pihak, dari banyak penjuru. Entah dari dalam negeri atau dari luar negeri, dan semakin meyakinkan bahwa hadirnya Pembukaan UUD 1945 itu tidak di ruang kosong.
Atau kalau memakai kata-kata si-Bung, hadirnya Pembukaan UUD 1945 itu tidak lepas dari romantika, dinamika, dan dialektika-nya perjuangan. Pembukaan UUD 1945 tidak hanya kemudian tertulis dalam naskah dan masuk dalam ‘dunia ketiga’-nya popperian, tetapi ia telah juga mengalami ‘obyektifikasi’-nya. Maka ada pertanyaan, bagaimana ia akan di-internalisasi di bertahun kemudian? Sebab ada kemungkinan yang ‘diambil’ hanya berhenti pada romantika-nya saja, dan itu kemudian dipompa habis-habisan, berulang dan berulang. Bisa menggetarkan memang, tetapi ternyata tidak mengubah kondisi yang diperjuangkan untuk dihapus-dilawan, tetap saja segala ketimpangan terus ‘terpelihara’ dan penguasaan bermacam sumber daya ada di tangan sedikit pihak saja.
Internalisasi yang bisa saja lekat dengan persepsi itu memang memberikan ruang untuk ber-persepsi secara selektif, pilih-pilih yang ‘menyenangkan’ saja atau yang lebih disukai. Atau yang sedikit memberikan perasaan ‘terluka’. Ingat ‘hukum pertukaran budaya’-nya Toynbee dimana dikatakan bahwa yang nilai budayanya ‘rendah’ akan lebih mudah menembus atau sedikit resistensinya. Jauh di dalam sana romantika nampaknya memang cenderung lebih memberikan ‘perasaan senang’ atau ‘terhindar dari rasa luka’ secara langsung. Perlu upaya lebih sehingga romantika mau juga memilih ‘jalan sulit’. Bandingkan dengan ‘dinamika’ yang kalau memakai bahasa si-Bung: dibentur-benturkan, dipukul. Belum lagi masuk dalam ranah dialektika yang harus berangkat dengan penerimaan adanya bermacam kontradiksi itu. Maka ‘upaya lebih’ yang dimaksud di atas adalah bagaimanapun romantika perlu ‘diasuh’ pula oleh dinamika dan dialektika. Romantika harus pula diletakkan di atas madilog-nya Tan Malaka itu. Jika dilepas ia sangat mungkin untuk ‘digunakan’ oleh ‘kepentingan lain’.
Tulisan ini didorong bertahun bagaimana gimmickisme itu telah banyak menina-bobokkan hidup bersama. Gimmickisme seperti ‘lapor mas wapres’ itu adalah salah satu bagaimana romantika dilepas dari dinamika dan dialektikanya. Tak jauh-jauh amat dari sikap sok-sok-an, termasuk sok-nasionalis, sok NKRI Harga Mati, dan sok-sok-an lainnya. Romantika yang sudah tidak diasuh lagi oleh dinamika dan dialektika. *** (21-11-2024)