1240. Think Globally, Act Locally
11-09-2023
Katanya mantra Think Globally Act Locally itu pertama dikeluarkan oleh aktivis lingkungan hidup di sekitar dekade 1970-an. Dalam arti apa yang anda lakukan di lokal terkait lingkungan, akan berdampak juga ke lingkungan global. Tak berlebihan juga nampaknya karena lihat saja misalnya, Future Shock-nya Alvin Toffler itu juga terbit pertama kali di sekitar tahun-tahun itu, 1970. Bahkan istilah ‘pembangunan berkelanjutan’-pun sudah di-introdusir sekitar waktu-waktu itu, 1972. Neoliberalisme yang berselancar di atas gelombang globalisasi-pun sudah siap-siap meluncur saat itu. Maka memang kemudian think globally act locally-pun semakin naik popularitasnya seiring dengan istilah lainnya: globalisasi. Bahkan trend pemakaian istilah globalisasi menanjak pesat sejak 1987 sampai 20 tahun kemudian.[1]
Tujuh tahun lalu, 5 Juli 2016 Prof. Richard Robinson memberikan kuliah di Universitas Melbourne dengan topik “Why Indonesia Will Not Be The Next Rising Power in Asia.” Di tengah-tengah euphoria kemenangan pilpres Joko Widodo tahun 2014 yang kemudian terpompa harapan Indonesia bangkit menjadi besar. "Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat," demikian Richard Robinson menjawab pertanyaan salah satu peserta kuliah.[2] Dan nampaknya Robinson benar, bahkan dari segi pengelolaan utang luar negeri-pun bermacam bukti menunjukkan bahwa angan The Next Rising Power in Asia hampir 10 tahun lalu memang hanyalah isapan jempol saja. Apakah –misal kita mengambil istilah dalam judul, terlalu banyak ‘act locally’ tetapi miskin ‘think globally’? Atau lihat juga, bahkan presiden terpilih menghadiri Sidang Umum PBB secara fisik-pun belum pernah. Sampai sekarang hampir 10 tahun ini, tidak pernah!
Hannah Arendt membedakan kegiatan mendasar manusia dalam vita activa dan vita contemplativa. Vita activa sendiri terdiri dari tiga macam kegiatan, kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action). Sedangkan vita contemplativa adalah aktivitas mental yang berupa berpikir (thinking), berkehendak (willing), dan mempertimbangkan (judging). Maka ‘think’ dalam think globally sebaiknya juga dihayati tidak hanya soal berpikir saja, tetapi juga soal kehendak dan pertimbangan, timbang-tinimbang. Jika kita boleh meluaskan penghayatan, di jaman old-old sebenarnya si-Bung sudah pernah diingatkan oleh sahabat-perjuangan untuk lebih ‘ber-vita activa’ juga. Kegandrungan si-Bung akan persatuan saat itu mungkin saja perlu ‘latar-belakang’ global saat itu, dan itu nampaknya semakin tidak mempermudah saja membayangkan tindakan politik tetapi pada saat bersamaan diperlukan juga untuk memperhatikan soal kerja dan karya yang kecenderungannya memang a-politis.[3] Apalagi ada latar belakang Perang Dingin yang terus memuncak saja. Di jaman old politik digeser lebih dalam penghayatan ‘karya’, dan bahkan di bagian akhir rejim old lebih condong dalam penghayatan ‘kerja’.[4]
Apa yang mau dikatakan di sini adalah karena kita hidup di republik tidak di kepulauan Galapagos, maka soal-soal ‘global’ mestinyalah harus masuk dalam ‘vita contemplativa’ kita, atau dalam kata-kata Richard Robinson seperti sudah disebut di atas “negara (yang mampu) memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat.” Tetapi bagaimanapun ‘proyeksi’ ini haruslah ‘terdukung’ dengan ‘vita activa’ dalam politik secara benar, politik sebagai ‘tindakan’. Mengapa penghayatan politik sebagai ‘tindakan’ ini akan mampu memberikan ‘dukungan’ ketika kekuatan diproyeksikan ke panggung internasional?
Dari ‘lorong-lorong gelap politik’, Carl Schmitt berseru bahwa ‘sovereign is he who decides on the exception’. Tetapi bisakah kedaulatan itu muncul dari ‘tindakan’ politik? ‘Tindakan’ yang dimaksudkan oleh Arendt, dan berbeda dengan karya dan kerja itu? Kalau ‘tindakan politik’ itu mempunyai kemungkinan untuk sebuah ‘kelahiran-kembali’, rebirth, maka sebenarnya kedaulatan-pun bisa direngkuh melalui jalan ‘tindakan’ politik. Cobalah bandingkan antara lahirnya UU Cipta Kerja yang dilatar-belakangi ‘manipulasi’ situasi ke-darurat-an itu, dan proses yang terjadi ketika soal pembebasan tanah untuk proyek sodetan Ciliwung yang akhirnya bisa berhasil diselesaikan. Pada dasarnya keduanya bicara juga soal kedaulatan, tetapi kedaulatan untuk siapa? Atau lihat juga di Australia baru-baru ini soal referendum terkait masalah suku asli. Baik sekarang dan sebenarnya terlebih jangka-panjangnya, itu bicara juga soal rebirth, yang ujungnya akan terkait juga dengan kedaulatan sebagai satu komunitas hidup bersama. Bahkan bukankah itu bisa dikatakan sebagai upaya memperkuat ‘ketahanan nasional’, misalnya?
Maka jika bicara soal pemilihan presiden 2024 di republik, sebenarnya semakin nampak bahwa ‘pertarungan’ adalah antara yang muncul dari ‘kegelapan politik’ melawan ‘jalan terang politik’. Tentu akan selalu beredar juga ‘para-bandar’ tersebar dimana-mana, siapapun itu, tetapi jika kita terus saja menapak ‘jalan gelap politik’ yang seringnya machiavellis abis-abisan, atau schmittian pokrol bambu, misalnya, maka ‘para-bandar’ itupun akan semakin mendapat banyak kesempatannya. Dalam ‘jalan kegelapan’ yang justru dibuka lebar-lebar. Mereka akan semakin banyak, semakin menumpuk. Rusak-rusakan. Sekali lagi tidak ada jalan lain jika kita ingin ‘dilahirkan kembali’, jika ‘reformasi ingin dilahirkan kembali’, berani melawan dan bertarung bahkan di ‘jalan-gelap-politik’ sekalipun, dengan harapan ‘jalan terang politik’ akan mempunyai kesempatan dalam ‘penggunaan kuasa’ nantinya. *** (11-09-2023)
[1] https://books.google.com/ngrams/graph?content=globalization&year_start=1800&year_end=2019&corpus=en-2019&smoothing=3
[2] https://internasional.kompas.com/read/2016/07/08/13300091/Profesor.Australia.Indonesia.Tak.Punya?page=2
[3] Lihat, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-33, No. 1239
[4] Ibid
1241. Salam Setan Gundul
15-09-2023
Menjelang pemilu 2009-an, Sindhunata menulis di Basis tentang munculnya para genderuwo politik. Di baliho-baliho, spanduk-spanduk, pamflet-pamflet di jalanan. Tidak pernah muncul di ruang publik tiba-tiba ‘keluar sarang’ entah dari mana wajah-wajah kemudian berderet di baliho, dan minta dipilih lagi. Sambil tebar pesona dan tebar janji. Bertahun terakhir tebar-pesona, tebar-janji seakan tidak hanya menjadi ‘pakem’, tetapi sudah semakin dekat pada kegilaannya. Seakan membenarkan apa yang dikatakan Machiavelli bahwa orang kebanyakan itu tidak hanya mudah ditipu, tetapi bahkan kadang suka ditipu. Tetapi apa yang dipertaruhkan ketika janji-janji pada khalayak kemudian dengan mudahnya dipermainkan?
Bagaimana jika janji-janji itu diletakkan dalam konteks waktu-nya, apakah akan hanya soal seperti dikatakan Machiavelli bahwa itu soal janji-janji ‘baru’ yang akan mengubur-mengaburkan janji-janji ‘lama’? Tetapi apa itu waktu? Apakah waktu hanya soal ‘waktu obyektif’ yang diukur dengan detik, menit, atau jam yang semua bisa ikut mengukurnya? Waktu dalam penghayatan publik-nya? Ataukah juga soal ‘waktu subyektif’, waktu yang sungguh dialami oleh masing-masing, dan sifatnya adalah privat itu? ‘Waktu subyektif’ yang sebenarnya lebih ‘primordial’ dari waktu obyektif itu? ‘Waktu subyektif’ yang akan mengatakan bahwa katakanlah sama-sama jika diukur dengan jam tangan lamanya 5 menit, akan terasa cepat ketika ngobrol dengan sahabat, tetapi terasa lama ketika menunggu kerabat di-operasi.
Ketika kesadaran itu selalu ‘kesadaran akan sesuatu’, sesuatu itu akan memberikan dirinya dan kita menghayatinya seakan sebagai deretan nada-nada. Katakanlah ada nada 1-2-3, dan sekarang kita mendengar nada 2, itu bukan berarti nada 1 terus ‘hilang’ begitu saja, tetapi ia seakan mengalami retensi saat kita mendengar nada 2. Sedangkan nada 3 yang belum kita dengar itu seakan mengalami protensi, seakan juga sudah kita antisipasi ‘kedatangan’-nya. Inilah yang disebut Husserl sebagai ‘waktu internal’, dan sebenarnya ia lebih ‘primordial’ dari ‘waktu subyektif’. Maka jika kita ingin meletakkan janji dalam konteks waktu-nya, kita bisa meletakkan pada dinamika ‘waktu internal’ ini. Ketika janji diucapkan, segeralah ia menjadi ‘masa lalu’ tetapi ‘tidak-terus-hilang’, dan saat bersamaan kita sudah siap-siap mengantisipasi pemenuhan janji-nya, misalnya. Maka bagaimana menepati sebuah janji adalah juga terkait erat dengan bagaimana masa lalu dihayati. Atau dalam konteks lebih luas kita juga bisa membayangkan bahwa jangan berharap terlalu tinggi terhadap orang-orang yang tidak mampu menepati janji untuk mau memberi apresiasi tinggi terhadap masa lalu. Atau menyelesaikan bermacam masalah kelam di masa lalu. Antara ‘mengingat’ dan ‘menepati janji’ itu sebenarnya ada dalam ‘satu-nada’.
‘Paradigma roti dan sirkus’ sebagai salah satu pengendali ‘yang banyak’ sudah dikenal lebih dari 2000 tahun lalu, dalam bermacam bentuknya. Ada yang betul-betul sirkus, dan betul-betul roti. Ada juga jenis ‘sirkus’ penuh ‘sihir’ kekuatan semesta, dan banyak lagi. Dan sejarah memberikan pelajaran pada kita bagaimana ‘teknologi’ pengendali yang banyak itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Maka benar si-Bung 90 tahun lalu jika kemudian membedakan antara azas-azas perjuangan-taktik.[1] Bisa dikatakan soal ‘mengendalikan yang banyak’ ini adalah ranah ‘azas’. Apakah monarki, aristokrasi, atau demokrasi, adalah soal ‘azas’ di atas. Jika dikaitkan dengan janji, maka janji kepada yang banyak itu adalah soal ‘azas’ juga. Karena terkait dengan ‘azas’ inilah sehingga Noreena Hertz melampiaskan kejengkelan pada buku The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy (2001).
Komplotan ‘setan-setan gundul’ akan sangat paham ketika janji-janji terbiasa untuk dipenuhi. Ruang gerak mereka untuk sewenang-wenang terhadap masa lalu menjadi terbatas. Termasuk dalam kaitannya republik, alasan mengapa republik ada. Maka anggota ‘setan-setan gundul’ yang tersebar dimana-mana itu akan secara simultan membiasakan terutama pada khalayak bagaimana janji-janji itu memang untuk diingkari. Janji-janji ditebar dengan bombastisnya, dengan enteng-enteng saja. Karena bukan pemenuhan janji yang penting, tapi justru tidak dipenuhinya janji-janji itu yang sebenarnya sedang dibiasakan. Dengan itu maka ke-sewenang-wenang-an terhadap masa lalu –termasuk mengapa republik ada atau kasus-kasus kelam di masa lalu, termasuk juga dengan enteng-enteng saja mencabut ‘akar-akar’-nya –akar komunitas yang sudah ada bahkan sebelum republik ada, bisa dilakukan dengan tanpa atau sedikit saja perlawanan. ‘Setan-setan gundul’ itu punya langgamnya sendiri, punya ‘nada-nada’-nya sendiri, punya janji-janji di antara mereka sendiri. Maka dari bermacam penampakan janji pada khalayak, jika itu ‘sangat tidak masuk akal’ –karena memang bukan intensinya untuk dipenuhi, bisa kita bayangkan bahwa itu keluar dari ‘setan-setan gundul’. Entah ia seorang infiltrat atau terpaksa berfungsi sebagai ‘setan gundul’ karena sandera kasus, misalnya. Dalam urusan ini tidak karena lain-lainnya, bahkan kemungkinan ia cekak-pikir. Tidak, ini adalah salam ‘setan-setan gundul’. *** (15-09-2023)
[1] Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, hlm 249-251
1242. Ibu Pertiwi Menangis
16-09-2023
Ketika kerabat dekat bertanya, republik macam apa yang kita miliki? Ibu Pertiwi langsung saja menunduk sedih. Dia melihat dengan mata kepala sendiri, langsung secara telanjang anak-anak negeri dipukuli, ditembak gas air mata, ditipu berkali-kali, dilecehkan-dihina berulang kali, sungguh itu membuatnya sangat sedih. Tetapi Ibu Pertiwi masih bisa menahan untuk tidak menangis. Tetapi meledaklah tangis ketika itu justru muncul dalam kata-kata, akan dibuat sesak napas! Karena yang mengatakan itu adalah anak-anak negeri juga. Satu orang akan membuat sesak napas satu orang, head-to-head. Satu anak negeri akan membuat sesak napas satu anak negeri, tanpa jarak lagi. Sungguh kata-kata yang tak terbayangkan sama sekali bisa muncul dari seorang anak negeri kepada anak negeri lainnya.
Mengapa kata-kata membuat Ibu Pertiwi meledak tangisnya? Karena ia tahu bahwa pada dasarnya berpikir itu mendahului bahasa. Ketika bahasa yang keluar begitu kejamnya, apa yang sedang ada dalam pikirannya? Ataukah banality of evil itu memang sudah mulai membayang lekat? Ketika yang serba evil itu sudah menjadi banal karena ke-berpikir-an sudah dipinggirkan? Ibu Pertiwi kemudian ingat apa yang pernah ditulis CP. Snow, seorang novelis Inggris: “When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion.” Maka tangis Ibu Pertiwi meledak karena terbayangkan semakin jelas: the long and gloomy history of man, sejarah kelam anak-anak negeri. Ketika kerabat dekat bertanya lagi republik macam apa yang kita miliki, tiba-tiba Ibu Pertiwi berhenti menangis. Tidak menjawab pertanyaan, Ibu Pertiwi langsung berdiri dengan tangan terkepal. *** (16-09-2023)
1243. Rakyat dan Intelijen-nya
17-09-2023
Berapapun tingkat rata-rata IQ sebuah komunitas, ia tidak akan menghapus salah satu kemampuan hidup bersama sebagai ‘masyarakat pembelajar’. Intelijen adalah serapan bahasa asing yang dari asal katanya tak jauh-jauh amat dari soal pemahaman, menjadi tahu, soal memilih, dan sekitarnya. Ketika seseorang menjumpai penampakan yang mirip-mirip satu dengan yang lain, bisa saja ia kemudian membayangkan bahwa itu adalah soal sama. Tentu ini harus dicek-ricek biar imajinasi yang berkembang tidak menjadi begitu liarnya. Salah satunya dengan mengkomunikasikan imajinasi bahwa itu adalah soal sama dengan imajinasi orang lain. Maka disitulah ‘pembelajaran bersama’ bisa menapak salah satu rutenya. Maka tidak mengherankan pula ada yang melihat bahwa dulu merebaknya kafe-kafe sebagai bagian dari ‘ruang publik’ ternyata ikut berperan dalam Revolusi Perancis. Tentu juga tak lepas dari bermacam akses terkait informasi, seperti misal bagaimana ensiklopedia dan surat kabar waktu itu telah dicetak dalam jumlah banyak dan khalayak kebanyakan menjadi punya akses terhadapnya.
Dengan intelijen-nya pula khalayak kebanyakan juga mulai bisa membedakan apa yang disebut sebagai ‘soal publik’ dan ‘soal privat’, meski pembedaan itu sudah ada sejak lebih dari 2000 tahun lalu. Berkembanglah ruang-ruang publik yang hadir diantara negara dan keluarga-keluarga. Pembedaan ini akan menjadi semakin penting ketika masyarakat pembelajar semakin berkembang. Dengan berkembangnya soal ‘horison publik’ dan ‘horison privat’ justru ‘kemajuan’ masing-masing lebih dimungkinkan. Bayangkan saja ketika kita membuat skrispsi, tesis, atau bahkan disertasi, bagaimana jika tidak ada ‘sesi’ pembatasan masalah?
Ruang-ruang publik menjadi tempat pertukaran ide, gagasan, pendapat, atau masalah-masalah, dan bahkan masalah yang muncul di ruang-ruang keluarga. Maka di ruang-ruang publik itu ada kebebasan sehingga bisa juga akan muncul opini-opini publik yang didorong oleh kebebasan di ruang-ruang publik itu. Opini publik yang menurut Ortega y Gasset merupakan pusat gravitasi dari politik dalam rejim demokrasi. ‘Opini publik’ milik kaum bangsawan di rejim monarki, atau dari si-aristo dalam rejim aristokrasi. Dan dapat kita lihat bahwa untuk itupun kaum bangsawan punya ‘ruang-ruang’ publiknya sendiri, demikian juga si-aristo. Dalam rejim demokrasi, si-demos-pun punya ruang-ruang publiknya.
Di ruang-ruang publik khalayak bertemu untuk membicarakan situasi sebagai masalah, sebagai problem salah satunya. Dan bisa saja masing-masing membawa teori-teori yang terbuka untuk diuji bersama di ruang-ruang publik itu. Dari interaksi itu bisa juga muncul upaya untuk menyingkirkan hal-hal yang dirasakan salah terkait munculnya problem di depan hidung. Dari ‘rute’ ini memang bisa saja masalah tidak 100% selesai, tetapi paling tidak ada hal yang sudah di-‘selesaikan’, dan muncullah problem-problem baru nantinya. Atau juga bisa dikatakan di sini, ruang-ruang publik itu memang menyediakan ruang untuk memajukan horison bersama. Tentu ‘kemajuan’ tidak hanya akan mengambil ‘rute’ ini, kadang-kadang ada ‘loncatan’ atau ‘patahan’ yang membuat bermacam hal mesti dilihat dengan ‘cara’ baru, dengan ‘paradigma’ baru, misalnya. Atau juga misalnya ada yang melihat bahwa A, B, C itu kok mirip-mirip, sehingga ia membayangkan bahwa A, B, C itu sebenarnya adalah sama. Imajinasi itu kemudian dikomunikasikan –di ruang-ruang publik misalnya, dengan imajinasi orang lainnya tentang A, B, C itu. Dengan demikian imajinasi tidak menjadi begitu liarnya. Apa yang mau dikatakan di sini adalah pentingnya hidup bersama mempunyai ruang-ruang publik yang ‘sehat’.
Ruang-ruang publik ‘sehat’ sebenarnya juga tidak hanya soal opini publik mempunyai potensi untuk mewujud, atau masyarakat pembelajar semakin berkembang, tetapi juga bagaimana berkembangnya sains menjadi suatu dinamika yang terdukung. Tetapi ‘sehat’-nya ruang-ruang publik itu sekali lagi, mengandaikan adanya kebebasan. Ketika salah satu outcome dinamika di ruang publik adalah opini publik maka memang politik di ranah kuasa itu bisa-bisa akan ‘terganggu’. Respon dari ‘gangguan’ ini jika tak terkendali akan berujung dikekangnya kebebasan. Macam-macam bentuk kekangannya, mulai dari perundangan-peraturan sampai dengan infiltrasi dari kaum telik sandi. Jika ini terjadi bukan hanya ranah kuasa (negara-demokrasi) yang sedang dipertaruhkan, tetapi adalah juga soal berkembangnya ‘masyarakat pembelajar’ dan juga berkembangnya dinamika sains dalam hidup bersama. Jelasnya, rusak-rusak-an. *** (17-09-2023)
1244. Hikayat 3P
18-09-2023
“Tok, kok nggowo kertas-kertas kuwi isiné opo?” Nyah Ndut takon nang Totok.
“Tugas kursus kader, Nyah …”
“Nggawé karangan Tok?” Koh Bos nimpali.
“Hè’èh Koh …”
“Nulis dongèng Tok?”
“Hè’èh Cuk … Ki judulé …: ‘Hikayat 3P’?”
“3 Pé kuwi soal opo?” Kang Yos penasaran.
“Pé nomer siji Kang…: si-Penthung …” Totok mulai njelaské isi dongèng, kabèh terus nyedhak ngrungoké kanthi serius. “Pé nomer siji, si-Penthung ….”
“Langsung waé Tok …., ora usah aèng-aèng …” Likwan ora sabar.
Totok terus njelaské kanthi alon-alon. Si-Penthung, dikenal koyo ngono kuwi mergo angger ketemu wong terus ora sengojo adu-mata karo liyané, opo sénggolan sithik waé, si-Penthung langsung njengat ditambah penthelang-pentheleng karo mbengok sak kayangé: “Tak penthung kowé!” Mergo nang endi-endi andalan-né koyo ngono kuwi wong-wong dadi apal, lan terus kenalé yo si-Penthung kuwi. Jenengé asli malah podho ora ngerti. Ngertiné yo mung si-Penthung thok.
“Lha Pé nomer loro?” Cak Babo mèlu gatel.
“Pé nomer loro Cak?”
“Hè’èh.”
“Si-Pithes Cak …” Totok terus njelaské nopo kok dijuluki si-Pithes. Kiro-kiro ora adoh seko si-Penthung. Ning sing iki mbengok’é: “Tak pithes kowé!” Ngono, cuk ... Wis nggilani tenan wong bagus-bagus-canték-canték kok dianggep coro, opo semut, sing gampang waé di-pithes. Ning nyatané ngono, nang endi-endi andalan-né yo koyo ngono kuwi: “Tak pithes kowé!” Ora ono liyané.
“Pé nomer telu?” Mas Amir yo dadi ora sabar.
“Pé nomer telu Mas?”
“Hè’èh.”
“Si-Pithing Mas …” Totok terus njelaské nèk si-Pithing kuwi paling kucluk, paling ndlèwèr omongané. Ngomong ngalor-ngidul sering ora jelas pok-béngkongé. Wis ngono, cangkemé kuwi ambuné ciu thok. Esok ciu, awan ciu, soré-mbengi ciu. Andalan-né yo mèmper-mèmper karo si-Penthung lan si-Pithes: “Tak pithing kowé!” Ngono dab, cuman si-Pithing iki ditambah mambu ciu ésok-awan-soré-mbengi, dab. Wis kucluk tenan kuwi. Jenengé asli wong-wong yo ora ngerti, kétoké wis ora penting-penting banget, cukup ngertiné yo mung si-Pithing kuwi waé. Nèk arep lengkap yo ono sing terus nyebut, si-Pithing-ciu.
Cuk Bowo: “Sing paling ndlèwèr Tok?!”
“Hè’èh, Cuk …Ciamik tenan ora Cuk?!”
“Ciamik … ciamik … Sak-karep-mu Tok …”
Nyah Ndut: “Péngin tambah ciamik dongèng-é Tok?”
“Hè’èh Nyah … piyé carané Nyah …?”
“Judul ditambah, dadi ‘Hikayat 3P1R …”
“Opo kuwi Nyah?”
“Ér-é Tok?”
“Hè’èh Nyah …”
“Cak Rangkul Tok ….”
“Ngono yo Nyah ….”
Likwan: “Péngin sing paling ciamik Tok?”
“Piyé Lik?”
“Judulé ganti: ‘Hikayat 3P1R1L’ …”
“Él-é opo Lik?”
“Cak Lontong ….” *** (18-09-2023)