1220. Revolusi Mulai Dari N?
23-08-2023
Ketika korupsi merebak gila-gilaan, mungkin banyak yang masih ‘tahan’, ingat nanti di akherat balasannya, begitu mungkin diyakini. Demikian juga ketika kolusi, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, merebak gila-gilaan. Selama ‘remah-remah’ masih bisa dimakan, mungkin masih juga bisa tahan. Tetapi bagaimana ketika soal nepotisme itu semakin merangkak ke puncak? Ketika itu digabung dengan kegilaan korupsi dan kegilaan kolusi maka nepotisme yang mendekati puncak itu bisa-bisa akan memicu mulainya ‘mekanisme pelatuk’. Kuantitas mega-korupsi, kuantitas mega-kolusi, tiba-tiba saja berubah menjadi kualitas kegilaan-kesewenang-wenangan yang akan menghapus harapan untuk perubahan menjadi lebih baik, ketika mega-nepotisme juga ikut-ikutan merangkak pasti menuju puncaknya. Menuju puncak kegilaannya juga. Harapan laksana pulau kepastian di tengah gejolak-ombak samudera. Ketika ‘pulau kepastian’ itu melenyap, bahkan bisa-bisa akan terjadi pemberontakan di dalam kapal, tidak peduli lagi siapa yang menjadi kapten kapalnya.
Pergeseran dari monarki-aristokrasi-demokrasi pada dasarnya adalah pergeseran yang didorong oleh berkembangnya harapan. Bagi yang punya kekuatan produksi, ia mempunyai harapan untuk semakin luasnya usaha. Bagi yang terjerat perbudakan ia mempunyai harapan untuk bebas. Bagi yang punya tanah ia mempunyai harapan untuk mengolah tanahnya secara bebas. Bagi yang punya perkerjaan ia mempunyai harapan untuk meniti karir. Salah satu hal yang lekat bagaimana harapan terbangun adalah ‘semangat jaman’. Tetapi meski begitu ada hal yang seakan tidak terpengaruh akan ‘semangat jaman’, harapan akan kekekalan. Tetapi inipun juga mengalami pergeseran, harapan akan kekekalan itu semakin lama semakin menjadi urusan privat. Tidak ada lagi ketika ada yang mati, pembantu-pembantunyapun kemudian dibunuh dan dikubur bersamanya. Karena kekekalan itu urusannya dengan kematian, dan soal kematian adalah peristiwa yang sungguh privat sifatnya, hanya bisa dihadapi sendiri dan bahkan tidak bisa diwakilkan pada siapapun. Meski ada yang antri untuk menggantikannya.
Maka ‘hal kekal’ di ruang publik bisa-bisa menjadi ‘sensitif’ sifatnya, terutama jika lekat dengan kekuasaan. Paradigma ‘orang baik’ dalam perjalanan sejarah menunjukkan kerapuhannya, ia masih sangat perlu, katakanlah, check and balances. Yang di balik itu semua adalah keyakinan bahwa tidak ada yang kekal dalam olah-kuasa. Karena sama-sama tidak kekalnya maka kemudian lebih dimungkinkanlah membangun kesepakatan-kesepakatan, dan dengan itu pula –salah satunya, ‘semangat jaman’ tidak kemudian menjadi hal ‘alami’ belaka. Mengotak-atik kesepakatan demi hal kekal di ruang publik, seperti disebut di atas, sekali lagi, ‘sensitif’ sifatnya. Tetapi mengapa hal ‘sensitif’ ini masih saja ada yang coba-coba mengusiknya? Hal utama adalah karena tidak berfungsinya check and balances itu. Tetapi benarkah itu?
Ketika hidup bersama menjadi semakin kompleks maka dibentuk-disepakatilah bermacam lembaga, termasuk lembaga untuk melakukan check and balances. Dan ketika bermacam lembaga check and balances tidak berfungsi, dan dengan itu ada yang merasa ‘di atas angin’ merengkuh kekekalan secara ugal-ugalan, jangan kaget ketika apa yang disebut sebagai people power itu akan mengalami percepatannya. Rakyat kebanyakan yang sudah sampai pada titik dimana harapan seakan melenyap ia akan mengambil peran check and balances secara langsung. Bermacam ‘olah-harapan’ yang sejak dulu ditebar disana-sini-pun akhirnya akan terhayati sebagai ngibul doang, sebagai tipu-tipu yang justru mengubur harapan kongkret khalayak kebanyakan. Maka tak berlebihan jika Mak-Banteng kemudian mengingatkan untuk jangan terlalu banyak mimpi. Terlalu besar yang sedang dipertaruhkan. Terlalu besar. Tetapi sayangnya, yang pada dasarnya mempunyai karakter pengkhianat itu, memang hanya akan melihat bagaimana dirinya saja yang sedang dipertaruhkan, bukan republik, apalagi manusia-manusia yang hidup di dalamnya. *** (23-08-2023)
1221. Dua Rute 'Konstruksi Realitas'
24-08-2023
Silent take over itu ternyata tidak hanya seperti digambarkan oleh Noreena Hertz, ketika demokrasi dibajak oleh kekuatan-kekuatan produksi dalam kapitalisme, tetapi juga ketika apa yang mungkin dilahirkan oleh kapitalisme, terlebih varian mbèlgèdès-nya dibajak oleh ‘konstruksi sosial’ yang dimainken di ‘bangunan atas’. Maka dikenal yang namanya habitualisasi, dan kritik terhadap over-deterministik di dunia kaum marxis.
Bermacam ketimpangan dari ugal-ugalannya kapitalisme bisa mendorong ‘kompromi’ dengan yang selalu ‘mengganggunya’, dan jadilah, katakanlah, negara kesejahteraan itu. Tetapi itu adalah salah satu rute dalam ‘menjinakkan’ ruang gelap kapitalisme, demi tetapi bertahannya kapitalisme. Rute lain adalah ‘mengubah’ penghayatan akan ketimpangan melalui bermacam ‘sihir’. Ruang-gelap kapitalisme-pun perlahan kemudian menjadi ‘hal-biasa-biasa’ saja. Rute lain adalah ‘membajak’ demokrasi seperti digambarkan Noreena Hertz di atas, karena menurut Laski hampir se-abad lalu, demokrasi akan menjadi alat bagi kaum buruh atau ‘yang serba kecil’ lainnya untuk menggapai kesejahteraannya, sedangkan di lain pihak bagi si-pemilik modal, demokrasi akan mengikis keuntungan, profitnya. Di ujung pembajakan ini, demokrasi bisa-bisa diubah menjadi fasisme, misalnya.
Jika relasi-relasi kekuatan produksi di ‘basis’ itu tidak ikut menentukan ‘bangunan atas’ maka ‘kerepotan’ di atas nampaknya tidak akan terjadi. Kapitalisme akan berkembang dengan ugal-ugalan-pun akan tetap santai-santai saja, termasuk varian mbèlgèdès-nya, kapitalisme kroni, kapitalisme kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, termasuk juga di sini, perburuan rente. Akan santai-santai saja. Tetapi nyatanya kan tidak santai-santai saja. Maka benar juga puisi/lagu karya Gil Scott-Heron, The Revolution Will Not Be Televised (1970), karena melalui bermacam bentuk kasar dan terutama halusnya, media massa berperan penting dalam ikut terlibat ‘kerepotan’ seperti disinggung di atas. ‘Konstruksi realitas’ itu ternyata tidak hanya dari dinamika relasi-relasi kekuatan produksi semata, tetapi juga melalui bermacam hal di ‘bangunan atas’ yang ujung-ujungnya seperti dikatakan oleh Berger dan Luckmann, habitualisasi. Habitualisasi adalah salah satu outcome pembelajaran, dan seperti kita tahu bersama, ibu dari pembelajaran adalah pengulangan, repetitio est mater studiorum.
Bahkan yang namanya ‘basis’ itu-pun sebagian besarnya ketika terlibat dalam ‘konstruksi realitas’ berjalan tidak dengan ‘serta-merta’. Jika itu terjadi dengan ‘serta-merta’ maka tidak akan lahir tuh yang disebut Lenin sebagai ‘partai pelopor’. Atau Gramsci memperkenalkan istilah ‘intelektual organik’. Bahkan jauh sebelumnya, Marx sendiri sampai memakai metafora ‘camera obscura’ itu. Mengapa ini bisa terjadi? Karena kesadaran bukanlah ‘kotak kosong’ yang siap diisi dengan apa saja. Kesadaran selalu merupakan hal sadar akan sesuatu, intensionalitas. Dan sebagian besarnya akan ada dalam ‘ritme’ retensi-protensi. Katakanlah kita mendengar nada 1, 2, dan 3. Saat sekarang kita mendengar nada 2, bukan berarti nada 1 terus melenyap, ia seakan mengalami ‘retensi’, dan nada 3 yang belum kita dengar itu seakan mengalami ‘protensi’, seakan ‘sudah’ kita antisipasi. Dan ketika kita sampai di nada 3, apa yang kita dengar tadi kemudian mengalami ‘retensi’-nya, dan seterusnya. Maka hadirnya, katakanlah ‘partai pelopor’, ‘intelektual organik’, atau bahkan bencana dahsyat seperti ditunjukkan Naomi Klein dalam Shock Doctrine itu akan terkait dengan ‘langgam’ yang seakan sudah taken for granted itu. Atau bahkan ketika Lenin menyebut terkait dengan hal ‘rantai terlemah’.
Kita tidak usah alergi dengan istilah ‘partai pelopor’ itu. Bagaimana-pun juga negara-negara yang maju dengan tetap ber-kapitalisme-ria itupun tidak akan maju jika masing-masing partai-nya tidak berperan sebagai ‘partai pelopor’. Partai yang jelas tidak ber-ha-ha-hi-hi saja. Partai yang mampu menjelaskan apa-apa yang terjadi di ‘basis’ dan mampu mengantisipasi sesuai dengan apa-apa yang diyakininya dan prediksi-prediksi ke depannya. Sekali lagi, bukan partai politik yang demen-nya hanya ber-ha-ha-hi-hi saja itu. *** (24-08-2023)
1222. Tidak Sekedar 'Ditembak' Jatuh
25-08-2023
Pimpinan Wagner Group, Yevgeny Prigozhin tewas beberapa hari lalu ketika naik pesawat pribadi, dan pesawat kemudian jatuh menghantam daratan. Spekulasi-pun kemudian merebak, apakah pesawat itu ditembak jatuh oleh Russia atas perintah Putin, ataukah hal lainnya. Tidak beruntung misalnya, kesambar petir atau ada kerusakan mesin. Tetapi apapun itu, dengan latar belakang yang berkembang paling tidak sejak 3 bulan lalu, ketika Prigozhin menantang Putin, spekulasi soal Putin me-Munir-kan Prigozhin dengan rudal memang kemudian menjadi spekulasi paling kuat. Bagi ‘negara-negara berkembang’ dengan segala kompleksitas olah-kuasa, peristiwa tewasnya bos Wagner itu bisa-bisa bukan soal ditembak jatuh atau ada sebab lain, jangan-jangan itu bisa menjadi ‘model’.
Maka memang semakin tinggi ia punya modal: modal sosial, terlebih di ranah publik, tuntutan terhadap tanggung-jawabpun akan semakin tinggi pula. Sayangnya, justru dengan berkembangnya modus komunikasi seperti sekarang ini, semau-maunya seakan punya kesempatan lebih. Menjadi lebih mudah untuk mengatakan: bukan aku, itu adalah hoax, propaganda, ujaran kebencian, dst, dst. Tirai asap menjadi begitu mudah ditebar, bahkan sudah tidak peduli jika itu tetap tembus pandang atau asapnya tipis-tipis saja. Ada masalah? Tiba-tiba saja muncul survei abal-abal bahwa khlayak sangat puas atas kinerja. Selesai. Ada kritik yang disertai data-data akurat, cukup dijawab: nggak benar itu … 99% tidak ada masalah. Ada kelaparan di sono? Bagi-bagi sembako di sini! Seakan banyak hal apa yang ditulis oleh Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967) atau Comments-nya (1988) menemui banyak buktinya.
Maka jika kita bicara soal ‘anti-tesis’, itu adalah sebuah ‘jalan-sulit’ yang sedang berhadapan dengan merebaknya ‘jalan-gampang’. Kaum profesional mestinya sadar akan hal ini, karena salah satu yang sungguh dipertaruhkan dengan merebaknya ‘jalan-gampang’ ini adalah ke-profesional-an. Demikian juga kaum cerdik-pandai, kaum ilmuwan, ketekunan-kegigihan, dan integritas sedang dibombardir oleh bermacam ‘jalan-gampang’ ini. Demikian juga kaum usahawan yang terus memutar otak dan strateginya, ia akan menghadapi tembok tebal ‘jalan-gampang’. Demikian juga para pekerjanya. ‘Jalan-gampang’ yang sungguh merusak. Tidak sekedar ‘ditembak’ jatuh seperti ada dalam judul adalah untuk mengingatkan bahwa ‘jalan-gampang’ ini bisa-bisa memperoleh tambahan amunisinya. Semakin semau-maunya, dan bahkan dalam titik tertentu, kita patut was-was penghilangan paksa termasuk juga penghilangan nyawa manusia bisa-bisa menjadi salah satu pilihan ‘jalan-gampang’. *** (25-08-2023)
1223. Mission: Impossible
26-08-2023
Serial TV Mission Impossible (tayang pertama tahun 1966) -ditayang-ulang channel Hits, dalam salah satu episodenya ada yang menarik. Diceritakan ada satu komandan serdadu yang berhasil memperoleh cesium –salah satu bahan radioaktif untuk bom. Masalahnya bahan tersebut harus disimpan di suhu dingin, jika dinginnya tidak pada suhu tertentu maka akan meledak. Di markas komandan itu, tenaga listriknya berasal dari generator.
Salah satu anggota Mission Impossible (MI) berhasil masuk ke markas, dan memang sengaja untuk ditahan. Misi MI adalah melenyapkan cesium dari tangan sang-komandan. Maka disabot-lah generator sebagai sumber tanaga markas, terutama ditujukan untuk lemari pendingin penyimpan cesium. Panik-lah sang komandan. Pemberian es batu masih belum menurunkan suhu dimana dalam suhu tersebut cesium akan aman dan tidak meledak. Di tengah-tengah upaya memperbaiki generator yang tak kunjung selesai dan semakin paniknya sang-komandan, si-tahanan (anggota MI) teriak-teriak bahwa ia sakit dan perlu segera dibawa ke rumah sakit. Ternyata teriakan untuk di bawa ke rumah sakit itu tiba-tiba saja memberikan ide bagi si-komandan –di tengah kepanikan cesium yang akan meledak, untuk membawa cesium ke RS, sebab rumah sakit pastilah punya lemari pendingin. Bahkan ruang pendingin untuk bermacam obat yang harus disimpan pada suhu tertentu juga.
Maka dibawalah cesium itu ke rumah sakit, dan memaksa dokter untuk mengijinkan cesium di simpan di ruang pendingin untuk sementara waktu sambil menunggu generator markas diperbaiki. Padahal di dalam ruang pendingin rumah sakit itu sudah bersembunyi anggota MI lain. Begitu cesium dimasukkan di ruang pendingin rumah sakit, anggota MI yang sudah di dalam ruang pendingin itu menggantinya dengan cesium palsu. Dan seterusnya, misi: komplit, sukses.
Yang menarik dari episode itu adalah ketika tahanan –anggota MI yang sengaja ditahan, teriak-teriak minta diantar ke rumah sakit, dan dengan itu si-komandan menjadi tiba-tiba saja mempunyai ide untuk menyimpan cesium ke ruang pendingin RS untuk sementara waktu. Sering kita ada dalam situasi si-komandan, tetapi bukan soal cesium mestinya, tetapi dengan segala ‘kesibukan-kerepotan’ menjalani hidup. Jika kesadaran itu mestilah sadar akan sesuatu, maka sesuatu itu kebanyakan di kalangan khalayak adalah bermacam hal dalam keseharian yang memang menjadi per-hati-an kita sehari-hari.
Maka dalam demokrasi yang sudah ‘matang’, mengumpulkan massa atau pemimpin terpilih (terlebih dalam komunitas dengan power distance tinggi) ada di tengah-tengah massa setelah coblosan perlu dilakukan dengan ‘hati-hati’. Ia perlu ‘legitimasi-alasan’ yang kuat untuk berada di tengah-tengah kerumunan itu sehingga khalayak kebanyakan tidak menangkap ‘sinyal-salah’-nya. Jika ‘keranjingan’ untuk berada di tengah-tengah kerumunan bisa-bisa akan membawa demokrasi dalam salah satu bentuk patologisnya, fanatisme yang bisa-bisa berkembang meluas. Fanatisme akan selalu ada dalam dunia demokrasi, tetapi itu hanya akan ada di sebagian kecil saja di masing-masing kubu. Tetapi jika fanatisme sudah menjadi ‘suasana kebatinan’ yang meluas maka akan banyak yang dipertaruhkan. Entah pertaruhan itu ada di kalangan khalayak –antar khalayak, atau terlebih justru berangkat dari si-pemimpin. Apa yang sering disebut sebagai ‘dialektika tuan-budak’ bisa-bisa akan memulai proses-nya. Ujung-ujungnya, seperti disebut oleh Hannah Arendt, banality of evil akan membayang lekat, karena ‘dialektika tuan-budak’ antara pemimpin dan kerumunan itu ada lebih di ranah ‘ke-tidak-berpikir-an’. Potensi ‘ke-tidak-berpikir-an’ kerumunan itu akan memberika ‘asuhan’ juga bagi si-pemimpin yang sudah keranjingan dan sumringah ketika ada di tengah-tengah bermacam kerumunan. Jadilah, salah asuhan itu. *** (26-08-2023)
1224. Khusyuk dan Khidmat
27-08-2023
Khusyuk dan khidmat sering kita jumpai dalam ‘narasi’ sebuah upacara, dan sama sekali tidak ada ‘penolakan’ terhadap ‘narasi’ itu. Hal yang dalam penghayatan kita terhadap sebuah upacara akan memberikan respon, ya memang semestinya begitu. Mengapa penghayatan seperti itu bisa dengan mudah kita terima dan hayati? Apakah Carl Schmitt tidak salah-salah amat ketika mengatakan bahwa konsep negara modern itu adalah sekularisasi dari konsep agama? Ataukah ada pergeseran seperti dibayangkan August Comte (1798-1857) bahwa masyarakat akan bergeser dalam pondasi hidup bersamanya, dari berdasar teologi, ke metafisika, dan terakhir tahap positif –tahap ilmu pengetahuan yang bisa diuji secara empirik? Ataukah sebenarnya ada tahap mitis, ontologis, dan fungsionil seperti dibayangkan van Peursen dalam Strategi Kebudayaan di awal dekade 1970-an? Ataukah penerimaan bahwa upacara misalnya, semestinya berlangsung khusyuk dan khidmat itu juga sangat dipengaruhi oleh, katakanlah, archetype (Jung) yang bahkan sebelum ada agama-agama itu sudah berkembang? Archetype terkait chaos-kosmos? Soal chaos-kosmos yang dihayati melalui ‘tahap mitis’, ‘tahap ontologis’, dan ‘tahap fungsionil’. ‘Tahap-tahap’ yang menurut van Peursen tidak kemudian menghapus satu dengan lainnya. Meski tahap fungsionil sudah berkembang sedemikian jauh dalam satu komunitas misalnya, tetapi tetap saja itu tidak kemudian menghapus hal mitis dan ontologis. Mungkinkah ini terkait dengan adanya archetype itu? Yang bahkan itu kemudian mewujud salah satunya dengan apa yang disebut sebagai ‘God spot’? Meski soal ‘God spot’ ini masih spekulatif sifatnya tetapi bahwa ada ‘semangat spiritual’ dalam otak yang multi-kompleks masih terus saja diteliti.
Apa yang mau dikatakan di sini adalah, ‘fakta hari ini’ peristiwa sebuah upacara dilaksanakan dengan khusyuk dan khidmat itu merupakan penampakan yang masih umum, dan bahkan dilaksanakan di banyak komunitas. Bahkan pula dilaksanakan layaknya sebuah ‘ritual keagamaan’ saja. Atau bisa kita hayati juga sebagai sebuah upaya menghadirkan ‘kosmos kecil’ dalam ‘tahap mitis’-nya. ‘Kosmos kecil’ lain adalah ketika berdebat bagaimana hidup bersama ini mesti dibangun, melalui bermacam debat konsep negara dan segala pernak-perniknya, misalnya. ‘Kosmos kecil’ lain didekati dengan ‘modus’ fungsionilnya –di-operasional-kan, dengan banyak pertimbangan dari bermacam ilmu pengetahuan.
Bagaimana ketika masuk tahap ‘operasional’ –fungsionil, bermacam pertimbangan pengetahuan justru seakan dicampakkan? Sama sekali menjauh dari keutamaan prudence. Juga bagaimana hukum dipermainkan, bahkan diubah-ubah semau-maunya, melalui bantuan ‘mahkamah keluarga’ misalnya. Atau rute lain. Atau bahkan tanpa sungkan lagi tabrak sana tabrak sini, atau cawé-cawé tak tahu malu, tak tahu batas. Bahkan upacara puncak sebuah negara-pun seakan sudah hilang ke-khusyuk-an dan ke-khidmat-annya. Seakan, bahkan ‘oase kecil’ sebagai pengalaman ‘kosmos-kecil’-pun perlahan dihilangkan. Chaos, rusak-rusakan. Pertanyaannya, dalam suasana chaotic itu, siapa yang paling diuntungkan? Yang pegang kekuatan kekerasan dalam hal ketertiban dan keamanan akan menikmati alokasi anggaran lebih-nya? Yang pegang kekuatan uang akan lebih leluasa ‘bekerja’ di balik segala carut-marut ini? Sogok sana sogok sini, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat habis-habisan. Rusak, rusak, rusak. *** (27-08-2023)