1490. China Dari Beberapa Teman
20-08-2024
Salah satu sahabat telah mendahului menghadap Sang-Pencipta, sekitar 15 tahun lalu, sampai sekarang jika mengingat kegundahan akan menghampiri. Pernah sama-sama dalam aktifitas Forum Masyarakat Katolik Indonesia Jawa Tengah, di awal-awal tahun 2000-an. Hobinya photografi. Dan dengan semangatnya ia bercerita ketika berburu materi photografi-nya sampai China. Karena keterbatasan uang saku, maka menginaplah di hotel-hotel kecil saja, cenderung di pinggiran. Sahabat bercerita bagaimana di sekitar tahun 2000-an pemerintah daerah di China saat itu begitu rajinnya mengumpulkan hasil dari buang air besar-nya manusia. Yang kadang saat itu, ada yang masih tidak di toilet. Dikumpulkan dengan kesungguhan untuk dijadikan entah itu pupuk, atau biogas. Ketika mendengar cerita itu, bukan hal menjijikan yang muncul, tetapi bagaimana soal kerja-keras itu. Tidak hanya soal kerja-keras, tetapi bagaimana sumber-daya itu dimaksimalkan. Bahkan dari kotoran manusia.
Sahabat (senior) lain yang juga telah mendahului bertemu dengan Sang-Pencipta, mungkin sekitar 10 tahun lalu, bertemu dalam ranah GMNI, yang diikuti penulis sejak mahasiswa di jaman old. Yang kemudian bertemu secara lebih intens dalam dinamika Pergerakan Kebangsaan. Ia aktif juga dalam ikut menyalurkan bermacam bantuan (rutin) bagi para ‘eks’. Darinya penulis lebih bisa membayangkan kehidupan sebagian (besar) dari para ‘eks’ tersebut. Tetapi yang ingin ditulis saat ini adalah soal bagaimana pemerintahan China bersungguh-sungguh ingin menghilangkan kebiasaan meludah di sembarang tempat. Maka disediakanlah tempat meludah, yang dari waktu-ke-waktu jarak antara tempat meludah itu semakin dijarangkan. Sampai pada titik tertentu, dihilangkan karena kebiasaan meludah di sembarang tempat itupun telah melenyap.
Ketika dalam satu kuliah Filsafat China yang penulis ikuti di STF Driyarkara –tidak selesai, tinggal tugas akhir cuk, pengampu yang cukup lama tinggal di China menceritakan bagaimana seriusnya dikembangkan bermacam cerita atau dongeng oleh pemerintah setempat. Salah satu yang dicontohkan adalah cerita tentang anak laki-laki yang sudah besar hidup bersama dengan ibunya yang sudah tua. Dan mereka keluarga miskin. Saking miskinnya bahkan nyamuk di malam hari seakan menjadi betah di rumah. Maka jika malam tiba, anak laki itu membuka baju dan membiarkan nyamuk-nyamuk menghampiri dirinya, sehingga ibunya yang sudah tua itu dapat tidur nyenyak tanpa gangguan seliweran nyamuk.
Merdeka …, cuk. *** (20-08-2024)
1491. "Atas Petunjuk Raja ..."
21-08-2024
Jaman 'old'', bapak di atas terkenal dengan ungkapan: "Atas petunjuk Bapak ...."
Jaman 'now' ...? ***
1492. Mukidi Pidato
22-08-2024
Lurahé maju nang podium, mik diketok-ketok: dug … dug … dug …, dhehem-dhehem ping telu, mbukak cathetan, mulai pidato: “Up … ip … ap … up …. op ….”
Pendengar: “Entuut ….”
“Ut … it … at … ut … ot ….”
Entuuut ….”
“As … is … as …. us … ès … os …”
“Entuuuut …..”
“Kak … kik … kok … kèk … kuk …”
“Entuuuuut …..”
“Kon … tal … tèl … til … tol ….”
“Entuuuuuut …..”
“Wus … was … wis … wos ….”
“Entuuuuuuuuuut …..”
(Dan seterusnya …., monggo dilanjutken sampai mèncrèt, cuk … Nèk arep édan ojo nanggung …) *** (22-08-2024)
1493. Kami Hanya Ingin Berprestasi
24-08-2024
Apa yang disebut sebagai ‘prestasi’ mestinya akan berbeda satu sama lain. Membayangkan medali emas di Olimpiade jelas tidak salah, demikian pula ketika membayangkan tahun depan siapa tahu sudah sampai di sini. Atau di sana. Soal prestasi disinggung di sini sebab menurut Sartono Kartodirdjo –di sekitar pergantian abad ini, rasa nasionalisme itu juga bisa berarti –salah satunya, (ber)prestasi. Ingin mencintai negara-bangsa? Siapa yang tidak ingin mencintai Ibu Pertiwi? Maka ber-prestasi-lah. Syukur-syukur seperti perolehan medali Olimpiade yang bisa dibangga-banggakan sampai luar negeri.
Seperti disinggung di atas, berprestasi bisa bermakna luas, tidak hanya soal ‘obyektif’ dengan penampakan medali atau lulus dengan IPK tinggi misalnya, tetapi juga dapat dihayati secara ‘subyektif’, bagaimana harapan-harapan dari waktu ke waktu semakin didekati. Sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari bayangan Adam Smith soal bagaimana tercapainya the wealth of nations, yaitu ketika masing-masing individu sudah sejahtera – melalui rute mengejar kepentingan diri masing-masing. Jadi the wealth of nations itu hanyalah ‘efek samping’ – sesuatu yang tidak ditujukan pada awalnya, ketika masing-masing (berhasil) mengejar kepentingan dirinya. Benarkah itu? Benarkah jika masing-masing mempunyai kesempatan untuk berprestasi, apapun itu bentuk prestasi-nya, maka nasionalisme-pun akan berkembang pula? Bagaimana jika kemudian berkembang menjadi ultra-nasionalisme? Tak jauh-jauh amat dari nuansa kanan-jauh itu?
Meski Adam Smith sudah ‘menyadari’ bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak bisa ‘diselesaikan’ dengan rute ‘kepentingan diri’, tetap saja dari sejarah kita bisa melihat ketika kepentingan diri yang menampakkan diri dalam pasar itu benar-benar dilepas dari ‘komitmen’ hidup bersamanya, ia bisa-bisa berubah menjadi sosok monster. Bahkan bagi kaum neolib, glorifikasi kepentingan diri itu sudah sampai pada keyakinan bahwa satu-satunya yang rasional itu adalah kepentingan diri. Hal yang kemudian dibantah oleh Amartya Sen bahwa komitmen-pun adalah juga rasional. Leo Strauss beberapa tahun setelah Hayek dkk bertemu dalam Mont Pelerin Society menulis bahwa ekonomisme bisa-bisa akan berubah menjadi Machiavelli yang menua, atau Maciavelli menumpuk harta. Jika kita ingat istilah ‘machiavellian moment’ maka kita-pun bisa membayangkan sebuah outcome tentang situasi yang dekat-dekat dengan chaos. Machiavelli dengan tanpa basa-basi memaparkan bagaimana manusia-telanjang itu bisa berbuat apa saja demi kuasa. Ataukah kita bisa mengatakan demi menumpuk harta maka manusia bisa akan berbuat apa saja? Survival of the fittest itu kemudian akan hadir dengan segala ke-brutalannya, asu gedhé menang kerahé. Tak jauh-jauh amat dari gambaran Thomas Hobbes tentang state of nature. Seakan manusia sudah tidak mengenal lagi ‘kesepakatan’, termasuk juga ‘kesepakatan’ tentang berbagai peraturan-perundangan lagi. Ugal-ugalan, semau-maunya.
Inilah kemungkinan besarnya yang dirasakan hari-hari ini oleh terutama kaum-muda yang terjun di jalan melakukan segala protesnya. Bahkan keinginan-peluang untuk ber-prestasi-pun sudah dirampok habis-habisan. Nasionalisme dengan meniti jalan ber-prestasi itupun kemudian disamarkan pada nuansa ‘ultra-nasionalisme’ yang lebih dekat dengan ‘an instinct to exclude’, yang lebih tidak berurusan dengan prestasi. Ini ‘Nusantara’, cuk. Katanya, serunya berulang-ulang. Sungguh, rejim 10 tahun terakhir ini memang BANGSAT! *** (24-08-2024)
1494. Ruang Marhaen (dan Masyarakat Jaringan)
25-08-2024
Ruang Marhaen adalah juga ‘ruang subsidiaritas’. Ruang ketika si kecil itu mampu maka si besar jangan ikut-ikutan. Tetapi di balik itu sebenarnya juga bisa dihayati sebagai kadang memang si kecil butuh bantuan dari si besar, pada titik tertentu. Yang dimaksud ‘besar’ ini tentu bukan sosok kaya-raya (melalui rute CSR, misalnya) jika dikontraskan dengan kondisi Kang Marhaen. Tetapi lebih dalam konteks struktur-kuasa, terutama di ranah negara. Jadi ‘Ruang Marhaen’ merupakan ruang di mana Kang Marhaen mampu memberdayakan dirinya dengan dukungan struktur negara yang ‘tepat guna’.
Manuel Castells di bagian akhir Abad-20 memperkenalkan isilah space of flows dan space of places, terkait dengan adanya Revolusi Informasi. Ruang Marhaen jelas sebagian besarnya akan ada di sekitar-sekitar space of places. Tetapi dengan berkembangnya space of flows yang dimediasi oleh jaringan komunikasi digital itu, space of places sebagai tempat sebagian besarnya Ruang Marhaen ada akan mendapat ‘tantangan-baru-serius’. Jika tidak hati-hati, eksploitasi yang terus saja membayang lekat Ruang Marhaen dari masa ke masa itu akan mengambil modus barunya. Tetapi meski begitu, sebenarnya ada juga peluang dengan berkembangnya space of flows ini. Peluang untuk Ruang Marhen juga mampu berselancar di atas gelombang.
Ruang Marhaen tidak hanya sekedar ‘ruang’ atau space, tetapi adalah juga komunitas, atau katakanlah: komunitas basis. Sebagai ‘komunitas basis’ maka bisa dibayangkan sebenarnya lebih berangkat dari nuansa gemeinschaft. Dalam konteks Revolusi Informasi seperti sekarang ini, tidak ada salahnya jika ditekankan hal utama dalam gemeinschaft: tatap-muka sebagai hal mendasar. Dalam titik inilah kita bisa membayangkan bagaimana Ruang Marhaen akan bersinggungan dengan apa yang disebut Manuel Castells sebagai masyarakat jaringan atau networking society itu. Dalam bayangan Castells, masyarakat jaringan adalah ketika banyak orang akan lebih banyak ‘menghabiskan waktu’ di sekitar jaring-jaring informasi. Jadi ‘ruang-favorit’-nya adalah space of flows.
“We humans live by stories. The power of the right-wing comes not from their numbers, which are relatively small, but from their ability to control the stories by which we answer three basic questions. How do we create prosperity? How do we achieve security? And how do we find meaning? By monopolizing the stories by which we answer these questions, they define and control the political debate to advance an imperial agenda,”[1] demikian ditulis David Korten sekitar 20 tahun lalu. Maka salah satu kuncinya adalah retorika. Retorika dalam arti sesungguhnya, bukan yang sudah babak-belur sekarat oleh bermacam ‘pembunuhan karakter’. Sepuluh tahun di republik Ruang Marhaen menjadi ‘lumpuh” bahkan bukan hanya soal ‘kontrol-debat-politik’ tetapi oleh ngibulisme yang sudah tanpa batas itu. Ditipu habis-habisan selama 10 tahun. Ranah negara yang mestinya mampu berperan dalam ‘melindungi’ Ruang Marhaen berubah menjadi semata melindungi kaum oligarki. Kang Marhaen cukup ‘dikenyangkan’ oleh janji-janji saja. Atau ‘bansos’.
‘Uji publik’ soal retorika sebenarnya ada dalam peristiwa ‘tatap muka’. Mengapa? Karena menurut Levinas dalam peristiwa tatap muka atau face-to-face akan muncul persoalan etis. Katakanlah, wajah yang lain itu seakan menuntut pertanggung-jawaban kita, seakan juga berseru, jangan bunuh aku. Atau katakanlah, jangan tipu aku. Bagaimana pertemuan tatap-muka itu benar-benar dapat memunculkan ‘persoalan etis’? Dari bertahun terakhir kita bisa belajar bahwa itu akan lebih mewujud ketika yang bertemu memang benar-benar dua-tiga-empat manusia. Salah satunya bukan kacung, boneka, atau manusia-yang-sedang-tersandera-kasus. Ketika salah-satunya kacung, boneka, atau manusia-yang-sedang-tersandera-kasus maka dapat dilihat bersama sama sekali tidak muncul soal etika. Semau-maunya, ugal-ugalan, pecingas-pecingis tanpa beban lagi. Ketika ada yang menagih omongan, dengan tanpa beban ia seakan bilang: Emang loe siapa …?
Maka Ruang Marhaen itu perlu sosok yang benar-benar dapat dipercaya ia akan memihak atau melindungi komunitas yang ada dalam Ruang Marhaen, terlebih di ranah negara. Dipercaya tidak hanya kata dan tindakan akan sebangun, tetapi juga mampu menerjemahkan dinamika yang ada di space of flows dan space of places. Salah satu contoh kongkret, mampu bersepakat secara langsung –misalnya melalui kontrak-kontrak pembelian secara langsung hasil dari tatap-muka, atau memberikan informasi-informasi soal bagaimana pasar-pertanian sedang naik-turun, baik fakta faktual dan terlebih fakta potensialnya. Melindungi komunitas juga harus berani melawan predator-predator Ruang Marhaen, termasuk soal kartel-mafia-impor pangan itu. Atau juga kartel-kartel lainnya. Ruang Marhaen harus menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional. Bahkan yang harus ditetapkan pertama kali. Katakanlah begitu.[2] *** (25-08-2024)
[1] https://davidkorten.org/balle-renewing-the-american-experiment/
[2] Lihat juga: https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-54, No. 1343