1425. The Materialist Conception of History

01-05-2024

Bertahun diyakini bahwa tingkat rata-rata Intelligence Quotient suatu komunitas akan berpengaruh terhadap kemajuan bersamanya. Tetapi pernahkan diteliti rata-rata IQ di sebuah pasar tradisional? Mungkinkah ada korelasinya dengan berkembangnya hiruk pikuk tawar menawar sebelum ada transaksi? Mungkin saja ada batas minimalnya (IQ) sehingga mampu masuk dalam berisiknya tawar menawar sampai dengan adanya kesepakatan harga, tetapi nampaknya bahkan yang mempunyai IQ superior-pun akan bisa bersepakat dengan yang ‘borderline’. ‘Bahasa’ untung-rugi bisa-bisa mempunyai penyerapan sangat lebar jika dilihat dari rentang IQ. Bahkan jauh sebelum terminologi IQ dikenal.

Ketika ‘kaki depan’ dilepas dari fungsi berjalannya, maka motorik halus semakin berkembang, dan ini kemudian memicu perkembangan area otak yang berurusan dengan bahasa. Maka tidak berlebihan pula jika Montesquieu berpendapat bahwa perdagangan akan membawa sebuah perdamaian. Masalahnya adalah perdagangan tidak hanya terjadi dalam satu kibbutz saja, misalnya. Atau hanya antar anggota satu koperasi saja. Atau juga ketika perlahan manusia mulai mengenal apa yang kita sebut sekarang ini sebagai ‘alat-alat produksi’, perdagangan yang diyakini oleh Montesquieu akan membawa perdamaian kemudian menjadi tidak selalu begitu. Ditambah lagi ketika perdagangan mulai tidak melibatkan barang/jasa lagi.

Maka apakah memang sungguh tidak ada –katakanlah, ‘the idealist conception of history’? Ataukah dengan berkembangnya bahasa, ‘the materialist conception of history’ menjadi bukan lagi satu-satunya penjelas? Jika kita bayangkan ada tiga kekuatan, kekuatan pengetahuan, kekuatan uang, dan kekuatan kekerasan, mana penentu gerak sejarah? Atau jika kita berandai-andai, jika ‘kekuatan kekerasan negara’ dalam bermacam bentuknya itu tidak ikut main dalam pemilihan umum baru-baru ini, siapa yang akan menang? Yang bagi-bagi uang, bagi-bagi ijin tambang, lempar-lempar bingkisan, dan sekitar-sekitarnya itu, atau yang bagi-bagi ide? Atau kita bayangkan, bagaimana jika mesiu tidak pernah ditemukan? Atau benarkah –seperti kata Marx, bahwa ‘manusia pertama-tama adalah soal makan minum, tempat berlindung –rumah, dan soal pakaian dulu sebelum soal-soal politik, sains, seni, agama, dst.’? *** (01-05-2024).’

1426. Ugal-ugalan Di Tengah Segala Kerapuhan

03-05-2024

Tidak hanya kedaruratan iklim yang membuat hidup bersama menjadi semakin rapuh, tetapi juga bayang-bayang laku brutal seakan selalu siap saja membakar habis peradaban yang sedang berkembang. Atau yang sudah dicapai. Empire (2000) seperti digambarkan oleh Negri dan Hardt seakan semakin menampakkan diri bagaimana ke-tidak peduli-annya terhadap pendapat dan perasaan dari ‘yang banyak’. Dan bahkan nasib ‘yang banyak’ itu. Lihat contoh menjengkelkan di depan mata, berulang dan berulang ketika ada unjuk rasa maka ada yang lebih memilih untuk tidak hanya tidak mendengar, tetapi lebih dari itu, memilih untuk ngelayap entah kemana, seakan peristiwa unjuk rasa dari ‘yang banyak’ itu tidak ada artinya sama sekali. Dan bahkan kemudian kekuatan kekerasan yang akan maju untuk mengambil alih kontrol. Mau kritik soal lempar-lempar bingkisan? Jawabannya: diulang dan diulang lagi! Tanpa beban. Mau kritik soal dinasti? Semakin nekat! Emang loe siapa, mungkin begitu yang ada dalam kepalanya.

Atau misalnya, lihat saja penampakan ‘kesibukan’ dari Menteri Luar Negri AS Antony Blinken dari waktu ke waktu dalam upaya untuk mewujudkan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, semakin nampak bahwa itu semua hanyalah sekedar ‘basa-basi’ saja. Sebagai ‘tontonan’ akan ‘maksud baik’ di atas panggung A, tetapi di panggung B, C, D, perang terus berkecamuk dengan korban-korban manusia-manusia tidak bersalah terus saja berjatuhan, terlebih anak-anak. Bahkan suara dari ‘yang banyak’ yang dinampakkan oleh mahasiswa-mahasiswa di kampus-kampus di AS sono, akhirnya kekuatan kekerasan juga-lah yang kemudian mengambil alih kontrol.

Apakah kita sedang merasakan merebaknya apa yang disebut Leo Strauss sebagai krisis modernitas gelombang ketiga: fasisme? Fasisme menurut Leo Strauss sudah bukan lagi soal ekonomisme, tetapi –katakanlah, kontrol atas manusia dan alam? Kontrol yang sudah tidak mudah lagi melalui rute ‘pendisiplinan’ karena potensi untuk membangun ‘inter-subyektifitas’ semakin terbuka dengan kemajuan teknologi komunikasi yang lebih mampu dalam memfasilitasi modus komunikasi mass-to-mass seperti sekarang ini. Bermacam bentuk ‘pendisiplinan’ di masa lalu menjadi lebih dimungkinkan dalam dominannya modus komunikasi man-to-mass seperti surat kabar, radio, dan terutama televisi. Di balik semakin besarnya ‘big brother’ yang terus-menerus mengawasi seperti sekarang ini ternyata tetap ada ‘kesempatan dalam kesempitan’-nya. Dan bagaimana jika ‘kesempatan dalam kesempitan’ itu mendapatkan momentum-nya? Akankah kekuatan kekerasan juga akan merasa mendapat momentum kontra-nya? Serasa mendapat ‘legitimasi’-nya –katakanlah, demi ini demi itu? Dan akankah kemudian potensi terjadinya spiral kekerasan itu akan meningkat pula? Ketika bermacam ketidak-adilan itu kemudian semakin lekat mewarnai dunia inter-subyektifitas? Ataukah juga ‘industri alih-isu’ itu akan semakin menggeliat dalam menebar tirai asap tebalnya?

Apakah kita hanya menjadi saksi saja terhadap bergeraknya jaman dengan tanda-tanda jaman-nya penuh dengan kerapuhan ini? Termasuk bermacam laku ugal-ugalan di tengah segala kerapuhan di depan mata? Sok-sok-an, gegayaan, semau-maunya dengan tidak lagi memikirkan ‘yang banyak’? Mengapa ini disebut? Karena dalam situasi penuh dengan kerapuhan ini bagaimanapun menuntut adanya respon, dan bagaimana akan memberikan respon tepat jika diri juga dilanda kerapuhan? Rapuh karena pengelolaan bermacam sumber daya secara sungguh ugal-ugalan. Sumber daya di-obral semau-maunya, sumber daya dikelola sama sekali tanpa keutamaan prudence, dan semua demi gegayaan sok-sok-an megalomania yang tidak jelas juntrungannya. Terlebih dari penampakan bermacam peristiwa di tingkat nasional, regional, dan bahkan global, bisa dilihat bahwa ‘membuat rapuh’ nampaknya sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari langkah taktis penguasaan. Ada yang sedang keranjingan membuat ’lemahnya sebuah rantai’? Dan mereka menunggu dengan sabar sembari siap-siap memberikan pukulan mematikan? Maka hanya ada satu kata terhadap laku sok-sok-an gegayaan itu: bangsat-lah … *** (03-05-2024)

1427. Partai Mengambang

04-05-2024

Ada masanya ‘massa mengambang’ menjadi lekat dalam dinamika politik. Masa sekarang, penampakan dominan bukanlah massa mengambang, tetapi ‘partai politik mengambang’. Hampir semua partai politik telah menjadi ‘partai politik mengambang’. Partai politik mengambang adalah sosok ‘ideal’ jika kita ingat tulisan Noreena Hertz, The Silent Takeover, Global Capitalism and the Death of Democracy (2001). ‘Ideal’ karena akan dengan mudahnya dibajak oleh kepentingan bermacam pihak yang tidak ikut proses elektoral, terutama dari modal besar, korporasi besar. Bahkan ketika negara membiayai hidup-operasionalnya partai-partai politik itu, potensi dibajak masih tetaplah ada, apalagi jika tidak.

Maka ‘partai mengambang’ itu adalah partai yang dalam praktek ‘tidak urusan’ sama sekali dengan kepentingan atau aspirasi anggota partai atau si-pemilihnya dalam pemilihan. Apalagi aspirasi warga negara pada umumnya. Yang namanya ‘akar rumput’ itu hanya ada dalam kursus-kursus kader saja dan dalam peristiwa pemilihan umum, selain itu ‘kembali ke-setelan pabrik’, siap menerima tawaran tertinggi dari korporasi besar yang akan menampakkan diri dalam bermacam wajahnya. ‘Partai mengambang’ sebenarnya adalah aktor utama dari ‘the death of democracy’ jika kita memakai judul bukunya NH di atas. Bermacam ‘godaan’ dari segala jaman akan selalu ada, apapun namanya itu.

Jika kita membayangkan ‘’rejim campuran’ seperti dibayangkan oleh Polybius lebih dari 2000 tahun lalu, maka ‘partai mengambang’ itu sebenarnya adalah golongan yang ada dalam rejim aristokrasi yang sok-merakyat. Tugas utamanya adalah mengendalikan ‘yang banyak’, dan lapangan permainannya adalah ranah ‘kekuatan pengetahuan’. Katakanlah, sebagai bagian dari ‘aparatus ideologis’ negara. Sedangkan yang bermain dalam permainan ‘aparatus represif’ negara ada bagiannya sendiri. Dan bisa dibayangkan ketika negara lebih sebagai ‘pakta dominasi sekunder’, maka apa atau siapa yang duduk dalam ‘pakta dominasi primer’-nya? Dan bagaimana nasib ‘yang banyak’ –si-demos, kemudian? *** (04-05-2024)

1428. Negara Sebagai Alat Produksi?

07-05-2024

Bayangkan fitur-fitur dari apa yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession itu: privatisasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, serta state redistributions, mungkinkah jika tidak ada negara (modern)? Negara dibaptis sebagai ultra-minimal state oleh kaum neolib itu faktanya bukanlah pertama-tama soal efisiensi, atau soal bebasnya arus modal, tetapi semakin nampak adalah untuk memfasilitasi habis-habisan ke-empat fitur accumulation by dispossession seperti disebut di atas. Demi ke-empat fitur di atas, negara bisa-bisa menjadi ‘maksimal’. Atau bahkan ‘ultra-maksimal’. Apa yang disebut dengan ultra-minimal state itu pada dasarnya adalah negara yang sedang dilucuti, terutama dilucuti soal ‘komitmen’-nya. Salah satu rute ‘pelucutan’ negara dari ‘komitmen (awal)-nya’ adalah depolitisasi. Karena bagaimanapun juga bangunan komitmen itu ada dalam ruang yang terus bergerak, dan hanya dengan diuji dan diuji ulang-lah komitmen itu akan mendapatkan relevansi dan signifikansi-nya. Kalau dilihat lebih jauh lagi, di belakang depolitisasi itu ada nuansa kuat pragmatisme-nya. Dan apa salah satu dari anak kandung yang penuh kenakalan dari sebuah pragmatisme? Oportunisme! Ada anak kandung lainnya? Ada, yang cerdas-berakar dalam ‘naik gelombang’.

Ultra-minimal state adalah salah satu materi khotbah-khotbah dari para misionaris pasar bebas yang ditebar setelah paradigma welfare state pasca Perang Dunia II dipinggirkan di awal-awal dekade 1970-an. Yang digedor-gedor pada awalnya adalah bermacam dinding pembatas Perang Dingin. Dari beberapa catatan kita bisa melihat bagaimana ugal-ugalannya privatisasi di era Yeltsin di Russia sana. Maka meraksasalah kelompok oligark, sebelum di-‘disiplinkan’ oleh Putin. Bahwa kemudian kita bisa melihat juga bagaimana lenturnya ‘kekuatan uang’ dalam ‘menata diri’ itu adalah cerita lain. Yang digedor-gedor ternyata tidak hanya ‘musuh’, tetapi juga ‘teman’ yang sudah terlalu kuat dan kemudian tidak mau ‘membuka diri’. ‘Politik pintu terbuka’ kembali menyasar kemana-mana, tak jauh seperti digambarkan oleh si-Bung ketika UU Agraria jaman kolonial dulu disahkan di pertengahan abad 19 lalu. Sejak awal dekade 1970-an itu perlahan ‘politik pintu terbuka’ semakin menjadi ‘semangat jaman’. Dan kita bisa melihat mana yang berhasil naik gelombang ‘semangat jaman’ itu, dan yang tidak. Ada yang naik gelombang dengan gaya ‘cerdas-berakar’ dan yang bergaya ‘oportunistik-tidak-berakar’.

Atau yang naik gelombang dengan tetap menjaga ‘tangga’-nya, dengan yang mau-maunya saja ‘tangga’-nya ditendang secara brutal. ‘Tangga’ dalam hal ini seperti digambarkan oleh Ha Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder (2002). Negara-negara yang sekarang maju itu pada masanya ia ‘memaksimalkan’ peran negara dalam melindungi pasar dan industri dalam negerinya, dan setelah mencapai taraf kemajuan seperti awal-awal dekade 1970-an itu, atas nama pasar bebas kemudian berkotbah yang intinya tangga yang dinaikinya sehingga mereka dapat maju itu kemudian ‘ditendang’. Do as we say, not as we do, demikian aslinya dia mau mengatakan dalam khotbah-khotbahnya. Pasar bebas karena kegelisahan atas ‘stagnasi’ yang semakin mengusik di dekade 1960-an ditambah segala ‘beban’ dalam paradigma welfare state.

Maka meski daya dorong ‘semangat jaman’ itu adalah soal ekonomi, soal modal yang semakin gatal, bahkan hanya dengan melihat pelajaran 50 tahun terakhir saja kita bisa melihat bahwa bagaimana keberhasilan respon dari suatu komunitas itu akan berangkat dari ‘keprimeran politik’. Soal keputusan-keputusan politik. Ketika aktor-aktor politik lebih trampil dalam olah oportunistik-tanpa-akar, seperti kebanyakan ada di republik, maka ‘naik gelombang’ itu hanya akan dinikmati oleh para politikus ‘faustian’ saja. Mereka adalah para ‘sekutu lokal’ yang mengambil kesempatan untuk bersepakat dengan ‘iblis’ dengan tanpa segan menjual ‘jiwa’ republik. Menjual apa-apa yang menjadi komitmen[1] (awal) republik. Tanpa beban mempersilahkan para ‘iblis’ melucuti republik. Mereka mengadopsi dan menerjemahkan secara bebas apa-apa yang ada dalam Konsensus Washington menjadi Konsensus Jakarta: semua menjadi urusan privat saja, semau-maunya. Tanah dibagi, tambang dibagi, lahan-lahan korupsi dibagi, dst. Dana-dana pensiun digangsir melalui intrumen pasar keuangan, semakin canggih pula dalam pencucian uang, sampai dengan menggemukkan diri dengan tawaran bunga tinggi dalam SUN atau sejenisnya. BUMN justru dibuat bangkrut untuk dikuasai. Manajemen dan manipulasi krisis? Terlalu banyak contoh. Dari manipulasi terkait iklim, sampai dengan soal radikal-radikul! State redistributions? Yang sungguh telanjang akhir-akhir ini, bagaimana PIK itu kemudian dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional. Belum lagi soal pajak-pajak yang terus meningkat, sudah seperti upeti saja. Intinya, negara kemudian menjadi bagian dari alat produksi dari si-mono dan kaum ‘bangsawan’-nya saja. Jadi melalui oportunisme itu, republik memang telah diubah menjadi kerajaan, ‘little empire’. *** (07-05-2024)

[1] Lihat Pembukaan UUD 1945 alinea 4

1429. OA-PMT

08-05-2024

OA-PMT adalah singkatan dari Orkes Amoral Pengantar Minum Toxin, dengan lagu andalannya: Mentri-mentri-an. Dan kita sedang gelar tikar untuk menontonnya. Atau jelasnya, dipaksa menonton, suka atau tidak. Seperti beberapa waktu lalu, dipaksa nonton joget gemoi-koprol-kayang. Harus tepuk tangan lagi … *** (08-05-2024)

Nuwun sewu, Mas Parman ....