1585. Rai (Sequel)

02-01-2025

“Piyé iki dab, lha aku iki kok akèh sing ngarani otoriter, diktator. Wis jan gombal tenan kuwi. Rai koyo ngéné kok iso-isoné otoriter…” Jokotholé nggresulo nang Likwan.

“Lha piyé to asliné …?” Likwan nyambung.

“Asliné kuwi nang endi-endi aku selalu, always mésam-mèsem lho … Selalu tersenyum …” Lanjut …, Jokotholé saiki tambang karo penthelang-pentheleng: “Aku iki demokrat sejati …!” Jokotholé rodo njengat, cuk … Terus mbukak HP karo omong tambah banter: “Malah saiki aku dituding mbahé korupsi cuk …”

Likwan terus mèlu moco berita nang HPné Jokotholé, beritané ono jeneng Mulyono digadang-gadang dadi tokoh paling korup sak ndonya! Ora main-main iki … Likwan karo glécènan: “Mulyono kuwi sopo?”

Jokotholé ora njawab pitakonané Likwan, malah tambah njengat: “Kuwi fitnah … fitnah … Rai koyo ngéné kok iso-isoné otoriter, tambah korupsi manèh … Jahat … jahat …”

“Jahat Jok …”

“Jahat ….” Jokotholé tambah nyenthé-nyenthé …

“Jahat Mul …”

“Jahat …” Ora mung nyenthé-nyenthé, nèk ora dicegah Likwan tambah karo koprol, cuk … Padalo wis siap-siap, wis ancang-ancang … Lan sak terusé … monggo dipun klik: https://www.pergerakankebangsaan.com/037-Rai/ *** (02-01-2025)

1586. Korupsi Sebagai Pilar Rejim?

1587. Proyeksi

06-01-2025

Proyeksi adalah kata serapan bahasa asing, projection, yang dari asal katanya terkait dengan ‘melempar ke depan’. Tiba-tiba saja rilis OCCRP yang menempatkan Joko Widodo sebagai salah satu finalis tokoh ter-korup se-dunia tahun 2024 memicu ingatan akan berita Kompas delapan tahun lalu ketika Richard Robinson dalam salah satu kuliah umumnya mengungkap pesimismenya terhadap euphoria kepemimpinan Joko Widodo sebagai presiden saat itu yang diyakini banyak pihak akan membawa republik ke jalan kebesarannya. Ketidak-percayaan Richard Robinson saat itu dasarnya adalah karena Joko Widodo dan ‘tim’ tidak pernah menampakkan diri mau dan mampu memproyeksikan ‘kepentingan nasional ’pada (bermacam dinamika) ‘kepentingan internasional’. Maka memang ‘proyeksi’ tidak hanya menyangkut soal waktu, tetapi juga ruang. Ruang dan waktu dimana aksi-reaksi akan terus giliran hadir. Entah dari jurusan mana.

Entah ruang yang mewaktu, atau waktu yang meruang, ruang dan waktu akan selalu terkait. Bahkan menurut Einstein, ketika ruang dilalui dengan kecepatan mendekati cahaya, waktupun akan terpengaruh. Ketika diajak berulang dan berulang untuk meyakini pada tahun sekian akan datang masa emas, pada titik tertentu (tiba-tiba) baru sadar bahwa ruang hidup republik telah disesaki oleh laku korup dalam segala penampakannya. Dari segala penjurunya. Kadang kita lupa bahwa waktu bukan hanya ‘waktu kalender’, waktu obyektif misalnya detik, jam, hari, bulan dan seterusnya. Ada waktu subyektif, waktu yang dialami. Kita ngobrol dengan teman, dan saat menunggu kerabat di ruang tunggu UGD, waktu sepuluh menit akan dihayati secara berbeda. Waktu yang ada tidak di ruang kosong. Dan menurut Fenomenologi, waktu subyektif ada karena adanya consciousness of internal time. Jika kita mendengar nada 1-2-3, saat (sekarang) kita mendengar nada (2), nada (1) tidaklah terus menghilang, tetapi seakan mengalami retensi. Nada (3) meski belum kita dengar, seakan kehadirannya sudah kita antisipasi. Baik waktu subyektif maupun consciousness of internal time sifatnya ‘privat’, sedangkan waktu obyektif bersifat ‘publik’.

Maka memang tidak mudah menjadi ‘pejabat publik’, karena dari segi ‘waktu’ tidak hanya akan terlibat penghayatan ‘waktu obyektif’ saja, tetapi juga perlu upaya keras dalam membayangkan ‘waktu subyektif’ dan ‘consciousness of internal time’ dari ‘publik’ yang dipimpinnya. Maka pula memang perlu latihan dan latihan. Latihan ‘dasar’ sebenarnya bisa dimulai dalam peristiwa kontak tatap-muka, face to face dengan ‘yang lain’. Dalam peristiwa tersebut seakan wajah ‘yang lain’ itu menuntut tanggung jawab kita juga, demikian menurut Levinas. Seakan ‘yang lain’ itu dengan segala tarikan wajahnya sedang mengatakan ‘jangan bunuh aku’, misalnya. Bagaimana ‘mengelola’ peristiwa tatap-muka itu akan menjadi pintu masuk apakah soal etika akan dilatih kehadirannya, karena pada dasarnya ada hal etis dalam peristiwa tatap-muka seperti sudah disinggung di depan.

Jika satu peristiwa akan juga ‘membawa’ peristiwa lain, maka menghayati hadirnya hal etis dalam peristiwa tatap-muka juga akan ‘membawa’ hal lain juga, paling tidak keutamaan prudence akan juga membesar potensinya untuk berkembang. Ada yang berpendapat bahwa keutamaan prudence itu adalah juga ibu dari bermacam keutamaan lain. ‘Titik temu’ antara keutamaan prudence dan etika adalah hal timbang-menimbang. Atau kalau ada penampakan tipisnya hal timbang-menimbang, kita harus curiga ada keretakan besar dari keutamaan prudence dan etika. Semau-maunya kemudian keluar dengan tanpa sungkan lagi. Peristiwa tatap-muka dalam ‘dunia kecil’-pun bisa-bisa akan penuh nuansa ‘eksploitatif-manipulatif’. Tanpa beban kemudian terjadi ‘pembunuhan’ akal sehat dan kehormatan. Terlalu banyak contoh bisa disebut bertahun terakhir. Dan akhirnya kemampuan untuk menghayati waktu subyektif dan consciousness of internal time ‘publik’-pun akan terseok-seok karena tidak terlatih. Pejabat publik kemudian seakan hidup dalam kurungan privatnya, nyaman di situ, bahkan sambil gegayaan, sok-sok-an. Tetapi menjadi tidak bernyali untuk memproyeksikan kepentingan nasional atau kepentingan publik yang dipimpinnya dalam dunia lebih besar, dinamika kepentingan internasional. Dan ketika disentil oleh OCCRP baru-baru ini, kegagapannyapun serasa tidak habis-habis. Bahkan setelah para penjilatnya sudah melakukan koprol-kayang sekalipun untuk mencari pembelaannya. Terlalu lama tidak sadar-sadar juga ketika waktu (yang selalu akan) bertemu dengan ruang, segera saja bermacam kemungkinan muncul. Apalagi jika itu menyangkut publik, yang lebarnya bisa-bisa sampai pada ruang global. *** (06-01-2025)

1588. Abad Ultra-nasionalisme?

09-01-2025

Abad-20 sering disebut juga sebagai Abad Nasionalisme. Mungkin karena dalam era tersebut banyak gerakan nasionalisme yang berujung pada kemerdekaan banyak negara-bangsa. Dari banyak penampakan di bermacam tempat, akankah abad-21 ini akan menjadi Abad Ultra-nasionalisme? Masalahnya yang serba ‘ultra’ itu bisa-bisa akan subur pula dengan ‘penumpang gelap’-nya, karena dalam dunia ‘ultra’ lapangan permainannya lebih pada dunia emosional. Sangat mudah untuk ditelikung. Hal timbang-menimbang sering dipinggirkan, sadar atau tidak. Ketika timbang-menimbang menjadi kesulitan untuk ‘bermain di tengah’, maka keutamaanpun menjadi semakin menjauh. Juga etika semakin sulit ditemui dalam praktek. Maka jika ada yang berpikir bahwa abad-21 semestinya menjadi Abad Etika, bahkan dalam bermacam penampakan di bagian awal-awal abad saja sudah terseok-seok. Semakin terkubur dalam sorak-sorainya kaum ultra-nasionalis. Benarkah?

Pada era penjajahan doeloe kita mengenal adanya istilah (ultra) gold, (ultra) glory, dan (ultra) God. Dan jika mengikuti Carl Schmitt se-abad lalu: “negara modern adalah sekularisasi dari konsep teologi”, jangan-jangan (ultra) God di atas sedang diganti dengan ultra-nasionalisme itu. Dengan pembonceng utamanya adalah (ultra) gold. Dan jangan-jangan pula jalannya hikayat menjadi sangat mungkin tidak jauh berbeda. Urusan utamanya adalah soal kekayaan, gold, gold, gold. Maka apakah karena kegelapan yang digendong dari potensi keultraannya itu kemudian nasionalisme kemudian harus dikubur? Tetapi apakah kita juga mesti mengubur gold, glory, dan God?

Maka ‘kata kunci’-nya adalah keutamaan, virtue. Keutamaan tidak akan pernah mengambil tempat di masing-masing ujung. Apakah pelaku bom bunuh diri yang mengakibatkan terbunuhnya juga orang-orang tak bersalah bisa disebut mempunyai keutamaan keberanian? Jika hal timbang-menimbang ikut terlibat secara intens, sangat mungkin bom bunuh diri itu tidak akan menjadi pilihan. Keutamaan keberanian menjadi tidak memilih yang di ujung itu, yang membuat orang tak bersalah menjadi sangat berduka. Bukan soal kepengecutan juga -yang ada di ujung lainnya, karena pilihan tentu masih banyak dari pada terus tidak berbuat apa-apa. Maka tidak salah-salah amat jika keutamaan prudence kemudian dihayati sebagai ‘ibu’ dari keutamaan lainnya. Sartono Kartodirjo di sekitar pergantian abad lalu melontarkan gagasan menarik terkait dengan bagaimana menghayati nasionalisme ini, di luar segala ritual-ritual hebohnya nasionalisme, prestasi bisa menjadi pilihan ‘jalan tengah’ untuk tidak mudah jatuh pada keultraannya. Prestasi yang dalam perjalanan sejarah selalu saja akan tidak lepas dari kemampuan hal timbang-menimbang. Entah terbangun dengan mengambil rute metodologis ketat dan atau dengan intersubyektifitas yang bebas tanpa rasa takut.

Jika kita memakai pembagian kekuatan dari Alvin Toffler yang membedakan adanya kekuatan pengetahuan, kekuatan uang, dan kekuatan kekerasan, bertahun terakhir adalah pelajaran berharga bagaimana ‘ketidak-seimbangan’ ketiganya bisa memicu ‘sejarah kelam’. Bertahun terakhir adalah pelajaran sungguh berharga ketika kekuatan pengetahuan dikerdilkan secara ugal-ugalan, bahkan sudah dengan tanpa beban lagi. Dan kita bisa melihat dengan sungguh telanjang bagaimana kekuatan uang dan kekuatan kekerasan itu menjadi ugal-ugalan pecicilan-pethakilan tidak karu-karuan lagi. Semau-maunya. Sudah minim prestasi, republikpun sudah digadaikan pula.

Sudah disinggung di atas tentang adanya potensi besar ‘abad ultra-nasionalisme’ itu bisa sebangun dengan jaman penjajahan doeloe. Atas nama god-sekuler, dan bahkan sangat mungkin dapat tambahan bahan bakar glory yang cenderung xenophobia itu, komplotan ‘ultra-gold’ itu sedang asyik berselancar membangun Empire seperti dibayangkan Negri dan Hardt di awal abad-21 ini. Maka ‘Abad Ultra-nasionalisme’ ini adalah tantangan. Bagaimana respon dibangun menghadapi tantangan ini, disitulah kita bisa melihat bagaimana peradaban akan berkembang nantinya. Apakah peradaban kacung-jongos yang akan berkembang, atau peradaban tuan-puan yang merdeka karena mau dan mampu berprestasi. *** (09-01-2025)

1589. Medioker Di Tengah Ketidakpastian (1)

12-01-2024

We humans live by stories. The power of the right-wing comes not from their numbers, which are relatively small, but from their ability to control the stories by which we answer three basic questions. How do we create prosperity? How do we achieve security? And how do we find meaning? By monopolizing the stories by which we answer these questions, they define and control the political debate to advance an imperial agenda.[1]

Kutipan di atas ditulis David Korten empat tahun setelah Empire-nya Negri dan Hardt terbit. Setahun setelah Skandal Cambridge Analytica mulai terendus, Facebook yang mau tak mau ada di tengah pusaran skandal, merilis progam fact-checkers, yang sembilan tahun kemudian saat Trump kembali ke White House, program itu dihentikan -baru-baru ini. Jika mengingat kutipan pendapat David Korten di awal tulisan, apakah ini bagian dari upaya kontrol dan monopoli cerita atau narasi?

Maka tidak hanya alam semesta semakin tidak bisa diprediksi karena dampak segala kedaruratan iklim, tetapi hidup bersamapun semakin penuh ketidak pastian, karena bermacam ‘cerita’-pun akan mengalir dengan semau-maunya. Apa yang dipertaruhkan ketika ada yang semau-maunya karena merasa mampu mengontrol dan memonopoli ‘dunia kata-kata’ itu? Salah satunya adalah soal ‘kesepakatan’, karena ‘kesepakatan’ itu pada dasarnya adalah soal ‘cerita bersama’, jelas bukan soal ‘monopoli cerita’. Maka menjadi sangat mudah bermacam ‘kesepakatan’ (atau janji) akan diingkari dengan brutal, sudah dengan tanpa beban lagi. Ngapain merawat ‘kesepakatan’ yang merupakan ‘cerita bersama’ itu jika ada kemampuan mengontrol dan memonopoli ‘cerita’? Jika kita mengikuti Hobbes, maka bisa dibayangkan bisa-bisa hidup bersama akan semakin mendekat pada situasi ‘state of nature’. Atau katakanlah, semakin merebak saja ketidak pastian itu.

Tetapi pastilah akan muncul ‘counter-monopoli-kontrol cerita’. Atau istilah seabad lalu, counter-hegemoni. Entah melalui jalan apa. Maka kontrol dan monopoli cerita itupun tidak hanya kemudian sibuk mendongeng atau bahkan ngibul tiada henti, tetapi sibuk juga menyiapkan bermacam ‘sasaran palsu’ atau dalam pertempuran pesawat, menyiapkan flares[2] yang selalu siap (dan mau) dilepas untuk menjadi sasaran tembak (palsu). Ada juga ‘flares agung’ seperti digambarkan Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007). Maka berkembanglah ‘industri alih isu’ itu.[3] Macam-macam hasil produknya. Dan celakanya, banyak pejabat yang dibiayai oleh pajak khalayak itu harus selalu siap dan mau jika dibutuhkan sebagai flares. Dengan bermacam alasannya, tetapi sebagian besarnya adalah karena: sandera kasus, selain tentu godaan segala kenikmatan itu. Sontoloyo memang.

Bagi kaum ‘sayap kanan’ seperti disinggung Divid Korten di atas, apalagi ‘sayap kanan jauh’, ketidak pastian atau bahkan yang sudah dekat dengan imajinasi Hobbes tentang state of nature, justru akan semakin menampakkan ‘benarnya’ asumsi yang mendasari bangunan keyakinan mereka, bahwa dunia itu memang penuh bahaya. Manusia itu pada dasarnya adalah ‘jahat’. Dalam situasi seperti itu maka yang paling fit yang akan survive. Pemimpin yang diperlukan dalam situasi seperti itu, menurut George Lakoff adalah figur strict father. Dari hal-hal di atas maka akan ditemui di sana-sini maunya ngajak kelahi saja, misalnya. Pentetang-pententeng, pethelang-pentheleng. Donald Rumsfeld yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS saat George W. Bush jadi presiden ketika ditanya oleh Joseph Nye Jr. -salah satu perintis konsep soft power, tentang soft power, jawabnya: “I don’t know what ‘soft power’ is.”[4] Kira-kira nuansa seperti itulah yang membuat khawatir ketika Donald Trump mengulang lagi keinginannya untuk mencaplok Greenland dari tangan Denmark. Atau juga Terusan Panama. Bahkan juga Kanada! *** (12-01-2024)

[1] https://davidkorten.org/balle-renewing-the-american-experiment/

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/400-Flares/Chaff/

[3] https://www.pergerakankebangsaan.com/888-Industri-Alih-Isu/

[4] Brian C. Schmidt, Realism and Facets of Power in International Relations, dalam, Felix Berenskoetter, MJ. Williams, Power in World Politics, Routledge, 2007, hlm. 62