1545. Aku Cinta Anak Indonesia (2)

03-11-2024

Apa yang bisa kita pelajari dari Depresi Besar 1920? Selain segala sebab-akibatnya, ada satu hal bisa menjadi bahan pelajaran, respon negara terhadap krisis tersebut, di Amerika sono doeloe lebih se-abad lalu. Salah satunya bagaimana pemerintah kemudian membuat bermacam proyek padat karya, bermacam jenis pekerjaan padat karya diselenggarakan. Keinginan untuk menyelenggarakan makan bergizi gratis bagi anak sekolah sebaiknya dipikirkan prakondisinya secara serius, yaitu prakondisi politis, teknis, dan sosialnya.

Prakondisi politis, ini lebih berkaitan dengan soal apakah secara politis itu dimungkinkan? Nampaknya ini bukan soal karena pemerintah sekarang sudah bekeinginan kuat untuk melaksanakannya. Prakondisi teknis? Ini terkait dengan pembiayaan misalnya. Atau infrastruktur lain, termasuk sains terlibat dalam memberikan dukungannya. Atau juga dalam kesulitan ekonomi sekarang ini, seperti dicontohkan di atas, akankah secara teknis akan didekati dengan padat modal atau padat karya? Prakondisi teknis ini jangan sekali-kali dipandang sebagai ah... itu kan hanya soal teknis saja. Janganlah, sebab dalam banyak halnya pilihan hal teknis apa yang mau dijalankan sebenarnya gambaran juga ‘ideologi-imajinasi’ apa yang ada di kepala. Tetapi jangan pula hal teknis ini menjadi segala-galanya. Ribut sampai pukul-pukulan dalam rebutan proyek, misalnya.

Fokus tulisan ini memang pada prakondisi sosial, dengan selalu ingat bahwa itu akan selalu juga berkelindan erat dengan prakondisi politis. Terlebih dalam situasi kondisi sosial ekonomi khalayak kebanyakan sedang serba sulit. Dan perlu diingat, dalam keadaan krisis, bahkan jika itu karena perang, anak-anak adalah salah satu yang paling rentan kena dampak buruknya. Maka ketika situasi ekonomi sedang serba sulit, perhatian lebih pada nasib anak-anak memang semestinya. Bahkan jika sedang pada situasi ‘normal’-pun, anak-anak mestilah tetap menjadi prioritas. Terlalu banyak alasan untuk ini. Disebut anak-anak jelas ada kesepakatannya sendiri, bahkan itu sejak masih janin di rahim ibu. “Aku Cinta Anak Indonesia” berarti juga kita mencintai anak-anak kita bahkan sejak masih ada di rahim ibu.

Aku cinta anak Indonesia adalah tawaran untuk membangun deep frame dimana bermacam surface frame akan digantungkan nantinya. Makan siang bergizi gratis di sekolahan adalah salah satu saja dari surface frame. Lainnya, bisa juga: posyandu. Atau juga gerakan ASI Eksklusif. Juga, program untuk pemberantasan gizi buruk, stunting, dan lain-lainnya. Deep frame ini memang terutama berurusan tidak hanya soal rasionalisasi dari sebuah surface frame, tetapi juga soal ‘rasa-merasa’ penghayatan. Ujungnya bisa bermacam-macam, salah satunya ketika dirasa-rasa ada yang ‘tidak beres’ misalnya. Mengapa ini penting? Karena godaan besar dalam pelaksanaan program-program seperti itu lebih berasal dari ‘birokrasi’, dari yang paling ‘ringan’ program perlahan jadi urusan ‘teknis-birokratis’ semata, sampai yang paling parah, jadi urusan korupsi sampai perburuan rente.

Prof. Sumitro Djojohadikusumo membedakan perkembangan teknologi menjadi advance technology, adaptive technology, dan protective technology.[1] Meski pemahaman tentang tumbuh-kembang anak bertahun-tahun silam masih banyak yang relevan, ada baiknya para ahli dan yang sudah berpengalaman puluhan tahun membahas lagi jika ada penemuan-penemuan baru yang mungkin saja masuk dalam ‘advance technology’. Apapun itu. Termasuk juga hal-hal yang perlu dilakukan dalam membangun langkah-langkah proteksi bagi anak. Lihat misalnya penelitian terkait larangan anak memakai smart-phone selama waktu sekolah, bahkan saat istirahat juga, ternyata mampu menurunkan angka bullying di sekolahan. Juga mungkin saja ada penemuan bermacam bentuk stimulasi dalam perkembangan anak. Atau juga terkait dengan dongeng-dongeng bagi anak-anak. Dari sini mungkin saja bisa dikembangkan pengadaannya oleh rantai UMKM local, yang tentunya padat karya.

Tujuan tulisan ini pertama-tama adalah mencoba melihat yang semestinya gambaran-cerita besar dari ‘makan siang bergizi gratis’ itu. Jangan sampai program itu mereduksi kompleksitas permasalahan anak-anak. Apalagi terus ditunggangi oleh rebutan cuan proyek di belakangnya. Kompleksitas permasalahan anak yang bahkan sudah mulai sejak masih dalam kandungan. Ada masalah gizi, stimulasi, dan lainnya lagi. Yang masing-masing ‘tingkat usia’ bisa berbeda-beda. Dan bagaimana dengan ibu yang melahirkannya? *** (03-11-2024)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/

1546. Empat Tahun Kemudian

04-11-2024

Surat itu diberikan setelah delapan tahun saya jadi tahanan Soeharto. Ia memberi nasihat yang indah-indah semacam itu. Inilah wajah dan jantung hati orang yang “sakit”,” tutur Pramoedya dengan nada getir. Demikian unggahan Kang Ariel dalam akun twitter, empat tahun lalu. “Arsip penting,” demikian tulis Kang Ariel dalam unggahan ulangnya.[1] Kutipan di atas dimuat di Kompas, 16 September 1999, sehari setelah Pram membacakan surat dari Pak Harto tertanggal 10 November 1973 tersebut dalam sebuah pertemuan-seminar. Dua tahun sebelum buku Michael Foucault Discipline and Punish terbit. Buku yang membuka kemungkinan bahwa menjadi ‘tahanan’ untuk kemudian di-‘disiplinkan’ itu tidak harus di Pulau Buru, atau di balik jeruji. Bertahun terakhir ada upaya keras untuk menjadikan khalayak kebanyakan sebagai ‘tahanan’ yang mesti di-disiplinkan. Bisa dibuktikan adanya upaya keras itu, tetapi bukan menjadi fokus tulisan ini.

Fokus tulisan ini adalah sekitar surat dari Pak Harto ke Pramoedya, yang dibacakan Pram dalam Seminar “Meluruskan Sejarah dan Memulihkan Hak-hak Warga Negara” 15 September 1999. Dibacakan Pram: “Kekhilafan bagi seorang manusia adalah wajar, namun kewajaran itu harus pula ada kelanjutannya yang wajar. Yakni kejujuran, keberanian, dan kemampuan untuk menemukan kembali jalan yang benar dan dibenarkan. Semoga Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Kasih memberikan perlindungan dan bimbingan di dalam Saudara menemukan kembali jalan tersebut.” Pak Harto saat itu tentu tidak membayangkan bahwa 25 tahun kemudian, diusia yang semakin renta dan kekuasaan mendekati akhir, justru ia “menemukan kembali jalan yang benar dan dibenarkan”: mengundurkan diri sebagai Presiden. Ketika ‘kematian’ sebagai kemungkinan itu semakin jelas-mendekat, Pak Harto bisa dikatakan mengambil sikap jujur, berani, dan mampu untuk membuat pilihan yang tepat. Karena bagaimanapun kematian itu harus dihadapi sendiri, tidak bisa diwakilkan, dan meski sudah jelas-mendekat, kita tak tahu kapan itu akan datang.

Prabowo sebagai presiden saat ini, ia hadir di usia yang sudah tidak muda lagi, ditambah beberapa penyakit yang lekat dalam keseharian, ‘kematian’ sebagai kemungkinan bisa dikatakan akan terus saja mendekat. Pertanyaannya, bagaimana ‘kematian’ itu akan dihadapi-disikapi? Seperti dikatakan oleh adiknya, Hasjim,[2] salah satu idola Prabowo adalah Deng Xiaoping. Tentu bukan karena mampu hidup sampai usia 93 tahun Deng Xiaoping menjadi idola, tetapi adalah apa-apa yang mampu dipersembahkan pada rakyatnyalah ia menjadi idola. Terlebih lagi, proses-nya. Mestinya. Proses yang diawali dengan kerasnya ‘menyingkirkan’ kekuatan lama yang tak mau berubah, yang sering dijuluki sebagai ‘Gang of Four’. Jika mau ‘berprestasi’ bagi khalayak kebanyakan, Deng Xioping sang idola sudah memberikan contohnya. Langkah awal betapapun beratnya memang mesti dihadapi, diputuskan dengan jujur, berani, dan mampu. Toh, kematian yang semakin dekat dan tak tahu kapan datangnya itu, tidak bisa diwakilkan meski ada yang bersedia mewakilinya. Kematian yang harus dihadapi sendiri. Mau tidak mau. Deng Xioping sadar bahwa segala keputusan akan ia pikul sendiri. Tetapi ia juga sadar bahwa tanggung jawab yang dipikulnya itu tidak hanya menjadi lebih berat dan bahkan ‘absurd’ ketika disampingnya ada ‘matahari kembar’, meminjam istilah SBY. *** (04-11-2024)

[1] https://x.com/ariel_heryanto/status/1852486165259268369

[2] https://money.kompas.com/read/2024/10/12/145139726/profil-deng-xiaoping-tokoh-china-yang-sangat-diidolakan-prabowo?page=all

1547. Susu Sebagai Obsesi

06-11-2024

Ini bukan soal akun fufufafa, tetapi adalah soal susu sebagai minuman bergizi dalam dongeng makan gratis itu. Atau tepatnya susu sapi. Untuk gerakan ASI Eksklusif, bagaimana melawan gencarnya susu formula atau yang sering disebut Pengganti ASI (PASI), para penggerak salah satunya meyakinkan pada ibu yang sedang menyusui itu bahwa anak manusia ya minum ASI, anak sapi minum susu sapi. Itu untuk anak usia sampai dengan 6 bulan. Bagaimana dengan dongeng makan gratis itu – di sekolah-sekolah, sedang dibangun? Apakah susu sapi dalam bermacam bentuknya kemudian menjadi bagian dongeng yang tak tergantikan? Para ahli ilmu gizi sebaiknya dilibatkan dalam hal ini, karena faktanya ada keterbatasan dalam penyedian susu sapi. Apakah bisa digantikan yang tak kalah kandungan gizinya? Apakah harus setiap hari?

Maka kata kuncinya, kreatif dan inovatif. Jangan sampai soal susu sapi ini menjadi semacam obsesi. Obsesi dari asal kata-nya salah satunya terkait dengan blockade, atau katakanlah ia bisa-bisa akan menghalangi sisi kreativitas di atas. Ataukah jangan-jangan kita sedang menghadapi ‘kejahatan logika’ yang sedang diabdikan demi ‘kejahatan hasrat’ yang bergejolak semakin dahsyat bahkan selangkah lagi menjadi kegilaan, dalam pemburuan rente pengadaan susu, atau juga bahkan pengadaan sapi impor! Ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak jalan juga untuk mencapai kepenuhan makan bergizi. Jangan sampai kita terperangkap lagi pada satu jebakan lain, ‘jebakan susu sapi’ ini. Jangan sampai soal susu sapi ini, dan kemudian hasrat impor sapi hidup untuk diambil susunya justru akan mematikan sapi-sapi yang ada, karena masuknya penyakit mulut dan kuku yang menyerang hewan-hewan berkuku-belah. Penyakit yang dulu sudah diberantas dalam jangka waktu berpuluh tahun! Ngono yo ngono, ning ojo ngono, kreatif sedikit apa tidak mampu? *** (06-11-2024)

1548. Alzheimer Irlandia (1)

07-11-2024

Penyakit Alzheimer adalah kemunduran terutama dalam hal daya ingat. Alzheimer Irlandia adalah sebuah joke, entah siapa yang pertamakali melempar, tetapi guyonannya: semua boleh dilupakan kecuali dendam. Jika itu terjadi di ranah orang-per-orang, mungkin saja tidak terlalu ‘berbahaya’, tetapi jika di ranah negara? Aksi-reaksinya bisa membuat kelamnya sejarah. Apalagi di era ‘post truth’ ini, dimana politik sering terolah dengan lebih berbasis emosi. Politik menjadi seakan situs ‘wikipedia’ yang tidak pernah memperbaiki diri lagi. Lahirnya ‘wikipedia’ memang banyak kritik ditujukan padanya –pada awal-awalnya, tetapi perlahan dari waktu ke waktu ‘wikipedia’ semakin memperbaiki diri. Kritik yang pada awal-awalnya sering bisa digambarkan sebagai ‘hegemoni kaum amatir’, perlahan mulai tidak sekencang dulu. Alzheimer Irlandia bisa dengan mudah saja menjadi guyonan: semua boleh dilupakan kecuali benci. ‘Benci’ yang bisa dengan mudah merebak terlebih ketika kuasa membutuhkan ‘kambing hitam’ dalam rute teori segitiga hasratnya Rene Girard. ‘Benci’ yang di kalangan kebanyakan menjadi lebih mudah diulik-ulik, digelitik, atau bahkan saling mengulik, saling menggelitik. Jika di sekitar tahun 1970-an Noam Chomsky berpendapat bahwa dengan saling tahunya apa-apa yang menjadi sentiment satu sama lain, maka status quo akan mengalami keretakannya. Tetapi bagaimana jika ‘sentimen’ itu ada yang lekat dengan nuansa ‘kebencian’? Sentimen di dunia politik yang nuansanya seperti ‘wikipedia’ pada usia awal-awalnya? Yang seakan terus saja berulang dan berulang seakan tidak ada ruang dan waktu untuk ‘memperbaiki diri’ menuju hidup bersama yang semakin berkualitas?

***

Leo Strauss di awal-awal 1950-an memberikan kuliah tentang ‘gelombang krisis modernitas’. Krisis modernitas gelombang pertama didorong oleh berkembangnya kemampuan manusia menguasai alam. Krisis tersebut menampakkan diri dalam (kapitalisme) liberal. Gelombang kedua didorong oleh bagaimana manusia menguasai manusia lain, yang menampakkan diri dalam komunisme. Menurut Strauss, kedua krisis tersebut masih lekat dengan ‘ekonomisme’ dalam dinamika ‘aksi-reaksi’-nya. Tetapi krisis modernitas gelombang ketiga sudah menjauh dari soal ekonomi, dan menampakkan diri dalam fasisme. Krisis modernitas gelombang ketiga ini didorong oleh penguasaan alam semesta dan manusia atas manusia lainnya. Terkait dengan krisis modernitas gelombang ke tiga ini, Strauss berangkat dari problem manusia ‘a la Nietzsche’ (1844 - 1900). Kalau memakai idiom Jawa, bisa dikatakan: mangan ora mangan asal berkuasa. Will to power itu kemudian membagi manusia menjadi dua, yang powerful, menjadi ‘yang unggul’ dan manusia biasa saja, si-manusia kerumunan.

Sekitar dua-puluh tahun sebelum kuliah Leo Strauss di atas, Wilhelm Reich seorang psikiater pengikut Freud –orang Austria berbahasa Jerman, menulis tentang fasisme yang bahkan menurutnya, Marx saat hidup tidak pernah membayangkan sebelumnya. Menurut Reich, asal-muasal fasisme adalah hal-hal irasional individual. Hal irasional massa-individual. Atau kalau kita bayangkan, adalah ketika hal-hal yang bersembunyi dalam alam tidak sadar itu dieksploitasi, maka fakta potensial merekahnya fasisme akan semakin menguat. Dua tahun setelah Reich, Harold J. Laski melalui The State in Theory and Practice (1935) menyinggung pula soal fasisme. Katanya, ketika ada dilema antara demokrasi dan aksi ambil untung atau profit, bisa-bisa jalan fasisme-lah yang akan ditempuh. Salah satu contoh telanjang di depan mata dan sedang berjalan, Proyek Strategis Nasional PIK 2 itu.

***

Kalau kita bayangkan perjalanan republik dari kacamata krisis modernitas seperti yang dibayangkan Leo Strauss di atas, maka selama masa penjajahan, republik ada di era modernitas gelombang pertama, komplit dengan krisisnya. Dan mau tidak mau, saat Proklamasi atau juga sebelumnya, dan bertahun kemudian krisis modernitas gelombang dua mewarnai lekat dinamika saat itu. Bagaimana dengan krisis modernitas gelombang ketiga, yang menurut Strauss menampakkan diri dalam fasisme? Pendapat-pendapat di atas adalah berasal dari ‘dunia pertama’, dan nampaknya di republik penjelasan tunggal tidaklah mencukupi. Di ‘dunia ketiga’ fasisme nampaknya masih lekat dengan ‘ekonomisme’ meski secara ‘tehnik’ eksploitasi ‘bawah sadar’ seperti yang dibayangkan oleh Reich di atas, bisa saja dilakukan dan kemudian berkembang seperti dibayangkan Strauss tentang fasisme sebagai krisis modernitas gelombang ketiga. *** (07-11-2024)

1549. Alzheimer Irlandia (2)

08-11-2024

Alvin Toffler membayangkan tiga modus komunikasi, man-to-man atau face-to-face, man-to-mass, dan mass-to-mass, pada tahun 1990 dalam Powershift. Yang bahkan pendiri utama Facebook saat itu masih suka kejar-kejaran, main petak-umpet. Jika itu kita jèjèrkan dengan gelombang-gelombang krisis modernitas menurut Leo Strauss, jangan-jangan ‘kata kunci’-nya di mass? Ketika ditemukan mesin cetak massal, tiba-tiba saja semakin percaya diri untuk tidak pasrah saja ‘tenggelam’ di depan alam semesta. Terlebih ketika berkembang juga radio, film, televisi. Juga ketika pengeras suara dikembangkan. Seakan menjadi begitu mudahnya ‘menguasai’ banyak orang. Ketika Revolusi Bolshevik terjadi di daratan Eropa, nun jauh di sana di Amerika, sebuah revolusi dalam propaganda modern sedang berlangsung, melalui kerja-kerja Komite Creel. Sebuah komite yang ditugasi mencari dukungan rakyat AS sehingga Woodrow Wilson presiden AS saat itu mempunyai legitimasi untuk memutuskan AS terlibat Perang Dunia I. Dalam waktu sekitar enam bulan Komite Creel berhasil mengubah rakyat AS yang sebelumnya anti-perang menjadi begitu keranjingannya mengirim pasukan ke Eropa. “Ganyang Jerman,” begitu kira-kira output dari bermacam propaganda itu.

Seratus tahun setelah Komite Creel beraksi, tiba-tiba saja Skandal Cambridge Analytica terkuak. Sebuah tehnik propaganda yang menggunakan modus komunikasi mass-to-mass dimulai dengan bocornya jutaan data pengguna facebook. Dan dengan itu pula dibuat profil psikologis pengguna, dan dikirimkanlah pesan-pesan kampanye –waktu itu untuk kampanye Trump dalam pemilihan 2016, yang sudah disesuaikan dengan kelompok profil psikologis pengguna facebook tersebut. Hasilnya Trump menang di 2016. Apakah karena faktor skandal Cambridge Analytica? Bisa ya bisa tidak, perlu pendalaman lebih lanjut. Bagaimana di tahun 2024 ketika Elon Musk pemilik twitter baru itu secara terbuka dan bahkan aktif kampanye di sisi Trump? Kata David Korten sebelum bermacam media sosial itu ada: “A far-right alliance of elitist corporate plutocrats and religious theocrats has gained control of the political discourse in the United States not by force of their numbers, which are relatively small, but by controlling the stories by which the prevailing culture defines the pathway to prosperity, security, and meaning. In each instance, the far-right’s favored versions of these stories affirm the dominator relations of Empire.[1] *** (08-11-2024)

[1] David C. Korten, The Great Turning, From Empire to Earth Community, Yes! Magezine, Summer 2006, hlm. 17