1505. Romantika Mimpi
07-09-2024
Tulisan mengambil inspirasi dari lagu Iwan Fals, Mimpi yang Terbeli, ada dalam album 1910 yang dirilis tahun 1988.
Mungkinkah Henri Bergson (1859 ā 1941) benar? Bahwa sebuah elan vital itu memang sungguh bisa mendorong kreatifitas? Bagi yang ātumbuh-besarā bersama Iwan Fals tentu akan begitu mengenal (kreatifitas) Iwan Fals di tahun-tahun sekitar 1988 itu. Lagu-lagunya, atau juga pemusik lain, Leo Kristi misalnya. Atau pelukis Yayak Kencrit. Dan lain-lain. Atau jaman now, kaum muda bahkan bisa menggelindingkan sesuatu yang terus saja membesar hanya mulai dari penampakan bentuk jendela sebuah pesawat.
Atau jika kita ingat pemilihan umum pertama pasca 1998, bagaimana āposko perjuanganā itu merebak āpenuh gayaā tanpa adanya kucuran logistik dari atas. āCongor putih mbah ā¦ ojo lali ā¦ congor putih ā¦.,ā demikian laki-laki paruh baya mengayuh sepeda keliling desanya di satu tempat di Jawa Tengah sebelum coblosan dilaksanakan. Tanpa bayaran, penuh semangat. Penuh dengan āenergi hidupā atau yang disebut Henri Bergson di atas, elan vital. Bahwa akhirnya Megawati gagal menjadi presiden di āputaran ke duaā: dulu masih di MPR, dan Gus Dur naik jadi presiden, ada beberapa hal memang perlu dicermati.
Atau bisa kita bayangkan beberapa waktu lalu terkait pemilihan di Perancis. Ketika putaran pertama digelar, dan putaran kedua harus dilaksanakan karena tidak ada partai yang memenangkan mayoritas parlemen, sayap-kanan-jauh yang mendapat suara tertinggi (tetapi tidak mayoritas) akhirnya harus ābertekuk-lututā di putaran kedua karena ādikeroyokā oleh kesepakatan-kesepakatan-strategis-taktis dari partai-partai di luar sayap-kanan-jauh itu. Meski setelah āberdebatā hampir tiga bulan lamanya ādengan jeda Olimpiade, akhirnya kemarin berhasil bersepakat memilih PM Perancis, dari tokoh sayap-kanan.
Dua peristiwa di atas sama-sama sah secara prosedural, masalahnya adalah alasan-alasannya.
Benarkah alasan-alasannya berbeda (dua peristiwa di atas yang berjarak 25 tahun)? Mengapa sayap-kanan-jauh seakan āditakutiā di Perancis, dan juga beberapa negara Eropa lainnya? Apakah trauma NAZI masih membayang? Kalau NAZI dulu yang jadi āsasaran-tembakā adalah Yahudi, mungkinkah āsasaran-tembakā sayap-kanan-jauh sekarang adalah para imigran? Lihat pemilihan (local) di negara bagian Jerman baru-baru ini, ketika beberapa hari sebelum pemilihan ada peristiwa penusukan acak, sayap-kanan-jauh mengambil keuntungannya. Sebelumnya di Inggris, dis-informasi peristiwa (juga) penusukan kemudian membesar jadi demo anti-imigran di berbagai kota. Belum lagi jika kita lihat pethakilan-nya Trump dan pendukung garis kerasnya. Sebenarnya āmendadak sayap-kanan-jauhā bukanlah gejala tiba-tiba. Jauh di awal-awal abad-21 sudah ada beberapa terbitan yang mengindikasikan (perasaan) terganggunya āancient-regime-valuesā di Eropa sana. Kata āancient-regimeā sengaja dipakai terkait sejarah āspektrum kanan-kiriā dalam politik, yang dimulai saat Revolusi Perancis.
Apakah memang dua peristiwa di atas, kalahnya Megawati di āputaran keduaā pemilu 1999, dan kalahnya sayap-kanan-jauh di putaran kedua di Perancis sono, 25 tahun kemudian, bisa diperbandingkan? Apakah dinamika politik di āpakta dominasi primerā āistilah salah satu pionir Teori Ketergantungan, Cardoso, bisa diperbandingkan dengan yang terjadi di āpakta dominasi sekunderā? Memang akan banyak variable yang memungkinkan untuk berpendapat bahwa tentu ada perbedaan, tetapi bagaimanapun ada kesamaannya, sama-sama berurusan dengan mimpi. Mimpi-mimpi ākanan-jauhā di sono itu seakan semakin bisa dihayati oleh āpenontonā di ādunia ketigaā sebagai mimpi āsupremasi kulit putihā. Atau kalau memakai alur pendapat Thomas Hobbes, mereka akan melakukan apa saja untuk mempertahankan apa-apa yang sudah diperolehnya. Mereka-mereka ā bahkan pada umumnya sebenarnya, yang sudah begitu menikmati ada di āpakta dominasi primerā.
Sedangkan katakanlah peristiwa 25 tahun lalu di republik, ābahan-bahan materialnyaā juga berusan dengan mimpi, hanya saja memang hanya mimpi itu yang terbeli, meminjam istilah Iwan Fals di awal tulisan. Meski bisa saja bergeser menjadi ākanan-jauhā tetapi potensinya sangat kecil. Yang āmenakutkanā bagi sementara pihak adalah āelan vitalā yang terbangun itu. āBahan mentahā jika kemudian ter-olah melalui dinamika dan dialektika yang benar maka bisa-bisa akan terjadi apa yang disebut Hobbes di atas akan mendapat perlawanan yang sungguh berat, yaitu saat mempertahankan apa-apa yang sudah dinikmati. Apa yang sudah dinikmati? Jika melihat faktor yang lebih luas, peristiwa 1998 bisa juga dilihat sebagai āpolitik pintu terbukaā. Modal dalam paradigma neoliberalisme itu sedang menggedor-gedor pintu gerbang republik supaya lebih bebas masuk. Kroni-isme yang mewabah di jaman old jelas sudah tidak kompatibel lagi dengan semangat āpasar bebasā.
Pasar bebas yang mengusung juga ābangunan atasā-nya: demokrasi (paling tidak demikian klaim-nya), merengsek ke republik. Maka Habibie sebagai presiden saat itu āselama satu-setengah tahun, dalam hal mengawal demokrasi sudah melakukan langkah-langkah tepatnya. Demikian juga Gus Dur bersama pembantu-pembantunya, para menteri. Tetapi bagaimana dengan soal āpasar bebasā-nya? Bagaimana si-penikmat bertahun-tahun dalam ranah kekuatan uang yang jumlahnya hanya sedikit saja itu, yang dalam banyak halnya dalam praktek lebih sebagai persekutuan āsenjata-modalā? Bagaimana dengan āketrampilanā dalam naik gelombang perubahan yang sedang menerjang? Atau telanjangnya, ketrampilan dalam āmerawat-posisiā sebagai yang di āpakta dominasi sekunderā? Untuk ātetap-setiaā di āpakta dominasi sekunderā?
Maka salah satunya adalah, ketika yang banyak masih ada dalam situasi hanya mimpi yang terbeli, jangan sampai mimpi-mimpi itu menemukan dinamika dan dialektika-nya. Bagaimana mimpi-mimpi itu hanya berhenti dalam ātahapā romantika saja. Maka jika pemilihan 1999 adalah sebuah āmomentumā bagi āyang banyakā untuk tidak hanya berkutat dalam āideologi kenang-kenanganā, maka āmomentumā itu mesti dikikis perlahan-lahan. Demikian bayangannya. Masalahnya dengan naiknya Gus Dur āmerekaā ternyata āsalah pilihā. Gus Dur ternyata lebih mengandalkan kemampuan kaum teknokrat dan dukungan internasional. Merepotkan memang, tetapi paling tidak āmomentumā pemilihan 1999 itu menjadi ada waktu untuk lebih bisa ādikelolaā. Dan jadilah memang setelah itu, mimpi-mimpi itupun hanya sampai pada romantika saja. Sementara soal dinamika dan dialektika-nya, tetaplah āsetiaā atau ditentukan oleh āromantikaā yang ada (dominan) di ābasisā. Hal yang mengalami kegilaannya saat āpetugas partaiā itu naik ke puncak kekuasaan. *** (07-09-2024)
1506. Sandera
08-09-2024
Bahkan sejak janin-pun manusia sudah main āsandera-sandera-anā, ibu hamil yang harus ini-itu demi sehatnya sang janin. Seakan disandera oleh si-janin. Setelah lahir, begitu tangis kuat keluar maka manusia dewasa di sekitarnya mestilah bertindak. Bahkan bayi-pun tersandera, dan hanya melalui tangis ia meminta bantuan. Ia, dan seluruh hidupnya nanti tersandera oleh jutaan sel tubuh yang selalu minta logistik gizi. Ancamannya tidak main-main, sel-sel itu akan bunuh diri ramai-ramai jika kebutuhan tidak dicukupi. Beranjak remaja ia mulai dikenalkan bermacam situasi penyanderaan diri, soal sopan santun, soal yang boleh dan tidak, dan banyak lagi. Bahkan setelah dewasa-pun ia tidak bisa menuntut kebebasan sepenuhnya, sebab ia akan tersandera juga oleh kebebasan lain. Belum lagi sandera terkait status sosial. Atau terkait dengan pekerjaan. Atau bahkan masa lalu. Apa yang memungkinkan bermacam sandera itu ada? Mungkinkah karena kita hidup tidak hanya soal masa lalu, sekarang, tetapi juga masa depan? Tetapi bagaimana kita bisa menghayati masa depan yang masih āabstrakā itu? Nampaknya dengan dua hal, bahasa dan insting, atau katakanlah āindera ke-enamā itu.
Dalam banyak halnya, mekanisme āsandera-sandera-anā di tingkat tubuh itu lebih dibahasakan dengan āmekanisme umpan-balikā, feedback mechanism. Atau juga soal ākecukupan giziā. Dengan bahasa pula kemudian diterangkan bahkan diperdebatkan bahwa ākebebasan yang lainā itu bukanlah penyanderaan kebebasan kita. Atau kita mengenalkan kata āsopan santunā dalam hidup bersama. Apa yang abstrak-abstrak (abstrak dari asal katanya kadang dilawankan dengan kongkret) termasuk masa depan itu menjadi mungkin karena kita punya: bahasa. Apa yang mau ditekankan di sini adalah betapa pentingnya peran bahasa dalam hidup bersama manusia.
Bahkan jika itu karena insting-pun sebagian besarnya akan ditindak-lanjuti dengan bahasa. Sebagian besar karena bagaimanapun memang akan ada hal-hal yang tidak bisa atau belum bisa diucapkan melalui bahasa. Bertahun terakhir ini kita mendapatkan pelajaran penting tentang peran bahasa dalam hidup bersama. Melalui āsudah-tidak-lucu-lagiā ketika orang dengan ākapital tinggi atau bahkan tertinggiā dalam ranah negara itu dikatakan sebagai āyang sebaliknyaā.[1] Jika orang itu omong A maka āyang dimaksudā atau bahkan dalam fakta-lanjutannya membuktikan bahwa yang terjadi adalah B, dan seringnya bahkan B sebagai lawan frontal dari A.
āSudah-tidak-lucu-lagiā karena semakin lama semakin nampak bahwa itu bukan lucu-lucu-an lagi, tetapi lebih sebagai penampakan dari tidak-berdayanya ābangunan-atasā dalam āmelawanā determinasi dinamika ābasisā yang memang sudah āsangat-tidak-lucuā, rusak-rusakan, semau-maunya. Nuansa ābasisā yang seakan sudah disesaki oleh dinamika orang menumpuk kekayaan dengan jalan korupsi, ngemplang, ngrampok, jual pengaruh, soal tambang illegal, dan banyak lagi yang intinya: rusak-rusakan, semau-maunya. Bahasa telah kehilangan salah satu fungsi pentingnya, menguak kebenaran. Bahasa justru secara sewenang-wenang digunakan untuk membangun tirai asap tebal yang menyembunyikan laku koruptif dan ugal-ugalan-semau-maunya dalam menumpuk kekayaan. Benar kata si-Bung, 91 tahun lalu dalam Fikiran Raājat: āBanyak Bicara, Banyak Kerja!ā Atau seperti ditegaskan si-Bung, politieke bewustmaking dan politieke actie.[2] Kesimpulannya? Sekali lagi āresep-lamaā: depolitisasi, melalui (salah satunya) āpembunuhan karakterā bahasa sebagai āalat-pesan politikā. Spektrum politik ākanan-kiriā itu kemudian diganti dengan āspektrum rupiahā, atau bahkan ādollarā. Rusak-rusakan. *** (08-09-2024)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/144-Spongebob-Opposite-Day/
[2] Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, hlm. 125
1507. Salah Kode (Kultural)?
09-09-2024
Tulisan ini berangkat dari buku Clotaire Rapaille, The Cultural Code: An Ingenious Way to Understand Why People around the World Live and Buy as They Do (2006). Syahdan, Jepang yang mempunyai tradisi panjang minum teh itu sungguh sulit ditembus pasarnya untuk kopi-kopi-an. Clotaire Rapaille sebagai konsultan pemasaran-pun kemudian dimintai bantuannya. Ia kemudian memasukkan dulu rasa kopi di permen-permen, biskuit-biskuit. Tesisnya sederhana, bagaimana Jepang akan menyukai kopi jika ākode-kode kulturalā soal kopi tidak ada? Mlipir-nya pemasaran kopi melalui āinfiltrasiā rasa kopi di permen atau biskuit misalnya adalah untuk menanamkan kode kultural tentang kopi di otak masyarakat Jepang. Setelah upaya semacam itu dilakukan bertahun-tahun, maka hasilnya adalah gerai Starbuck menjadi cepat menyebar dari kota-ke-kota.
Maka bisa kita bayangkan bagaimana banyak orang menjadi āterharuā tercekat-cekat seakan-akan menjadi gagap untuk berkata-kata ketika soal āRevolusi Mentalā di-launching sepuluh tahun lalu, penuh dengan tepuk-tangan dan puja-puji-harapan setinggi langit. Di-launching sekitar 40 tahun setelah Koentjaraningrat menulis soal āmentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunanā dalam Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (cetakan pertama 1974). Tetapi sayang seribu sayang, sepuluh tahun di tangan āorang baikā yang diyakini akan memimpin ārevolusi mentalā itu justru apa yang disebut Koentjaraningrat sebagai āmentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunanā itu malah merebak secara gila-gilaan, ugal-ugalan. Tanpa beban. Lima-puluh tahun lalu Koentjaraningrat menulis soal mentalitas (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Dan hari-hari ini secara telanjang di semua sektor, mentalitas seperti itu justru seakan menjadi pakem-nya berperilaku di ranah negara.
Tetapi bagi penggemar kereta api, tentu bisa merasakan bagaimana transformasi layanan perkereta-apian di era Jonan - jika memakai term Koentjaraningrat, menunjukkan bahwa tidak benar tuh kita suka-suka saja meremehkan mutu, tidak benar juga kita suka-suka saja menerabas, contoh mudah, bisa tuh antri dengan tertib, atau bisa tuh ber-disiplin menjaga kebersihan di gerbong, atau disiplin tidak merokok di gerbong. Jadi kalau memakai istilah Clotaire di atas, jika kelima sifat mentalitas yang disebut Koentjaraningrat di atas kita istilahkan dalam satu kata, kopi misalnya, memang faktanya memang bukannya kita tidak punya kode kultural tentang ākopiā, apalagi jika ditarik jauh sampai masa kolonial doeloe. Maka yang diperlukan adalah kode kultural ākontraā-nya, dan juga bukannya yang ākontra-kopiā itu tidak ada. Jonan membuktikan dengan āpolitical-willā yang kuat, ākontra-kopiā itu ternyata ācukup mudahā untuk dibangkitkan dan dibiasakan (kembali). Benar, dalam hitungan tahun saja ādunia kecilā perkereta-apian itu sudah menjadi seperti apa yang dibayangkan oleh Koentjaraningrat, terkait āmentalitasā apa yang semestinya dipunyai untuk sebuah āpembangunanā.
āLet China sleep, for when she wakes, she will shake the world,ā demikian ada yang menyakini kata-kata itu dikutip dari Napoleon Bonaparte (1769 ā 1821). Maka jika ada yang kemudian mengatakan bahwa ada upaya keras, bahkan nampak telanjang dalam bertahun-tahun terakhir melalui tangan āorang baikā yang ingin melaksanakan āRevolusi Mentalā tetapi ternyata cuma ngibul doang itu, ada yang ingin republik supaya tetap tidur adalah sangat beralasan. Apa yang terjadi dalam ādunia-kecil-perkereta-apianā yang diintrodusir oleh Jonan itu jangan sampai menular dalam ādunia-besar-republikā. Supaya tidak āmengguncangā dunia? Bisa saja, paling tidak dalam imajinasi mereka supaya segala kekayaan alam yang dikandung ibu pertiwi ini tetap dalam genggamannya. Dan supaya republik tetap saja tidur, mudah saja, bahkan hanya dengan āmenggali-lagiā kode-kode kulural terkait dengan āsifat mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunanā seperti disampaikan Koentjaraningrat 50 tahun lalu, diyakini republik akan tidur pulas. Tidur pulas dengan mimpi-mimpi yang terus saja ditebar tanpa henti oleh para āpemimpinā sontoloyo itu. Tidur pulas dan akan tetap diam saja meski para maling-rampok itu dengan penuh kebisingan menggali, mengangkut kekayaan republik tanpa henti. Maka benar, āorang ituā memang hanya merusak republik saja. *** (09-09-2024)
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45
1508. Collateral Damage Politik Dinasti
11-09-2024
Machiavelli kadang menggambarkan urusan kuasa bak urusan dengan Dewi Fortuna. Maka tak mengherankan jika untuk urusan kuasa ini ada yang kemudian jatuh dalam faustian bargain, katakanlah mau-mau saja ātanpa beban, bersepakat dengan iblis demi meraih-mempertahankan kuasa, seperti dalam cerita drama, Faust. Dalam upaya bahkan obsesinya untuk āmeminangā Sang Dewi Keberuntungan itu. Masalahnya tidak sedikit yang begitu terpesona terhadap Sang Dewi, atau Sang Dewa, sik-kuasa yang terus saja melenggang menggoda will to power yang terus saja bergejolak sampai ajal menjemput. Maka jika ada yang ingin memonopoli Sang Dewi, meng-kooptasi fakta bahwa begitu banyaknya will to power, bisa dilihat di banyak catatan sejarah betapa kerusakan bisa-bisa sungguh luas dan dalam. Entah dalam bentuk akibat perang, represi, atau seperti disebut Arendt, banality of evil.
Kemajuan tidak hanya soal āmemajukan horisonā tetapi juga soal bermacam horison yang melekat dalam bermacam ranah. āMemajukan horisonā bisa juga akan melahirkan bermacam ranah di dalamnya, dan masing-masing ranah bergulat dengan segala upaya untuk āmemajukan horisonā-nya masing-masing. āPolitik dinastiā misalnya, dalam satu titik tertentu ia ada dalam sebuah horison yang salah satunya melahirkan ranah ākerajaan konstitusionalā, seperti di Inggris atau Jepang. Segala sihir sang-kaisar-raja itu tiba-tiba saja kehilangan aura magisnya, dan monopoli terhadap nikmatnya Sang Dewi Fortuna-pun kemudian digugat. āMachiavelli yang menuaā ā istilah Leo Strauss bagi ekonomisme di sekitar awal-awal 1950-an, itupun mulai menggugat Machiavelli yang terlalu asyik-sendiri dengan Dewi Fortuna. āDigugatā dalam ranah kuasa itu di masa lalu, dan selalu ada saja potensi-nya di sepanjang era, bisa berarti: perang. Artinya dalam konteks tulisan ini, yang namanya ābedhol dĆ©soā politik dinasti itu collateral damage-nya bisa-bisa sungguh luas dan dalam. āDalamā karena bisa menimbulkan luka-luka yang sungguh sulit disembuhkan.
Tetapi yang namanya āpolitik dinastiā itu, apapun mau didefinisikan atau diotak-atik, ternyata tetap ada, bahkan misalnya di AS atau Kanada sono. Apa yang berubah dibandingkan masa lalu? Nampaknya ada soal āpergeseran ranahā-nya, ia kemudian terhayati tidak semata soal (ranah) āketurunanā tetapi juga soal prestasi, meritokrasi. Atau kalau meminjam istilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, ia terhayati tidak hanya berhenti pada tahap magis, tetapi juga ontologis dan fungsionil. Apakah ada dinasti politik yang tidak bergeser-geser ke arah meritokrasi? Ada, tetapi jelas ia (mestinya) tidak di ranah negara yang masih mempunyai hak monopoli penggunaan kekerasan itu, ia ada misalnya di suatu partai politik. Yang meski ia punya satgas atau laskar, ia tetap tidak boleh menenteng senjata. Atau di korporasi, jika kita bicara soal ranah pasar. Jadi urusan partai politik itu sendiri-lah mau tetap berkutat di ranah āmagisā dan tidak masuk-masuk juga ke tahap āontologisā dan apalagi āfungsionilā. Resiko dan keuntungannya akan ditanggung oleh partai itu sendiri, meski pihak luar partai tetaplah punya hak mengajukan kritik-kritiknya. Tetapi bagaimana di ranah negara? Yang resiko dan keuntungannya bisa membesar gila-gilaan karena mempunyai persenjataan lengkap?
āPolitik dinastiā yang meminggirkan secara telak soal prestasi, dan bahkan ātidak berjarakā (karena tidak mulai dari partai politik, misalnya) collateral damage-nya bisa-bisa sungguh luas dan dalam. Misal, berapa biaya harus dikeluarkan untuk membuat āpagar-bangsawanā yang akan āmelindungiā dan menebar aura āmagisā-nya? Itulah salah satu unsur penting merebaknya korupsi. Korupsi sudah menjadi salah satu pilar penyangga rejim. Atau bahkan semua boleh berbuat sesukanya, semau-maunya asal tidak mengganggu dan tetap melindungi serta menebar puja-puji terhadap ādinastiā. Dan di satu sisi, ādinasti politikā model seperti ini, ia akan tanpa beban bersekutu dengan iblis asal kuasa tetap di tangan (dinasti). Baik iblis dalam negeri maupun iblis luar negeri, baik 'swasta' maupun enggak. Bahkan ājiwa republikā-pun akan ia pertaruhkan. Tak jauh-jauh amat dari drama Faust seperti sudah disinggung di atas. *** (11-09-2024)
1509. Si Kucluk Trump
12-09-2024
Dalam bahasa sono, ada istilah dog eat dog, yang digunakan to describe a situation in which people will do anything to be successful, even if what they do harms other people.[1] Dalam debat antara Donald Trump dan Kamala Harris kemarin, muncul juga kata-kata dog, bahkan cat juga. Dari mulut Trump. Konteksnya adalah soal imigran. Dari mulut Trump dalam debat tersebut, Trump mengatakan berdasarkan informasi dari warga Springfield para imigran itu makan anjing, kucing, dan hewan peliharaan lain dari penduduk setempat.[2] Sudah ādiperingatkanā oleh moderator debat terkait ākualitasā omongan tersebut tetapi tetap saja Trump ngĆØyĆØl soal itu. Kucluk memang orang itu.
Debat antara dua kandidat di AS sono ā kandidat independen, keturunan JFK sudah mengundurkan diri, memang bisa seru, bahkan bisa sampai keluar kata-kata kucluk-kucluk-an seperti Trump itu. Mungkin debat di atas memang akan menarik perhatian, tetapi apapun itu sejarah demokrasi AS bukan hanya soal debat, yang sering dilupakan adalah bagaimana spoils system, melalui jalan demokrasi pula, sepakat dihapus sejak sekitar 150 tahun lalu. āPemenang debatā yang mungkin saja melanjut pada pemenang pemilihan terus tidak bisa lagi āthe winner takes allā. āBirokrasi karirā telah disepakati dijauhkan dari dinamika politik praktis. Dan juga militer. āI should not have been there,ā[3] demikian dikatakan Mark Milley beberapa bulan menjelang pemilihan presiden AS tahun 2020. Pernyataan Jenderal Mark Milley ā saat itu sebagai Kepala Staf Gabungan AS, terkait foto bersamanya dengan Trump, saat itu masih presiden.
Jika politik adalah seni dari kemungkinan maka mungkin pula ia akan jatuh pada āseniā kucluk-kucluk-an ala Trump itu. Untung spoils system sudah dihapus, dan militer tetap jaga jarak. Dua hal yang di tangan si-kucluk Trump itu mau di otak-atik. Trump sempat mau mengembalikan spoils system di akhir-akhir jabatannya, dan oleh Biden setelah naik jadi presiden, kebijakan itu segera saja dibatalkan. Juga soal menyeret-nyeret militer seperti foto bersama Mark Milley di atas. Untung Jenderal Milley segera minta maaf, dan tidak mau diseret-seret ke politik praktis. Coba bandingkan di jaman old dengan āskemaā jalur ABG-nya itu. Yang nampaknya mau diulang di jaman now ini. Kucluk-lah. Maka terkait dengan oligarki ā yang kemudian berbeda dengan bangunan oligarki di AS sana, jalur ABG itu kemudian membangun apa yang disebut Jeffrey Winters sebagai oligarki sultanistik. Ataukah jaman now ada yang sedang mimpi untuk menjadi āsultanā?
Mungkin saja bisikan yang sampai ke Trump itu benar adanya bisikan, tetapi sebagai yang ada di ranah negara ia mestinya hati-hati dalam menyikapinya. Apakah isi bisikan itu benar? Dan jika benar, apakah harus secara telanjang keluar dari mulutnya? Baru-baru ini TV DW menayangkan film dokumenter tentang negara eks Yugoslavia, terutama Bosnia yang masih berkutat tentang masalah etnis. Pesannya adalah, hati-hati mengelola soal etnis ini terlebih di ranah negara, karena akibatnya bisa menjadi begitu dalam (dan lama). Atau lihat masalah etnis di Afrika sana, mungkinkah salah satunya dipicu segala garis batas yang banyak āgaris-lurusā-nya itu? Tentu tidak masalah soal imigrasi dipermasalahkan, tetapi muncul di level ātertinggiā dengan kata-kata seperti Trump di atas? Atau yang baru-baru ini dialami di republik, terkait dengan istilah āraja jawaā yang keluar dari mulut Bahlil. Mestinya Bahlil dipecat saja, atau Golkar-nya yang dibubarkan. Terlalu besar yang dipertaruhkan. *** (12-09-2024)
[1] https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/dog-eat-dog
[2] https://www.youtube.com/watch?v=_7R6nWPbW9g
[3] https://www.nytimes.com/2020/06/11/us/politics/trump-milley-military-protests-lafayette-square.html