1505. Romantika Mimpi

07-09-2024

Tulisan mengambil inspirasi dari lagu Iwan Fals, Mimpi yang Terbeli, ada dalam album 1910 yang dirilis tahun 1988.

Mungkinkah Henri Bergson (1859 – 1941) benar? Bahwa sebuah elan vital itu memang sungguh bisa mendorong kreatifitas? Bagi yang ‘tumbuh-besar’ bersama Iwan Fals tentu akan begitu mengenal (kreatifitas) Iwan Fals di tahun-tahun sekitar 1988 itu. Lagu-lagunya, atau juga pemusik lain, Leo Kristi misalnya. Atau pelukis Yayak Kencrit. Dan lain-lain. Atau jaman now, kaum muda bahkan bisa menggelindingkan sesuatu yang terus saja membesar hanya mulai dari penampakan bentuk jendela sebuah pesawat.

Atau jika kita ingat pemilihan umum pertama pasca 1998, bagaimana ‘posko perjuangan’ itu merebak ‘penuh gaya’ tanpa adanya kucuran logistik dari atas. “Congor putih mbah … ojo lali … congor putih ….,” demikian laki-laki paruh baya mengayuh sepeda keliling desanya di satu tempat di Jawa Tengah sebelum coblosan dilaksanakan. Tanpa bayaran, penuh semangat. Penuh dengan ‘energi hidup’ atau yang disebut Henri Bergson di atas, elan vital. Bahwa akhirnya Megawati gagal menjadi presiden di ‘putaran ke dua’: dulu masih di MPR, dan Gus Dur naik jadi presiden, ada beberapa hal memang perlu dicermati.

Atau bisa kita bayangkan beberapa waktu lalu terkait pemilihan di Perancis. Ketika putaran pertama digelar, dan putaran kedua harus dilaksanakan karena tidak ada partai yang memenangkan mayoritas parlemen, sayap-kanan-jauh yang mendapat suara tertinggi (tetapi tidak mayoritas) akhirnya harus ‘bertekuk-lutut’ di putaran kedua karena ‘dikeroyok’ oleh kesepakatan-kesepakatan-strategis-taktis dari partai-partai di luar sayap-kanan-jauh itu. Meski setelah ‘berdebat’ hampir tiga bulan lamanya –dengan jeda Olimpiade, akhirnya kemarin berhasil bersepakat memilih PM Perancis, dari tokoh sayap-kanan.

Dua peristiwa di atas sama-sama sah secara prosedural, masalahnya adalah alasan-alasannya.

Benarkah alasan-alasannya berbeda (dua peristiwa di atas yang berjarak 25 tahun)? Mengapa sayap-kanan-jauh seakan ‘ditakuti’ di Perancis, dan juga beberapa negara Eropa lainnya? Apakah trauma NAZI masih membayang? Kalau NAZI dulu yang jadi ‘sasaran-tembak’ adalah Yahudi, mungkinkah ‘sasaran-tembak’ sayap-kanan-jauh sekarang adalah para imigran? Lihat pemilihan (local) di negara bagian Jerman baru-baru ini, ketika beberapa hari sebelum pemilihan ada peristiwa penusukan acak, sayap-kanan-jauh mengambil keuntungannya. Sebelumnya di Inggris, dis-informasi peristiwa (juga) penusukan kemudian membesar jadi demo anti-imigran di berbagai kota. Belum lagi jika kita lihat pethakilan-nya Trump dan pendukung garis kerasnya. Sebenarnya ‘mendadak sayap-kanan-jauh’ bukanlah gejala tiba-tiba. Jauh di awal-awal abad-21 sudah ada beberapa terbitan yang mengindikasikan (perasaan) terganggunya ‘ancient-regime-values’ di Eropa sana. Kata ‘ancient-regime’ sengaja dipakai terkait sejarah ‘spektrum kanan-kiri’ dalam politik, yang dimulai saat Revolusi Perancis.

Apakah memang dua peristiwa di atas, kalahnya Megawati di ‘putaran kedua’ pemilu 1999, dan kalahnya sayap-kanan-jauh di putaran kedua di Perancis sono, 25 tahun kemudian, bisa diperbandingkan? Apakah dinamika politik di ‘pakta dominasi primer’ –istilah salah satu pionir Teori Ketergantungan, Cardoso, bisa diperbandingkan dengan yang terjadi di ‘pakta dominasi sekunder’? Memang akan banyak variable yang memungkinkan untuk berpendapat bahwa tentu ada perbedaan, tetapi bagaimanapun ada kesamaannya, sama-sama berurusan dengan mimpi. Mimpi-mimpi ‘kanan-jauh’ di sono itu seakan semakin bisa dihayati oleh ‘penonton’ di ‘dunia ketiga’ sebagai mimpi ‘supremasi kulit putih’. Atau kalau memakai alur pendapat Thomas Hobbes, mereka akan melakukan apa saja untuk mempertahankan apa-apa yang sudah diperolehnya. Mereka-mereka – bahkan pada umumnya sebenarnya, yang sudah begitu menikmati ada di ‘pakta dominasi primer’.

Sedangkan katakanlah peristiwa 25 tahun lalu di republik, ‘bahan-bahan materialnya’ juga berusan dengan mimpi, hanya saja memang hanya mimpi itu yang terbeli, meminjam istilah Iwan Fals di awal tulisan. Meski bisa saja bergeser menjadi ‘kanan-jauh’ tetapi potensinya sangat kecil. Yang ‘menakutkan’ bagi sementara pihak adalah ‘elan vital’ yang terbangun itu. ‘Bahan mentah’ jika kemudian ter-olah melalui dinamika dan dialektika yang benar maka bisa-bisa akan terjadi apa yang disebut Hobbes di atas akan mendapat perlawanan yang sungguh berat, yaitu saat mempertahankan apa-apa yang sudah dinikmati. Apa yang sudah dinikmati? Jika melihat faktor yang lebih luas, peristiwa 1998 bisa juga dilihat sebagai ‘politik pintu terbuka’. Modal dalam paradigma neoliberalisme itu sedang menggedor-gedor pintu gerbang republik supaya lebih bebas masuk. Kroni-isme yang mewabah di jaman old jelas sudah tidak kompatibel lagi dengan semangat ‘pasar bebas’.

Pasar bebas yang mengusung juga ‘bangunan atas’-nya: demokrasi (paling tidak demikian klaim-nya), merengsek ke republik. Maka Habibie sebagai presiden saat itu –selama satu-setengah tahun, dalam hal mengawal demokrasi sudah melakukan langkah-langkah tepatnya. Demikian juga Gus Dur bersama pembantu-pembantunya, para menteri. Tetapi bagaimana dengan soal ‘pasar bebas’-nya? Bagaimana si-penikmat bertahun-tahun dalam ranah kekuatan uang yang jumlahnya hanya sedikit saja itu, yang dalam banyak halnya dalam praktek lebih sebagai persekutuan ‘senjata-modal’? Bagaimana dengan ‘ketrampilan’ dalam naik gelombang perubahan yang sedang menerjang? Atau telanjangnya, ketrampilan dalam ‘merawat-posisi’ sebagai yang di ‘pakta dominasi sekunder’? Untuk ‘tetap-setia’ di ‘pakta dominasi sekunder’?

Maka salah satunya adalah, ketika yang banyak masih ada dalam situasi hanya mimpi yang terbeli, jangan sampai mimpi-mimpi itu menemukan dinamika dan dialektika-nya. Bagaimana mimpi-mimpi itu hanya berhenti dalam ‘tahap’ romantika saja. Maka jika pemilihan 1999 adalah sebuah ‘momentum’ bagi ‘yang banyak’ untuk tidak hanya berkutat dalam ‘ideologi kenang-kenangan’, maka ‘momentum’ itu mesti dikikis perlahan-lahan. Demikian bayangannya. Masalahnya dengan naiknya Gus Dur ‘mereka’ ternyata ‘salah pilih’. Gus Dur ternyata lebih mengandalkan kemampuan kaum teknokrat dan dukungan internasional. Merepotkan memang, tetapi paling tidak ‘momentum’ pemilihan 1999 itu menjadi ada waktu untuk lebih bisa ‘dikelola’. Dan jadilah memang setelah itu, mimpi-mimpi itupun hanya sampai pada romantika saja. Sementara soal dinamika dan dialektika-nya, tetaplah ‘setia’ atau ditentukan oleh ‘romantika’ yang ada (dominan) di ‘basis’. Hal yang mengalami kegilaannya saat ‘petugas partai’ itu naik ke puncak kekuasaan. *** (07-09-2024)

1506. Sandera

08-09-2024

Bahkan sejak janin-pun manusia sudah main ‘sandera-sandera-an’, ibu hamil yang harus ini-itu demi sehatnya sang janin. Seakan disandera oleh si-janin. Setelah lahir, begitu tangis kuat keluar maka manusia dewasa di sekitarnya mestilah bertindak. Bahkan bayi-pun tersandera, dan hanya melalui tangis ia meminta bantuan. Ia, dan seluruh hidupnya nanti tersandera oleh jutaan sel tubuh yang selalu minta logistik gizi. Ancamannya tidak main-main, sel-sel itu akan bunuh diri ramai-ramai jika kebutuhan tidak dicukupi. Beranjak remaja ia mulai dikenalkan bermacam situasi penyanderaan diri, soal sopan santun, soal yang boleh dan tidak, dan banyak lagi. Bahkan setelah dewasa-pun ia tidak bisa menuntut kebebasan sepenuhnya, sebab ia akan tersandera juga oleh kebebasan lain. Belum lagi sandera terkait status sosial. Atau terkait dengan pekerjaan. Atau bahkan masa lalu. Apa yang memungkinkan bermacam sandera itu ada? Mungkinkah karena kita hidup tidak hanya soal masa lalu, sekarang, tetapi juga masa depan? Tetapi bagaimana kita bisa menghayati masa depan yang masih ‘abstrak’ itu? Nampaknya dengan dua hal, bahasa dan insting, atau katakanlah ‘indera ke-enam’ itu.

Dalam banyak halnya, mekanisme ‘sandera-sandera-an’ di tingkat tubuh itu lebih dibahasakan dengan ‘mekanisme umpan-balik’, feedback mechanism. Atau juga soal ‘kecukupan gizi’. Dengan bahasa pula kemudian diterangkan bahkan diperdebatkan bahwa ‘kebebasan yang lain’ itu bukanlah penyanderaan kebebasan kita. Atau kita mengenalkan kata ‘sopan santun’ dalam hidup bersama. Apa yang abstrak-abstrak (abstrak dari asal katanya kadang dilawankan dengan kongkret) termasuk masa depan itu menjadi mungkin karena kita punya: bahasa. Apa yang mau ditekankan di sini adalah betapa pentingnya peran bahasa dalam hidup bersama manusia.

Bahkan jika itu karena insting-pun sebagian besarnya akan ditindak-lanjuti dengan bahasa. Sebagian besar karena bagaimanapun memang akan ada hal-hal yang tidak bisa atau belum bisa diucapkan melalui bahasa. Bertahun terakhir ini kita mendapatkan pelajaran penting tentang peran bahasa dalam hidup bersama. Melalui ‘sudah-tidak-lucu-lagi’ ketika orang dengan ‘kapital tinggi atau bahkan tertinggi’ dalam ranah negara itu dikatakan sebagai ‘yang sebaliknya’.[1] Jika orang itu omong A maka ‘yang dimaksud’ atau bahkan dalam fakta-lanjutannya membuktikan bahwa yang terjadi adalah B, dan seringnya bahkan B sebagai lawan frontal dari A.

“Sudah-tidak-lucu-lagi” karena semakin lama semakin nampak bahwa itu bukan lucu-lucu-an lagi, tetapi lebih sebagai penampakan dari tidak-berdayanya ‘bangunan-atas’ dalam ‘melawan’ determinasi dinamika ‘basis’ yang memang sudah ‘sangat-tidak-lucu’, rusak-rusakan, semau-maunya. Nuansa ‘basis’ yang seakan sudah disesaki oleh dinamika orang menumpuk kekayaan dengan jalan korupsi, ngemplang, ngrampok, jual pengaruh, soal tambang illegal, dan banyak lagi yang intinya: rusak-rusakan, semau-maunya. Bahasa telah kehilangan salah satu fungsi pentingnya, menguak kebenaran. Bahasa justru secara sewenang-wenang digunakan untuk membangun tirai asap tebal yang menyembunyikan laku koruptif dan ugal-ugalan-semau-maunya dalam menumpuk kekayaan. Benar kata si-Bung, 91 tahun lalu dalam Fikiran Ra’jat: “Banyak Bicara, Banyak Kerja!” Atau seperti ditegaskan si-Bung, politieke bewustmaking dan politieke actie.[2] Kesimpulannya? Sekali lagi ‘resep-lama’: depolitisasi, melalui (salah satunya) ‘pembunuhan karakter’ bahasa sebagai ‘alat-pesan politik’. Spektrum politik ‘kanan-kiri’ itu kemudian diganti dengan ‘spektrum rupiah’, atau bahkan ‘dollar’. Rusak-rusakan. *** (08-09-2024)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/144-Spongebob-Opposite-Day/

[2] Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, hlm. 125

1507. Salah Kode (Kultural)?

09-09-2024

Tulisan ini berangkat dari buku Clotaire Rapaille, The Cultural Code: An Ingenious Way to Understand Why People around the World Live and Buy as They Do (2006). Syahdan, Jepang yang mempunyai tradisi panjang minum teh itu sungguh sulit ditembus pasarnya untuk kopi-kopi-an. Clotaire Rapaille sebagai konsultan pemasaran-pun kemudian dimintai bantuannya. Ia kemudian memasukkan dulu rasa kopi di permen-permen, biskuit-biskuit. Tesisnya sederhana, bagaimana Jepang akan menyukai kopi jika ‘kode-kode kultural’ soal kopi tidak ada? Mlipir-nya pemasaran kopi melalui ‘infiltrasi’ rasa kopi di permen atau biskuit misalnya adalah untuk menanamkan kode kultural tentang kopi di otak masyarakat Jepang. Setelah upaya semacam itu dilakukan bertahun-tahun, maka hasilnya adalah gerai Starbuck menjadi cepat menyebar dari kota-ke-kota.

Maka bisa kita bayangkan bagaimana banyak orang menjadi ‘terharu’ tercekat-cekat seakan-akan menjadi gagap untuk berkata-kata ketika soal ‘Revolusi Mental’ di-launching sepuluh tahun lalu, penuh dengan tepuk-tangan dan puja-puji-harapan setinggi langit. Di-launching sekitar 40 tahun setelah Koentjaraningrat menulis soal ‘mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan’ dalam Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (cetakan pertama 1974). Tetapi sayang seribu sayang, sepuluh tahun di tangan ‘orang baik’ yang diyakini akan memimpin ‘revolusi mental’ itu justru apa yang disebut Koentjaraningrat sebagai ‘mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan’ itu malah merebak secara gila-gilaan, ugal-ugalan. Tanpa beban. Lima-puluh tahun lalu Koentjaraningrat menulis soal mentalitas (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Dan hari-hari ini secara telanjang di semua sektor, mentalitas seperti itu justru seakan menjadi pakem-nya berperilaku di ranah negara.

Tetapi bagi penggemar kereta api, tentu bisa merasakan bagaimana transformasi layanan perkereta-apian di era Jonan - jika memakai term Koentjaraningrat, menunjukkan bahwa tidak benar tuh kita suka-suka saja meremehkan mutu, tidak benar juga kita suka-suka saja menerabas, contoh mudah, bisa tuh antri dengan tertib, atau bisa tuh ber-disiplin menjaga kebersihan di gerbong, atau disiplin tidak merokok di gerbong. Jadi kalau memakai istilah Clotaire di atas, jika kelima sifat mentalitas yang disebut Koentjaraningrat di atas kita istilahkan dalam satu kata, kopi misalnya, memang faktanya memang bukannya kita tidak punya kode kultural tentang ‘kopi’, apalagi jika ditarik jauh sampai masa kolonial doeloe. Maka yang diperlukan adalah kode kultural ‘kontra’-nya, dan juga bukannya yang ‘kontra-kopi’ itu tidak ada. Jonan membuktikan dengan ‘political-will’ yang kuat, ‘kontra-kopi’ itu ternyata ‘cukup mudah’ untuk dibangkitkan dan dibiasakan (kembali). Benar, dalam hitungan tahun saja ‘dunia kecil’ perkereta-apian itu sudah menjadi seperti apa yang dibayangkan oleh Koentjaraningrat, terkait ‘mentalitas’ apa yang semestinya dipunyai untuk sebuah ‘pembangunan’.

Let China sleep, for when she wakes, she will shake the world,” demikian ada yang menyakini kata-kata itu dikutip dari Napoleon Bonaparte (1769 – 1821). Maka jika ada yang kemudian mengatakan bahwa ada upaya keras, bahkan nampak telanjang dalam bertahun-tahun terakhir melalui tangan ‘orang baik’ yang ingin melaksanakan ‘Revolusi Mental’ tetapi ternyata cuma ngibul doang itu, ada yang ingin republik supaya tetap tidur adalah sangat beralasan. Apa yang terjadi dalam ‘dunia-kecil-perkereta-apian’ yang diintrodusir oleh Jonan itu jangan sampai menular dalam ‘dunia-besar-republik’. Supaya tidak ‘mengguncang’ dunia? Bisa saja, paling tidak dalam imajinasi mereka supaya segala kekayaan alam yang dikandung ibu pertiwi ini tetap dalam genggamannya. Dan supaya republik tetap saja tidur, mudah saja, bahkan hanya dengan ‘menggali-lagi’ kode-kode kulural terkait dengan ‘sifat mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan’ seperti disampaikan Koentjaraningrat 50 tahun lalu, diyakini republik akan tidur pulas. Tidur pulas dengan mimpi-mimpi yang terus saja ditebar tanpa henti oleh para ‘pemimpin’ sontoloyo itu. Tidur pulas dan akan tetap diam saja meski para maling-rampok itu dengan penuh kebisingan menggali, mengangkut kekayaan republik tanpa henti. Maka benar, ‘orang itu’ memang hanya merusak republik saja. *** (09-09-2024)

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45

1508. Collateral Damage Politik Dinasti

11-09-2024

Machiavelli kadang menggambarkan urusan kuasa bak urusan dengan Dewi Fortuna. Maka tak mengherankan jika untuk urusan kuasa ini ada yang kemudian jatuh dalam faustian bargain, katakanlah mau-mau saja –tanpa beban, bersepakat dengan iblis demi meraih-mempertahankan kuasa, seperti dalam cerita drama, Faust. Dalam upaya bahkan obsesinya untuk ‘meminang’ Sang Dewi Keberuntungan itu. Masalahnya tidak sedikit yang begitu terpesona terhadap Sang Dewi, atau Sang Dewa, sik-kuasa yang terus saja melenggang menggoda will to power yang terus saja bergejolak sampai ajal menjemput. Maka jika ada yang ingin memonopoli Sang Dewi, meng-kooptasi fakta bahwa begitu banyaknya will to power, bisa dilihat di banyak catatan sejarah betapa kerusakan bisa-bisa sungguh luas dan dalam. Entah dalam bentuk akibat perang, represi, atau seperti disebut Arendt, banality of evil.

Kemajuan tidak hanya soal ‘memajukan horison’ tetapi juga soal bermacam horison yang melekat dalam bermacam ranah. ‘Memajukan horison’ bisa juga akan melahirkan bermacam ranah di dalamnya, dan masing-masing ranah bergulat dengan segala upaya untuk ‘memajukan horison’-nya masing-masing. ‘Politik dinasti’ misalnya, dalam satu titik tertentu ia ada dalam sebuah horison yang salah satunya melahirkan ranah ‘kerajaan konstitusional’, seperti di Inggris atau Jepang. Segala sihir sang-kaisar-raja itu tiba-tiba saja kehilangan aura magisnya, dan monopoli terhadap nikmatnya Sang Dewi Fortuna-pun kemudian digugat. ‘Machiavelli yang menua’ – istilah Leo Strauss bagi ekonomisme di sekitar awal-awal 1950-an, itupun mulai menggugat Machiavelli yang terlalu asyik-sendiri dengan Dewi Fortuna. ‘Digugat’ dalam ranah kuasa itu di masa lalu, dan selalu ada saja potensi-nya di sepanjang era, bisa berarti: perang. Artinya dalam konteks tulisan ini, yang namanya ‘bedhol déso’ politik dinasti itu collateral damage-nya bisa-bisa sungguh luas dan dalam. ‘Dalam’ karena bisa menimbulkan luka-luka yang sungguh sulit disembuhkan.

Tetapi yang namanya ‘politik dinasti’ itu, apapun mau didefinisikan atau diotak-atik, ternyata tetap ada, bahkan misalnya di AS atau Kanada sono. Apa yang berubah dibandingkan masa lalu? Nampaknya ada soal ‘pergeseran ranah’-nya, ia kemudian terhayati tidak semata soal (ranah) ‘keturunan’ tetapi juga soal prestasi, meritokrasi. Atau kalau meminjam istilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, ia terhayati tidak hanya berhenti pada tahap magis, tetapi juga ontologis dan fungsionil. Apakah ada dinasti politik yang tidak bergeser-geser ke arah meritokrasi? Ada, tetapi jelas ia (mestinya) tidak di ranah negara yang masih mempunyai hak monopoli penggunaan kekerasan itu, ia ada misalnya di suatu partai politik. Yang meski ia punya satgas atau laskar, ia tetap tidak boleh menenteng senjata. Atau di korporasi, jika kita bicara soal ranah pasar. Jadi urusan partai politik itu sendiri-lah mau tetap berkutat di ranah ‘magis’ dan tidak masuk-masuk juga ke tahap ‘ontologis’ dan apalagi ‘fungsionil’. Resiko dan keuntungannya akan ditanggung oleh partai itu sendiri, meski pihak luar partai tetaplah punya hak mengajukan kritik-kritiknya. Tetapi bagaimana di ranah negara? Yang resiko dan keuntungannya bisa membesar gila-gilaan karena mempunyai persenjataan lengkap?

‘Politik dinasti’ yang meminggirkan secara telak soal prestasi, dan bahkan ‘tidak berjarak’ (karena tidak mulai dari partai politik, misalnya) collateral damage-nya bisa-bisa sungguh luas dan dalam. Misal, berapa biaya harus dikeluarkan untuk membuat ‘pagar-bangsawan’ yang akan ‘melindungi’ dan menebar aura ‘magis’-nya? Itulah salah satu unsur penting merebaknya korupsi. Korupsi sudah menjadi salah satu pilar penyangga rejim. Atau bahkan semua boleh berbuat sesukanya, semau-maunya asal tidak mengganggu dan tetap melindungi serta menebar puja-puji terhadap ‘dinasti’. Dan di satu sisi, ‘dinasti politik’ model seperti ini, ia akan tanpa beban bersekutu dengan iblis asal kuasa tetap di tangan (dinasti). Baik iblis dalam negeri maupun iblis luar negeri, baik 'swasta' maupun enggak. Bahkan ‘jiwa republik’-pun akan ia pertaruhkan. Tak jauh-jauh amat dari drama Faust seperti sudah disinggung di atas. *** (11-09-2024)

1509. Si Kucluk Trump

12-09-2024

Dalam bahasa sono, ada istilah dog eat dog, yang digunakan to describe a situation in which people will do anything to be successful, even if what they do harms other people.[1] Dalam debat antara Donald Trump dan Kamala Harris kemarin, muncul juga kata-kata dog, bahkan cat juga. Dari mulut Trump. Konteksnya adalah soal imigran. Dari mulut Trump dalam debat tersebut, Trump mengatakan berdasarkan informasi dari warga Springfield para imigran itu makan anjing, kucing, dan hewan peliharaan lain dari penduduk setempat.[2] Sudah ‘diperingatkan’ oleh moderator debat terkait ‘kualitas’ omongan tersebut tetapi tetap saja Trump ngèyèl soal itu. Kucluk memang orang itu.

Debat antara dua kandidat di AS sono kandidat independen, keturunan JFK sudah mengundurkan diri, memang bisa seru, bahkan bisa sampai keluar kata-kata kucluk-kucluk-an seperti Trump itu. Mungkin debat di atas memang akan menarik perhatian, tetapi apapun itu sejarah demokrasi AS bukan hanya soal debat, yang sering dilupakan adalah bagaimana spoils system, melalui jalan demokrasi pula, sepakat dihapus sejak sekitar 150 tahun lalu. ‘Pemenang debat’ yang mungkin saja melanjut pada pemenang pemilihan terus tidak bisa lagi ‘the winner takes all’. ‘Birokrasi karir’ telah disepakati dijauhkan dari dinamika politik praktis. Dan juga militer. “I should not have been there,[3] demikian dikatakan Mark Milley beberapa bulan menjelang pemilihan presiden AS tahun 2020. Pernyataan Jenderal Mark Milley – saat itu sebagai Kepala Staf Gabungan AS, terkait foto bersamanya dengan Trump, saat itu masih presiden.

Jika politik adalah seni dari kemungkinan maka mungkin pula ia akan jatuh pada ‘seni’ kucluk-kucluk-an ala Trump itu. Untung spoils system sudah dihapus, dan militer tetap jaga jarak. Dua hal yang di tangan si-kucluk Trump itu mau di otak-atik. Trump sempat mau mengembalikan spoils system di akhir-akhir jabatannya, dan oleh Biden setelah naik jadi presiden, kebijakan itu segera saja dibatalkan. Juga soal menyeret-nyeret militer seperti foto bersama Mark Milley di atas. Untung Jenderal Milley segera minta maaf, dan tidak mau diseret-seret ke politik praktis. Coba bandingkan di jaman old dengan ‘skema’ jalur ABG-nya itu. Yang nampaknya mau diulang di jaman now ini. Kucluk-lah. Maka terkait dengan oligarki – yang kemudian berbeda dengan bangunan oligarki di AS sana, jalur ABG itu kemudian membangun apa yang disebut Jeffrey Winters sebagai oligarki sultanistik. Ataukah jaman now ada yang sedang mimpi untuk menjadi ‘sultan’?

Mungkin saja bisikan yang sampai ke Trump itu benar adanya bisikan, tetapi sebagai yang ada di ranah negara ia mestinya hati-hati dalam menyikapinya. Apakah isi bisikan itu benar? Dan jika benar, apakah harus secara telanjang keluar dari mulutnya? Baru-baru ini TV DW menayangkan film dokumenter tentang negara eks Yugoslavia, terutama Bosnia yang masih berkutat tentang masalah etnis. Pesannya adalah, hati-hati mengelola soal etnis ini terlebih di ranah negara, karena akibatnya bisa menjadi begitu dalam (dan lama). Atau lihat masalah etnis di Afrika sana, mungkinkah salah satunya dipicu segala garis batas yang banyak ‘garis-lurus’-nya itu? Tentu tidak masalah soal imigrasi dipermasalahkan, tetapi muncul di level ‘tertinggi’ dengan kata-kata seperti Trump di atas? Atau yang baru-baru ini dialami di republik, terkait dengan istilah ‘raja jawa’ yang keluar dari mulut Bahlil. Mestinya Bahlil dipecat saja, atau Golkar-nya yang dibubarkan. Terlalu besar yang dipertaruhkan. *** (12-09-2024)

[1] https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/dog-eat-dog

[2] https://www.youtube.com/watch?v=_7R6nWPbW9g

[3] https://www.nytimes.com/2020/06/11/us/politics/trump-milley-military-protests-lafayette-square.html