1365. Roti/Sirkus, Fanatisme, dan Sandera Kasus
1366. Salah Satu Lisan Terbaik di Salah Satu Momen Terbaik
29-01-2024
Salah Satu Lisan Terbaik di Salah Satu Momen Terbaik
1367. Naik/Turun 'Kelas' Bersama Presiden
30-01-2024
When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.
Napoleon Bonaparte
Apa yang dikatakan oleh Napoleon di atas akan lebih bermakna dalam komunitas dengan Power Distance Index tinggi. Setelah melakukan survey di banyak cabang IBM di seluruh dunia dimana ada cabang IBM-nya, pada tahun 1970-an, Hofstede mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai power distance. Yaitu terkait dengan tidak meratanya distribusi power, terlebih bagaimana yang ada di bawah menghayatinya. Power Distance Index tinggi yaitu ketika dalam satu komunitas cenderung menerima ‘dengan lapang dada’ perbedaan otoritas. Otoritas di atasnya seakan dianggap serba ‘putih’, baik adanya. Sebaliknya pada komunitas dengan Power Distance Index rendah, yang ada di bawah tidak serta merta ikut saja, dan cenderung ‘rèsèh’ terhadap otoritas di atasnya. Kuasa di atas bisa-bisa dihayati sebagai yang serba ‘hitam’. Maka meski judul bisa saja terasa berlebihan tetapi tetaplah mempunyai dasar ‘kekhawatiran’ tersendiri.
‘Teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia bisa mengubah keberadaan manusia,” demikian dikatakan Abraham J. Heschel –seorang rabbi Yahudi dan sekaligus seorang filsuf, dalam Who Is Man? (1965). Maka teori tentang ‘power distance’ tinggi ini bisa-bisa akan mempengaruhui tindakan dalam bermacam bentuknya, pertama-tama bagi yang ingin melanggengkan kekuasaan, bisa-bisa ini akan dieksploitasi habis-habisan. Contoh ‘kecil’, dalam komunitas dengan power distance tinggi jika diadakan survei tentang kepuasan pemegang power tertinggi, jika pertanyannya: puas atau tidak, maka akan ada kecenderungan memilih: puas. Karena jauh di ‘lubuk-hati’-nya, kekuasaan itu ‘serba putih’. Ada rasa ‘sungkan’. Sudah begitu ‘menyihir’-nya. Tetapi ketika pertanyaan survei tidak langsung ‘ditabrakkan’ pada power tertinggi, misal dikaitkan dengan ketersediaan dan terjangkaunya kebutuhan pokok, ternyata menunjukkan hasil yang mengejutkan. Banyak tidak puasnya. Survei dari Kang Eep beberapa waktu lalu banyak menunjukkan hal tersebut.
Yang kedua –menjadi fokus tulisan ini, bagi yang ingin melakukan perubahan maka merebut power tertinggi akan menjadi tujuan utama. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tentu perubahan bisa saja melalui rute ‘kultural’ dan ini juga sangat penting. Tetapi di rentang waktu pemilihan ini semua harus all-out untuk konsentrasi merebut power tertinggi. Jika 50 tahun lalu Hofstede membagi power distance tinggi dan rendah, dan kita yang ada di republik ini kemudian dimasukkan pada komunitas dengan power distance index tinggi, apakah 50 tahun kemudian masih juga ter-index tinggi? Terlebih dengan berkembangnya modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet seperti sekarang ini? Nampaknya masih ada di sana-sini. Tetapi lepas dari itu, paling tidak si-penguasa nampaknya masih meyakini bahwa komunitas yang dipimpinnya itu masihlah komunitas dengan power distance tinggi.
Dalam ‘ranah’ perfect obligation memang tidak ada kewajiban yang mewajibkan seorang yang lebih tinggi otoritas-nya untuk ‘merendahkan’ diri sehingga mau duduk sama tinggi sama rendah dengan yang ada di bawahnya. Tetapi dalam imperfect obligation kemungkinan itu bisa saja dilakukan, dan dalam imperfect obligation inilah sebenarnya soal ‘kualitas’ lebih bisa dibedakan. Di atas disinggung soal pendekatan ‘kultural’ yang juga sangat penting, dan bagaimana jika hal ‘kultural’ ini digunakan untuk melakukan ‘infiltrasi’ dalam ‘rimba’ struktur-struktur kuasa? Hal ‘kultural’ memang akan mengambil rentang waktu yang lama, tetapi kadang bisa juga berfungsi layaknya ‘palu yang diketok keras-keras di atas meja’ ketika dalam ruangan orang-orang bicara sendiri-sendiri sehingga ada keriuhan. Di tengah-tengah langgam penghayatan ‘kultural’ akan relasi ketidak-merataan kuasa seperti yang digambarkan dengan power distance index tinggi itu, tiba-tiba saja penampakan seperti Desak Anies itu seakan sedang melakukan ‘subversi’-nya. Sebenarnya apa yang terjadi di Desak Anies itu tidak jauh-jauh amat dari ‘blusukan’-nya Jokowi di tahun 2014-an. Sama-sama membuat kuasa tidak ‘menakutkan’, tetapi bedanya ‘blusukan’ itu lebih sebagai ‘tontonan’ saja –dan sayangnya terus saja keranjingan selama 10 tahun kemudian, sedangkan Desak Anies tidak berhenti sebagai ‘tontonan’ tetapi unsur dialog-nya sungguh ternyata membuka banyak hal.
Apakah selama sepuluh-tahun terakhir ‘learning society’ itu juga berkembang terutama dengan fasilitasi media digital-internet? Maka bagi yang berpikir untuk berbuat curang secara massif, sistematis dan terstruktur, berpikirlah dua-tiga kali, karena khalayak sudah banyak belajar. Jika itu tetap nekad dilakukan, bisa-bisa terlalu mahal harganya bagi hidup bersama ini. Horison khalayak sudah dimajukan, dan jika si-penguasa tidak juga ikut maju horisonnya, maka yang akan terjadi adalah krisis. *** (30-01-2024)
1368. Sang Penjelas
01-02-2024
Di ranah media massa diterjang oleh ‘logika waktu pendek’, di dunia sosial media diterjang pula bermacam hoax, bermacam disinformasi, bermacam ‘sampah digital’. Dan yang baru masuk dan siap mewabah, deep fake dengan bantuan AI. Maka tidak mengherankan jika di Abad Informasi ini justru semakin ‘dirindukan’ wajah-wajah kongkret manusia sebagai sumber informasi. Jika memakai ‘logika’ Manuel Castells soal ‘masyarakat jaringan’, manusia-manusia kongkret itu bisa dibayangkan sebagai ‘nodes-nodes’ dimana bermacam arus informasi seakan ‘mampir’ sejenak, dibaca, ditafsirkan, dan disuarakan ulang. Manusia seakan menjadi ‘nodes’ yang dirindukan dari apa yang disebut Castells sebagai space of flows dan space of places.
Maka tidak hanya sebagai sang-penjelas, tetapi juga sebagai sang-pendengar, sang-penafsir, dan dalam posisi-posisi tertentu ia adalah sang-eksekutor juga. Pemimpin di Abad Informasi ini, bahkan jika terjadi banjir informasi-pun ia tetaplah harus mau dan mampu mendengar, terutama suara-suara yang berasal dari space of places, saat oralitas manusia-manusia bersuara secara langsung. Kegundahan bertahun terakhir yang dirasakan banyak kalangan adalah karena pemimpin lebih menampakkan diri sebagai sang-eksekutor saja. Bahkan untuk mendengar saja tidak mampu (dan tidak mau), apalagi untuk menafsir dan menjelaskan. Akhirnya yang semakin nampak: semau-maunya. Maka istilah ‘kacung’ itu bukannya hadir di ruang kosong.
Jika republik ingin semakin ‘kompatibel’ dengan Abad Informasi ini maka dalam rentang waktu pemilihan umum ini, pertanyaannya adalah siapa calon yang paling siap berperan sebagai ‘nodes’ yang akan mem-fasilitasi bermacam potensi yang ada? ‘Fasilitasi’ dari asal kata-nya adalah ‘membuat lebih mudah untuk dilakukan’. Menjadi lebih mudah untuk apa? Untuk membuat jejaring dari bermacam potensi dengan mengembangkan taut-erat antara space of flows dan space of places itu. Belajar dari meraksasanya Toyota, selain riset yang tangguh, Toyota adalah cerita sebuah jejaring. Jejaring dalam rantai pasokan dan jejaring dalam rantai produksi pabrikan-nya yang selalu mampu meningkatkan diri dengan metode kaizen-nya. Kaizen itu intinya adalah masing-masing dipersilahkan untuk melakukan ‘mikro-riset’ terkait dengan bagian pekerjaannya sehingga menjadi lebih baik, dan hebatnya: akan selalu didengar oleh atasannya. Akan ada dialog disitu. *** (01-02-2024)
1369. TINA, Katakan Tidak Pada Joko Widodo
01-02-2024
'You can fool all people some of the time, and some people all the time. But you can never fool all people all the time.
Abraham Lincoln
There is no alternative, demikian kata Margaret Thatcher ketika mengusung paradigma neoliberalisme di akhir dekade 1970-an. Lepas dari setuju atau tidak dengan paradigma neoliberalisme ini, bukan tanpa alasan jika Thatcher disebut sebagai Iron Lady. Maka jika kita ingin perubahan tidak ada salahnya kitapun bisa meyakini bahwa there is no alternative selain katakan tidak pada Joko Widodo. Lihat di Magelang sana beberapa waktu lalu di pinggir jalan sudah ada yang mengacungkan satu jari ketika rombongan Jokowi lewat. Memang sudah tidak ada tawar-menawar lagi ketika republik dikelola sungguh dengan ugal-ugalan, semau-maunya sendiri. Kita bisa mengatakan tidak pada Joko Widodo karena republik adalah res-publika, bukan res-mono, atau res-olig. Dan ‘ke-publikan’ republik itu pertama-tama adalah soal pajak yang dibayarkan dan pajak yang dikelola. Ketika pajak-pajak yang dibayarkan itu dikelola secara ugal-ugalan maka pada dasarnya republik sedang dikhianati.
Warga negara itu bayar pajak melalui bermacam bentuknya, mulai dari saat beli rokok, beli baju, mainan, sampai makan di warung-restoran dan beli kebutuhan pokok lainnya. Juga ada pajak penghasilan, usaha atau korporasi. Belum lagi penghasilan negara di luar pajak yang disinyalir sungguh sangat kecil dibandingkan potensi yang ada. Artinya ada perampokan besar-besaran di sini. Belum lagi sekitar 40% APBN yang diduga telah di-maling secara ugal-ugalan, tanpa beban. Korupsi sungguh telah merajalela, bahkan semakin nampak bahwa korupsi ini sudah menjadi semacam pilar-nya rejim.
Mengapa semua menjadi rusak-rusak-an? Salah satunya ada keyakinan bahwa rakyat itu mudah ditipu. Machiavelli memang pernah mengatakan begitu. Tetapi Machiavelli mengatakan itu saat mesin cetak massal baru banyak mencetak Bible dalam berbagai bahasanya. Apalagi modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet, baru ada 400 tahun setelah Machiavelli. Dan ternyata bermacam perkembangan dalam modus komunikasi itu memang membuat masyarakat kebanyakan semakin tidak mudah ditipu. Tentu masih bisa ditipu, tetapi jelas juga semakin tidak mudah saja. Maka ketika ternyata tipu-tipu itu semakin pendek ‘khasiat’-nya, kekuatan uang akan ditebar dengan tanpa beban lagi. Ugal-ugalan, telanjang-vulgar tanpa malu lagi. Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah jika kemudian kekuatan kekerasan ikut-ikutan maju. Mata gelap, kalap. *** (01-02-2024)