1460. Alinea Ke-empat Sebagai Struktur Permukaan

15-07-2024

Di sekitar tahun 1960-an Noam Chomsky dalam studi linguistic memperkenalkan istilah deep structure dan surface structure. Berpuluh tahun kemudian George Lakoff mengintrodusir istilah deep frame dan surface frame. Deep frame merupakan tempat ‘digantungkannya’ surface frame. Pada awal abad 20 Henri Bergson menerbitkan Creative Evolution, yang ingin disampaikan adalah perjalanan evolusi itu tidaklah merupakan hal mekanistik belaka. Waktu yang dialami (duration) itu akan membangun sebuah elan vital-nya sendiri dan ini akan mendorong pula bermacam kreativitas. Dalam Fenomenologi, kesadaran itu selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Tetapi di satu sisi, sesuatu itu hanya akan menampakkan dirinya hanya dalam satu sisi saja, atau dalam satu-dua aspeknya. Ia tidak pernah menampakkan diri secara keseluruhan. Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 selain memuat apa yang dikenal sebagai sila-sila Pancasila, juga di awal-awalnya ditulis untuk apa ada pemerintah negara Indonesia. Ada empat hal yang ditulis dalam awal alinea ke-empat itu. Dan sebaiknya teks tersebut dihayati jangan lepas dari konteksnya, dari ‘jiwa’-nya.

Lahirnya alinea ke-empat itu sebaiknya dihayati sebagai ‘langkah kreatif’ dengan dorongan apa-apa yang ada dalam alinea-alinea sebelumnya. Atau kita bisa menghayati bahwa penampakan alinea ke-empat itu barulah menampakkan diri dalam satu-dua sisinya, dan jika kita lihat dari berbagai sisi, aspek, profil-nya maka bisa-bisa perlahan akan semakin menampakan diri apa yang menjadi ‘identitas’-nya: terkait erat dengan perasaan-perasaan anti-penjajahan. Dan memang inilah yang ingin disampaikan oleh alinea-alinea sebelumnya dalam Pembukaan UUD 1945. Maka keseluruhan alinea-alinea dalam Pembukaan UUD 1945 memang adalah satu kesatuan.

Tetapi banyak peristiwa, atau rentetan peristiwa, atau bahkan kalau meminjam istilah Braudel, ‘mid-term’-nya, republik di seberang jembatan emas dikelola dengan melupakan ‘elan vital’, ‘energi hidup’ yang membuat Proklamasi itu menjadi semakin bermakna. Akibatnya? Daya-kreatif dalam mengelola republik seakan meredup. Bahkan dalam banyak halnya bukan ‘anti-penjajahan’ yang menjadi ‘arus utama’-nya, tetapi justru ‘pro-penjajahan’. Kenikmatan yang dinampakkan oleh penjajah itu sungguh telah menjadi semacam ‘arketipe’ yang semakin sulit dibongkar. Contoh terakhir misalnya, pemberian HGU di IKN selama 190 tahun (!) itu. Asu-lah. *** (15-07-2024)

1461. Dari Schedule F ke TWK? (1)

17-07-2024

“… no matter how many parties run against one another in elections, and no matter who gets the most votes, a single party always wins. It is the Invisible Party of bureaucracy,” demikian ditulis Alvin Toffler dalam Powershit (1990). Apa yang dibayangkan oleh Alvin Toffler di awal-awal pemerintahan Donald Trump (2017 – 2021) digambarkan oleh penasehat-penasehatnya sebagai ‘deep state’. Masalah birokrasi di Amerika Serikat sono memang penuh dengan gejolak, dan itu dimulai dari masa pemerintahan presiden ke-7 selama dua periode, 1829 – 1837: Andrew Jackson, idolanya Trump. Apa yang disebut spoils system itulah yang menjadi biangnya.

Deep state kurang lebihnya tidak jauh dari shadow state. Atau dari sudut pandang lain melalui buku Noreena Hertz (1967 - ), The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy (2001). Trump dkk –paling tidak, menunjuk dengan tanpa sungkan aktor di belakang deep state adalah: birokrasi. Sama-sama tak ikut pemilihan, Hertz menunjuk: modal besar, katakanlah seperti dalam judul buku, global capitalism. ‘Senyawa’ keduanya dapat dilihat di republik paling tidak sejak pertengahan jaman old ketika pengolahan hasil hutan mengalami ledakannya: para pemburu rente, rent-seeking activities. Anak-cucunya: crony-capitalism.

Tetapi bagi Trump dkk, deep state nampaknya bukan sekedar masalah birokrasi, tetapi adalah ketika ultra-minimal state yang diidamkan oleh kaum neolib itu perlulah ‘oknum’ yang mesti ditertibkan. Meski soal deep state ini muncul di awal-awal pemerintahannya, Trump baru melakukan ‘aksi nyata’ di bulan-bulan menjelang berakhirnya jabatan dengan mengeluarkan apa yang dikenal sebagai Schedule F. Kritik yang muncul salah satunya menuding Trump akan menghidupkan spoils system yang sudah dihentikan lebih dari 100 tahun itu. Dan memang dalam banyak halnya Schedule F itu akan menempatkan loyalitas sebagai hal penting, khas sistem patronase. Loyalitas pada Trump dkk tentunya. Maka tidak mengherankan jika kemudian genderang ‘Marxist’, sosialis, komunis, dan sekitar-sekitarnya lalu-lalang di udara. Di balik deep state ada hal-hal seperti itu, begitu salah satu propaganda untuk mendukung mau-maunya Trump dkk. Tak jauh dari proses TWK terkait KPK-nya republik, beberapa bulan setelah Schedule F diintrodusir nun-jauh di sana. Cuma genderang-peng-oknum-annya saja yang berbeda. *** (17-07-2024)

1462. Dari Schedule F ke TWK? (2)

18-07-2024

Salah satu yang dipertaruhkan dalam satu hidup bersama adalah bagaimana hidup bersama ini akan dikelola. Terlebih dalam konsep negara modern, salah satu yang pertaruhannya sangat besar adalah soal birokrasi. ‘Konsep negara modern’ dengan segala kompleksitas aparat-aparatnya. Jika itu di republik, akan melibatkan hampir 4 juta orang. Itu baru dari sisi jumlah.

Menjadi si-pengelola, meski sudah ditekankan bahwa mereka adalah ‘abdi negara’, tetap saja nuansa power lebih akan ada dalam si-pengelola, terlebih di ranah negara sebagai satu-satunya lembaga pemonopoli penggunaan kekuatan kekerasan. Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah bagaimana mengendalikan ‘hasrat akan kuasa’ ini tidak berkembang menjadi ‘kejahatan hasrat’-nya. Sangat-sangat-sangat tidak mudah, terlebih menurut Hobbes dalam Leviathan, hasrat akan kuasa itu tidak hanya akan dibawa sampai menjelang ajal, tetapi juga untuk mempertahankan apa-apa yang sudah diperolehnya, apa-apa yang sudah dinikmatinya. Maka kemudian ada bermacam usaha, salah satunya hasrat akan kuasa itu didampingi lekat dengan konsep meritokrasi. Karena manusia adalah juga ‘pencari makna’ maka memang hasrat akan makna ini akan sangat ditentukan oleh pimpinan. Oleh contoh nyata dari pemimpin, misalnya. Juga hasrat terkait dengan mempertahankan hidup, dan mengembangkan hidup.

Maka memang masalah birokrasi ini sungguh-sungguh masalah mendasar. Sekali dikelola dalam paradigma rusak-rusakan perlu berpuluh tahun untuk memperbaikinya. Sekali ‘tutup kotak Pandora’ dibuka, bisa-bisa ‘bablas anginé’. Angin segala ‘kejahatan hasrat’ yang sangat mungkin dibungkus dengan ‘kejahatan logika’-nya akan dengan enteng-enteng saja keluar. Spoils system yang pertama kali diintrodusir tahun 1830-an oleh Andrew Jackson –presiden AS ke-7, ternyata membuat birokrasi menjadi tidak kompeten, tidak efisien, dan bahkan korupsi justru merebak. Spoils system kadang disebut sebagai sistem patronase, pemenang pemilihan kemudian secara ugal-ugalan menempatkan gerbongnya tanpa melihat lagi kompetensi dan integritasnya. Di semua posisi. Setelah dilaksanakan selama bertahun mulai banyak suara-suara untuk dilakukan ‘reformasi birokrasi’, tetapi percepatan yang menunjukkan keseriusan adalah setelah James A. Garfield –presiden AS ke-20, ditembak di bulan September 1881, hanya 7 bulan setelah pelantikannya. Ia ditembak oleh seorang calon pegawai yang merasa punya kompetensi tetapi kok tidak diterima-terima. Tahun 1883, dua tahun setelah Garfield ditembak, disepakatilah Pendleton Civil Service Reform Act, yang intinya lebih memajukan hal meritokrasi dibandingkan rute patron. *** (18-07-2024)

1464. Bingung Ranah?

22-07-2024

Dua-puluh tahun lalu, Konferensi Waligereja Indonesia mengeluarkan Nota Pastoral dengan judul, Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, Keadilan Sosial bagi Semua (Pendekatan Sosio-Budaya). Dua-puluh tahun kemudian, terutama sepuluh tahun terakhir nampaknya justru yang berkembang, “menuju habitus baru, ketidak-adilan sosial: pendekatan struktural-kekuasaan”. Ketidak-adilan justru merebak secara ugal-ugalan salah satunya karena ‘pihak’ struktural-kekuasaan begitu demen-nya mengintrodusir ‘habitus baru’ yang mbèlgèdèsrusak-rusakan, sifatnya. Skor 1 – 0 antara ‘pendekatan struktural-kekuasaan’ vs ‘pendekatan sosio-budaya’. Atau skornya bahkan lebih dari 1 – 0?

Platon membayangkan ada tripartite jiwa, dan kemudian tertampakkan dalam urusan polis: ada kelas ‘filsuf raja’, kelas serdadu, dan kelas pedagang/petani. Dari bayangan itu kemudian dikembangkan satu angan tentang keadilan, yaitu saat masing-masing ‘kelas’ itu melaksanakan tugas-kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Tentu soal konsep keadilan akan mengambil ruang perdebatan yang luas, tetapi apa yang dikatakan Platon itu bisa kita gunakan paling tidak untuk ‘deteksi dini’ akan membesarnya potensi ketidak-adilan. Yaitu ketika masing-masing tidak melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Apakah ‘masing-masing’ itu kemudian bisa kita hayati juga sebagai ‘ranah’? Dan jika manusia lekat menggendong sebagai humo ludens, maka tidak hanya seperti kucing main kelahi-kelahian untuk meningkatkan ketrampilan berburu dan menguak siapa terkuat, tetapi manusia –terutama anak-anak, bermain adalah juga untuk lebih mengenal bermacam ranah yang ada di sekitar. Mengenal tidak hanya ‘logika ranah’ tetapi juga ‘relasi-relasi kuasa’-nya. Semakin peradaban berkembang, semakin bermacam juga ranah-ranah hadir. Semakin ‘tidak-mudah’ saja untuk menjadi anak-anak, dan kemudian berkembang menjadi dewasa untuk terlibat dalam mengembangkan peradaban. Bahkan setelah dewasa-pun, homo ludens itu tidaklah terus melenyap.

Dalam bahasa Jawa dikenal istilah ‘empan papan’, katakanlah tahu tempat, tahu waktu, tahu ‘posisi’, untuk bertindak sepantasnya. Tetapi secara ‘terbuka’ kata itu sering lebih tajam ditujukan pada yang ada di ‘sub-ordinat’. Untuk ditujukan pada ‘kelas dominan’ sering hanya ‘dibatin’ saja, gerundelan. Bahkan ujung-ujungnya bisa-bisa: dimaklumi. Tidak hanya itu, bisa-bisa kemudian ada yang membuatkan ‘pembenarannya’. Tak jauh dari nuansa feudal sebenarnya. Dalam ranah memang ada relasi-relasi kuasa, bahkan ada nuansa kompetitifnya. Ada juga masalah dimana aku akan menempatkan diri dalam ranah itu. Dengan terbukanya ruang kontak-dialog dalam sebuah ranah, perlahan sebuah ranahpun bisa mengembangkan ‘semangat atau energi hidup’-nya sendiri-sendiri.

Maka kasus gelar ‘guru besar’ Ketua MPR Bambang Soesetyo beberapa waktu itu sebenarnya bukanlah soal ‘tak tahu diri’ semata. Dan bukan sekedar lucu-lucu-an saja. Sik-Bamsoet dengan pengalaman panjang sebagai politisi itu jelas ‘tahu diri’ soal seluk-beluk ‘guru besar’ itu. Entah diberitahu atau tahu sendiri. Tetapi mengapa nekad? Jika ‘mereka-mereka’ merasa bebas (dan nekad) melakukan apapun, maka kita sebagai pembayar pajak yang menghidup-hidupi mereka-pun bebas pula menilai perilaku ‘mereka’. Salah satu penilaian adalah, memang orang itu sedang ‘ditugaskan’ untuk merusak republik. ‘Logika’ ranah pendidikan sedang diacak-acak. Demikian juga ketika wapres terpilih itu sedang membersihkan kantor kerjanya sebagai wali-kota, secara demonstratif dinampakkan begitu banyaknya mainan di tempat kerjanya. Sekedar hobi, dan soal: apa salahnya? Salah satu penilaian di luar itu adalah, memang orang itu sedang ‘ditugaskan’ untuk merusak republik. ‘Logika’ ranah publik sedang diacak-acak.

Maka benar seperti dikatakan Napoleon, ‘when small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of mediocrity’. Bagaimana jika tidak hanya small men, tetapi adalah: kacung? Bahkan kacung yang tersandera kasus? Disuruh keluar kantor untuk pindahan sambil kayang-pun pasti akan dijalani pula. Rusak-rusakan. Jadi ini bukan sekedar ‘bingung ranah’ seperti bayi yang ‘bingung puting’ (nipple confusion) karena terlalu dini diberi susu formula lewat dot, tidaklah …, tetapi memang (mereka-mereka itu) dengan sadar telah menjadi bagian dari upaya merusak republik. Ujungnya? Kalau tidak penguasaan, apalagi?! *** (22-07-2024)