1525. Hukum Perjumpaan Kebudayaan-Kebudayaan (3)

08-10-2024

Tulisan ini didorong oleh satu unggahan yang beredar di sosial media, ada remaja-remaja ditanya singkatan MPR itu apa. Dari delapan remaja atau kelompok remaja satupun tidak ada yang menjawab dengan benar. Mungkin saja ada yang bisa menjawab dengan benar, tetapi tidak dinampakkan dalam unggahan tersebut. Atau door-stop interview itu memang tidak mudah, bahkan presiden-pun sampai-sampai ‘tega-tega’-nya merekayasa door-stop interview demi citra diri. Tetapi apapun itu, respon dari unggahan tersebut rata-rata mempertanyakan soal kualitas pendidikan republik. Jika kita membuka bermacam catatan-catatan perjalanan pendidikan di republik, bahkan sejak sebelum era Reformasi ini, banyak sekali catatan-catatan muncul, dan banyak juga berupa catatan-catatan ‘kegelapan’. Banyak pula saran-saran muncul dari catatan-catatan terkait dengan pendidikan di republik, tetapi nampaknya banyak pula saran-saran itu kemudian tinggal saran saja.

Jika dilihat dengan ‘berjarak’ terhadap apa-apa yang menampakkan diri dalam perjalanan pendidikan di republik, akan nampak adanya dua ‘kubu’, ada yang ingin pendidikan di republik sungguh bisa memajukan ‘kelayakan hidup bersama’, di satu sisi ada yang ingin pendidikan di republik ala-kadarnya saja, bahkan jika perlu sebagai bagian dalam ‘menjinakkan-yang-banyak’. Bermacam ‘teori pendidikan’-pun bermunculan bahkan sejak Platon lebih dari 2000 tahun lalu, juga dari Ivan Illich, Paulo Freire, sampai pada yang maunya sebagai penyangga roda-kapitalisme saja. Atau sebagai bagian dari ‘apparatus ideologis’ penguasa. Macam-macam.

Tetapi apa yang bisa menjadi ‘indikator dini’ sebuah komunitas telah menapak ‘jalan yang benar’ di ranah pendidikan? Tentu ‘yang benar’ sangat bisa diperdebatkan, tetapi apapun itu kita bisa berangkat dari ‘yang paling rentan’. Lihat bagaimana reaksi netizen ketika melihat presiden Jokowi ‘melewati’ saja –tanpa beban, mantan wapres Try Sutrisno yang memang ‘paling rentan’ –paling sepuh dengan segala keterbatasannya. Peristiwanya saat perayaan HUT TNI beberapa waktu lalu, mantan wapres yang ikut hadir disalami, tetapi Try Sutrisno dilewati begitu saja, tidak disalami. Maka pada penyelenggaraan pendidikan bagi ‘yang paling rentan’-lah kita akan bisa meraba ‘yang benar’ atau tidak dalam keputusan politik. Dan yang ‘paling rentan’ adalah usia anak-anak sampai remaja, juga: yang kesulitan meng-akses penyelenggaraan pendidikan. Atau jika meminjam istilah Amartya Sen, pada bagaimana bersikap terhadap imperfect obligation-lah kualitas diri akan semakin nampak.

Maka pada jamannya, pemberantasan buta huruf yang diputuskan untuk dilaksanakan secara massif adalah keputusan ‘yang benar’, meski dalam ‘rentang-kebenarannya’ kita bisa berdebat soal metodenya, a la Freireian atau a la ‘ini ibu Budi’? Toh pemberantasan buta huruf-nya Paulo Freire itu baru muncul di tahun 1960-an. Demikian pula soal keputusan memperbanyak SD Inpres di jaman old, yang menjadi salah satu bagian dari penelitian trio peraih Nobel beberapa waktu lalu itu. Dengan apa-apa yang sudah dikerjakan, atau yang sudah diraih, atau juga bermacam hal di luar yang terus saja berkembang, ‘yang benar’ dalam penyelenggaraan pendidikan-pun terus berkembang pula. Apa yang dimaksud dengan ‘yang paling rentan’ itu? Jika kita berangkat dari ranah pendidikan, maka ‘yang paling rentan’ adalah yang mempunyai potensi besar untuk terjerumus dalam situasi ‘de-humanisasi’, bahkan itupun bisa terjadi melalui proses pendidikan yang ‘tidak benar’. Atau kalau dilihat dari sisi lain, melalui proses pendidikan ‘yang paling rentan’ itu diharapkan bisa semakin ‘memanusiawi’. Lebih dari sekedar hominisasi, tetapi juga humanisasi jika memakai istilah pendidikannya Driyarkara. Maka segera nampak pendidikan dasar itu memang paling penting dari keseluruhan proses pendidikan. Karena selama, katakanlah, 9 tahun dibangunlah dasar-pondasi untuk semakin mampu mengembangkan bermacam aspek manusiawinya di kehidupan selanjutnya.

Tidak hanya beban mata pelajaran yang sering harus dikritik, bahkan kita harus hati-hati dalam menyikapi skor PISA itu. Lihat apa yang mau ‘dinilai’, sekilas memang mak-nyus: kemampuan literasi, matematika, dan sains. Bandingkan dengan trivium yang merupakan bagian-dasar dari pendidikan klasik: retorika, grammar, dan logika. Matematika di pendidikan dasar, SD-SMP, bukanlah untuk menjadikan siswa ‘ahli matematika’, tetapi terutama adalah untuk melatih logika. Grammar mungkin saja dekat dengan kemapuan literasi, tetapi bagaimana dengan retorika? Bagi yang berasal dari negara ‘mantan penjajah’ mungkin saja keberanian bicara sudah ‘tidak masalah’, tetapi bagi ‘mantan terjajah’? Atau katakanlah juga, bagi subaltern? Bahkan belum sampai pada soal retorika, baru pada ‘berani bicara’-pun sudah menghadapi masalah besarnya. *** (08-10-2024)

1526. Martabat (1)

11-10-2024

Apakah kita hidup masih punya bagian ‘otonom’, ataukah semua perjalanan hidup kita akan ditentukan oleh dinamika sekitar? Pengaruh lingkungan sekitar dalam ‘men-determinasi’ hidup kita memang sangat –sangat besar, tetapi apakah penghayatan ‘over-deterministik’ yang terus kemudian hadir? Seakan memang tidak ada ruang secuilpun untuk adanya ‘otonomi’ tersebut. Jika ‘ruang otonomi’ itu melenyap, lalu apa bedanya kita dengan binatang? Bahkan jika kita lihat pertumbuhan-perkembangan sejak janin, bukankah banyak hal kemudian dipersiapkan sehingga pada satu saatnya nanti kita akan masuk dalam ‘ruang otonom’? Dalam banyak hal-nya, demikian juga dunia binatang. Bedanya, ‘ruang otonom’ manusia tidak berhenti hanya pada soal ‘mempertahankan hidup’ saja. Adanya ruang otonom dalam diri itu menjadi penting bagi Immanuel Kant dalam menjelaskan mengapa soal dignity, soal martabat menjadi mungkin.

Bertahun terakhir kita ‘dipaksa’ bahkan seakan ‘dibiasakan’ melihat tontonan politik tanpa ‘otonomi-diri’. Faktor utamanya adalah memang terkait dengan ‘sandera kasus’. Tetapi bagaimanapun ‘sandera kasus’ jika dilihat lebih jauh lagi adalah soal keserakahan. Mengapa menjadi begitu serakahnya? Selain soal hasrat, adalah juga karena adanya kesempatan. Kesempatan ketika terlalu banyak hal berjalan lebih karena logika ‘transaksi’, katakanlah semua ada label harga-nya. Padahal menurut Kant, salah satu dimensi penting dari dignity, ke-martabat-an itu adalah ‘mengatasi’ soal harga itu. Tidak bisa diukur dengan harga, terutama harga dalam pengertian ‘rupiah’-nya. Tidak mengherankan bertahun terakhir republik seakan dijalankan dengan semakin menjauh dari ke-martabat-an. Atau, kehormatan itu dengan tanpa beban memang sudah dibuang ke got, sebagai konsekuensi logis semua serba dipatok ‘berapa harga’-nya.

Maka tak mengherankan, menurut Platon, meski ‘kelas pedagang’ dimungkinkan untuk ada di posisi ‘filsuf raja’ syarat-syaratnya sangat berat. Berangkat dari konsep ‘tripartite jiwa’, dalam urusan polis bisa dibayangkan ada ‘kelas filsuf raja’, ‘kelas serdadu’, dan ‘kelas pedagang’. Atau kalau memakai analogi tubuh, bagian kepala, dada, dan perut ke bawah –, kelas ‘pedagang’ dimana hasrat akan makan, seks, dan terutama uang ada bersemayam. Atau kalau memakai ‘analogi kereta’, sais: si-filsuf raja, kuda putih: kelas serdadu, dan kuda hitam: kelas pedagang. Kuda hitam memang mempunya energi besar, meledak-ledak, tetapi ia cenderung semau-maunya, dan mempunyai karakter maunya ‘meluncur ke bawah’ saja. Padahal kereta semestinya ‘naik ke atas’ untuk semakin mendekati kebaikan ‘dewa-dewa’.

Maka ketika anyam-anyaman antara otonomi diri dan kehormatan itu mengalami keretakan besarnya, semakin gila saja apa-apa mau dijual. Apa-apa mau dibeli. Apa-apa di-labeli harga, wani piro? Dan semakin dalam pula kehormatan bopèng-bopèng di sana-sini. Republik macam apa ketika kehormatan menjadi begitu tipisnya? *** (11-10-2024)

1527. Martabat (2)

11-10-2024

Dari imajinasi Platon soal ‘filsuf raja’ yang semestinya memimpin polis, kita bisa membayangkan pertama-tama itu adalah soal ‘tahu batas’. Soal ‘tahu batas’ ini sebenarnya menjadi salah satu ‘kesibukan sentral’ dari berkembangnya bermacam rejim. Dari ‘tahu batas’ yang mengandalkan semata ‘kualitas diri’ sampai dengan bagaimana latihan ‘hasrat vs hasrat’, yang kemudian dinampakkan dalam term checks and balances itu. Ternyata memang tidak hanya si-kuda hitam dalam Alegori Kereta-nya Platon yang mempunyai potensi terjerumus pada situasi ‘tak tahu batas’, tetapi juga si-kuda putih, kelas serdadu yang oleh Platon lekat dengan dinamika ke-martabat-an itu bisa juga terjerumus pada situasi ‘tak tahu batas’. Maka melihat bermacam perjalanan sejarah manusia, jika ada yang mengambil sikap skeptic terhadap pernak-pernik ‘kehormatan’ itu beralasan juga. Atas nama ini dan itu manusia bisa tiba-tiba berubah menjadi monster. Atas nama sebagai ‘penjaga peradaban’ manusia bisa dengan enteng-enteng saja meledakkan-menghancurkan sekolah yang penuh dengan anak-anak. Maka sepertihalnya ‘kelas pedagang’, jika ada yang berasal dari ‘kelas serdadu’ ingin ada dalam posisi si-‘filsuf raja’, syarat-syarat beratpun harus dilaluinya. Meski sebagian besar terkena wajib militer pada satu masa hidupnya, Netanyahu menjalani karir ke-serdaduan panjang dan penuh dengan pengalaman tempur. Dan kita bisa melihat bagaimana logika atas nama ini dan itu kemudian menampakkan kebrutalannya setahun terakhir ini.

Atau ketika di sana-sini apa yang kita kenal sebagai ‘kanan-jauh’ itu semakin menguat saja. Dan itu berangkat dari yang kita persoalkan saat ini: ke-martabat-an, kehormatan. Hasrat akan kehormatan yang bersemayam di ‘dada’ itu telah menjadi ‘sihir’ yang membutakan. Bahkan akal sehatpun sering dengan mudah dicampakkan, lihat saja bermacam kata yang keluar dari mulut seorang Donald Trump dan pengikut-pengikut garis kerasnya. Meski sering asal mangap, asal njeplak tetap saja disambut dengan tepuk tangan meriah. Terakhir Badai Milton yang menerjang Florida beberapa hari lalu dikatakan sebagai hasil konspirasi ‘manipulasi cuaca’. Kontan beberapa tokoh Partai Republik yang masih waras segera saja nyebokin ke-asal mangapan, asal njeplak itu. Kucluk. *** (11-10-2024)

1528. Martabat (3)

12-10-2024

Tetapi jika harus memilih tetaplah martabat-kehormatan semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dalam bangunan republik. Tentu dengan tetap terus menerus memantau alarm deteksi dini terhadap bablasan-nya. Mengapa kehormatan mesti ‘dibela’? Karena itu bisa menjadi salah satu jalan latihan untuk semakin ‘tahu batas’. Dengan ‘tahu batas’ sebenarnya kita juga sedang berakrab-akrab dengan dinamika horison. Dan ketika horison ‘ditetapkan’ maka tiba-tiba saja bermacam kemungkinan akan menampakkan diri, ada di antara kita dan batas horison. Dan bagaimana kita membangun respon terhadap bermacam kemungkinan itu sedikit banyak akan juga melatih ‘otonomi’ diri. Yang pada titik tertentu, otonomi diri akan semakin memungkinkan kehormatan akan berkembang.

Kehormatan dibela juga karena ia bisa menjadi bahan bakar utama sebuah komitmen. Mengapa komitmen ini menjadi penting? Menurut kaum neolib, satu-satunya yang rasionil adalah kepentingan diri. Kepentingan diri yang sering jatuh dalam imajinasi lain: harga, sebagai akumulasi dari bermacam harga yang disematkan pada semua halnya. Maka tak mengherankan ketika bahkan politik-pun sudah dikooptasi, logika transaksional-pun kemudian merebak. Dalam banyak halnya sebenarnya ketika itu terjadi di negara-negara dalam ‘pakta dominasi sekunder’, seakan membenarkan tesis Arnold J. Toynbee tentang ‘hukum perjumpaan kebudayaan-kebudayaan’ –sinar budaya yang ‘kurang bernilai’ akan lebih mudah menembus, dan sebaliknya. Lihat misalnya dinamika politik di negara-negara yang mengintrodusir gerakan neoliberalisme pasca Perang Dunia II, misalnya di Inggris. Aktor politik utamanya, Margaret Thatcher dan Partai Konservatifnya itu sungguh didorong oleh adanya komitmen kuat akan prinsip-prinsip neoliberalisme, entah kita setuju atau tidak. Komitmen yang dengan susah payah oleh Amartya Sen dibuktikan bahwa itu juga rasionil, jadi kepentingan diri itu bukanlah satu-satunya yang rasionil seperti klaim kaum neolib itu.

Maka memang ungkapan Adam Smith soal ‘sekte agung’ atau famous sect itu dalam negara-bangsa yang mengambil rute kapitalisme menjadi salah satu kunci utama keberhasilan mereka. Dan mengapa mereka dikatakan ‘agung’ itu karena mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan kebanyakan orang yang dari hari ke hari disibukkan untuk mengejar kepentingan diri masing-masing, dengan tetap mempunyai keutamaan memang, tetapi ‘secukupnya saja’. Lebihnya keutamaan dari si-agung itu terutama adalah soal ‘tahu batas’. Apa yang dinampakkan dalam film Iron Lady kiranya tak jauh-kauh amat dari cerita soal ‘tahu batas’ ini. Bahkan bagi suami Thatcher, juga anak-anaknya. Dan sekali lagi, dengan ‘tahu batas’ maka otonomi diri itu akan terlatih. Dan semakin berkembang ‘otonomi diri’ maka kehormatan-martabatpun dimungkinkan untuk berkembang pula, demikian menurut Immanuel Kant. *** (12-10-2024)

1529. Jelas dan Terpilah

14-10-2024

Jelas dan terpilah, clear and distinct menjadi ‘terkenal’ setelah Rene Descartes (1596 – 1650) memakainya sebagai salah satu hal sentral dalam bangunan filsafatnya. Banyak yang kemudian mengolahnya, entah dengan nuansa setuju, atau secara kritis berusaha menaruh dalam duduk perkara secara baru. Tetapi apapun itu, sains memang banyak berurusan dengan hal jelas dan terpilah ini, dengan metode-metode tertentu, dengan bantah-bantahannya juga. Lihat misalnya soal pertikel yang semakin terkuak sampai dengan tingkat sub-atom itu.

Tetapi di satu sisi, menurut Freud sebagian besar hidup kita lebih ditentukan dengan ketidak-sadaran. Bagai sebuah gunung es, hal sadar hanyalah puncak gunung es, bagian kecil saja yang nampak di atas permukaan laut. Atau menurut Hermann Broch, manusia itu selalu saja menggendong kesadaran temaramnya, twilight state. Ada juga yang mengatakan bahwa sebagian besar hidup kita, akan dijalani dengan modus taken for granted. Memang akan merepotkan jika setiap langkah kaki harus ditimbang-timbang lebih dulu. Maka jelas dan terpilah itu seakan ‘barang mewah’ saja pada sebagian besar khalayak, pada sebagian besar waktu yang kita jalani. Bahkan soal jelas dan terpilah ini seakan menjadi sebuah ‘ranah’ tersendiri.

Ketika kehidupan kemudian berkembang dan terhayati hadir dalam bermacam ranah, maka ‘ranah’ jelas dan terpilah inipun perlu dirawat juga. ‘Jiwa’ apa yang mesti dirawat dalam ‘ranah jelas dan terpilah’ ini? Nampaknya adalah kepenasaran. Kepenasaran yang semestinya tidak didekati –dalam praktek, seperti pasar keuangan dan saham itu, lebih berdasarkan ‘insting gerombolan’, tetapi kepenasaran yang didekati, katakanlah, dengan keutamaan prudence. Mungkin saja itu dinampakkan dengan adanya metode-metode tertentu. Atau juga keterbukaan untuk dilakukan cek-ricek oleh siapa saja pada dasarnya, tapi paling tidak oleh peer groupnya. Tentu bukan bermaksud mendewa-dewakan proses spesialisasi, tetapi bukankah hidup bersama ini akan semakin maju jika banyak dilahirkan bermacam keahlian dan ahlinya dalam bidangnya masing-masing?

Yang menjadi masalah adalah ketika yang tidak jelas dan tidak terpilah itu kemudian dipandang sebagai ‘kelas dua’, atau bahkan ‘tidak obyektif’. Padahal seperti sudah disinggung di atas, sebagian besar khalayak atau waktu hidupnya masing-masing dijalani dengan modus yang ‘tidak jelas dan tidak terpilah’ itu. Bahkan faktanya, tidak berarti pula bahwa pada sebagian besar khalayak yang tidak berjalan diatas jalan ‘jelas dan terpilah’ tidak mampu menemukan yang ‘jelas dan terpilah’-nya sendiri. Lihat misalnya ketika Chomsky meyakini di sekitar 1970-an, status quo akan mengalami keretakan ketika satu sama lain semakin tahu apa yang menjadi sentiment masing-masing. Artinya klaim kebenaran si-status quo yang sudah ‘jelas dan terpilah’ itu akan mendapat saingan beratnya oleh kebenaran tandingan lain yang muncul karena inter-subyektifitas.

Maka dapat dilihat bahwa ‘jelas dan terpilah’ itu, baik dalam sebuah dinamika ‘peer group’ ataupun di khalayak kebanyakan, sebenarnya sama-sama mendasarkan pada kemungkinan berkembangnya inter-subyektifitas. Apakah yang menjadi ‘obyek’-nya itu adalah sebuah imajinasi, baik yang sudah teruji maupun belum, atau fakta-fakta yang berkembang dari realitas sekitar tidaklah penting-penting amat. Bukan rata-rata IQ yang penting dalam satu komunitas, tetapi adalah kesempatan yang terbuka untuk saling memperkaya. Atau kalau memakai pendekatan fenomenologi, pertama-tama adalah memperkaya dalam kemampuan memperjelas lebih dahulu –terutama secara masing-masing, baru kemudian sedikit-demi-sedikit bersama-sama melalu inter-subyektifitas lebih luas lagi, memilahnya.

Dalam ‘tehnik politik’ banyak hal kemudian dapat dijelaskan melalui hal-hal di atas, salah satunya adalah bagaimana ‘subversi’ dilakukan dalam ranah inter-subyektifitas ini, dengan menebar sihir atau emosi, atau melakukan ‘pengawasan melekat’ yang perlahan menutup kemungkinan seperti dikatakan Chomsky di atas, menghalang-halangi yang satu tahu sentiment yang lain. Fanatisme adalah salah satu penampakan yang sering muncul, selain juga keranjingan akan ritual ‘penyembelihan kambing hitam’. Puncak dari itu semua adalah ketika ‘kejahatan logika’ sudah sedemikian banalnya dalam upaya menutupi bermacam ‘kejahatan hasrat’. *** (14-10-2024)