1580. Proletarisasi - Gentrifikasi

21-12-2024

Kurang lebih seabad setelah istilah proletarisasi mendapat nafas baru, muncul istilah gentrifikasi. Meski data masih bisa dipertanyakan, coba bandingkan terkait dengan kecenderungan pemakaian kata proletariat[1] dan gentrification[2], apakah ini terkait dengan kegilaan kapitalisme liberal abad 18-19, dan neoliberalisme mulai (akhir) dekade 1970-an? Gentrifikasi memang pertama-tama berangkat dari terpinggirkannya rumah-rumah bagi yang kurang mampu terlebih di perkotaan. Di awal abad 21 salah satu yang kadang diangkat adalah bagaimana (gentrifikasi dalam) rekonstruksi pasca Badai Katrina di New Orleans. Atau bisa kita bayangkan terkait perbaikan layanan perkereta-apian di jaman Jonan. Berjalan baik memang, bahkan sangat baik, tetapi ada catatan serius: lihat ketika kelas ekonomi dibuat nyaman dengan tambahan bermacam fasilitas, akhirnya yang dulu banyak baju kumal naik kereta ekonomi perlahan mulai menghilang karena segala perbaikan itu salah satu akibatnya adalah naiknya harga tiket.

Pasca Badai Katrina di New Orleans (2005) seperti dicontohkan di atas, jika dilihat dari tilikan David Harvey tentang accumulation by dispossession paling tidak tiga fiturnya menampakkan diri secara telanjang: manajemen dan manipulasi krisis, privatisasi, dan state redistributions. Dua tahun kemudian rekonstruksi pasca bencana itu kemudian menjadi contoh dalam bukunya Naomi Klein, The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism. Akibat dari dahsyatnya badai telah membuat shock banyak pihak, dan menurut Klein itu membuat kesadaran seakan menjadi kanvas putih, kosong. Dan kemudian dengan sigapnya anak-anak didikan Milton Friedman melukis di atas ‘kanvas kosong’ itu jalan-rute neoliberal dengan tenangnya, yang ‘dilukis’ adalah paling tidak ketiga fitur accumulation by dispossession di atas.

Istilah gentrifikasi lahir justru di rentang waktu baby boomers hadir, di puncak keberhasilan paradigma ‘negara kesejahteraan’ di negara-negara maju pasca Perang Dunia II. Di puncak konsumerisme yang bahkan kemudian digambarkan oleh Guy Debord sebagai berkembangnya The Society of Spectacle. Apakah ‘proletarisasi’ itu sudah merangkak ‘naik’ sampai pada ‘kebutuhan akan rasa aman’ dalam hirarki kebutuhan-nya Maslow? Dan menemukan istilah barunya dalam gentrifikasi? Jika si-Bung membayangkan romantika-dinamika-dialektikanya perjuangan-revolusi bagi kaum Marhaen, ternyata ‘kaum-kelas-atas’-pun punya romantika-dinamika-dialektikanya juga! Bahkan juga kapitalisme. Dan akankah puncaknya adalah seperti tergambarkan dalam film Elysium (2013)[3] itu? *** (21-12--2024)

[1] https://books.google.com/ngrams/graph?content=proletariat&year_start=1800&year_end=2022&corpus=en&smoothing=3

[2] https://books.google.com/ngrams/graph?content=gentrification&year_start=1800&year_end=2022&corpus=en&smoothing=3

[3] https://www.pergerakankebangsaan.com/002-Cak-Nun-dan-Elysium/

1581. Rerum Novarum

23-12-2024

Rerum Novarum adalah ensiklik -ajaran (sosial) Paus, yang dikeluarkan Gereja Katolik tahun 1891, oleh Paus Leo XIII. Rentang abad dimana paling tidak ada dua hal lain yang menarik perhatian di Eropa sana doeloe, sosialisme utopia dan hadirnya pemikiran Karl Marx. Yang itu semua bisa dibayangkan -termasuk lahirnya ensiklik Rerum Novarum, sebagai reaksi atas kegilaan-eksploitasi dari ‘akumulasi primitif’. Kegilaan dari kapitalisme liberal seperti dibayangkan oleh Leo Strauss sebagai gelombang pertama krisis modernitas. Kegilaan dari manusia dalam keinginannya menguasai alam. Maka tak mengherankan pula muncul analisis ‘reifikasi’ di kemudian hari terkait dengan kegilaan ‘akumulasi primitif’ terutama dalam hubungannya dengan kelas pekerja.

Di republik hari-hari ini, bertahun terakhir adalah pelajaran berharga dalam membayangkan apa yang terjadi di rentang abad seperti digambarkan di atas, dengan membayangkan adanya kegilaan-eksploitasi dari ‘accumulation by dispossession’ seperti dijabarkan David Harvey di awal-awal abad ini. Memang jika dilihat lebih jauh, ia lebih sebagai ‘penumpang gelap’ dari gelombang ketiga krisis modernitas menurut Leo Strauss: fasisme. Sebagai klien dari sik-patron yang sedang bermimpi tidak hanya menguasai manusia lain, tetapi juga semesta, maka sik-klienpun dengan tanpa beban main-main pula dengan nuansa fasisme. Maka pula tidak hanya kelas pekerja yang mengalami ‘reifikasi’, tetapi di sana-sini sudah sangat telanjang juga: warga negara. Warga negara sudah dilihat sebagai ‘barang saja’, semata sebagai ‘benda’, tanpa nyawa diperlakukan layaknya sebagai komoditas saja, salah satunya sebagai sumber pendapatan melalui bermacam pajak yang semakin mencekik. Sebagai barang komoditas yang juga dengan mudah dipertukar-jual-belikan dengan bermacam gimmick yang menipu. Selamat Natal. *** (23-12-2024)

1582. Ruang Antara

27-12-2024

Adalah kebetulan agung bumi ‘menempatkan diri’ di zona Goldilocks. Di komunitas dengan ‘power distance’ (Hofstede) rendah, kadang soal embedded dan disembedded ekonomi (Karl Polanyi) ‘dikelola’ melalui rute politik, katakanlah ‘gerakan ganda’ itu dikelola secara ‘referendum’ melalui pemilihan umum rutin setiap x,y,z tahun. Di komunitas dengan ‘power distance’ tinggi terutama di negara-negara Asia, dua hal di atas dikelola lebih karena ‘maksud baik’, melalui prinsip ‘subsidiaritas’. Meski pemilihan bisa juga rutin diselenggarakan. Apa-apa yang kecil di sekitar ujung, diberi kesempatan untuk mengejar kepentingan diri -seakan disembedded, dengan yang di ‘pusat’ selalu dalam ‘keadaan siaga’ terkait dengan keseluruhan oikos-nomos.

Hal-hal di atas bisa dibayangkan terjadi di ‘ruang antara’, ruang yang memberikan bermacam kemungkinan, salah satunya kemungkinan mengapa spesies manusia menjadi manusia. Ketika tubuh dalam gerak evolusinya tiba-tiba saja sampai pada satu titik kaki depan dilepas dari fungsi berjalannya, dan gerakan motorik halus semakin berkembang, tidak hanya ‘ruang antara’ antara mulut dan makanan menghadirkan bermacam kemungkinan untuk pengelolaan, tetapi juga ternyata mempengaruhi berkembangnya area otak bagian kemampuan bicara. Dan tiba-tiba saja ‘ruang antara’ pikiran satu sama lain menjadi lebih mudah untuk dikomunikasikan. Tidak jauh berbeda ketika mesin cetak massal ditemukan. Perlahan tidak hanya ngobrol seru (dengan tambahan bahan dari bacaan) di warung atau kafe, tetapi ‘masyarakat sipil’-pun mulai berkembang. Tak terelakkan satu perubahan akan mendorong perubahan lainnya.

Fordisme di awal abad-20 telah merevolusi bagaimana industri berkembang, dengan assembly line dan dengan sadar Henry Ford juga menaikkan gaji karyawannya. Tidak hanya Gramsci yang kemudian membahas soal fordisme ini, tetapi Toyota memperkaya dengan disinggungkan pada ‘kaizen’. Pekerja di sekitar assembly line itu mempunyai kesempatan untuk mengajukan usulan perbaikan dalam proses ia bekerja, sehingga kai-zen itu semakin terpenuhi dari waktu ke waktu. ‘Ruang antara’ antara pekerja dan ‘mesin’ menjadi tidak hanya pihak ‘mesin’ yang mendidik manusia, tetapi juga sebaliknya. Dan bayangkan terkait prinsip perubahan satu akan mendorong perubahan lain.

Bagi Toynbee, peradaban adalah juga bagaimana mengelola ‘ruang antara’, ruang di antara (komunitas) manusia dan tantangan-tantangannya. Respons terhadap tantangan ada di ruang antara, dan bagaimana respon itu terbangun akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana peradaban berkembang. Dan bagaimana jika ‘ruang antara’ itu responnya berupa (keranjingan) akan gimmick yang ditebar oleh para pejabatnya? Atau laku asal mangap, asal njeplak? Atau juga berulang dan berulang laku sok-sok-an, gegayaan? Jadi bukan sekte agung, bukan famous sect seperti dibayangkan Adam Smith yang beredar, atau yang kemudian berperan sebagai ‘minoritas kreatif’, tetapi adalah: sekte bangsat. Ya, sekte bangsat! *** (27-12-2024)

1583. Informasi dalam Dunia Faustian Bargain

29-12-2024

Informasi jelas tidak hanya soal koprol-kayang kata-kata demi menyiasati sesuatu, hal yang sungguh menggoda ketika kuasa lebih berangkat dari sebuah faustian bargain. Informasi dari asal katanya juga terkait dengan ‘bentuk’, maka tidak salah-salah amat jika in-formasio itu juga akan mempunyai kemampuan untuk membentuk. Sayangnya dunia kesadaran manusia itu menurut Freud mempunyai instansi super ego, hal rasa-merasa tentang yang baik, tentang hal moral, terkait dengan hati nurani. Maka ketika informasi menampakkan diri bagaimana koprol-kayangnya kata-kata berjalan seakan sudah tanpa beban lagi demi menutupi pethakilannya faustian bargain, banyak yang akan terusik. Terusik karena informasi yang beredar serasa tidak pas lagi. Apalagi ketika ego yang berjalan dengan prinsip realitas itu semakin menemukan jurang pemisah yang semakin lebar antara informasi beredar (dari pengelola kuasa) dan realitas berkembang. Atau realitas sebagai fakta potensial dalam dunia harapan. Dari Wilhelm Reich (1897-1957) seorang pengikut Freud, kita bisa belajar bahwa ‘keterusikan’ super ego dan kemampuan rasio di ego itu ternyata bisa ‘dikubur’ melalui eksploitasi id yang ada di bagian ketidak-sadaran, bagian terbesar dari kesadaran manusia. Menurut Reich, jadilah itu: fasisme. Atau menurut Hannah Arendt sekitar satu dekade kemudian, terjadilah banality of evil. Fasis juga.

Maka kejengkelan akan terlalu banyaknya koprol-kayangnya kata-kata dalam informasi yang mengalir dari sik-penguasa itu barulah awal dari ‘kesiagaan’ terhadap bertumbuh dan berkembangnya fasisme. Bagian pertama dari rejim ‘bapak faustian bargain’, kita bisa melihat dengan telanjang bagaimana pecah-belah, adu-domba beredar dengan tanpa beban lagi, tanpa sungkan. Adu-domba itu bisa dihayati sebagai bagian dari eksploitasi id juga. ‘Kebencian’ akan ini-itu kemudian mengubur hal-hal baik di super-ego, dan juga sekaligus mengubur rasio-nalar yang kuat ada di ego, bagi banyak pihak. Banyak? Mungkin ya, mungkin tidak, dan untuk itu lahir istilah silent majority. Yang terusik hati nuraninya, yang masih mau menggunakan nalar sebenarnya masih banyak, tapi cenderung diam. Diam karena sebagian besar waktunya masih disibukkan oleh survive diri atau keluarga. Wajar-wajar saja. Jalan cerita bisa berubah (dengan cepat) ketika kesempatan survive itu tiba-tiba mengkerut habis-habisan karena krisis ekonomi misalnya. Makanya ada analisis dari John Perkins dalam Confessions of an Economic Hitman (2004), atau juga bisa kita hayati, economic hitwoman. Mengapa tidak?

Maka pertanyaannya adalah, ketika fasisme-tiran itu adalah juga sebuah rejim, kapan rejim itu akan masuk ‘fase stabilisasi rejim’-nya? Dari banyak catatan sejarah kita bisa melihat rejim fasis akan masuk ‘fase stabilisasi rejim’-nya adalah ketika ‘kekuatan kekerasan’ sudah terkonsolidasi dengan mapan. Ketika kekuatan pengetahuan dan kekuatan uang sudah diolah sedemikian rupa, akhirnya kekuatan kekerasan, kekuatan yang pegang senjatalah yang akan menjadi the last resort-nya. Dan alur cerita semua itu salah satu pintu masuk terpenting: faustian bargain, dengan jiwa yang berkembang saat Proklamasi sudah dijual-digadaikan pada sik-Mephistopheles. “Sik-bapak faustian bargain’ itu ternyata memang sungguh bangsat. Bapak-nya para pengkhianat republik. *** (19-12-2024)

1584. Asal Mangap Sebagai Tradisi?

30-12-2024

Tentu asal mangap, asal njeplak bukanlah dosa. Kadang saat ngobrol masuk di tengah arena sik-tukang ngibul, atau terdengar lemparan asal njeplak, asal mangap. Tidak masalah, namanya saja ngobrol gayeng, meski memang kadang mengganggu suasana juga. Tapi kadang biasa-biasa saja. Santai, dari sekian sahabat ngobrol kadang memang ada yang suka gitu. Tetapi menjadi beda urusan ketika sik-tukang ngibul, sik-tukang asal mangap, asal njeplak itu punya kuasa, terutama kuasa untuk menggerakkan yang pegang senjata.

Sama-sama tidak mau mendengar karena memilih jalan otoriter, dalam era modus komunikasi man-to-mass via surat kabar, televisi, radio, hal yang seharusnya didengar sudah direpresi sedemikian rupa sehingga tidak muncul ke permukaan. Karena tidak muncul maka keperluan untuk mendengarpun tidak ada. Hal yang harusnya didengar itu sudah ‘ditiadakan’ dalam input dan prosesnya. Yang ada adalah gerakan-informasi ‘bawah tanah’ atau dari luar negeri yang tidak mungkin soal input dan prosesnya direpresi. Tetapi di era merebaknya modus mass-to-mass via jaringan digital-internet seperti sekarang ini, untuk merepresi input-proses-ouput informasi sudah kesulitan meski di sana-sini diupayakan juga ‘pembredelan’ atau represi melalui UU ITE misalnya. Maka pilihan jalan gampangnya adalah mbudeg, menulikan diri. Di luar dianggap tidak ada. Situasi seperti ini sebenarnya adalah juga sebuah kebrutalan. Brutal dari asal katanya dekat dengan perilaku kebinatangan. Ketika dianggap tidak ada, dan atau kemudian menulikan diri, mbudeg, jangan-jangan ‘yang banyak’ itu sedang dianggap kelas binatang saja, bukan manusia. Atau semua dianggap IQ-nya paling tinggi sama dengan simpanse saja. Maka mereka-mereka itu dengan enteng-enteng saja, tanpa beban, kemudian keranjingan ngibul, keranjingan asal mangap, asal njeplak. Ditambah lagi apa yang disinyalir oleh Guy Debord: the society of the spectacle, diyakini semakin menggila meski sinyalir Guy Debord itu pertama kali dikatakan hampir 60 tahun lalu. Maka asal mangap, asal njeplak itupun kemudian dikemas dalam bermacam tontonannya, termasuk dalam genre berapi-api seakan-akan heroik. Sama esensi sebenarnya dengan yang dalam genre glècènan-gegayaan-sok-sok-an. Reifikasi itu sudah tidak hanya ada di ranah ekonomi, misal dalam relasinya dengan kelas pekerja, tidak hanya ada di ranah penggunaan kekerasan ketika yang bersenjata berhadapan dengan khalayak kebanyakan, tetapi juga di ranah pengetahuan. Informasi dari yang sedang berkuasa dilempar dengan asumsi khalayak kebanyakan hanyalah ‘benda’ saja, atau bahkan manusia dengan kepandaian paling tinggi setaraf simpanse.

Maka tak terelakkan perilaku semau-maunyapun kemudian merebak. Di semua aspek kehidupan. Imajinasi yang pertama muncul ketika sedang ada maunya adalah: jalan gampang. Termasuk ketika menghadapi penolakan, kekuatan kekerasanlah yang akan maju. Dengan puncak kekerasan keluar dari yang pegang senjata. Rusak-rusakan. Menurut Heidegger, bahasa adalah rumah ‘manusia’. Dan rusak-rusakannya republik ini, pintu masuknya adalah rusaknya bahasa. Bahasa yang sudah dijauhkan dari fungsi mendasarnya: menguak kebenaran. Bahasa yang menuntun ‘keberakaran’. Bahasa yang kemudian hanya dikenal semata sebagai alat saja. Maka judul adalah sebuah pertanyaan, asal mangap sebagai tradisi? Jika ya, maka siap-siap saja ujungnya -entah kapan, adalah perang saudara. Dalam arti yang sungguh telanjang. Saling bunuh. Siapa mau rumah tempat hidupnya terus saja diacak-acak? *** (30-12-2024)