1450. Republik dan Tiga Prakondisinya (3)
27-06-2024
Judul bagian terakhir ini sebenarnya mempunyai ‘anak judul’: Perang Modern, Tahap Invasi/Penguasaan. Dalam konteks bahwa rusak-rusakannya ‘prakondisi sosial’ ini bisa-bisa tidak lepas dari tahap-tahap Perang Modern yang sering diungkap Ryamizard Ryacudu: tahap infiltrasi, eksploitasi, adu domba, cuci otak, dan terakhir: tahap invasi/penguasaan. Sekaligus memberikan perspektif lebih luas rusak-rusakannya, tidak hanya ‘prakondisi sosial’ tetapi juga ‘prakondisi politis’ dan ‘prakondisi teknis’ (lihat bagian 1 dan 2). Artinya adalah Perang Modern itu bisa juga dihayati bagaimana sebuah ‘kudeta merangkak’ akan berujung pada terciptanya kondisi dimana sebuah republik misalnya, menjadi ‘tidak terdukung’ lagi. Atau menjadi begitu lemah ‘dukungan’-nya. Atau kalau memakai istilah lebih se-abad lalu: jatuh dalam kondisi ‘rantai terlemah’-nya.
‘Rantai terlemah’ sebagai sebuah analisa dan bahkan sebagai salah satu strategi se-abad lalu memang tidak akan terjelaskan jika tidak ada penghayatan akan dinamika internasional. Demikian juga ketika bicara dalam konteks ‘republik yang terdukung’, salah satunya adalah soal ‘prakondisi politis’ yang mau tidak mau akan selalu melibatkan perspektif internasional. Hari-hari ini kita juga bisa melihat dengan sungguh telanjang bagaimana kerusakan ‘prakondisi teknis’ itu menampakkan diri. Kerusakan paling parah terkait dengan ‘prakondisi sosial’ adalah ketika negara memandang warga negaranya sebagai sebuah entitas yang mudah dibohongi, mudah ditipu. Mudah ‘disihir’. Padahal mengapa yang hidup dalam suatu negara itu mau ‘meghidup-hidupinya’ itu pada dasarnya lebih dari sekedar sebuah kewajiban saja. Misalnya wajib bayar pajak dalam segala bentuknya. Tetapi salah satunya adalah soal ‘makna’. ‘Produksi’ kebohongan mestilah akan terhayati secara berbeda ketika itu terjadi di era Revolusi Pertanian, atau Revolusi Industri, atau juga saat ini: Revolusi Informasi. Terutama penghayatan ‘pasca-intersubyektifitas’, setelah melalui bermacam glenak-glenik dalam khalayak biasa. Ketika bermacam kebohongan menjadi begitu mudahnya terbongkar dalam era Revolusi Informasi ini, tiba-tiba saja ranah negara bisa jadi telah kehilangan makna-nya bagi banyak kalangan. Inilah yang sungguh dipertaruhkan ketika ‘politik kebohongan’ itu sudah tidak tahu batas lagi. Dan komplit-lah ‘rantai terlemah’ itu. Eksekusi invasi/penguasaan nampaknya hanya akan menunggu saat tepat saja. Tinggal masalah momentum saja. *** (27-06-2024)
1451. Demokrasi Sebagai "Moments"
29-06-2024
A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit.
(Surat Edward Rutledge ke John Jay, 24 November 1776)[1]
Yang dimaksud dengan ‘moments’ dalam judul adalah dalam konteks Fenomenologi dimana ‘the whole’ itu dapat dianalisa dalam dua parts yang berbeda, pieces dan moments. Pieces atau independents parts misalnya, kita masih bisa menghayati daun kelapa meski ia sudah lepas dari pohonnya dan hanyut jauh dibawa banjir. Sedangkan moments atau non-independent parts misalnya: warna merah. Kita hanya bisa menghayati warna merah jika ia melekat pada kursi, atau meja, atau lainnya. Pada dirinya, moments merupakan parts yang tidak akan menjadi the whole. Berbeda dengan pieces, moments pada dirinya sendiri tidak pernah menjadi hal concreta, “they exist only as blended with their complementary parts.”[2] Jadi memang moments lekat dengan hal abstracta, dan “the possibility of speaking abstractly, arises because we can use language."[3]
Dengan ‘alur pikir’ di atas kita coba otak-atik kutipan surat Edward Rutledge ke John Jay di awal tulisan. Demokrasi sebagai moments hanya akan bisa dihayati jika dilekatkan dalam denyut patriotisme, tak jauh dari rejim monarki yang akan lekat dengan bermacam bentuk-denyut patronase. Res-publika itu jauh di dalam sana ada bahan bakar yang tidak pernah padam, kecintaan akan denyut-dinamika ke-publik-an. Maka seperti bentuk-bentuk rejim lainnya, demokrasi juga akan lekat dengan ber-kata-kata. Terlebih kata-kata yang akan menggambarkan semangat patriotisme. Bukan kata-kata penuh puja-puji terhadap ‘sang-patron’.
Sepertihalnya dengan ideologi yang ‘abstrak’ itu, pada akhirnya memang harus dicek-ricek, bahkan sesuai dengan perkembangan situasi yang ada: kritik-otokritik, terhadap perilaku, keputusan, kebijakan yang kongkret dilahirkan. Kata-kata patriotik yang muncul dalam bermacam ‘peristiwa demokrasi’ pada akhirnya memang harus dicek dalam perilaku, keputusan, kebijakan yang kongkret dilahirkan. Ketika kata-kata patriotik itu ternyata tidak bisa ‘ditemukan’ dalam perilaku, keputusan, kebijakan, maka pada dasarnya tidak jauh dari gambaran Routledge di atas, ia sebenarnya adalah bagian dari kaum rascals. Tidak lebih dari itu. *** (29-06-2024)
[1] https://digital.lib.niu.edu/islandora/object/niu-amarch%3A90358
[2] Robert Sokolowski, Introduction to Phenomenology, Cambridge University Press, 2000, hlm. 24
[3] Ibid
1452. New Caledonia
02-07-2024
New Caledonia adalah kepulauan (tiga pulau ‘besar’ saja) di Pasifik di bawah pemerintahan Perancis. Pulau-pulau di Pasifik memang banyak yang masuk dalam pemerintahan baik AS, maupun Inggris, juga Perancis. New Caledonia masuk berita karena kerusuhan kira-kira akhir bulan Mei lalu. Sebenarnya paling tidak pernah dilakukan dua referendum, dan dua-duanya dimenangkan oleh pro-Perancis, artinya tetap menjadi bagian dari Perancis. Jika melihat bagaimana Perang Pasifik pecah sebagai bagian dari Perang Dunia II, gejolak di New Caledonia itu bisa dilihat sebagai bukan hanya masalah pro-Perancis atau pro-kemerdekaan tetapi sangat mungkin tidak lepas dari panas-dinginnya gejolak geopolitik global. Demikian juga soal bagaimana membesarnya pengaruh China di Kepulauan Salomon yang juga ada ada di kawasan pulau-pulau di Pasifik itu. Kata Lenin, imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme.
Ada yang melihat poros penentu geopolitik global bisa-bisa akan mengalami pergeseran dari ‘trans-Atlantik’ ke ‘trans-Pasifik’. Benar atau tidaknya, apapun itu, faktanya dengan menggeliatnya kekuatan ekonomi China telah membuat kawasan Pasifik menjadi penting. Sekaligus lebih ‘panas-dingin’. Dan seperti dijabarkan oleh Thucydides tentang Perang Peloponnesia antara Athena dan Sparta lebih dari 2000 tahun lalu, masalah sekutu menjadi penting terlebih bagi kekuatan-kekuatan dominan. Dan suka atau tidak, sekutu utama Amerika dkk dalam kawasan itu adalah Australia (dan New Zealand). Tentu juga bisa disebut, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Filipina, dan lain-lain dalam ‘kadar’ yang mungkin saja berbeda-beda. Lihat misalnya kisruhnya proposal pembuatan kapal selam nuklir beberapa waktu lalu yang sebenarnya telah disepakati dengan Perancis tetapi kemudian digeser ke AS dan Inggris. Apapun itu, Australia memandang penting punya kapal selam tempur super-canggih itu.
Jarak antara New Caledonia dengan tepi pantai Australia terdekatnya adalah sekitar 1300-an km, kira-kira tak jauh beda dengan jarak P. Komodo - Darwin, atau Sirkuit Mandalika dengan tepi pantai terdekat Australia. Juga jarak hampir sama dengan masing-masing batas negara antara Australia dan Kepulauan Salomon. Artinya jika pesawat tempur mempunyai jarak tempuh maksimal 3000 km, melalui tempat-tempat itu bisa dilakukan serangan dengan pesawat tempur. Tentu ada pilihan lain seperti serangan rudal atau juga drone. Atau kapal-kapal perang yang mendekat pada sasaran.
Hari-hari ini sedang ada pemilihan di Perancis dengan kelompok sayap-kanan-jauh memimpin dalam perolehan dukungan, meski masih jauh dari mayoritas tunggal. Sebelumnya di Italia, dua tahun lalu Georgia Meloni naik ke puncak pemerintahan, juga dari sayap-kanan-jauh. Tidak hanya soal ‘ultra-konservatisme’, tetapi adalah juga dengan segala konsekuensinya. Atau kalau meminjam Hobbes, bisa-bisa kuasa akan mati-matian untuk mempertahankan apa-apa yang sudah dipunyainya, kenikmatan atau juga katakanlah, ‘nilai-nilai luhur’. Dari pendapat George Lakoff kita mendapat gambaran bagaimana kaum konservatif ini memandang dunia sekitar sebagai dunia yang penuh dengan mara-bahaya. Maka ‘hawa-nafsu’-nya bisa-bisa akan selalu lekat dengan ‘perkelahian’. Melihat hasil debat antara Trump dan Biden baru-baru ini, kemungkinan Trump akan mengalahkan Biden dalam pemilihan bulan November mendatang tetaplah terbuka lebar. Kanan-jauh adalah ‘bablasan’ dari konservatisme. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, di tengah-tengah gejolak pergeseran geopolitik internasional, muncul juga kekuatan yang maunya ngajak gelut, ngajak kelahi saja.
Apa yang mestinya diperbuat dalam situasi seperti ini? Apakah bebas-aktif cukup sebagai modal? Sebagai modal dasar tentunya merupakan hal penting, tetapi itu perlu ‘daya gertak’ pula. Dan ‘daya gertak’ itu akan dimulai dengan bagaimana dikelola bermacam hal yang ‘masih dalam kendali’. Apa-apa yang masih ‘dalam kendali’ itu menjadi penting dalam membangun respon terhadap bermacam tantangan. Maka adalah kedunguan-total ketika bermacam sumber daya itu dihambur-hamburkan dengan tidak jelas juntrungannya. Atau korupsi yang merebak sampai pada situasi tak terbayangkan sebelumnya. Tetapi benarkan sekedar masalah kedunguan?
Tulisan ini didorong oleh berita bahwa si-Luhut itu mengatakan bahwa ada pabrik tekstil China akan investasi di republik. Luhut yang nir-empati itu mengatakan di tengah-tengah ancaman kolapsnya industri tekstil dalam negeri. Tetapi lebih dari itu adalah lokasi yang diinginkan untuk dibangun pabrik, sekitar Kertajati. Tiba-tiba saja otak-atik-gathuk-nya segera muncul, mulai dari Rempang-Bandara Kertajati-Bandara Internasional Jogjakarta, Sirkuit Mandalika, Kepulauan Salomon, dan terakhir yang menjadi pintu masuk tulisan ini: New Caledonia. Mengada-ada? Mungkin saja. Tetapi lihat yang baru saja terjadi, meninggalnya pebulutangkis China di lapangan saat bertanding di Jogjakarta, cardiac arrest saat bertanding. Apa yang bisa kita lihat? Hilangnya sense of emergency itu bahkan sudah hilang di semua tingkatannya! *** (02-07-2024)
1453. Family Office vs Marhaenis Office
04-07-2024
A family office is a private wealth management advisory firm that serves ultra-high-net-worth individuals (HNWI).[1] Sedangkan yang disebut sebagai ultra-high-net-worth individuals (HNWI) adalah someone who generally has liquid asset of at least $1 million after accounting for their liabilities.[2] Dalam perjalanannya, kapitalisme akan menapak juga salah satu rutenya: merger, untuk memaksimalkan profit. Atau dalam upaya membangun oligopoli, bahkan monopoli. Family Office bisa dikatakan sebagai varian-privatnya SWF, Sovereign Wealth Fund. Jika kita ingat pendapat Leo Strauss tentang ekonomisme, yaitu sebagai Machiavelli(isme) yang menua maka semakin jelas saja bahwa apapun itu adalah soal power. Dan menurut Alvin Toffler, power bisa dibedakan paling tidak menjadi tiga, kekuatan pengetahuan, uang, dan kekerasan. Tak jauh-jauh amat dari konsep tripartite jiwa-nya Platon, lebih dari 2000 tahun lalu.
Alegori Kereta-nya Platon dimana katakanlah kekuatan pengetahuan sebagai sais, kereta ditarik kekuatan kekerasan: kuda putih, dan kekuatan uang: kuda hitam memang bisa membantu paling tidak ‘memetakan’ masalah terkait dinamika ‘balance of power’. Karena bagaimanapun juga dalam praktek ketiga kekuatan itu akan selalu saling ‘mengintip’ untuk menjadi yang dominan. Lihat misalnya yang diusung oleh kaum neolib itu, sebuah keyakinan ditebar: bahwa pasar itu bukan bagian dari hidup bersama, tetapi hidup bersama itu justru yang harus tunduk dalam logika pasar! Dalam semua aspeknya. Akhirnya seperti digambarkan Leo Strauss di atas, perlahan ekonomisme telah menjadi machiavellisme yang menua atau Machiavelli menumpuk harta. Ekonomi bukan lagi si-oikos-nomos. Contoh telanjang, ketika keuntungan privat itu mengambil rute ‘proyek strategis nasional’, dan dengan itu pula kekuatan kekerasan seakan menjadi sah untuk digunakan. Semau-maunya, sewenang-wenang, rusak-rusakan, anjing-anjing-an, bangsat-bangsat-an. Atau, negara justru menjadi ‘beking’ dari family office yang sebenarnya ranah privat (-nya kaum orang-orang kaya). Yang dalam praktek nantinya akan bercabang-cabang, dengan salah satu cabangnya adalah corruptor office? Money laundering, cuk. Tidak hanya manusia yang semakin cerdik dan pandai, iblis juga.
Kekuatan kekerasan jelas siapa atau apa si-‘pembawa pesan’-nya, demikian juga kekuatan uang, bagaimana dengan kekuatan pengetahuan dalam ranah politik? Kekuatan pengetahuan dalam ranah politik terutama dimain-perankan oleh: partai politik. Dengan apa ‘pesan-pesan’-nya akan dibawa? Tidak lain adalah dengan retorika. “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan. Bangsa yang merdeka per definitionem adalah bangsa yang efektif mampu mengendalikan kekuasaan dalam suatu keseimbangan, demi kebaikan dan perbaikan masyarakat seluruhnya,” demikian ditulis YB. Mangunwijaya dalam Kini Kita Semua Perantau, Kompas 1-3 September 1989 (huruf miring, asli). Menurut Mangun tidak hanya keseimbangan antara trias-politika, tetapi juga dengan pers, masyarakat sipil, dan lain-lainnya, atau dalam konteks tulisan ini, kita bisa membayangkan juga antara kekuatan pengetahuan, kekerasan, dan uang. Dalam tulisan lain, Mangunwijaya menyinggung peran penting dari retorika. Dikatakan Mangun bahwa kemajuan Barat itu bertumpu pada retorika. Atau bisa kita bayangkan, melalui retorika dapat dibangun balance of power sehingga terutama ugal-ugalan hasrat yang bertumpu pada kekerasan dan uang bisa terus tidak membuat hidup bersama mengalami keretakan besarnya. Tentu kadang berhasil, dan kadang tidak. Tetapi dengan kuatnya ‘tradisi’ retorika, paling tidak rasio (saling) dijaga sehingga menjadi tidak mudah untuk jatuh diperbudak oleh hasrat seperti disinyalir oleh David Hume.
Dalam pendidikan klasik, retorika menjadi salah satu mata ajaran dalam trivium, selain grammar dan logika. Trivium akan dilanjutkan dengan quadrivium, dan kedua-duanya sering disebut sebagai liberal arts, artinya ketrampilan-ketrampilan yang akan mendorong untuk ‘menjelajahi’ semesta termasuk di dalamnya ketika bertemu dengan manusia-manusia lain. Dari ini kita bisa melihat memang lekat dengan nuansa ‘menjadi bebas’. Bebas dan berani (karena sudah dibekali dengan bermacam ketrampilan) masuk dalam dunia kemungkinan-kemungkinan, bahkan ketika bertemu dengan manusia lain. Tetapi ketika kaki terikat, karena represi atau terutama terkait bertahun terakhir: sandera kasus, retorika bisa-bisa tidak berkembang. Represi memang bisa membuat orang takut ber-retorika, tetapi tidak selalu. Buktinya banyak. Tetapi sandera kasus? *** (04-07-2024)
1454. Demosarki?
05-07-2024
Dari Nietzsche sampai Foucault kita bisa membayangkan bagaimana jika hidup bersama ini tanpa adanya power, dan relasi-relasinya. Akan adakah yang disebut sebagai ‘hidup bersama’ itu? Bahkan dari manuskrip-manuskrip yang terselamatkan, kita bisa melihat bahwa soal power ini sudah dibahas sejak lebih dari 2000 tahun lalu. Dalam bahasa Yunani Kuno, soal power ini mempunyai beberapa istilah yang masing-masing punya nuansanya sendiri-sendiri. Dari sini pula kita bisa bertanya, jika ada monarki, oligarki, mengapa tidak disebut: demosarki?
Dalam dunia medis, sudah cukup lama perhatian masuk sampai dunia terkecilnya, DNA. Sampai pada struktur nano-molekulnya. Tanpa mengenal struktur DNA, power dalam bahasa Yunani Kuno seperti ditemui dalam manuskrip-manuskrip, mengenal adanya istilah dunamis, katakanlah power dalam bentuk potensialnya. Atau dalam dunia fisika mungkin dekat dengan konsep gaya (force). Sedangkan kratos “is something akin to our notion of material capability”.[1] Sedangkan arche berarti kontrol.[2] Maka mengapa ada mono-arki, olig-arki, karena ‘secara langsung’ mereka –si-mono, si-olig (sedikit) sebagai material-nya, mempunyai kemampuan untuk mengontrol. Tetapi untuk si-demos, demos-kratos, bukan demos-arki. Karena dalam praktek memang si-demos tidak bisa secara langsung untuk melakukan ‘kontrol’, kecuali dalam komunitas-komunitas kecil. Atau contoh, sejengkel-jengkelnya khalayak kebanyakan terhadap Ketua KPU mulai dari kasus dengan si-‘wanita emas’ itu, khalayak , si-demos, baru merasa mendapat kontrol-nya ketika DKPP memecat Ketua KPU akhir-akhir ini. DKPP yang dibentuk oleh DPR dulu itu. DKPP sebagai salah satu ‘kratos’ yang mempunyai kapabilitas untuk melakukan ‘kontrol’, atau arche.
Maka semakin jelas mengapa jaman old dilakukan ‘depolitisasi’ itu dan setiap lima tahun digelar ‘pesta demokrasi’. Artinya bagaimana si-demos dijauhkan dari ‘material yang berkapabilitas, kratos’, dan karena bagaimanapun dunamis tidak bisa dihilangkan maka diberilah kesempatan untuk di-display, dinampakkan. Seolah-olah dengan diberi kesempatan untuk menampakkan dunamis-nya itu, arche sudah mewujud. “Arche is founded on kratos (material capabilities) and, of necessity, sustains itself through dunamis (display of power),” demikian Richard Ned Lebow.[3] *** (05-07-2024)
[1] Richard Ned Lebow, The Power of Persuasion, dalam, Felix Berenskoetter MJ. Williams, Power in World Politics, Routledge, 2007, hlm. 124
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 125