1515. Wajah Janus Kerumunan (1)

23-09-2024

Pada satu kesempatan, Donald Trump dengan lantang mengatakan bahwa ia lebih besar dari Elvis Presley.[1] Karena kerumunan di depannya saat itu lebih besar dibanding kerumunan yang mampu dibuat Elvis, serunya. Bahkan saat itupun ia tidak sambil menenteng gitar. Mungkin di benak Trump, bayangkan jika ia punya kesempatan emas sambil menenteng gitar! Pada Jaman Yunani Kuno dikenal istilah ‘sirkus dan roti’ dalam olah kuasa. Bisa dibayangkan bahwa itupun tak lepas dari adanya kerumunan. Atau bagaimana jika Hitler tidak mengulang-ulang-ulang kerumunan yang mengelu-elukannya? Akankah sejarah akan berbeda? Menurut Walter J. Ong, sound itu cenderung akan mempersatukan, dan lihat apa yang kemudian bisa diperbuat manusia ketika sound-loud-speakers komplit dengan amplifier-nya ditemukan. Modus man-to-mass dalam bentuk ‘jumpa lapangan’-pun kemudian hadir dalam bermacam bentuknya. Dan kegilaannya. ‘Sirkus’ kemudian tidak hanya terbatas oleh ‘bahasa tubuh’ tetapi juga oleh sound, bahasa verbal. Apakah ini yang juga mempercepat abad-20 sehingga disebut juga Abad Nasionalisme, seakan yang dimulai sejak inovasi mesin cetak Guttenberg itu sedang di-booster?

Tujuan dari tulisan ini adalah berdasarkan apa-apa yang kita alami bertahun terakhir, suatu pelajaran bagi ‘yang banyak’: hati-hati terhadap pemimpin atau pemegang otoritas yang sudah keranjingan bahkan kecanduan akan kerumunan. Terlebih di luar masa kampanye.

Dari Hegel (1770 – 1831) sedikit banyak kita bisa membayangkan ‘resiko’ di atas, yaitu melalui pendapatnya terkait ‘dialektika tuan-budak’. ‘Tuan-otoritas’ yang keranjingan ‘memperbudak’ kerumunan untuk puja-puji dirinya, pada titik tertentu ia justru menjadi sangat tergantung pada kerumunan, dan bahkan seakan gantian kerumunan ‘memperbudak’-nya. Bahkan ‘karakter’ dari kerumunanpun tanpa sadar ‘diserap’-nya, ‘karakter’ dekat-dekat dengan ke-tidak-berpikiran. Atau kalau kita memakai perkembangan neuroscience terkait dengan mirror neuron system, maka ‘mekanisme umpan balik’ antara ‘tuan-otoritas’ dan kerumunan-nya itu memang bisa saling mempengaruhi. Atau ‘pepatah’ yang berbunyi, kamu adalah yang kau makan. Dan bagaimana jika selalu saja yang bisa mengenyangkan adalah kerumunan?

Tetapi bukankah kerumunan itu juga punya ‘kebijaksanaannya’ sendiri? Ada penelitian dimana banyak orang diminta memperkirakan berat suatu benda. Tidak ada yang tepat memang, tetapi jika dirata-rata ternyata mendekati berat timbangan obyektifnya! Tetapi jelas dalam hal ini si-‘tuan-otoritas’ tidak hadir, yang mana bisa akan sangat berpengaruh seperti dibuktikan dalam ‘eksperimen Milgram’ di sekitar bagian akhir dekade 1960-an. Dan juga terlalu telanjang bagaimana ‘kebijaksanaan kerumunan’ itu dibajak oleh survei-survei bayaran yang ngaku-ngaku saintifik itu. Maka memang kerumunan yang membuat kecanduan si-‘tuan-otoritas’ itu telah dijauhkan dari ‘kebijaksanaan’-nya. *** (23-09-2024)

[1] https://www.youtube.com/shorts/rnLIRkGVplU

1516. Wajah Janus Kerumunan (2)

25-09-2024

Ternyata hubungan antara ‘tuan-otoritas’ dan kerumunan-nya tidak hanya soal ‘dialektika tuan-budak’, atau pelibatan mirror neuron system, atau soal kebiasaan yang membentuk, tetapi ternyata ‘dialektika tuan-budak’ biar penampakan konkretnya tetap (sesuai ‘hirarki’) hubungan antara ‘tuan-otoritas’ dan ‘budak’ kerumunan-nya, perlulah apa yang disebut Rene Girard dalam ‘teori segitiga hasrat’ atau teori mimesis-nya sebagai: kambing hitam. Karena ketika ‘tuan-otoritas’ itu jadi ‘model’ yang akan ditiru hasratnya akan sesuatu, ditiru oleh kerumunannya sehingga kerumunan akan juga ikut menghasrati sesuatu itu, pada titik tertentu akan terjadi rivalitas antara ‘tuan-otoritas’ dan kerumunannya, demikian menurut Girard. Rivalitas yang perlahan akan mengancam keberlangsungan ‘persatuan’ antara ‘tuan-otoritas’ dan kerumunannya. Apalagi karena bahkan dari jarak begitu dekatnya, ‘tuan-otoritas’ itu akan menjadi ‘model internal’. Maka perlu hadirnya ‘kambing hitam’ – apapun itu, yang akan ‘disembelih’ bersama-sama. Holocaust, pasca-1965, dan bahkan 1998 menurut Sindhunata, tidak lepas dari soal ‘kambing hitam’ ini. Nampaknya ini ditegaskan juga oleh Amy Chua dalam Political Tribalism (2019), bahwa manusia itu memang pada dasarnya tidak lepas dari ke-tribal-annya. Masalahnya dalam cerita ketribalannya itu tidak hanya ada soal insting to belong, tetapi juga menggendong lekat an instinct to exclude-nya. An instinct to exclude yang bisa-bisa dalam praktek itu adalah sekaligus ‘kambing hitam’.

Bagi Platon ‘persahabatan sejati’ itu akan melibatkan ‘pihak ketiga’. ‘Pihak ketiga’ yang menjadi kepedulian bersama, dan itu biasanya adalah hal-hal baik. Aristoteles tidak menolak ide Platon, hanya saja ia meluaskannya. Tetapi bagaimana dengan ‘persahabatan’ antara ‘tuan-otoritas’ dan kerumunannya? ‘Persahabatan’ dengan ketidak-setaraan power yang nyata? Maka jika digambarkan dalam skema, bisa-bisa yang punya power lebih tinggi perlahan akan menjadi model, dan kembali pada pendapat Girard di atas, perlahan pula akan muncul rivalitas, dan ujung cerita: perlu ‘kambing hitam’. Tetapi ada yang kiranya dapat dilakukan untuk tidak menjadi mudah jatuh pada kegilaan ‘ritual penyembelihan kambing hitam’, yaitu dengan mempersempit jarak ketidak-setaraan power yang ada. Apa yang disebut dengan ‘pendidikan kritis’ atau apapun itu, adalah mempersempit jarak ketidak-setaraan power dalam hal sumber power yang ‘paling demokratis’: pengetahuan. Yang kedua adalah kesempatan untuk komunikasi ‘dua-arah’. Atau bahkan ‘multi-arah’. Atau kita bisa bayangkan, peristiwa di atas sebagai ‘yang tertutup’ atau ‘yang terbuka’? *** (25-09-2024)

1517. Wajah Janus Kerumunan (3)

26-09-2024

Tetapi kita hidup seakan sudah ‘terlempar’ pada situasi tertentu, bahkan juga ‘semangat jaman’ tertentu. Juga dengan bermacam masa lalu. Komplit dengan bermacam harapan untuk masa depan. Dari kerumunan yang dibayangkan Le Bon (1841 – 1931) di penghujung abad 19, sampai ‘kerumunan digital’ lebih seratus tahun kemudian. Dua abad lalu telah memberikan banyak sekali pelajaran. Pelajaran sangat-sangat berharga. Berharga tidak hanya sebagai pelajaran, tetapi terlebih mahalnya harga-harga kemanusiaan yang harus ‘dibayar’. Termasuk pelajaran sangat berharga terkait bermacam ‘kerumunan’ di masa lalu. Ataukah kita bisa belajar bahwa hitam-putih-nya kerumunan itu akan sangat tergantung pada rata-rata IQ sebuah komunitas? Benarkah? Kita mungkin saja akan menempatkan AS sebagai negara maju dengan rata-rata IQ yang mungkin saja di atas rata-rata negara berkembang, tetapi lihat kerumunan ‘didikan’ Donald Trump itu.

Meski sebagian komunitas bisa dengan cepat berubah menjadi kerumunan, tetapi ‘olah-komunitas’ jelas akan beda dengan ‘olah-kerumunan’. Bukan hanya karena peristiwa berkerumun itu adalah merupakan bagian saja dari ‘olah-komunitas’, tetapi juga karena (semestinya) sifat-sifatnya memang berbeda. Berkerumun adalah salah satu ‘kepastian-peristiwa’ saja dalam dinamika komunitas. Komunitas mestinya mampu dalam mengolah kerumunan itu, bukan sebaliknya. Bagaimana ketika kerumunan terjadi akibat bencana, misalnya, dengan latihan-latihan-dan-latihan serta contoh dari pimpinan, ternyata kerumunan bahkan ketika terjadi dalam suasana panik-pun bisa dikelola dengan baik. Atau bermacam batasan dalam kampanye, baik itu soal waktu, tempat, atau lainnya. Atau kerumunan dalam stadion sepakbola, bagaimana itu terkelola dengan baik.

Masalahnya hasrat akan kuasa itu bahkan menurut Hobbes akan dibawa sampai mati. Kuasa yang juga bisa-bisa akan digunakan terutama untuk melindungi apa-apa yang sudah diperoleh atau ditumpuknya. Maka kuasa memang bisa menjadi ‘liar’, baik dalam upaya merebut, menggunakan, atau mempertahankan kuasa. Tak mengherankan kerumunan kemudian menjadi salah satu ‘aset’ strategis-taktis dalam olah kuasa. Sejak doeloe sekali. Mangunwijaya dalam Kini Kita Semua Perantau (Kompas, 1-3 September 1989) pernah menulis: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan. Bangsa yang merdeka per definitionem adalah bangsa yang efektif mampu mengendalikan kekuasaan dalam keseimbangan, demi kebaikan dan perbaikan masyarakat seluruhnya.” Dan nampaknya keseimbangan tidak hanya soal check and balances misalnya, tetapi juga soal ‘tata kelola’ kerumunan, sehingga ‘logika-kerumunan’ tidak justru mengkooptasi ’logika-komunitas’. Jika itu terjadi? Bisa-bisa banyak lembaga survei tidak hanya berhenti menjadi kerumunan, bahkan banyak yang menjadi gerombolan. Atau juga dunia lembaga peradilan. Atau juga soal penegakan hukum. Bahkan Pendidikan Tinggi-pun maunya diubah-dikendalikan untuk lebih menjadi kerumunan saja! Salah satu sifat kerumunan ‘mudah menular’-pun seakan nampak begitu telanjangnya. Rusak-rusakan seakan sudah menjadi biasa-biasa saja. Di semua aspek kehidupan komunitas. Komunitas pembelajar yang semakin terpojok karena segala hasrat itu telah memperbudak rasio dengan sungguh telanjangnya, tanpa mengenal tempat dan waktu. Tanpa beban pula. *** (26-09-2024)

1518. "Mati Di Atas Kebenaran" (1)

27-09-2024

A great civilization is not conquered from without until it has destroyed itself within.”

(William Durant, 1885 – 1981)

Satu hal utama dari rusak-rusakannya republik adalah karena bacot politisi yang sudah lepas kendali, sudah tidak bisa dipegang lagi. Licin, licik, dan seakan ‘ringan mulut’. Yang diomongkan A, faktanya bahkan tidak hanya B atau C, tetapi kontra-A. Tentu dalam politik tidaklah steril dari tipu-tipu, tetapi menjadi tidak tahu batas lagi? Terhadap politisi yang kerjaannya nipu khalayak itu, apakah si-pembayar pajak mesti harus menghormatinya? Tidak-lah, ngapain. Hak untuk muak terhadap pemimpin tukang ngibul adalah melekat bersamaan dengan hak dan kewajibannya yang lain. Begitu wajah tukang ngibul itu muncul di TV misalnya, ganti channel atau TV dimatikan tidak bisa dilarang selama itu televisinya sendiri. Atau ditinggal pergi saja. Bebas.

Mengapa dengan keranjingannya asal mangap asal njeplak-nya para politisi itu para pembayar pajak mesti mengambil sikap lebih dari biasanya? Karena ternyata ujung-ujungnya republik dikelola secara ugal-ugalan, serampangan. Bahkan karena kerajingan asal mangap asal njeplak itu, sense of emergency-pun menguap entah kemana. Maka republikpun menjadi makanan empuk bagi para predator untuk pesta-pora-nya. Pesta-pora para predator yang sungguh tak terbayangkan sebelumnya, lihat … betapa meriahnya mereka berpesta. Gila-gilaan. Dengan segala yang dikandung Ibu Pertiwi, potensi untuk terus mendekat pada kesejahteraan umum-pun justru semakin terganggu. Bahkan menjadi semakin terpuruk. Anjing, sungguh anjing-lah. Asu kabèh.

Maka rejim bertahun terakhir inipun sah untuk dipertanyakan, apakah ia bekerja bagi republik atau yang lainnya? Kutipan Will Durant di atas bukanlah pendapat sambil lalu mengingat latar belakang Durant. Reputasinya dapat dilihat dari buku-buku yang ditulisnya. Semakin lama semakin nampak bahwa rejim bertahun terakhir ini memang mau-maunya destroyed itself within. Demi apa? Apa lagi kalau bukan penguasaan! Jika penguasaan adalah tahap terakhir dari Perang Modern seperti sering diungkap oleh Ryamizard Ryacudu, ia sebelumnya akan melalui tahap-tahap infiltrasi, eksploitasi, adu-domba, dan cuci otak. Dan bukankah tahap-tahap tersebut ada di sekitar sentralnya penghancuran sebuah peradaban? Atau kalau mengikuti pendapat Toynbee terkait berkembang atau hancurnya peradaban, bukankah hal-hal itu membuat republik menjadi terseok-seok dalam membangun respons terhadap bermacam tantangan? Belum lagi bagaimana di tengah-tengah dunia yang semakin sulit diprediksi –sekaligus semakin menguak bermacamnya tantangan, bermacam sumber-daya justru dihambur-hamburkan dengan tidak jelas juntrungannya. Aturan-perundangan ditabrak, tanpa beban. Sains atau olah pikir dipinggirkan secara brutal. Semau-maunya. *** (26-09-2024)

1519. "Mati Di Atas Kebenaran" (2)

28-09-2024

Judul adalah berasal dari ungkapan presiden terpilih, Prabowo Subianto. Apakah nasib kata-kata di ranah politik ke depannya akan tidak jauh dari bertahun terakhir? Jatuh pada kata-kata kosong, seakan keluar dari mulut seseorang yang tidak mengenal kehormatan? Keluar dari mulut-bacot orang yang sudah membuang kehormatan dalam got? Kita lihat saja nanti. Tetapi, apa itu ‘kebenaran’? Apakah itu berarti mempunyai hubungan erat dengan fakta-fakta yang ada? Apakah menjadi benar karena ada konsisten-koheren dengan pendapat-pendapat lainnya? Atau menjadi benar jika terbukti ada fungsi praktisnya?

Apakah menjadi benar ketika dicek pesawatnya yang sedang parkir misalnya, ternyata memang bentuk jendelanya bundar, tidak oval seperti lainnya? Ups … ternyata tidak berhenti pada unggahan jendela pesawat saja. Perlahan ‘jendela bundar’ itu kemudian ‘dikuliti’ lapis-demi-lapis, dan seterusnya sampai pada soal gratifikasi melalui anak pejabat. Atau soal siapa pemilik akun fufufafa itu? Maka banyak yang kemudian ikut nimbrung membuka lapis-demi-lapis untuk menguak siapa sebenarnya pemilik akun tersebut. Kebenaran kemudian bisa saja berarti ‘ketersingkapan’, aletheia demikian istilah di jaman Yunani Kuno. Karena sesuatu itu tidak akan pernah menampakkan diri secara keseluruhan apa-siapa dirinya kepada kita.

Dengan menggunakan ‘peta’ pendekatan yang diajukan Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, maka kita bisa bertanya bagaimana kebenaran akan lebih didekati, apakah dengan modus mitis, ontologis, atau fungsionil? Kebenaran sebagai ‘ketersingkapan’ bisa dibayangkan didekati dalam ‘modus atau tahap ontologis’, hal yang menjadi esensi akan semakin menampakkan diri. Bertahun terakhir kebenaran seakan lebih didekati dengan modus mitis. Kebenaran dalam kacamata iman memang lebih dekat pada ‘penghayatan mitis’, tetapi bagaimana dengan bernegara dan berbangsa? Bahkan dalam penghayatan iman-pun kadang perlulah berjalan berdampingan dengan rasio, fides et ratio, demikian ensiklik Paus Yohanes Paulus II di penghujung abad-20. Apa akibatnya jika kebenaran dalam ranah bernegara dan berbangsa itu lebih dihayati dalam modus mitis-nya? Dalam praktek yang terjadi adalah kebenaran seakan dikurung dalam mono-tafsirnya. Pemimpin kemudian tidak jarang lebih merasa nyaman sebagai sang-raja, merasa sebagai yang terpilih oleh Yang Atas. Maka ujung yang semakin menggoda seperti menampakkan diri bertahun terakhir: menjadi semau-maunya. Kebenaran muncul dalam nuansa magis-nya. Dengan didukung secara habis-habisan melalui olah kerumunan, misalnya bagaimana dipertontonkan sang-raja selalu saja dielu-elukan. Bahkan ada tontonan bagaimana sang-raja ‘dadakan’ itu disembah. Sekedar contoh.

Tetapi bahkan Karl Marx juga menandaskan: para filsuf itu pandai menginterpretasikan dunia, mestinya yang penting adalah mengubahnya. Atau dalam skema Van Peursen di atas, katakanlah: masuk tahap fungsionil. “Mati di atas kebenaran” itu berarti siap mati ketika berjalan ‘di atas jalan kebenaran’. Jadi tidak, misalnya, mendadak mati saja, karena mati itu sendiri pastilah akan mengandung kebenarannya sendiri. “Mati di atas kebenaran” itu juga bisa berarti kematian itu hadir sebagai horison. Kematian yang tidak bisa diwakilkan, kematian yang harus dihadapi sendiri, kematian yang tidak tahu kapan datangnya, kematian sebagai kemungkinan dimana segala hal menjadi tidak mungkin lagi. Sampai dengan batas horison kematian itu, bermacam kemungkinan akan hadir di depan mata, dan disitulah kualitas diri dalam membuat bermacam keputusan akan diuji. Dan keputusan-keputusan itu, katanya, dibuat di atas kebenaran. Sungguh …, berani? Kita tunggu saja episode lanjutannya. *** (28-09-2024)