1520. Serba-serbi Siluman
30-09-2024
Siluman di sini dimaksudkan sebagai ‘tidak nampak’, invisible, yang dari asal katanya lekat dengan vision, melihat, ditambah dengan in di depannya. Sejak lama apa yang ‘tidak nampak’ itu tidak hanya serasa ‘mengganggu’ tetapi juga menimbulkan banyak kepenasaran. Dunia ‘ketidak-nampakan’ itu kemudian menakutkan tapi sekaligus juga bisa sebagai sumber untuk mengatasi banyak ketakutan. Maka peramal-pun kemudian mendapat tempatnya. Bahkan perilaku binatang-pun bisa menjadi tanda akan sesuatu ke depannya. Repetitio est mater studiorum, manusia banyak belajar dari pengulangan-pengulangan. ‘Ilmu titèn’, demikian dalam bahasa Jawa-nya. Atau kemudian muncul ‘teknologi’ axis-mundi, yang chaos kemudian digeser menjadi kosmos. Bukan wujudnya yang menjadikan sesuatu itu menjadi axis-mundi atau pusat-dunia, tetapi lebih pada narasinya, dongengnya, yang akhirnya berubah menjadi ‘mitos’. Demikian juga ketika ada pergeseran dari kosmosentris, ke teosentris, dan kemudian antroposentris, paling tidak ada yang membaca ini dalam perjalanan peradaban manusia (paling tidak) dua-ribu-limaratus-an tahun di Eropa sono. Ada yang men-skemakan begitu. Tetapi di masing-masing tahapan tetaplah ‘yang tidak nampak’ itu selalu saja mengikuti.
Ketika ada pergeseran dari teosentris ke antroposentris, tetap saja ‘yang tidak nampak’ itu perlu penjelasan atau bahkan dongeng-dongeng-baru-nya. Maka mulailah merebak era dimana seakan ada ‘gerakan’ untuk mencari hukum-hukum umum penyebab sesuatu. Termasuk kemudian diyakini ternyata bumi bukanlah pusat dari semesta. Juga mengapa apel jatuh ke bawah. Bahkan sampai penjelasan mengapa pasar bisa bertahan, ada invisible hand katanya. Ditemukannya mesin cetak massal Guttenberg semakin memungkinkan kepenasaran itu dilakukan cek-ricek, dan sekaligus penyebarannya. Tetapi bagaimana dengan olah kuasa yang seiring dengan hal-hal di atas, ‘negara-negara nasional’ juga menjadi berkembang? Carl Schmitt di bagian awal Abad-20 berpendapat bahwa bagaimanapun konsep negara modern itu adalah sekulerisasi dari konsep teologi. Tentu ini bisa diperdebatkan, tetapi dari ungkapan Carl Schmitt ini kita bisa membayangkan sebuah ‘spektrum’, mana yang dalam praktek mendekat pada konsep teologi dan yang menjauh. Salah satu yang segera nampak sebagai ‘tanda-pembeda’ dalam ‘spektrum’ ini adalah soal check and balances. Katakanlah, semakin mendekat dalam konsep teologi, check and balances akan semakin tipis, misalnya. Atau kita bisa menghayati, jika penampakan check and balances ini terus saja semakin tipis, maka perlulah dipertimbangkan bahwa ada yang sedang berimajinasi untuk mempraktekkan ‘konsep teologi’ secara ketat. Meski ia tidak memakai satupun ajaran agama sebagai dasarnya.
Ia kemudian menghayati diri layaknya Yang Maha Kuasa, atau utusan-Nya. Maka seperti di ranah ‘teologi’, akan diperdengarkan litani puja-puji terhadapnya. Entah itu dari relawan, bayaran, atau apapun itu, buzzer misalnya, atau rakyat yang lebih karena ketakutan, kalau bisa rutin melalui tontonan kerumunan, mem-paralelkan diri dengan ritual bersama dalam ranah 'teologi’. Intinya, banyak pernak-pernik dalam ‘konsep teologi’ kemudian diadopsi, dan ‘disekulerkan’ secara langsung-telanjang. Contoh telanjang: Korea Utara. Juga termasuk terkait dengan hal ‘yang tidak nampak’. Maka salah satunya adalah terbentuklah ‘pasukan-tidak-nampak’, seakan sebagai ‘malaikat’ yang akan mengiringi lekat demi terbangunnya ‘tertib-tatanan’. Sayangnya, tak jauh dari cerita di ranah ‘teologi’, kadang atau bahkan sering juga ‘malaikat-sekuler’ ini jatuh dalam kegelapan. Dan seringnya memang lebih sering berurusan dengan ‘kegelapan’. Infiltrasi kemana-mana. Atau kegelapan lainnya. Bahkan pada titik tertentu fakta potensial terjadinya ‘ronin-isasi’ bisa-bisa berubah menjadi fakta faktualnya. Jika Alvin Toffler memakai juga referensi ‘jalur ABG’ di jaman old, mungkinkah ia tidak akan berhenti saja memaknai Invisible Party (dalam Powershift, 1990) hanya terkait dengan birokrasi? *** (30-09-2024)
1521. Retorika vs Bacotika
02-10-2024
“Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika.”
“Pengertian retorika biasanya kita anggap negative, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan,” demikian ditulis Y. B. Mangunwijaya dalam artikel Pendidikan Manusia Merdeka, Kompas, 11 Agustus 1992.[1] Kutipan di atas diajukan (lagi) untuk membantu membayangkan ‘arus-balik-kontra’ retorika bertahun terakhir. Karena ternyata bukan retorika yang berkembang, tetapi adalah: bacotika. Dengan segala konsekuensinya.
Konsekuensi dari merebaknya bacotika terutama adalah, jika melihat kutipan di atas, bagaimana ‘bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran’ menjadi gagal bermekaran di sana-sini. Bukan rasio yang bermekaran, tetapi kebrutalan-hasratlah yang tumbuh liar dimana-mana. Bahkan hasrat semakin nampak-tanpa-beban lagi dalam memperbudak rasio. Cita-rasa hidup bersama-pun meluncur masuk lubang tanpa dasar seakan peradaban semakin melenyap. Gangguan terhadap ‘masalah-masalah-mendasar’ dengan enteng-enteng saja ‘diselesaikan’ dengan bacotika dengan dibayangkan waktu-lah yang akan ‘menyelesaikan’-nya.
Retorika –demikian pula bacotika, adalah juga ‘eksternalisasi’ yang akan mengalami ‘obyektivisasi’-nya dan akan mengalami ‘internalisasi’ oleh khalayak. Maka resiko ‘garbage out, garbage in’ bisa-bisa akan terjadi ketika ‘ranah obyektivikasi’ itu lebih disesaki oleh ‘eksternalisasi’ bacotika. Yang di-‘internalisasi’ khalayak kemudian banyak garbage-nya. Dari sini saja kita bisa membayangkan bagaimana retorika –atau bacotika, itu memang bisa sungguh ‘mendidik’ khalayak kebanyakan. ‘Tontonan’ yang hadir sampai di depan khalayak memang ‘bermutu’ jika yang hadir itu retorika, tidak hanya sekelas ‘olok-olok’ saja. Atau sok-sok-an, gegayaan, nge-bacot, asal mangap, asal njeplak, juga penuh dengan méncla-ménclé. Sok kaget, sok geram, sok heran.
Dari beberapa hal di atas, kita sebenarnya bisa menghayati bahwa retorika itu adalah juga salah satu ‘penjaga utama’ dari ‘rumah manusia’: bahasa. Dengan bahasa pula kita tidak hanya membahas hal-hal kongkret, tetapi juga hal-hal abstrak. Maka salah satu penjaga utama ‘rumah bahasa’ adalah juga kaum seniman. Dengan bahasa kita juga lebih mampu ‘menembus batas’. Tetapi bagaimana jika ada yang meyakini bahwa ‘rumah manusia’ itu adalah hasrat? Apakah manusia bisa tetap bertahan jika tanpa hasrat? Apakah manusia kemudian bisa ‘menembus batas’ jika tanpa adanya hasrat? Faktanya memang tanpa hasrat manusia tidak akan bertahan, tidak jauh-jauh amat dari dunia binatang. Masalahnya, manusia menjadi manusia yang berbeda dengan binatang adalah karena, sekali lagi: bahasa. Dalam perjalanan evolusi, ketika kaki depan dilepas dari fungsi berjalannya, dan memungkinkan berkembangnya ‘motorik halus’ di jemarinya, ini ternyata akan memicu berkembangnya area otak yang bertanggung jawab terhadap ke-bahasa-an. Manusia menjadi berbeda dengan binatang bukan karena ia meninggalkan dunia ‘gumpalan hasrat’-nya, tetapi karena secara evolusioner ia ‘mengembangkan’ bahasa. Bahasa yang berkembang semakin kompleks, jauh meninggalkan bahasa yang berkembang dalam dunia binatang.
Retorika sebagai bagian dari berbahasa pada dasarnya adalah bagian utama dalam ‘memperadabkan’ hasrat, sehingga hasrat kemudian menjadi bagian dalam membangun respon terhadap bermacam tantangan. Dalam bahasa Bergson, apakah ini bisa disebut sebagai ‘elan vital’? Bertahun terakhir semakin menampakkan diri bahwa ‘rumah manusia’ itu telah direnovasi dari ‘bahasa’ ke ‘hasrat’. Yang menampakkan diri secara telanjang dalam bentuk bacotika itu. Karena di balik bacotika ternyata ada gejolak yang semakin terasa menjadi biasa: ‘politik hasrat’, politik yang berhenti pada ‘orgasme-bermacam-hasrat’ saja, terutama hasrat yang dengan cepat dipuaskan secara kongkret. Tidak ada keindahan sedikitpun. *** (02-10-2024)
[1] Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet. 7
1522. Pancasila, Saktinya Dimana?
04-10-2024
Sakti-nya Pancasila itu fakta atau mitos? Daripada berdebat soal ini, mungkin kita bisa mulai dari kata ‘sakti’ itu sendiri, mengapa disebut ‘sakti’? Sudah jadi penghayatan sehari-hari bahwa ‘yang sakti’ itu mestinya teruji berkali-kali. Dipukul pakai palu, kulit tidak terus benjol. Besoknya, ditebas pakai samurai, pakai sabit, tetap tidak berdarah-darah. Dua hari kemudian, ditembak pakai peluru-pun tetap tidak tersungkur. Kebal dan sungguh sakti! Tetapi bagaimana jika di depannya ditebar uang jutaan-miliaran-triliunan rupiah? Atau bermacam tambang dari batu-bara sampai emas? Uranium? Atau kayu-kayu berusia puluhan-ratusan tahun yang terus melambai-lambai di hutan belantara itu? Mungkinkah ini adalah ‘ujian-akhir’ dari sebuah kesaktian? Bahkan ada ayat yang menyebut orang kaya yang mau masuk surga itu bagai masuk melalui lubang jarum!
Tetapi bicara Pancasila itu ada di ranah negara, sama sekali bukan di ranah privat. Pancasila itu adalah soal bagaimana negara-merdeka nantinya diatur –berdasarkan apa? Jadi memang bukan untuk mengatur individu-individu. Bayangkan jika pembicaraan awal tentang Pancasila itu dimaksudkan untuk mengatur individu-individu, akankah akan ada kesepakatan? Salah kaprah ini akibat terlalu lama Pancasila diperlakukan sebagai alat pukul di jaman old, memukul individu-idividu atau kelompok individu yang ‘membangkang’. Tetapi bebas pula jika ada individu-individu mau menjadikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila untuk ikut mengatur dirinya. Bebas. Tetapi sekali lagi, bukan itu yang dimaksudkan awal adanya Pancasila. Sebagai warga negara, ia akan ‘menghayati dan mengamalkan’ Pancasila pertama-tama adalah dengan melaksanakan peraturan dan perundangan yang ditetapkan oleh negara, dengan bayangan bahwa peraturan dan perundangan itu pastilah sudah berdasarkan Pancasila. Sehari-hari sadar atau tidak ia bisa menggunakan tuntunan agama atau kepercayaannya, sopan-santun sekitarnya, adat-istiadat, atau bahkan tokoh-tokoh idolanya. Atau mimpi-mimpinya.
Tentu dalam melaksanakan Pancasila melalui ikut melaksanakan-taat peraturan dan perundangan bukan berarti terus ‘setia-membabi-buta’. Karena peraturan dan perundangan itu dibuat oleh manusia maka tetap sah-sah saja jika pada suatu saat dipertanyakan. Terutama, dan sebenarnya melalui ini dorongan mempertanyakan itu akan semakin kuat, berangkat dari soal rasa-merasa ketidak-adilan. Apapun keadilan didefinisikan, sering kita lebih mudah merasakan hadirnya ketidak-adilan. Itupun kadang tidak mudah karena hadirnya bermacam ‘sihir’. Melalui ‘cita’ ke(tidak)-adilan inilah peraturan dan perundangan kemudian dipertanyakan, bahkan melalui tafsir Pancasila pula peraturan dan perundangan itu dipersoalkan. Maka di tangan khalayak kebanyakan, Pancasila juga bisa berarti ‘ideologi kritis’.
Pancasila, bersama dengan ideologi-ideologi, atau juga agama, atau juga politik-negara, tempatnya ada di ‘bangunan atas’. ‘Bangunan atas’ yang menurut Karl Marx akan sangat ditentukan oleh dinamika ‘basis’, relasi-relasi kekuatan produksi. Pada ‘skema’ inilah bagaimana ‘kesaktian’ Pancasila akan diuji secara berulang-dan-berulang. Yaitu apakah Pancasila masih mampu memberikan daya dorong bagi perilaku dan keputusan politik untuk mempengaruhi dinamika ‘basis’? Untuk apa? Sehingga negara semakin mampu membawa hidup bersama ini mendekati apa yang disebut di sila ke-5: keadilan sosial. Apakah Pancasila mampu mendorong keputusan politik tentang ekspor pasir laut yang memang ada pasar-nya itu? Ada yang sedang membutuhkan, misalnya? Atau bermacam masalah yang sungguh dengan telanjang menampakkan ketidak-adilan dengan tanpa beban lagi.
Ataukah ‘kesejahteraan bersama’ sebagai salah satu bentuk keadilan sosial diserahkan pada ‘mekanisme pasar’ yang dengannya masing-masing individu akan mengejar kesejahteraannya masing-masing? Dan dengan itu pula serta merta keadilan sosial akan semakin dekat? Dari pelajaran paling tidak dua abad terakhir, itu semua adalah ngibul habis-habisan. China yang sedang menggeliat seperti sekarang ini adalah tidak jauh dari yang ditapak oleh negara-negara yang sekarang dikatakan maju itu, seperti digambarkan oleh Ha Joon Chang, bagaimana negara pada awalnya memberikan dasar pentingnya. Entah itu melalui tariff, subsidi, atau biaya besar dalam penelitian. Bagaimana republik dengan Pancasila sakti-nya? Bertahun terakhir terlalu banyak perilaku dan keputusan politik justru membuat keadilan sosial semakin menjauh. Apanya yang sakti jika politik berperilaku semau-maunya? Korupsi merebak sampai pada tingkat yang tak terbayangkan lagi? Politik penuh dengan asal mangap, asal njeplak, sok-sok-an, gegayaan, ngibul-tak-tahu-batas lagi, sibuk main raja-raja-an, lalu dimana sakti-nya Pancasila itu? Perilaku dan keputusan politik justru menjadi dasar bagi rusak-rusakannya republik.
Mungkin saja Pancasila ‘sakti’ di ‘ronde pertama’, di arena ‘bangunan atas’, tetapi bagaimana ketika ada di ronde-ronde berikutnya, di arena penuh dengan tebaran ‘uang jutaan-miliaran-triliunan rupiah? Atau bermacam tambang dari batu-bara sampai emas? Uranium? Atau kayu-kayu berusia puluhan-ratusan tahun yang terus melambai-lambai di hutan belantara itu?’ Atau katakanlah, bagaimana Pancasila mampu sebagai elan vital-nya praktek politik dalam ‘melawan’ kemampuan determinasi ‘basis’? *** (04-10-2024)
1523. Hukum Perjumpaan Kebudayaan-Kebudayaan (1)
05-10-2024
Tulisan ini berangkat dari artikel Arnold J. Toynbee tahun 1953, judul aslinya, The World and the West, dimuat dalam Teknologi dan Dampak Kebudayaannya Volume I, dengan judul Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan.[1] “Sebuah sinar [budaya] yang tidak berarti menimbulkan tahanan yang kurang pada kelompok masyarakat yang diserangnya daripada yang ditimbulkan oleh sebuah sinar penting, sebab sinar yang tidak berarti tadi tidak mengancam membawa gangguan yang hebat atau yang menyakitkan kepada cara adat hidup kelompok yang diserang itu,” demikian menurut Toynbee.[2] Sekitar 13 tahun kemudian, Peter Berger dan Thomas Luckmann menerbitkan The Social Construction of Reality (1966). Maka kitapun bisa membayangkan ketika bermacam ‘eksternalisasi’ itu kemudian mengalami ‘obyektivasi’-nya, salah satunya dalam bentuk budaya dalam konteks awal tulisan di atas, dan ketika ‘obyektivasi’ ini dibawa ke satu tempat, bagaimana soal ‘internalisasi’ dari ‘habitat’ barunya? Jadi memang pada ‘perjumpaan kebudayaan-kebudayaan’ itu akan melibatkan aktif dua belah pihak. Si-‘penerima’ akan aktif juga, meski sedikit-banyak ke-aktif-annya pertama-tama dalam bentuk resistensi atau sebenarnya ‘selektif’: akan lebih mudah menerima sinar yang lebih ‘tidak berarti’.
Taken for granted adalah modus dominan kita menjalani hidup sehari-hari. Masuk akal sebab hidup akan repot sekali jika banyak halnya harus ditimbang-timbang lebih dahulu. Tetapi pada banyak peristiwa pula mestinya tidak dijalani dengan taken for granted. Jika kualitas hidup akan terus dimajukan. Dari beberapa hal di atas bisa nampak dua hal, pertama, hidup memang cenderung mengambil langkah ‘status quo’. Kedua, dalam bermacam ‘internalisasi’ seperti di sebut di atas, ada kecenderungan untuk lebih ‘mengambil’ yang ‘tidak berarti’.
Menurut Noam Chomsky di awal-awal dekade 1970-an, dalam ranah yang lebih luas, status quo akan mengalami keretakannya jika satu sama lain semakin mengetahui apa yang menjadi sentiment masing-masing. Artinya, begitu pentingnya sebuah inter-subyektifitas itu. Ketika ada intensitas inter-subyektifitas itu maka sebenarnya pula potensi untuk memajukan horison akan semakin menguat, dan bukankah ke-status quo-an itu dasarnya adalah horison yang tidak (mau/mampu) dimajukan? Bahkan jika peradaban itu juga soal respond dan tantangan seperti dikatakan oleh Toynbee, dan respon dari si-minoritas kreatif akan ditiru, bukankah meniru itu hanya akan terjadi jika ada ‘perjumpaan’, dan lebih lagi ‘saling-jumpa’?
Tetapi jangan-jangan yang ‘ditiru’ itu lebih dipilih-pilih untuk ‘yang gampang-gampang’ saja. Jika kita membayangkan berhasilnya pendidikan dasar di Finlandia, menurut petingginya kuncinya adalah: guru, guru, guru. Mengapa guru? Karena guru akan memegang peran penting dalam inter-subyektifitas dalam proses pendidikan (dasar) itu. Inter-subyektifitas tidak hanya untuk mengetahui sentiment masing-masing, tetapi juga ketika sentiment itu adalah soal potensi dari siswa. Mungkin sekali jika kita memakai istilah ‘pendidikan merdeka’, itu bukan berarti ‘merdeka’ untuk melakukan apa saja, tetapi di tengah adanya kebebasan itu potensi masing-masing siswa mendapat ruang dan waktu luas untuk semakin menampakkan diri. Berdasarkan potensi masing-masing siswa itu maka kemudian didorong untuk masing-masing kemudian tidak memilih ‘yang gampang-gampang’ itu. Guru adalah pendorong utama dalam proses pendidikan.
Jika kata kuncinya adalah inter-subyektifitas, bagaimana jika sudah terlalu lama tenggelam dalam ‘budaya bisu’? Bagi anak-didik di republik ini harus menjadi perhatian lebih. Bagaimana anak menjadi berani bicara. Bicara di depan banyak orang, rekan sekelasnya. Dan lebih dari itu, yang lainpun dilatih untuk memberikan apresiasinya kepada yang sedang bicara. Maka salah satu ‘poros ajaran’ di pendidikan dasar (SD-SMP) adalah bicara, bicara, dan bicara. Dan ‘se-paket’, apresiasi-apresiasi-apresiasi. Bangunan ‘pendidikan merdeka’ itu akan cepat runtuh jika paket ‘bicara-apresiasi’ ini ditinggalkan. Atau melupakan pertanyaan Gayatri Spivak: “Can subaltern speak?” *** (05-10-2024)
[1] Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Y.B. Mangunwijaya (ed), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2, hlm. 78-90
[2] Ibid, hlm. 80
1524. Hukum Perjumpaan Kebudayaan-Kebudayaan (2)
06-10-2024
Ada penelitian terkait dengan bullying di sekolah: ‘mematikan’ semua HP selama persekolahan berlangsung. Tidak hanya di kelas kemudian tanpa HP, tetapi juga saat istirahat. Tanpa HP, tanpa sosial-media dan sejenisnya. Hasilnya? Tingkat bullying menurun drastic. Mungkinkah ini dikarenakan efek dari modus komunikasi tatap muka, face-to-face yang menurut Levinas akan ada hal etik di dalamnya? Dalam pertemuan tatap-muka seakan yang lain itu menuntut pertanggung-jawaban kita terhadapnya. Seakan yang lain itu sedang bicara, “jangan bunuh aku”. Lembaga persekolahan terlebih pendidikan dasar sebenarnya menyimpan harta karun yang sering tidak kita sadari, terutama di era seperti sekarang ini, yaitu ruang dan waktu untuk tatap-muka. Mengapa itu tidak dioptimalkan harta karun itu? Jangan sampai saat istirahat siswa justru selalu disibukkan oleh hal-hal yang saat itu tidak hadir di depan hidungnya. Siswa didorong supaya lebih per-hati-an pada manusia-manusia yang saat itu hadir kongkret di depannya, teman-teman, guru, penjaga kantin, petugas kebersihan, dll. Bayangkan jika selama usia wajib belajar, SD-SMP, ‘latihan’ menghadirkan hal etis dengan tanggung-jawabnya dalam pertemuan tatap-muka itu dilatih dan dilatih terus selama 9 tahun.
Maka tidak ada yang salah jika ada yang meyakini bahwa kunci keberhasilan pendidikan dasar adalah guru, guru, guru. Bahkan ketika paradigma ‘pendidikan merdeka’ itu yang akan dijalankan. Tak jauh-jauh dari republik, bagaimana Singapura bisa membangun pendidikan menjadi baik? Salah satunya karena jumlah jam per tahunnya yang dialokasikan untuk peningkatan kualitas guru. Mungkin saja soal kesejahteraan guru menjadi faktor juga. Atau di Finlandia yang sudah disinggung, guru-guru terbaik justru ada di pendidikan dasar. Dari teori tindakannya Bourdieu bisa lebih jelas, atau kita bisa lebih memahami mengapa guru sebagai ‘pemegang’ capital tertinggi di ranah pendidikan dasar memang sentral perannya. Bourdieu berpendapat bahwa sebuah tindakan akan dipengaruhi oleh ranah (field), capital, dan habit. Habit bagaimanapun cenderung ‘status quo’ dalam arti tidak mudah untuk dirubah, atau juga dibangun yang baru. Di satu sisi, perubahan dalam konteks perjumpaan kebudayaan-kebudayaan, justru ‘yang gampang-gampang’ akan lebih menggoda.
Bertahun terakhir kita bisa melihat bahwa memang ranah pendidikan bagaimanapun tidak ada di ruang kosong. Ia ada dalam jalinan dengan bermacam ranah lainnya. Dan nampaknya ranah politik-negaralah yang memberikan daya ungkit besarnya. Bertahun terakhir kita bisa melihat bagaimana kapital-tertinggi di bermacam ranah dimainken oleh politik. Yang dimaksud kapital dalam teori tindakan Bourdieu itu tidak hanya terbatas dalam nuansa ekonomi saja, tetapi juga sosial dan kultural. Jika dalam pemilihan sebagai salah satu penampakan penting dalam demokrasi, apa-siapa yang memegang kapital tertinggi? Yang pegang sumber daya uang? Atau petinggi ormas keagamaan? Atau tokoh berpengaruh? Dari pemilihan pasca 1998 semakin nampak bahwa itu adalah KPU. ‘Tindakan demokratis’ semua yang berkepentingan dalam pemilihan, terutama khalayak sebagai pemegang suara, akan semakin bisa mendekati ‘ideal’ jika dan hanya jika KPU mampu berperan sebagaimana mestinya. Maka jika ada anggota atau bahkan KPU itu sendiri sudah berubah menjadi ‘gerombolan’, itulah kejahatan paling luar-biasa terhadap demokrasi. Atau bisa kita katakan, apa-siapa yang akan berperan sentral dalam meningkatkan kualitas pemilihan, maka itu adalah KPU, KPU, dan KPU. Demikian juga ranah Perguruan Tinggi, mau merusak? Mulailah dirusak lembaga rektoratnya lebih dahulu. Dalam komunitas dengan power distance tinggi, itu akan mempunyai daya ungkit rusak-rusakan yang besar. *** (06-10-2024)