1215. Bezoek
17-08-2023
“Nyah … kok nganggo sragam PKK, ono pertemuan?” Totok takon nang Nyah Ndut.
“Ora Tok, arep bezoek …”
“Bezoek sopo Nyah?” Cuk Bowo penasaran.
“Lurahé …”
“Nopo kok mlebu rumah sakit Nyah?”
“Wis patang minggu iki bola-bali ngentut waé Lik ...”
“Terus dadi lemes ngono Nyah?” Kang Yos mèlu-mèlu penasaran.
“Jelas to Kang … Bayangké patang minggu saben dino lhooo, ngentat-ngentut terus bareng karo watuk Kang …”
Koh Bos nimpali: “Lha jan-jané mlebu rumah sakit kuwi mergo watuk opo ngentut Nyah?”
“Sak krungu-krunguku lho Koh, nèk mung wotak-watuk kan biasa waé, ning nèk saben watuk terus ngentut kan suwé-suwé dadi lemes …”
“Ngono yo Nyah …”
“Luwih-luwih seminggu iki ngentuté dibarengi ono sing mèlu metu …”
Mas Amir: “Wah … Nyah Ndut ki njijiki tenan …”
“Lho tenan kuwi Mas … Ora percoyo? Tiliki dhéwé Mas …”
“Nyah … kuwi mesti sak durungé ngentat-ngentut, wetengé gedhi …,” Cak Babo nimbrung.
“Mergo kakèan mangan barang ra mbejaji Cak?”
Cuk Bowo: “Lha kok terus Anti Acne … Paijo … Paijo …”
“Memang Cuk …”
“Ojo ngapusi lho Nyah, ngko endogé ilang siji …”
“Aku ora duwé endog Cuk … Totok kuwi gawéané ngibul saiki endogé wis ilang kabèh …”
“Ngono yo Nyah …”
“Hè’èh”
Nyah Ndut siap-siap mangkat, warung dititipké ponakane dhisik. Sakdurungé budhal Totok njaluk diputerke kaset Anti Acne, Paijo … Paijo. “Oké-oké Tok …” Nyah Ndut terus nyetèl laguné Anti Acne dhisik terus gèk budhal. Wis ditunggu ibu-ibu PKK nang pinggir dalan.
“Paijo … Paijo … gawéané suloyo. Paijo … Paijo … ra duwé totokromo ….”[1] *** (17-08-2023)
1216. Pilkada Kota Semarang
18-08-2023
Berdasarkan UU No. 32/2004, Kepala Daerah dipilih melalui pemilihan langsung. Pada Tahun 2005, pemilihan wali kota di Kota Semarang dimenangkan pasangan Sukawi Sutarip dan Mahfudz Ali. Karena Sukawi sudah menjabat dua periode maka pada Pilkada tahun 2010 ia tidak bisa mencalonkan lagi. Dan pilkada tahun itu dimenangkan oleh pasangan Soemarmo HS dan Hendrar Pribadi, untuk periode jabatan 2010-2015. Sayangnya karena terjerat kasus korupsi, Soemarmo harus lengser dari jabatan wali kota di tahun 2013, bulan Mei. Ke-wali-kota-an kemudian dilanjutkan oleh wakil-nya Hendrar Pribadi sampai masa jabatan berakhir di tahun 2015.
Pilkada tahun 2015 diikuti 3 pasangan, Soemarmo HS – Zuber Safawi, diusung oleh PKB dan PKS, Hendrar Pribadi – Hevearita GR, diusung PDIP-P, Nasdem, dan Demokrat, sedang pasangan Sigit Ibnugroho - Agus Sutiyoso diusung oleh Gerindra, PAN, Golkar. Pilkada tahun itu dimenangkan oleh pasangan Hendrar Pribadi – Hevearita GR, dengan meraup suara 46,36 % suara sah. Nomer dua pasangan Soemarmo – Zuber, dengan 31,96 % suara sah. Sedang pasangan Sigit – Agus memperoleh 21,68 % suara sah. Sedangkan suara tidak sah/golput sebanyak 418.352 dari jumlah pemilih 1.109.045, dan yang tidak sah/golput itu sebenarnya ‘pemenang’-nya, sebab 46,36 % kemenangan Hendrar itu adalah sebanyak 320.237 suara. Maka menjabatlah Hendrar – Hevearita sebagai walikota/wakil walikota Kota Semarang periode 2016-2021.
Bagaimana dengan Pilkada Kota Semarang tahun 2020, di bulan Desember? Pilkada kemarin itu hanya diikuti oleh 1 pasangan calon, petahana: Hendrar P dan Hevearita RG, dengan kemenangan telak sekitar 91 % dibanding dengan ‘kotak kosong’. Sedang yang Golput sekitar 32 % dari jumlah pemilih. Maka menjabatlah petahana 5 tahun lagi, 2021-2026, sesuai dengan hasil pemilihan langsung. Tetapi tanggal 10-10-2022, Hendrar Pribadi dilantik presiden menjadi Kepala LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) yang dibentuk tahun 2007 itu, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian. Maka kurang lebih dua minggu kemudian DPRD Kota Semarang menggelar rapat paripurna dengan salah satu agendanya soal pemberhentian wali kota dan pengangkatan wakil wali kota menjadi plt. wali kota. Pada 30-01-2023, plt. wali kota Hevearita RG dilantik jadi wali kota Kota Semarang.
Apakah kita bisa membayangkan situasi terakhir di atas terjadi di puncak rantai kekuasaan? Misal tiba-tiba saja Sekjen PBB minta presiden terpilih menjadi wakilnya, atau staf khususnya? Berandai-andai memang, tetapi apakah jutaan pemilihnya akan tidak marah? Atau tiba-tiba saja ia terpaksa harus jadi sekjen PJJ, Persatuan Jiwa Jiwa di alam sono. Atau sekjen PNN, Persatuan Napi Napi di balik jeruji. Siapa tahu, politik katanya adalah seni dari kemungkinan. Dan untuk itulah salah satunya, mengapa ada wakil. *** (18-08-2023)
1217. "Ayatollah" Dandhy Laksono, dkk
20-08-2023
….. The revolution will not be televised
The revolution will not be brought to you
By Xerox in four parts without commercial interruptions ….
Penyebutan “Ayatollah” dalam judul semata hanya menunjukkan apa yang dilakukan oleh Ayatollah Khomeini dalam sebagian gerakan revolusinya.[1] The revolution will not be televised,[2] seperti penggalan puisi karya Gil Scott-Heron di atas, pertama dilempar ke publik tahun 1971, delapan tahun sebelum Revolusi Iran meletus. Apa yang dilakukan oleh Dandhy Laksono dkk bertahun-tahun terakhir ini[3] memang sungguh menarik.
Jika ada yang membedakan antara ‘politik riil’ dan ‘politik idealistik’, maka dalam praktek ada ‘kemungkinan ketiga’, yaitu dinamika (katakanlah juga: politik) di ‘ruang antara’ keduanya. Ruang antara –in-between, yang ada diantara ‘yang senyatanya ada’ dan ‘yang seharusnya ada’. Dan Dandhy dkk dengan karya-karyanya, bisa kita lihat sebagai salah satu yang berhasil berselancar di ‘ruang antara’ tersebut, dengan memaksimalkan tidak hanya modus komunikasi mass-to-mass, tetapi juga face-to-face atau man-to-man, tatap muka. Pada dasarnya apa yang kita kenal sebagai ‘partai pelopor’ itu memang pertama-tama ada di ‘ruang antara’ itu, dengan satu kakinya ada di ‘dunia’ yang senyatanya ada. Juga sebenarnya peran penting jurnalisme. The truth will not be televised, mungkin salah satu yang mesti kita yakini di ‘era’ post-truth ini.
Apakah pentingnya ‘ruang antara’ ini adalah juga menggambarkan pentingnya ‘middleman (minority) theory’? Bukankah tidak hanya soal ‘rantai-produksi-konsumsi’ yang katakanlah, perlu middleman itu? Bahkan untuk perkembangnya peradaban melalui rute tantangan dan respon seperti diyakini oleh Toynbee itupun perlu ‘middleman’, si-minoritas kreatif. Bahkan pula dalam keyakinan agama-pun ada malaikat. Atau dalam teori segitiga hasrat-nya Girard, seseorang untuk menghasrati sesuatu-pun perlu ‘middleman’, si-model. Atau, bisakah kita katakan bahwa ‘rumah’ manusia itu sebenarnya ada di ‘ruang antara’? Dalam bahasa? Kata Heidegger, bahasa adalah rumah bagi being, katakanlah, manusia. Kata Montesquieu, perdagangan akan mendorong peradaban, maka memang ruang antara ‘produksi’ dan ‘konsumsi’ itu memberikan-menyediakan ruang tidak hanya soal ‘transaksi’. Atau kita juga bisa melihat peran penting profesionalisme dalam dinamika ‘ruang antara’ ini. Ia ‘mengantarkan’ penggapaian ‘yang seharusnya ada’ pada level yang sungguh mempunyai potensi untuk selalu ditingkatkan.
Bagaimana ‘dunia’ yang senyatanya ada dan yang seharusnya ada itu dalam kesadaran temaram, twilight state yang adanya ditengarai oleh Hermann Broch itu? Nampaknya sebagian besarnya akan lebih memegang pada apa ‘yang senyatanya ada’ sebagai ‘pegangan’, karena nampaknya itu lebih memberikan ‘rasa aman’. Tetapi apa itu ‘yang senyatanya ada’ terlebih di era ‘hiper-realitas’, di era hoaks-hoèks, di era post-truth, di era merebaknya fake famous dan fake-fake lainnya?
Maka karya-karya Dandhy Laksono dkk adalah berkah bagi republik karena dengan aktifitas lanjutannya, Dandhy dkk sungguh ikut merawat bagaimana dinamika ‘ruang antara’ itu mesti dikembangkan. Ketika profesionalisme di sana-sini dicontohkan oleh pemegang ‘kapital tertinggi’ sebagai yang compang-camping, partai politik yang bahkan untuk melangkahkan satu kakinya di ‘ruang antara’-pun tidak berani, juga ketika karya jurnalisme banyak yang mengalami tekanan tidak kecil. Ketika perdagangan banyak diracuni oleh bermacam mafia, bermacam pat-gu-li-pat, bermacam kong-ka-li-kong. Jika apa-apa yang dilakukan oleh Dandhy dkk, dan juga sangat mungkin masih ada yang lainnya, digabungkan dengan olah-karya para seniman yang berani ‘menembus batas’, maka ruang antara itu sungguh akan berkembang sebagai ‘ketegangan’ yang memajukan. Sebagai sahabat bagi manusia komplit dengan ‘dosa asal’-nya: kesadaran temaram-nya itu, untuk memajukan hidup bersama. *** (20-08-2023)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/006-Ayatollah-Khomeini/
1218. Oempan Lamboeng
21-08-2023
Umpan lambung adalah bagian penting dalam ‘permainan hasrat’. Sama-sama soal ‘jebakan’ seperti dalam ‘jebatan utang’, tetapi itu terjadi dalam dinamika gejolak hasrat. ‘Kejahatan hasrat’ itu dijebak dalam permainan ‘kejahatan logika’, demikian jika meminjam istilah Albert Camus. Tiga umpan lambung mengandaikan ada tiga lapangan ‘jebakan hasrat’, hasrat yang ngendon di kepala, pengetahuan. Hasrat di dada, soal kebanggaan-kekerasann, dan hasrat dari perut ke bawah, hasrat akan seks-makan-kenikmatan, dan terutama hasrat akan uang.
Istilah umpan lambung memang sering dipakai oleh kawan-kawan di sosial-media, oleh netizen, terkait dengan ganasnya UU ITE. Katakanlah ada foto editan diunggah sebagai oempan lamboeng, kemudian disamber saja tanpa dikunyah, dan ikut-ikutan menyebarkan: cerita selanjutnya kena pasal UU ITE itu. Kucluk. Tetapi kucluk atau tidak kucluk, karena ini ranah ‘kejahatan logika’ maka yang jahat-jahat itupun bisa-bisa seakan biasa-biasa saja, ketika diulang dan diulang terus. Memang begitu tuh how the world works, katanya. Tidak salah-salah amat pendapat seperti itu sebab memang ada yang berpendapat bahwa tipu-muslihat itu adalah salah satu senjata paling kuno. Bahkan tidak hanya manusia, di dunia binatang-pun sampai sekarang terus saja ada. Demikian juga bermacam umpan lambung dalam ‘ranah’ gejolak hasrat yang ada di dada, dan terlebih yang di perut ke bawah, dari soal seks-kenikmatan, dan terutama soal uang. ‘Kejahatan logika’-nya kurang lebih tidak jauh-jauh amat dari yang pernah ditulis Machiavelli.[1] Atau kalau kita ambil bagian akhirnya: “Cesare menunggu kesempatan baik ini …,” kesempatan itulah yang kemudian dimainken –ditunda-tunda, atau segera dimainken, dan sering kita dengan sebagai: sandera kasus.
Maka apa yang kita kenal sebagai res-publika ini perlahan bergeser sebagai res-diabolika. Menjadi negara kesatuan r (para) iblis. Dan mestinya ketika ada perayaannya, pakaian adat yang dipakai sebaiknya yang berasal dari kerajaan iblis. Raja iblis. Biar matching, kata anak muda jaman now. Soal etika? Lha kerajaannya kerajaan iblis kok masih bicara etika! Tidak matching-lah. *** (21-08-2023)
[1] Lihat misalnya, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-10, no. 1124
1219. Demokrasi Prosedural, Substansial, dan Mitikal
22-08-2023
Kadang demokrasi prosedural dilawankan dengan demokrasi substansial, padahal dalam demokrasi selalu saja ada hal substansial, dan hal prosedural. Bahkan hal ‘mitikal’. Tulisan ini berdasarkan pikiran van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, terbit pertamakali tahun 1976. Maka memang dalam demokrasi akan ditemui soal bagaimana di-operasionalkan, bagaimana hal esensi selalu menggelitik, dan bagaimana hal mitis-si-demos akan dimainken. Sepertihalnya sebuah rejim bisa mengalami pembusukannya, demokrasi dalam ‘tahap-tahap’-annya juga bisa mengalami ‘distorsi’-nya masing-masing, punya ‘bablasan’-nya masing-masing.
Operasionalisme dalam prosedur demokrasi paling menampakkan diri adalah ketika demokrasi digelar sebagai ‘pesta demokrasi’ di jaman old. Maka tidak mengherankan ketika jaman old ‘berakhir’, banyak tulisan mengenai demokrasi substantive sebagai kritik atas melenyapnya esensi demokrasi dibalik operasionalisme prosedur demokrasi dan ketika demokrasi dipotret sekedar sebagai sebuah ‘pesta’ saja. ‘Pesta’ yang kemudian terhayati sebagai ‘mitos’ yang ‘melumpuhkan’ atau paling tidak ‘menjinakkan’. Yang tidak ‘lumpuh’ atau ‘tidak menjadi jinak’, ya diuber-uber sampai bisa menjadi ‘jinak’ atau paling tidak tiarap atau terus gerilya diam-diam, atau pergi merantau ke luar dengan tetap meneruskan perjuangan. Atau ber-aksi di bermacam lembaga masyarakat, LSM atau NGO. Memang tidak mudah melawan ‘mitos’, terlebih ketika segala modus komunikasi man-to-mass –dimana modus mass-to-mass via digital-internet belum berkembang, seperti surat kabar, televisi, radio, ada dalam kendali rejim. Terlebih lagi jika ‘pengawal-mitos’-nya selalu pegang senjata. Menakutkan.
Tetapi apa esensi ketika kita bicara soal kuasa? Nampaknya adalah soal hegemonia, dan ketika hegemonia ada di tangan maka ‘tiba-tiba’ saja berubah menjadi arche, yang terutama adalah soal ‘kontrol’.[1] Siapa yang terutama mesti di-‘kontrol’? Dari jaman doeloe saat diyakini soal ‘roti dan sirkus’ berperan penting dalam olah-kuasa seperti disinggung Cicero, sampai sekarang, bahkan ketika Negri dan Hardt menyebut Empire, pada ujungnya itu adalah masalah ‘yang-banyak’. Bahkan pula ketika demokrasi modern-pun sudah merebak kemana-mana. Maka bicara soal demokrasi semestinya kemudian juga bicara soal bablasan ‘tahap-tahap’ demokrasi.
Yang dimaksud dengan ‘demokrasi mitikal’ adalah ketika demos tidak hanya sebagai ‘yang berdaulat’ tetapi juga bagian dari ‘permainan’. Ketika si-demos yang berkumpul dan membentuk kerumunan itu, tiba-tiba saja tidak hanya soal ‘potensi-dunamis’ tetapi juga soal tiba-tiba saja bisa menjadi ‘kratos’, yang dengan segala olah-getarnya bisa menggoyang kekuasaan, misalnya. ‘Sihir’ dari sebuah kerumunan tidak usahlah diperdebatkan ada tidaknya, lihat misalnya ketika kita bicara soal bandwagon effect itu. Mengapa soal ‘kerumunan’ ini mestilah dibahas? Karena meski ada lekat dengan ‘permainan’, ‘yang banyak’ itu sebenarnya dalam keseharian akan disibukkan dengan urusannya masing-masing. ‘Permainan-bertahan-mengembangkan-menikmati-hidup’-lah yang akan mengisi sebagian besar waktunya. Bukan di ‘permainan-olah-kuasa’. Maka ketika ‘olah-kerumunan’ dalam konteks ‘olah-kuasa’ menjadi tak tahu batas –terutama ketika dilakukan oleh si-pemegang ‘kapital’ tertinggi, sebenarnya sisi ‘magis’ –bablasan hal ‘mitis’, kerumunanlah yang sedang di-eksploitasi. Atau bisa dikatakan, ‘yang banyak’ itu sedang ‘dicurangi’. Ketika ia sedang ‘sibuk-sibuk’-nya bermain di ‘permainan-bertahan-mengembangkan-menikmati-hidup’ tiba-tiba saja ia ‘dipaksa’ untuk ikut bermain dalam ‘olah kuasa’ melalui ‘sihir’ bermacam kerumunan, yang sebenarnya ia –‘yang banyak’, sudah ‘menyediakan’ per-hati-annya saat waktu kampanye, atau beberapa saat sebelum kampanye ketika ada persiapan-persiapan perebutan hegemonia. Salah satu ujung dari ‘dicuranginya’ per-hati-an seperti disebut di atas adalah fanatisme. Di tengah kesibukan dalam ‘permainan-bertahan-mengembangkan-menikmati-hidup’, maka dengan mudah saja mengambil jalan short-cut dalam ‘menghayati’ olah kerumunan, terlebih jika olah kerumunan berasal dari si-pemegang ‘kapital’ tertinggi, jalan pintasnya: fanatisme.
Ketika fanatisme berkembang maka tidak mudah lagi untuk meraba apa yang menjadi substansi dari sebuah demokrasi. Bahkan di negeri ‘kampiun’-nya demokrasi sekalipun, di AS sono terkait dengan sumringahnya Trump saat ada di tengah-tengah kerumunan. Bahkan ketika ia menghadapi bermacam tuntutan pidana-pun ia menjadi merasa ‘paling benar sendiri’ ketika ada di tengah-tengah kerumunan yang mengelu-elukannya. Dalam hikayat sik-Trump ini semakin nampak bagaimana ‘dialektika tuan-budak’ berlangsung. Dan potensi untuk jatuh dalam ‘spiral ke-tidak-berpikiran’-pun semakin membesar pula. Karena dalam kerumunan, memang ketidak-berpikiran menjadi mudah menular saja. Banality of evil semakin membayang, dan sayangnya se-banal-banal-nya evil, yang namanya evil akan menemui batas-batasnya juga, entah dari mana asalnya. Siapa sangka seorang Hitler yang begitu powerful itupun akhirnya tersungkur mengenaskan. *** (22-08-2023)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/