1495. Kirikisme dan Batasnya
26-08-2024
Setiap isme akan menemui batasnya, dan sebenarnya dalam sejarah manusia sebagian besar batasnya adalah soal rasa-merasa terkait ke(tidak)adilan. Bagaimana Pancasila akan terhayati, pada akhirnya adalah soal keadilan sosial, misalnya. Demikian juga kirik-isme, driving force rejim bertahun terakhir ini, sebuah keyakinan bahwa pada akhirnya semua adalah kirik, anjing, yang jika diberi tulang akan diam dan manut. Inipun akan menemui batasnya juga, rasa ke(tidak)adilan. Mau dibantah seperti apapun, kirik-isme ini bisa dilihat secara telanjang dari penampakan berulangnya. Tak mengherankan pula jika dari kirik-kirik penikmat lemparan tulang itu kemudian berujar kepada yang terus mengajukan kritik, loe belum mendapat bagian saja … Sebagian memang benar, tetapi tidak bagi lainnya. Tidak semua –bahkan sebagian besarnya, mau diperlakukan sebagai kirik.
Di balik kirik-isme ini ada yang sungguh dikorbankan secara frontal sehingga sebenarnya kirik-isme itu menjadi bukan isme lagi, yaitu: kehormatan dan akal sehat. Kirik-isme dalam praktek tidak jauh dari apa yang disebut Hannah Arendt sebagai banality of evil. Keserakahan kirik sebagai binatang itu kemudian diangkat sebagai kenormalan baru. Manusia kemudian diperlakukan dalam wujud kebinatangannya. Maka melempar bingkisan pada rakyat-pun dilakukan sambil pecingas-pecingis. Tanpa beban. Bahkan seakan mengalami orgasmus. Seperti pada umumnya ketika seseorang menekuni sesuatu, maka ‘pekerjaan-melempar-tulang’ itupun akan membentuknya, seakan ia bisa semau-maunya. Toh nanti jika ada yang ‘menggonggong’ maka tulang tinggal dilempar doang. Se-gampang itu, demikian salah satu keyakinan utama dalam ranah kirik-isme.
Di mata Machiavelli, kirik-kirik pengharap lemparan tulang itu sangat mungkin yang disebut sebagai penjilat. Sudah merasa sebagai satu-satunya ‘pemilik tulang’, masih saja dikelilingi oleh penjilat, maka terbanglah ia sampai ke ujung awan. Apalagi soal kehormatan dan akal sehat pagi-pagi sudah disingkirkan. Maka hikayat sebenarnya adalah tentang tidak tahu batas. Padahal setiap isme-isme, atau yang dalam praktek dianggap sebagai isme, selalu ada batasnya, seperti disinggung di awal: ke(tidak)adilan. Ke-tidak-adilan yang akan terhayati pertama-tama dari relasi-relasi dalam pencarian penghidupan, kata Marx: ada di ‘basis’. Yang kadang memang dapat dirasakan, tetapi sering sulit ‘dikatakan’ karena harus berhadapan dengan bermacam ‘sihir’. Tetapi sejarah juga memberikan banyak pelajaran tentang ‘proses-proses molekuler’ yang pada titik tertentu dengan hadirnya, katakanlah: katalis, terjadi ‘percepatan’-nya.
Jika rasa-merasa terkait dengan ke-tidak-adil-an ini mengalami percepatannya maka sangat mungkin akan berhadapan dengan ‘spiral kekerasan’ seperti pernah diungkap oleh Dom Helder Camara. Kemuakan akan ke-tidak-adil-an itu akan dihadapi dengan kekerasan, dan justru akan semakin memperdalam ke-tidak-adil-an, maka perlawanan semakin keras pula. *** (26-08-2024)
1496. Brutal di Segala Indera
27-08-2024
Tidak hanya mata kemudian melihat secara langsung bermacam kebrutalan, bahkan ia bisa sebagai pintu masuk kebrutalan itu sendiri pada saat diterjang gas air mata. Atau diterjang serpihan bom. Atau juga mata menjadi buta secara brutal terhadap kemiskinan, terhadap laku korupsi di kanan-kirinya. Demikian juga kulit mengalami luka-memar berdarah, dan segera mengirim ‘pesan’ sakit luar biasa ke otak. Telinga-pun bisa secara brutal mendadak tuli mendengar erangan kesakitan di depannya, ketika ada yang dipukul secara brutal. Atau tuli-secara-brutal terhadap bermacam kritik terlempar. Atau tetap saja lidah merasakan enaknya makan tanpa terganggu sedikitpun dengan segala kebrutalan akibat kelaparan di sekitarnya. Atau cuek-cuek saja terhadap bau anyir dari darah menggenang akibat kebrutalan aparat. Maka indera-indera pada tubuh bukanlah sekedar perlengkapan kosmetik-kenikmatan belaka, tetapi ia bisa menjadi salah satu rute penting dalam memahami dunia sekitar. Bagaimana tubuh dengan segala indera-nya itu membangun persepsi kita terhadap sekitar.
Ignasius Jonan saat menjadi kepala PJKA, bisa dikatakan berhasil ‘mendidik’ indera-indera kita dalam ranah perkereta-apian. Lihat bagaimana rutin-tanpa-henti petugas kebersihan keliling menjaga kebersihan gerbong. Atau pada awal-awalnya, menegur secara tegas-tanpa-kompromi jika ada yang masih nekad merokok dalam gerbong. Sampai pada titik tertentu sudah tidak ada lagi yang masih nekad merokok dalam gerbong. Gerak-gerik petugas kebersihan itu bisa dilihat secara langsung. Termasuk suara-tegasnya ketika melarang merokok, telinga jelas akan mendengarnya. Sekaligus juga hasil kerjanya: gerbong menjadi bersih, tanpa bau asap rokok. Tempat duduk yang bersih seakan mempersilahkan kulit untuk jangan sungkan bersentuhan dengannya. Bau tidak sedap karena makanan basi-pun yang dulu kadang ada tersebar di sudut-sudut kemudian menghilang. Makanan di restorasi dipersiapkan dengan baik sehingga lidah bisa merasakan enaknya. Segala impuls yang diterima bermacam indera itu kemudian dikirim ke otak dan perlahan ikut pula membangun persepsi kita terhadap perkereta-apian seperti yang dimaui oleh Jonan.
Tetapi persepsi bisa terbangun tidak hanya melalui bermacam impuls yang diterima oleh panca-indera, bisa juga melalui bermacam propaganda dalam berbagai bentuknya. Meski pada akhirnya juga melibatkan ke-lima indera, propaganda lebih ‘bermain’ melalui ‘indera ke-enam’, katakanlah semacam ‘intuisi’. Dari pengalaman se-abad lalu, melalui keberhasilan Komite Creel saat pemerintahan Woodrow Wilson mencari dukungan rakyat Amerika supaya bisa ikut terlibat dalam Perang Dunia I, propaganda terus saja berkembang dari waktu ke waktu. Sayangnya, keasyikan, bahkan ketertenggelaman dalam aktifitas propaganda ini bisa-bisa akan mahal biaya sosialnya, yaitu tidak terlatihnya bermacam indera dalam pengalaman langsung-nya. Salah satu akibat yang sungguh merusak hidup bersama adalah bermacam kebrutalan yang tanpa beban lagi menerjang langsung pada bermacam indera seperti yang digambarkan di awal tulisan. Kebrutalan dalam dunia konsumsi akibat masifnya propaganda-iklan akan berujung salah satunya sikap obsesif. Pada operasi plastik, misalnya. Atau lainnya. Tetapi jika itu di ranah-kuasa-negara? Negara yang masih diyakini sebagai satu-satunya lembaga yang sah dalam penggunaan kekerasan?
Atau bagaimana jika ideologi dalam penghayatannya sampai pada situasi seperti digambarkan oleh si-Bung, sebagai ideologi kenang-kenangan? Katakanlah, ideologi yang asyik-masuk hanya dalam dataran propaganda saja? Maka jangan kaget pula dalam ranah ini akan muncul bentuk-bentuk kebrutalan juga. Semau-maunya, sok-sok-an. Sok-ideologis. Seakan ‘indera ke-tujuh’ itu, terkait dengan sistem imun, kemudian terhayati sebagai impunitas. *** (17-08-2024)
1497. Hikayat M2 Menipu M1
28-08-2024
Politik pastilah ada tipu-tipunya. Bagai masakan, tipu-tipu adalah garamnya, atau lada, atau bawang-nya. Terserah mau disebut. Tetapi ketika garam-nya diberikan terus-menerus-tak-tahu-batas , pada titik tertentu maka justru akan rusaklah rasa masakan itu. Tidak karu-karuan, rusak-rusakan. Inilah yang terjadi hampir 10 tahun terakhir, tipu-tipu sudah tak tahu batas lagi, maka politik kemudian justru dirasakan sebagai ‘gangguan’ hidup bersama. M dalam judul bisa saja diartikan sebagai Mulyono, tetapi dalam kesempatan ini, M2 adalah si-Marhaenis, dan M1 adalah Kang Marhaen. Si-Marhaenis jelas bisa saja bukan dari ‘kelas’ Kang Marhaen, tetapi ia sangat peduli dan mau memperjuangkan nasib Kang Marhaen. Begitu kira-kira maunya si-Bung. Kira-kira tak jauh-jauh amat dari 'posisi' Marx dan Engels.
Tetapi mengapa M2 sampai tega-teganya menipu M1? Bahkan perlahan menjadi semacam ‘hikayat’? Menjadi sebuah ‘cerita-bersambung’? Ketika Marhaen ditambah isme di belakangnya, menurut M2, jadilah ideologi! Dengan dilengkapi kitab tebal-nya. Yang seperti Margaret Thatcher membanting buku karangan Hayek di atas meja di depan rapat Partai Konservatif, dan berseru, inilah yang kita percaya! Kita boleh benci terhadap apa yang diusung Thatcher, tetapi lihat apa yang sungguh dikerjakan Thatcher terkait dengan inilah yang kita percaya itu. Begitu berkuasa, ia sungguh menampakkan diri sebagai ‘anak ideologis’-nya Hayek dkk, dalam bermacam kebijakan-nya. Tetapi ternyata tidak bagi M2, sangat jauh jika dibandingkan dengan Thatcher, si-Iron Lady itu.
Thatcher besar dalam ke-partaian dengan perasaan sebel terhadap paradigma ‘negara kesejahteraan’ pasca Perang Dunia II. Bikin malas saja, demikian mungkin gerundelan-nya ketika melihat ‘generasi bunga’ ber-asyik-asyik sendiri. Tentu sekali lagi kita bisa tidak sepakat dengan gerundelan-nya, tetapi yang mau dikatakan di sini, Thatcher konsekuen dengan apa-apa yang diyakininya. Tidak meng-gerundel tentang korupsi pada satu masa, tetapi membiarkan ketika ternyata di kanan-kiri-dekat-nya melakukan korupsi. Thatcher tidak hanya menggerundel tentang ‘kemalasan’ tetapi memang itu bagian dari gambar besar ideologi konservatif-nya. Nilai-nilai konservatif yang akan sangat berguna dalam menghadapi dunia penuh mara-bahaya, kira-kira demikian garis besarnya. Hanya yang paling fit-lah yang akan bertahan. Maka: jangan malas! Sekali lagi ini bisa diperdebatkan sampai berjilid-jilid, tetapi yang mau dikatakan di sini adalah bagaimana Thatcher sungguh konsekuen dengan apa yang diusungnya.
Maka idelogi yang diusung Thatcher itu bukanlah ideologi kenang-kenangan saja. Mengapa? Karena bisa di-cek dari kebijakan-kebijakan-nya. Bahkan juga perilaku-perilaku-nya. Thatcher tahu persis dengan apa yang disebut oleh si-Bung sebagai romantika, dinamika, dan dialektika itu. Lihat bagaimana dalam melawan nuansa ‘generasi bunga’ salah satu menterinya dengan tegas mengatakan pada rakyat Inggris saat itu, ambil sepeda-mu, keliling cari itu pekerjaan atau penghidupan. Sangat konsekuen dengan ‘story-telling’ yang diyakininya. Mengapa meski menghadapi perlawanan keras, akhirnya Thatcher bisa dikatakan berhasil dalam transformasi tersebut? Dari film Iron Lady, dan juga beberapa buku biografinya, sedikit banyak kita bisa membayangkan apa yang disebut Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiment (edisi terakhir) sebagai famous sect atau sekte agung itu. Pemimpin dengan keutamaan lebih dibanding dengan kebanyakan yang sibuk ‘mengayuh sepeda mencari penghidupan’ itu. Lebih, terutama dalam hal: tahu batas. *** (28-08-2024)
1498. Tanpa Oposisi - Tanpa Korupsi!
29-08-2024
Jangan bicara soal perlu atau tidak perlunya oposisi dikaitkan dengan budaya. Hari-hari ini kebutuhan akan adanya oposisi adalah soal korupsi yang terjadi sungguh sudah ugal-ugalan. Rusak-rusakan. Satu-satunya ‘jasa’ rejim ’orang baik’ itu adalah memberitahu pada khalayak bahwa korupsi yang gila-gilaan itu memang sudah terjadi. Maka satu-satunya ‘pembenaran’ tentang pendapat bahwa oposisi itu tidak perlu adalah memang korupsi sudah tidak ada lagi. Tanpa oposisi, tanpa korupsi, bisa? Tanpa oposisi tapi koruptor kemudian dihukum mati, bisa? Tanpa pandang bulu. Jika tidak yakin bisa memberantas korupsi sampai ke-akar-akarnya, maka: jangan bicara soal tanpa oposisi lagi. *** (29-08-2024)
1499. Dari Bohong ke Khianat
29-08-2024
Jangan kaget ketika bahkan republik-pun dikhianati ....
Klik:
https://www.pergerakankebangsaan.com/078-Dari-Bohong-ke-Khianat/