1485. Penyederhanaan Partai
15-08-2024
Apakah ber-partai adalah hak setiap warga negara? Lalu mengapa di jaman old sekitar 50 tahun lalu negara merasa perlu untuk melakukan ‘penyederhanaan partai’? Yang satu paket dengan upaya ‘depolitisasi’ itu? Jika kemerdekaan adalah hak dari setiap bangsa, mengapa kemudian ada ‘depolitisasi’ yang salah satu penampakannya adalah ‘penyederhanaan partai’? Apakah demi ‘stabilitas’ dalam rangka ‘pembangunanisme’? Atau dari ‘pesan’ si-‘pakta dominasi primer’ dalam konteks Perang Dingin? Banyak kemungkinan, tetapi yang sering lolos dari perhatian adalah soal bagaimana kemudian aksi ‘pemburuan rente’ –rent seeking activities, itu kemudian merebak. Ada beberapa studi tentang hal ini (mulai merebak-nya rent seeking activities) yang dikaitkan dengan soal Hak Pengusahaan Hutan. Hak Pengusahaan Hutan yang mulai diotak-atik secara ‘serius’ (-untuk keuntungan siapa?) di sekitar tahun 1970-an. Artinya adalah, Marx benar bahwa peran ‘basis’ dalam menentukan ‘bangunan atas’ itu memang besar. Atau bisa dibayangkan bagaimana penjajah demi maksimalnya pengerukan kekayaan tanah jajahan kemudian terus saja ‘mendisiplinkan’ peran politik para aktivis kemerdekaan. Dan contoh di atas, itu baru soal hutan –pada awalnya.
Sebelum kekuasaan berakhir, Trump memutuskan untuk menarik mundur pasukan AS di Afganistan. Dan itu di-eksekusi oleh Biden karena Trump kalah dalam pemilihan. Dari berita kita bisa melihat betapa chaotic-nya proses penarikan pasukan itu. Bukan pada penarikan pasukannya, tetapi penampakan dari banyak orang yang mau keluar dari Afganistan. Ketika Taliban mengambil-alih pemerintahan, pada awal-awalnya masih banyak yang protes khawatir akan banyak pembatasan-pembatasan. Tetapi yang menjadi fokus tulisan ini adalah, lihat dari penampakan pemberitaan, bagaimana ‘terawat’-nya –kopèn-nya (Jw.) para demonstran itu. Sangat berbeda dengan ‘penampilan’ dari rakyat kebanyakan dalam arti kaya-miskin-nya. Mungkinkah untuk melawan ‘ideologi’ –apapun itu, kekuatan uang adalah salah satu pilihan favorit? Dalam konteks Perang Dingin misalnya, Bank Dunia seakan tutup mata ketika paling tidak 30% bantuan (baca: hutang) di-korupsi di jaman old.
Maka kata kuncinya adalah korupsi, dalam bermacam bentuknya. Ketika kekayaan ditumpuk dalam dinamika ‘basis’ yang seakan tidak bisa dilepas dari laku korup, bagaimana dengan politik di ‘bangunan atas’? Meski tentu itu tak lepas dari dinamika ‘pakta dominasi global’ juga. Hari-hari ini dan bertahun terakhir sebenarnya, tidak hanya soal masih bercokol kuatnya nuansa ‘pakta dominasi sekunder’ –kasarnya; kacungisme, politik adalah penampakan telanjang dari korupsi yang dari segi luas dan jumlahnya sudah tak terbayangkan lagi. Ugal-ugalan, rusak-rusakan. Sungguh ini rejim paling korup dalam sejarah republik. Merdeka …., cuk. *** (15-08-2024)
1486. Garong Bawah-Atas
17-08-2024
Ketika ‘akumulasi’ terjadi by dispossession maka tak mengherankan jika politik-pun akan cenderung by dispossession pula. David Harvey sekitar 20 tahun lalu memperkenalkan istilah accumulation by dispossession, akumulasi dalam ‘kapitalisme lanjut’ (baca: neoliberalisme) melalui fitur-fitur privatisasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, dan terkait dengan state redistributions. Hanya politisi ‘otentik’ yang akan mampu ‘menjaga jarak’ terhadap efek-determinasi dari ‘basis’, apapun gejolak-‘basis’-nya. Jaman now seperti digambarkan oleh David Harvey, akumulasi ‘kekayaan’ sangat lekat dengan dinamika accumulation by dispossession seperti di sebut di atas.
Atau jika dinamika politik sebagai pintu masuk penghayatan, ketika muncul peristiwa dengan enteng-enteng saja garong atau maling KTP demi mulusnya pencalonan jalur independen dalam pilkada, maka kita bisa membayangkan pula bagaimana dinamika ‘akumulasi kekayaan’ di ‘basis’. Atau peristiwa begal partai. Atau carut-marut segala kecurangan saat pemilihan umum. Atau KPU sebagai wasit yang ternyata sungguh mbèlgèdès, sontoloyo. Atau segala manipulasi terkait dengan sitang-situng itu. Atau juga bagaimana beberapa lembaga survei sudah menjadi semacam kumpulan binatang. Tidak hanya bukan lagi kumpulan para intelektual, bahkan sudah bukan kumpulan manusia lagi. Akhirnya benar-benar ‘bangunan atas’ itu sudah seperti hutan belantara –bukan republik, dengan survival of the fittest membayangi secara telanjang-ugal-ugalan di ‘basis’-nya. Khas dunia binatang. Bahkan lebih khusus lagi, dunia heyna yang salah satu ketrampilan utamanya: merampas.
Jika Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa “sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan,”[1] itu bisa dihayati sebagai bagaimana kekuasaan, politik mampu mempengaruhi apa-apa yang ada di ‘basis’ demi apa yang disebut Mangunwijaya, “kebaikan dan perbaikan masyarakat seluruhnya.”[2] Hampir satu dekade belakangan ini, politik lebih banyak disesaki oleh ngibulisme tanpa akhir. Negara dikelola lebih sebagai tontonan. Padahal segala ‘kesibukan’ di ‘basis’ itu sungguh nyata adanya. Hasilnya? Seperti disinggung di atas, survival of the fittest secara telanjang-ugal-ugalan itu kemudian sungguh telah menyetir dinamika politik. Segala ‘pagar-peradaban’-pun kemudian diterjang tanpa sungkan-sungkan lagi. Tanpa beban. Rusak-rusakan. Maka kitapun sah untuk bertanya: “Republik macam apa yang kita miliki?” *** (17-08-2024)
[1] Mangunwijaya, Kini Kita Semua Perantau, Kompas, 1-3 September 1989
[2] Ibid
1487. Tidak Sekedar 'Nguntal' Tambang
18-08-2024
Dalam dunia cuaca kita mengenal efek kupu-kupu, butterfly effect. Dalam ranah olah kuasa kita mengenal adanya efek domino. Dalam garis besarnya, satu peristiwa sangat bisa akan mempengaruhi peristiwa lain. Bahkan ada yang mempunyai daya ungkit besar. Dalam salah satu trilogy-nya, Manuel Castells di penghujung Abad-20 mengatakan bahwa dalam segala cepat dan ringkasnya in-formasi seperti sekarang ini, identitas bisa-bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna. Dan apa yang kemudian bisa menjadi sebuah ‘identitas’?
Meski masih sangat bisa diperdebatkan, kata identitas dalam ‘survei’ Google mengalami peningkatan signifikan (dalam buku-jurnal berbahasa Inggris) sejak sekitar tahun 1980-an.[1] Akar kata identitas sendiri tak jauh-jauh amat dari kata idem: sama. Dan melalui Thatcher dan Reagen, di sekitar tahun 1980-an itu kepentingan diri ditempatkan di altar-suci-nya (lagi). Paradigma neoliberalisme kemudian menggeser paradigma negara kesejahteraan pasca Perang Dunia II. Mungkin bisa dibayangkan ketika di Eropa sono doeloe sekali, ada pergeseran dari kosmosentris, teosentris, dan kemudian ke antroposentris, berpusat pada manusia. Dan dengan itu pula ‘manusia apa adanya’ kemudian menjadi ‘ke-normal-an’ baru, artinya manusia dengan segala hasratnya. Di tengah-tengah ketika hasrat mulai dilepas dari kerangkeng ‘kutuk-teologis’-nya saat itu, ada kegalauan, dengan apa kemudian gejolak hasrat tidak kemudian menghancurkan hidup bersama? Maka mulailah pemikiran jaman Yunani Kuno dibuka-buka lagi, dan seakan mengalami ‘kelahiran kembali’, renaissance.
Dalam Revolusi Informasi seperti sekarang ini, arus informasi menjadi sangat cepat seliwerannya, juga semakin ringkas meski kedalaman banyak dikorbankan di sana-sini, belum lagi ada istilah ‘post-truth’ itu, atau juga hoaks-hoèks, bermacam dis-informasi, maka memang kebutuhan adanya semacam ‘axis-mundi’ semakin dirasakan. Makna bisa menjadi salah satu ‘axis-mundi’ manusia menjalani hidupnya. Dan menurut Castells seperti disinggung di atas, identitas bisa-bisa menjadi salah satu sumber pencarian maknanya. Apalagi menurut Amy Chua (2019): “Human are tribal.” Hanya saja ada bagian yang punya potensi untuk ‘bermasalah’ di kemudian hari: “But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude.” Kanan-jauh seperti pendukung die-hard Trump, atau juga yang berkembang di beberapa negara Eropa, semakin nampak yang di-eksploitasi lebih pada an instinct to exclude-nya, meski memang ke-tribal-an itu pada akhirnya akan bicara tentang ‘hal sama’, atau katakanlah: identitas. Politik adu-domba pada dasarnya adalah eksploitasi an instinct to exclude juga.
Tetapi di satu pihak, di tengah merebaknya modus komunikasi mass-to-mass via jaringan internet-digital ini Manuel Castells melihat potensi berkembangnya ‘masyarakat jaringan’, networking society.
Manusia memang cenderung berkumpul di sekitar arus in-formasi. Tak jauh-jauh amat ketika banyak pemukiman mulai ada di sekitar-sekitar sumber makanan dan atau minuman. Baik ketika in-formasi itu mengalir dalam modus komunikasi man-to-man, atau man-to-mass, atau seperti sekarang ini mass-to-mass. Yang dimaksud masyarakat jaringan seperti disebut Castells di atas adalah ketika manusia lebih banyak ‘berkumpul’ dalam jaringan komunikasi digital. Modus komunikasi mass-to-mass ini telah membangun bermacam jejaring antar manusia penggunanya. Dan lagi, ‘kapital’-lah yang kemudian sangat terampil dalam mencari celah keuntungan perkembangan ini. Mulai dari Amazon sampai Alibaba, dan bentuk-bentuk lain dalam mencari keuntungan privat. Bukan berarti ‘keuntungan’ lain tidak mengambil manfaat, tetapi biasanya akan ‘tertinggal’ meski pada ujungnya bisa-bisa akan berdampak besar pula. Contoh terkait ‘otak-atik-strategis’ dalam perkembangan bermacam modus komunikasi adalah seperti ditulis oleh Alvin Toffler dalam Powershift (1990) terkait bagaimana Revolusi Iran berhasil menjatuhkan Shah Iran yang begitu kuatnya itu di tahun 1979.[2]
Tujuan tulisan ini adalah untuk menyajikan kemungkinan konteks yang lebih luas terkait mau-maunya ormas keagamaan menerima hibah ijin tambang di republik. Dengan segala konsekuensinya. Termasuk seakan memberikan momentum semakin percaya diri bagi sementara pihak untuk ‘ber-Shah Iran’-ria, komplit dengan SAVAK-nya? Seakan mau-maunya ormas keagamaan menerima hibah ijin tambang itu menjadi komplit-lah tutup Kotak Pandora dibuka. Segala kejahatan dengan enteng-enteng saja, tanpa beban keluar sambil menari-nari. Survival of the fittest dalam bentuk paling brutalnya, asu gedhé menang kerahé …. Merdeka, cuk. *** (18-08-2024)
[1] https://books.google.com/ngrams/graph?content=identity&year_start=1800&year_end=2022&corpus=en&smoothing=3
[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/006-Ayatollah-Khomeini/
1488. Demokrasi Abstrak
19-08-2024
Dari tulisan Slavoj Zizeck, From Cold War to Hot Peace (2022)[1] ada beberapa hal menarik. Salah satunya adalah ‘kutipan’ pendapat Hegel tentang kebebasan. Menurut Hegel seperti disampaikan oleh Zizeck, kebebasan dapat dibedakan antara kebebasan abstrak dan kebebasan kongkret: “Abstract freedom is the ability to do what one wants independently of social rules and customs; concrete freedom is the freedom that is conferred and sustained by rules and customs. I can walk freely along a busy street only when I can be reasonably sure that others on the street will behave in a civilized way toward me – that drivers will obey traffic rules, and that other pedestrians will not rob me.”
Demokrasi pastinya akan mengandaikan adanya kebebasan. Maka sedikit banyak dengan merefleksi pendapat Hegel tentang kebebasan di atas, kita bisa juga membayangkan adanya ‘demokrasi abstrak’ dan ‘demokrasi kongkret’. ‘Demokrasi abstrak’ adalah demokrasi dalam ‘ranah’ semau-maunya. Aturan dan kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah terbangun ditabrak semau-maunya. Atau perilaku ‘sok-taat-aturan’ tetapi aturan diubah (lebih dauhulu) dengan semau-maunya. Lalu berkotbahlah ‘mereka-mereka’ itu soal realpolitik. Soal belajar tentang kehidupan ‘real’. Mangunwijaya pada satu kesempatan pernah bicara soal politik riil ini. Menurut Mangunwijaya, politik riil adalah soal apa-apa yang masih bisa dicapai. Mangunwijaya tidak pernah bicara soal ‘semau-maunya’. Maka jika ada yang menghayati realpolitik sebagai semau-maunya, maka ia sebenarnya sedang bicara soal ‘realbajingan’, bukan realpolitik. Politik-nya para bajingan, dan demokrasinya-pun kemudian demokrasinya para bajingan.
Maka tak mengherankan pula saat Edward Rutledge menulis surat ke John Jay, 24 November 1776 –beberapa bulan setelah AS menyatakan kemerdekaannya, ia menegaskan bahwa: “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit.”[2] Ada ‘customs’ tertentu sehingga demokrasi yang mengandaikan adanya kebebasan itu bisa menjadi ‘kongkret’, dan Rutledge dalam hal ini menunjuk: patriotisme.
Tetapi mengapa apa yang dibayangkan di atas tentang ‘demokrasi abstrak’ ternyata tetap saja berkembang di depan hidung? Apakah ada sebab ‘internal’ dan ‘eksternal’-nya? Tentu banyak hal bisa disebut sebagai hal ’internal’ dan ‘eksternal’ itu. Salah satu sebab ‘internal’ apakah karena ‘the society of the spectacle’ seperti disinyalir oleh Guy Debord hampir 60 tahun lalu sudah sampai pada tahap kegilaannya di ranah politik? Sebab ‘eksternal’ misalnya, mungkinkah terkait dengan apa yang disebut Zizeck sebagai ‘hot peace’? “Occupiers always sincerely want peace in the territory they hold. Nazi Germany wanted peace in occupied France, Israel wants peace in the occupied West Bank, and Russian President Vladimir Putin wants peace in Ukraine,” demikian ditulis Zizeck. Demikian juga ‘para bajingan’ itu setelah merusak habis-habisan demokrasi, ‘mereka-mereka’ kemudian berkotbah ingin perdamaian-persatuan, anti-kolonial, dan bla … bla …. bla …. *** (19-08-2024)
[1] https://www.project-syndicate.org/onpoint/hot-peace-putins-war-as-clash-of-civilization-by-slavoj-zizek-2022-03
[2] https://digital.lib.niu.edu/islandora/object/niu-amarch%3A90358
1489. Dua-puluh Tahun Lalu ...
20-08-2024
Keadaban Publik
Sidang Tahunan KWI 2004 mengangkat permasalahan fundamental yang dihadapi bangsa ini. KWI merumuskannya dalam persoalan kehancuran “keadaban publik” (public civility). Masalah yang dihadapi bangsa ini bukanlah sekitar masalah moral perorangan bahwa orang hidup baik, melainkan bagaimana dengan mengusahakannya sekaligus diciptakan iklim, lingkungan, dan suasana yang kondusif bagi kesejahteraan hidup bersama .
Mewabahnya praktek-praktek ke-tuna-adaban publik (public incivility) dalam kehidupan bersama (shared life) disebabkan karena tiga poros (axis) yang menyangganya tidak melakukan mematuhi aturan main yang sehat serta tidak menjalankan fungsi kontrol-silang sebagaimana mestinya.
Ketiga poros kekuatan itu adalah negara, pasar, dan masyarakat warga.. Negara yang terwujud dalam badan-badan publik (public agencies) seperti lembaga legislative, eksekutip, dan yudikatif dan aparat-aparatnya. Kekuatan dan kekuasaan badan-badan publik itu berasal dari pelimpahan wewenang sah oleh rakyat melalui proses demokrasi, seperti pemilihan umum. Tugasnya yang utama menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan bersama (bonum commune). Seorang berada dalam poros ini setiap berhubungan dengan badan publik, seperti mendapatkan KTP di kantor kelurahan.
Poros kedua adalah sektor ekonomi atau komunitas bisnis. Komunitas ini muncul dalam aktivitas transaksi jual-beli barang dan jasa yang tumbuh karena adanya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Fairness menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini. Pembeli mendapatkan barang atau jasa senilai dengan uang yang dikeluarkannya. Penjual mendapatkan keuntungan yang masuk akal dalam transaksi spontan tersebut.
Poros ketiga adalah masyarakat warga (civil society) yang nampak dalam lingkaran komunitas dan paguyuban dalam masyarakat. Komunitas ada kalau ada saling percaya mempercayai bahwa tata hidup masyarakat akan dihormati oleh setiap warganya. Seorang berjalan di trotoar yakin bahwa tidak akan ditabrak sepeda motor, karena semua orang tahu dan mematuhi aturan bahwa trotoar diperuntukkan pejalan kaki.
Telah berkepanjangan bangsa ini mengalami bagaimana poros negara dan poros sektor ekonomi selingkuh. Akibatnya kepentingan wargalah yang dikorbankan. Fenomen koruptip ini tumbuh pesat dalam ketiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik. Itulah sumber ke-tuna-adaban bangsa ini.
KWI meniupkan trompet “Keadaban Publik Harus Kembali di Bumi Pertiwi.” Keadaban di ruang Publik itu harus menjadi tabiat, watak, dan karakter baru bangsa kita. KWI melontarkan istilah “habitus” untuk menggambarkan tabiat, watak, dan karakter bangsa kita ini. Habitus diterangkan sebagai gugus insting, baik individual maupun kolektip, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak, dan cara berelasi seseorang atau kelompok.
Habitus adalah suatu prinsip yang mendorong ke tindakan (principium importans ordinem ad actum). Hanya kalau keadaban publik menjadi tabiat baru, bangsa ini akan mampu keluar dari kemelut dan kemerosotan moral dalam segala bidang kehidupan. ***