1185. Dari "Kecerdasan Kolektif" ke "Orgasmus Kolektif"?
08-07-2023
Adanya bermacam aturan perundangan di ranah negara membuat warga negaranya tidak bisa semau-maunya. Termasuk juga bermacam ‘aturan’ atau norma-norma dalam masyarakat, membuat juga tidak mungkin seseorang bertindak semau-maunya sendiri. Insting ‘to belong to groups’ itu ternyata membuat banyak hal harus ‘dikorbankan’. Dalam praktek penampakannya memang sering lebih berurusan dengan ‘insting’, tetapi dalam praktek juga untuk ‘terawat’-nya group-group itu, atau kelompok-kelompok itu, kadang pula diperlukan adanya ‘kecerdasan kolektif’, terutama terkait dengan apa-apa yang mesti ‘dikorbankan’. Tetapi di sisi lain ada gejolak hasrat meledak-ledak dan selalu minta untuk dipuaskan, sebuah perburuan ‘kenikmatan’ tanpa akhir. Ada pendapat dari bermacam gejolak itu, hasrat akan kuasa yang utama. Tetapi ada yang bilang, hasrat akan seks.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa berkembangnya fasisme itu juga terkait dengan bagaimana seks terlalu dikendalikan, tidak menemukan kanal salurannya secara bebas. Tetapi nampaknya kendali-diri akan seks itu tidaklah cukup, bahkan meski sudah ada ‘kontra-hasrat’-nya melalui bermacam norma atau ‘hukuman’, ia perlu juga ‘dialihkan’. Apakah ini juga membuktikan kebenaran hukum kekekalan energi? Bagaimana dengan hasrat akan kuasa? Apakah kompetisi bermacam olah raga itu juga sebagai pengalihan gejolak bermacam hasrat, terutama hasrat akan kuasa? Apakah dalam seks diam-diam ada juga masalah kuasa?
Menurut Wilhem Reich (1897-1957), seorang psikiater, berpendapat bahwa terkekangnya hasrat akan seks telah mendorong berkembangnya fasisme, dalam hal ini Nazi. Mari kita bandingkan dengan pendapat Max Weber (1864-1920), bagaimana Protestanisme dikatakan sebagai pendorong berkembangnya kapitalisme. Terlebih kaum Calvinis yang meyakini bahwa dengan bekerja keras, surga di dunia-pun akan didapatkan. Tetapi apakah ini juga didorong oleh mulai dibebaskannya hasrat seks dari ‘model’ utamanya? Atau bagaimana kita melihat negara-negara dengan mayoritasnya penganut Katolik, misal di rata-rata negara Amerika Latin itu? Benarkah pendapat Carl Schmitt kira-kira dua dekade setelah Etika Protestan-nya Max Weber terbit, bahwa konsep negara modern itu adalah sekularisasi dari konsep agama? Dalam konteks Eropa, agama yang mana? Apakah ada perbedaan dari sistem presiden-PM, atau masih dipertahankannya raja-ratu tetapi ditambah PM? Dimana PM misalnya, cukuplah ‘sola scriptura’ –dalam hal ini kitab-scriptura sekulernya, bermacam undang-undang, terutama UUD-nya? Sedang presiden-raja-ratunya dengan segala pernak-perniknya menjalankan pendapat Carl Schmitt di atas dengan lebih ‘ketat’. Atau lihat yang memutuskan hidup ‘selibat’, mereka menjadi mempunyai energi besar untuk belajar misalnya, belajar macam-macam, dari soal ketuhanan, filsafat, bahkan bela diri. Atau pergi ke-antah-berantah untuk mengabarkan ‘kabar-baik’.
Maka hidup bersama memang akan selalu berurusan dengan ‘kecerdasan kolektif’ dan ‘orgasmus kolektif’. Mungkin yang dimaksud Henry Bergson sebagai ‘elan vital’ itu lebih banyak berurusan dalam pendakian sebuah orgasmus. Atau dalam kata-kata si Bung, soal rodinda itu, di belakang romantika ada ‘tuntutan’ sebuah orgasmus, di belakang dialektika bagi manusia, ada kecerdasan untuk bisa menghayatinya. Diantara keduanya ada dinamika yang terus bergejolak. Soal kecerdasan mungkin saja artificial intelligence akan bisa mendesak kiprah manusia, tetapi soal orgasmus? Kemajuan modus komunikasi seperti sekarang ini tidak hanya ikut mengembangkan kecerdasan kolektif, tetapi juga media untuk memperoleh orgasmus kolektif-pun semakin bermacam. Yang sering dalam penampakannya muncul sebagai asal mangap, asal njeplak, asal maki, dan bermacam asal-asal-an lagi itu. Wis plong, cuk?! *** (08-07-2023)
1186. Ni Yao Caifu Ni Xian Zuo Lu
09-07-2023
Ingin makmur? Buatlah jalan lebih dahulu, ni yao caifu ni xian zuo lu, demikian pepatah kuno China mengajarkan pada kita. Jalan untuk siapa? Dari data-data yang ada, era SBY lebih banyak jalan untuk rakyat kebanyakan, sedang era sesudahnya lebih pada jalan berbayar. Dan dari data-data yang ada pula, bagaimana itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi bisa dilihat juga perbedaannya. Era sesudah SBY ada yang bilang toh nanti (jangka panjang) dampaknya akan terasa juga, mungkinkah ini karena paradigma trickle-down effect-nya begitu kental? Sebuah paradigma yang sebenarnya sudah dipertanyakan banyak kalangan.
Tetapi bolehkan kita membayangkan bahwa ‘jalan’ yang dimaksudkan itu bisa lebih dari ‘jalan aspal’? Ataukah itu dalam gambar besarnya adalah soal akses? Sebuah ‘pintu masuk’ dalam banyak halnya? ‘Pintu masuk’ yang bisa saja tidak hanya berbentuk tipis laksana pintu rumah, tetapi juga lorong panjang. Misal, bagaimana kita membangun ‘pintu masuk’ bagi anak-anak kita untuk masuk dalam ‘dunia dewasa’. Apalagi jika kita ingat apa yang diperkenalkan oleh Manuel Castells di penghujung abad-20, tentang space of flows dan space of places itu. Dari segi bagaimana sebuah kebijakan akan diputuskan misalnya, pertimbangan-pertimbangan akan menjadi semakin ketat. Karena selain berkah, kemajuan teknologi komunikasi bisa-bisa memberikan ‘keliaran’ imajinasi yang sebenarnya justru menjauhkan dari ke-ketat-an pertimbangan. Keliaran imajinasi itu sedikit banyak bisa ‘dikandangi’ dengan mengingat apa yang pernah disampaikan Marx, kita lebarkan: space of places itu adalah ‘basis’-ekonomi-riil, dan space of flows itu adalah bagian dari ‘bangunan atas’. Pembedaan ini semata untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan. Terlebih ketika masih ada dalam dinamika ‘negara berkembang’. Diantara ‘basis’ dan ‘bangunan atas’ itu ada manusia-manusia kongkret dengan segala potensinya, dan sekarang ia sedang ‘berkompetisi’ dengan kemajuan teknologi komunikasi dengan segala dimensinya.
Maka ‘membangun jalan’ lebih dulu adalah memang pertama-tama jalan kongkret, jalan tembus -kalau bisa beraspal-paling tidak layak dipakai dan bertahap terus diperbaiki, -atau jalan maritim, udara, dengan segala bentuknya, sehingga semakin banyak khalayak memperoleh akses-nya ke bermacam hal. Tentang ‘jalan-digital’ melalui kecepatan internet (tinggi) tentu akan sangat membantu, tetapi sekali lagi, jalan-fisik bagi kebanyakan orang sangat-sangat tidak boleh dilupakan. Nodes-nodes dalam ‘ekonomi-riil’ itu sering adalah bukan nodes-nodes imajinatif, tetapi kongkret ada di kanan-kiri- atau di jarak berkilometer di sana. Contoh kongkretnya adalah Belt Road Initiative yang digagas China bertahun lalu.
Selain soal akses, jalan-jalan itu juga berurusan dengan potensi. Bagaimana fakta-fakta potensial itu melalui tersedianya bermacam akses kemudian menjadi lebih dimungkinkan untuk menjadi fakta-fakta faktual. Di sinilah salah satunya fungsi ‘ideologi’, fakta-fakta potensial mana, siapa, yang akan diprioritaskan untuk disediakan akses-nya lebih dahulu? Dalam sebuah kebijakan publik-nya. Mestinya. Jangan mulut sampai berbusa-busa teriak-teriak “pro-wong-cilik” tapi ketika berkuasa kebijakan publik-nya justru menyengsarakan wong-cilik itu. Lagak-kebo, lapar galak, kenyang bego. Aslinya sebenarnya dipenuhi oleh para ‘pembunuh-pembunuh ideologi’. Merdéka! *** (09-07-2023)
1187. Saat Hantu Sudah Tidak Mencukupi
11-07-2023
Saat ketakutan terhadap yang jelas sudah tidak mencukupi maka ketakutan terhadap yang tidak jelas-pun akan dilepas untuk mendukung ‘alur mental’. ‘Yang jelas’ itu perlahan tidak menjadi mencukupi karena perlahan pula di-‘prètèli’ khasiatnya oleh khalayak melalui inter-subyektifitas dalam modus komunikasi via sosial-media misalnya, terlebih ketika inter-subyektifitas itu mampu menunjukkan adanya bukti-bukti ‘yang jelas’ bahwa ternyata itu hanyalah ‘hantu’ tidak jelas pula. Aèng-aèng saja. Tentu saja ada satu-dua-tiga yang benar, tetapi kemudian dipompa secara habis-habisan. Pemompaan yang sudah tak tahu batas lagi itulah yang akhirnya terkuak. Khalayak akhirnya mampu menguak pemompaan-pemompaan itu, dan meletuslah ‘balon-hantu’ merah, atau hijau. Ketika inter-subyektivitas masih terbatas karena modus komunikasi mass-to-mass belum berkembang, dan dominan modus komunikasi masih man-to-mass –koran, majalah, film, radio, dan terutama televisi, maka pemompaan ‘hantu-hantu’ itu bisa dikatakan ‘tanpa lawan’ –apalagi ketika negara menjadi pemain utamanya. ‘Bangunan atas’ itu bisa begitu sewenang-wenangnya, dan ‘lawan tangguh’-nya kemudian adalah apa-apa yang ada di ‘basis’, katakanlah: krisis ekonomi.
Carl Schmitt sekitar seabad lalu pernah mengatakan bahwa yang berdaulat adalah pembuat keputusan dalam situasi luar biasa, atau katakanlah dalam situasi chaos. B. Herry-Priyono tujuh tahun lalu dalam Momen Para Relawan Politik (Kompas, 16 Mei 2016) sekilas menggambarkan hal tersebut, yaitu ketika partai-partai politik itu dalam keadaan serba tidak jelas maka sebagian warga mengambil keputusan untuk terlibat langsung secara terorganisir. Atau bayangkan dalam sebuah kompetisi sepak bola, klub-klub ‘resmi’ ternyata begitu carut-marutnya baik dalam permainan maupun ketika permainan berubah menjadi sepak bola gajah misalnya, maka penonton-pun kemudian membuat keputusan untuk bermain bola sendiri. Atau dicontohkan Herry-Priyono, ketika bencana dan kemudian jatuh pada situasi luar biasa maka kerelawaan-pun kemudian bermunculan.
Tetapi fenomena kerelawaan politik yang dipotret Herry-Priyono seperti disebut di atas, tujuh tahun kemudian kita seakan melihat bagaimana sebagian (besar) para relawan itu masuk dalam ‘logika’ partai politik yang mereka ‘kritik’ itu. Bukankah partai politik itu pada awalnya sebenarnya adalah juga kumpulan dari para relawan politik? “Momen para relawan politik’ itu sekarang seakan sudah ikut dalam membangun ‘ke-tidak-jelas-an’ yang konon ditengarai oleh Herry-Priyono lebih dibangun oleh partai-partai politik. Mungkin ‘ke-tidak-jelasan’ ini akan menjadi lebih jelas jika kita memakai istilah chaos, yang dari akar katanya juga menyinggung soal kekosongan. Etika menghilang, tanggung jawab menipis, bahkan patriotisme-pun juga semakin nampak hanya berhenti di mulut saja. Kata-kata kosong tidak ada isi maupun konsekuensinya bertebaran di mana-mana. Ngibul tiada batas lagi. Empati semakin sulit ditemukan. Kosong, chaos. Maka kata-kata Carl Schmitt-pun menggelitik lagi, “sovereign is he who decides on the exception”. Siapa kemudian si-sovereign-nya, akankah berasal atau didukung oleh kekuatan uang, atau kekuatan kekerasan, atau kekuatan pengetahuan? Ataukah ini nampak dari bacapres yang beredar akhir-akhir ini?
Maka judul dimaksudkan bahwa chaos itu bukanlah datang secara ‘alami’, tetapi bak sebuah film, ia ada sutradaranya. Sebagaimana dijumpai ‘biaya politik’ yang semakin mahal dan mahal itu, bukanlah sebuah peristiwa ‘alami’ saja, tetapi memang ada yang diuntungkan dengan situasi seperti itu. Apa ujung dari ‘film-chaotic’ seperti itu? Salah satu kemungkinan adalah munculnya ‘tertib tatanan’ dengan naiknya seorang raja –si-sovereign, dan bukan partai politik atau relawan di kanan-kirinya, tetapi kaum bangsawan. Yang di jaman old ia bisa masuk ke lingkaran kebangsawanan itu melalui jalur A, B, dan G, misalnya. Isi sama, botolnya saja yang lain. Déjà vu? *** (11-07-2023)
1188. Repotnya Berurusan Dengan Kaum 'Wahamis'
12-07-2023
Ketika Jim Jones mengajak pengikut-pengikutnya bunuh diri, pemahaman tentang mirror-neuron system di otak manusia belumlah dikenal. Hampir dua-puluh tahun kemudian penelitian soal mirror-neuron system ini mulai mendapat perhatian, mulai dengan penelitian di otak kera. Apakah mirror-neuron system ini ikut bertanggung jawab atas peristiwa bunuh diri massal yang merenggut 909 nyawa itu? Beberapa waktu lalu, sudah cukup lama, DW TV menayangkan laporan dokumentasi tentang bagaimana AS menjadi surganya para ‘nabi-nabi palsu’. Macam-macam sekte ‘sesat’ bermunculan. Tetapi di satu pihak, muncul pula kontra-nya, dan dengan aktif ia melacak dan membongkar ajaran-ajaran ‘sesat’ itu. Bebas.
Dalam kuliah psikiatri dulu waktu mahasiswa, dikatakan oleh dosen bahwa bisa saja penderita ‘waham’ itu punya pengikut. Judul ‘wahamis’ itu bisa saja kurang tepat, tetapi itu dimaksudkan pada pengikut-pengikut setia nan fanatik yang begitu percayanya pada seseorang yang sebenarnya mengidap penyakit ‘waham’. Penderita dengan ‘waham’ memang sering tidak nampak sebagai seorang ‘berpenyakitan’. Bisa saja seorang senang sekali berpakaian a la si-Bung, lengkap dengan ‘kacamata BK’-nya, dan tak lupa peci serta tongkat komando. Ia kemudian meyakini diri sebagai titisan si-Bung, dan tidak dinyana, banyak tuh yang percaya. Banyak contoh lainnya.
Mirror-neuron system memang akan terlibat dalam proses meniru. Meniru memang salah satu rute utama manusia belajar. Pepatah mengatakan bahwa pengulangan adalah ibu dari pembelajaran. Sampai tahap meniru itu jelas akan melibatkan pengulangan. Arnold Toynbee dan Rene Girard adalah sebagian yang menempatkan proses meniru dalam salah satu teorinya. Peradaban berkembang salah satunya karena peran minoritas kreatif, demikian menurut Toynbee. Dan yang lain akan menirunya. Atau si S akan ikut menghasrati O karena S meniru M (Model) yang menghasrati O, demikian Rene Girard. Tetapi bagaimana jika ‘minoritas kreatif’ atau model-nya ternyata pengidap ‘waham’? Pengidap delusi? Mungkinkah? Bisa saja, lihat misalnya soal Hitler itu.
Maka sebenarnya banyak yang tidak ‘nyaman’ juga untuk terlibat aktif dengan politik praktis. Politik dengan modal utamanya bicara itu sering seakan berdiri di tepi jurang delusional, sering menampakkan gejala-gejala ‘waham’. Apalagi jika oposisi dalam bermacam bentuknya begitu minim perannya. Atau tak berdaya karena bermacam sebab. Atau hadirnya orang-orang sekitar di pusat kuasa yang terus saja melantunkan puja-puji dan menjilat tanpa henti. Bicara besar dalam politik sebagai sebuah ‘permainan’, tiba-tiba saja sudah menjadi ‘permainan yang dipersungguh’. ‘Spiral delusional’ yang melibatkan antara ‘pemimpin’ dan pendukung-pendukungnya itu semakin menjadi ‘realitas’ bagi dirinya dan kelompoknya, dan semakin menjauh dari realitas kongkret yang dihadapi kebanyakan orang sehari-hari. Korban pertama adalah ‘pembunuhan massal’ akal sehat. Semakin ngawur dan nir-empati, karena hidup dalam ‘realitas’-nya sendiri dan meyakini bahwa itulah ‘yang benar’. Karena ‘sihir-waham’ itu bisa begitu menyihirnya, maka di ranah kuasa pada titik tertentu bisa-bisa sudah seperti Hitler. Dan hanya perang yang bisa menghentikannya. Karena ternyata banyak yang tidak mau ikut-ikutan ‘bunuh diri’ massal a la Jim Jones, hampir 50 tahun lalu itu. *** (12-07-2023)
1189. Setelah Minyak
15-07-2023
Sustainable development, pembangunan berkelanjutan sudah masuk dalam ‘kamus’ sejak sekitar 50 tahun lalu, dan ‘memuncak’ di sekitar dekade 80-an, bagian akhir abad lalu. Ketika mahasiswa dulu, hal tersebut kadang didiskusikan sebagai kapitalisme dengan baju barunya. Salahkah penghayatan seperti itu? Bahan bakar utama kapitalisme adalah ‘keserakahan’. Perlu waktu panjang sehingga ‘keserakahan’ ini diterima sebagai bagian manusia apa adanya, dan tidak melulu dalam penghayatan serba negatifnya. Sering digambarkan melalui penggalan dialog dalam film Wall Street: greed is good. Atau mungkin saja ia tak akan lepas jika kita bicara soal ‘kepentingan diri’. Empat-puluh tahun setelah narasi ‘pembangunan berkelanjutan’ kita bertemu pada ‘kedaruratan iklim’, suatu situasi sudah dibayangkan sejak 50 tahun lalu itu. Atau paling tidak sudah ada peringatan-peringatannya. Tetapi peringatan-peringatan yang dilansir oleh Club of Rome dan MIT di awal-awal dekade 1970-an itu ternyata kalah dengan keserakahan-keserakahan, bahkan ‘puncak’ keserakahan –lihat misalnya di tahun-tahun sekitarnya ada ‘Operasi Djakarta’ di Chile itu, dan cerita selanjutnya adalah jadilah sekarang ini kita dalam ‘kedaruratan iklim’.
Apakah keserakahan yang sering bersembunyi dalam ‘kepentingan diri’ itu kemudian serta-merta meredup dalam desakan ‘kedaruratan iklim’? Atau seperti dikatakan oleh Sheik Yamani –pembesar OPEC: jaman batu berhenti bukan karena habisnya batu? Jaman minyak berhenti bukan karena habisnya minyak, tetapi karena kedaruratan iklim? Ataukah karena sumber-sumber energi baru semakin banyak pilihannya? Jadi keserakahan itu-pun kemungkinan besar akan mendapat ‘jalan keluar’-nya, paling tidak ada kesempatan untuk menghindar dari kursi tersangka utama kedaruratan iklim. Artinya, masa depan keserakahan-pun tetap akan berumur panjang meski kedaruratan iklim itu diulang-ulang sebagai narasi utama. Bahkan jika kemudian ditemukan solusi jitunya. Apakah kemudian benar tesis Fukuyama tentang ‘berakhirnya sejarah’?
Apa yang mau dikatakan di sini adalah suatu bangsa hanya akan bertahan dan berkembang jika ia mampu mengelola ‘keserakahan-keserakahan’ seperti digambarkan di atas. Pilihannya ada di rentang cukup lebar, dari keserakahan dimatikan atas nama ini dan itu, sampai pada mimpi bahwa keserakahan itu akan menemukan jalan keluarnya sendiri, mengatur dirinya sendiri –self regulating. Di ranah negara, keserakahan itu sudah berpuluh tahun terakhir menampakkan diri seperti disebut oleh David Harvey sebagai accumulation by dispossession, yang fitur-fiturnya adalah privatisasi, finansialisasi, state redistributions, dan manajemen-manipulasi krisis. Kegagalan dalam ‘mengelola’ keserakahan dalam accumulation by dispossession ini tidak hanya terkait soal kesejahteraan, tetapi seperti ditunjukkan oleh Laski hampir seabad lalu, demi mempertahankan segala ‘keuntungan’ yang diperoleh dari merampok itu maka fasisme-pun semakin mendekat sebagai salah satu ‘solusi’ bagi si-penikmat. Atau kata Hobbes, kuasa akan all-out dipertahankan demi melindungi apa-apa yang sudah diperolehnya.
Maka ujian bagi demokrasi dalam salah satu penampakan utamanya: rekrutmen pemimpin, ada satu hal sangat penting, ‘uji-keserakahan’ dari calon-calon input-nya. Dalam ranah negara dengan segala kuasa yang melekat dalam dirinya, ‘uji-serakah’ ini adalah langkah awal untuk menghindari hidup bersama terkelola dalam nuansa fasis. ‘Uji-serakah’ ini bisa kita buat dalam kata tanya, apakah tahu-batas? Di balik ‘tahu-batas’ ini ada beberapa hal perlu dikembangkan, pertama adalah soal keutamaan, virtue. Keutamaan adalah juga soal ‘batas’. Soal keutamaan keberanian misalnya, ia bukannya waton suloyo, asal-maju-tak-gentar. Ada ‘batas-batas’ mengapa ia menjadi keutamaan keberanian, dan ‘batas-batas’ itu dapat dibayangkan melalui hal timbang-menimbang. Tidak hanya keutamaan keberanian yang akan melibatkan hal timbang-menimbang ini, tetapi juga keutamaan-keutamaan lainnya. Maka jika ada yang menyebut bahwa keutamaan prudence adalah ibu dari segala keutamaan, itu mempunyai alasan kuatnya.
Adam Smith menyinggung erat soal virtue ini juga. Adam Smith menulis di jaman ketika soal ‘kepentingan diri’, self-interest sudah diterima sebagai bagian dari manusia apa adanya. Itupun dalam ‘dunia keserakahan’, dunia ketika ‘kepentingan diri’ menjadi hal normal-normal saja, keutamaan dipandangnya masih perlu, meski ‘sekedar sepantasnya’ saja. Tetapi pada saat bersamaan, Adam Smith juga menyinggung soal ‘sekte agung’, soal famous sect, mungkinkan si-sekte agung ini adalah yang ada di ranah negara? ‘Sekte’ yang menjadi ‘agung’ kerena ber-keutamaan lebih dari ‘yang sepantasnya’ itu? Atau lihat juga bagaimana Amartya Sen mengajukan kritik terhadap klaim bahwa ‘yang rasional’ itu hanyalah ketika berangkat dari kepentingan diri itu. Bagi Sen, komitmen itu juga rasional.
Dari beberapa contoh di atas maka dapat kita bayangkan sesuatu yang sudah ‘purba’: axis mundi. Supaya hidup bersama semakin mendekat pada tatanan ‘kosmos’, apa-apa yang serasa chaotic karena seliweran dari segala penjuru bermacam keserakahan itu perlu hadirnya yang ‘tahu-batas’ sebagai axis mundi-nya. Maka baik sebelum maupun setelah era minyak, jika hidup bersama ingin terus maju, tahu-batas masih merupakan syarat mutlak –necessary condition, dari si-pengelola negara. Terlalu banyak contoh bagaimana hidup bersama menjadi stagnan, status-quo, atau bahkan retak-hancur ketika si-pengelola negara menjadi tak tahu batas. Baik yang jauh di sana, maupun di depan mata. Apalagi jika melihat kemajuan itu pada dasarnya adalah soal ‘memajukan horison’. Adakah horison jika tidak ada ‘batas’? *** (15-07-2023)