1530. Tidak Boleh Lebih Baik ?!

16-10-2024

Iklan sepeda motor jaman doeloe, apakah itu Yamaha, Honda, Kawasaki akan membuat klaim keunggulan masing-masing lewat iklan-iklannya, tetapi penggemar Vespa cukup bergumam: “(Tetap) Lebih baik naik Vespa …” Untung saja cerita di atas ada di ranah privat, bukan ranah negara, ranah publik. Kalau toh muncul kegilaan klaim sampai-sampai menabrak etika periklanan misalnya, tetap saja konsumen yang akan menentukan. Tetapi jika di ranah negara? Dari catatan-catatan sejarah kita bisa belajar banyak, kegilaan di ranah kuasa-negara itu seringnya warga negara biasalah yang akan menjadi korban utamanya. Tiba-tiba saja kemudian berkesimpulan bahwa ia harus berhemat habis-habisan. Daya belinya menurun tajam, misalnya. Akibat dari bola salju dari kegilaan nun jauh di sana, di pusat kekuasaan. Atau tiba—tiba saja ia harus berdarah-darah kena popor senjata aparat, saat melakukan unjuk rasa. Bahkan temannya ada yang diseret dan ditangkap.

Kegilaan hasrat akan kuasa ternyata juga bisa menampakkan diri dalam bermacam bentuknya. “Emang loe siapa?” atau “Emang loe bisa apa?” atau lainnya, dengan dibaliknya bersembunyi perasaan sebagai yang paling mak-nyos. Atau penampakan kegilaan lainnya, tidak boleh lebih baik dari diriku! Mengapa? Karena sekali lagi: akulah yang paling mak-nyos! Ketika mendekati akhir jabatan, kegilaannya itu bahkan melebihi apa yang kita kenal atau bayangkan sebagai post-power syndrome. Repot memang ketika berhadapan dengan kegilaan itu. Repot karena ketika memakai tolok ukur malu-memalukan misalnya, ia sudah tidak mengenal itu lagi. Apalagi soal kehormatan. Kalau jaman old mulai dikenalkan istilah ‘gugus kendali mutu’, bertahun terakhir ‘gugus kendali olok-olok’ seakan menjadi rute favorit olah politik ranah negara. Khalayak justru sering dikenyangkan dengan olok-olok dari pemimpinnya. Sekali lagi, sambil bergumam, “Emang loe siapa?” atau “Emang loe bisa apa?” Kemarin sekali lagi, lagi-lagi si-pembayar pajak itu sedang diolok-olok habis-habisan, sampah-sampah itu tanpa beban ditebar di muka hidung pembayar pajak. Meski berbaju batik, yang sampah tetaplah sampah. Megalomania memang ternyata sungguh memuakkan. Bertahun-tahun terakhir membuktikan hal itu. *** (16-10-2024)

1531. Tiga Peristiwa

17-10-2024

Jika meminjam istilah Negri dan Hardt dalam Empire (2000) maka esensi dari Orde Baru –yang maunya diulang bertahun terakhir, adalah bangunan rejim ‘Little Empire’. ‘Rejim campuran’ dari monarki/tirani, aristokrasi/oligarki, dan demokrasi. Intinya adalah mengendalikan ‘yang banyak’. Termasuk juga ketika ‘yang banyak’ itu di tingkat si-olig, ‘kelas’ aristokrasi/oligarki. Soal kontrol, soal ‘piramida kontrol’. Yang mana di banyak catatan sejarah semestinya soal kontrol kuasa ini semakin menampakkan diri sebagai bangunan ‘piramida terbalik’, ‘yang banyak’ mengontrol kecenderungan menguatnya oligarki, terlebih monarki/tirani.

Dalam rejim campuran a la ‘piramida kontrol’ di atas, akan selalu melibatkan tiga peristiwa, peristiwa demokrasi, peristiwa aristokrasi atau oligarki, dan peristiwa monarki atau tirani. Jika memakai istilah jaman old, ada pesta demokrasi, pesta aristokrasi/oligarki, dan pestanya monarki/tirani. Dalam pesta demokrasi, menu utamanya adalah janji-janji. Bahkan juga jogad-joged. Si-demos cukup dikenyangkan dengan janji-janji. Potensi besarnya: tidak kongkret. Sedang pesta oligarki, si-olig dikenyangkan oleh lapak-lapak yang dibagikan. Kongkret, se-kongkret kontrol padanya oleh si-tiran. Pestanya si-tiran? Baik yang tidak kongkret melalui segala puja-puji itu misalnya, sampai dengan yang sangat kongkret, paling tidak dari bermacam upeti langsung atau ‘berjenjang’ masuk ke gudang penyimpanan khusus.

Disebut di atas sebagai “Little Empire” karena ada di ‘pakta dominasi sekunder’. Menurut Cardoso di awal-awal 1970-an, kapitalisme-lah yang bercokol di ‘pakta dominasi primer’. Tetapi dalam praktek, kita bisa melihat dalam banyak catatan sejarah, kekuatan uang tidak akan pernah benar-benar di puncak dominasi jika tidak bersekutu dengan kekuatan kekerasan. Menurut Leo Strauss di awal 1950-an, pada titik tertentu ekonomisme itu akan berarti juga ‘Machiavellisme yang menua’, Machiavellianism come of age. Yang akan menampakkan diri sebagai tidak hanya kontrol atas manusia, tetapi juga alam semesta. Dan itu juga disebut Strauss sebagai krisis modernitas.

Jika kita kembali pada ke-Little Empire-an sebagai fokus tulisan ini, pertanyaannya adalah apa konsekuensi dari res-publika yang sudah berubah itu? Karena berbentuk piramida maka kembali sejarah memberikan pelajaran, yang ada di puncak piramida pasti akan tidak mau turun dengan suka rela. Bahkan sering harus dengan biaya sangat tinggi sehingga si-mono itu bisa diturunkan, diganti. Ketika res-publika berubah menjadi res-mono, bayang-bayang chaos akan terus saja membayang jika pergantian kekuasaan de facto sudah di depan mata. Terlebih ketika di ‘pakta dominasi primer’-pun sedang bergejolak juga. “Sovereign is he who decides on the exception,” demikian kata Carl Schmitt se-abad lalu. *** (17-10-2024)

1532. Matinya 'Paradigma Proses'

18-10-2024

Sok-sok-an, gegayaan janji ‘revolusi mental’ 10 tahun lalu, tetapi justru yang dilakukan adalah untuk mewujudkan ‘involusi mental’, mental yang terus saja dibuat mungkret. Yang ditebar -jika meminjam istilah Koentjaraningrat 50 tahun lalu, justru adalah mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, dibuat berulang-dan-berulang: tidak percaya diri, juga dibiasakan untuk tidak berdisiplin murni, serta dibiasakan menonton tontonan mentalitas suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Institusionalisasi atau pelembagaan mentalitas ‘yang tidak sesuai dengan pembangunan’ justru yang terus menerus dibangun. Contoh ‘kecil’, bagaimana soal ‘libur bersama’ itu selalu dicari-cari saja celah-kemungkinan-pembenarannya, untuk menggerus imajinasi soal ‘kerja keras’. Ataukah sedang membangun ‘kelas priyayi’ yang tidak perlu kerja keras? Sebelum ‘pelembagaan’ maka pastilah ada ‘pembiasaan’ lebih dahulu. Kebiasaan yang sudah melembaga akan menjadi ‘habit’ dalam Teori Tindakan-nya Bourdieu, dimana tindakan akan dipengaruhi oleh modal, ranah, dan habit. Siapa yang sungguh dirugikan dengan merebaknya ‘involusi mental’ ini? Atau juga: siapa diuntungkan? Pertanyaan yang menggoda.

Tetapi siapa bilang kita tidak punya mentalitas menghargai mutu? Atau mentalitas untuk menapak jalan tekun dan pantang menyerah? Atau berani mengambil tanggung jawab? Atau siapa bilang kita tidak mau dan mampu disiplin? Maka konteksnya adalah dalam Teori Tindakan-nya Bourdieu di atas, lebih di soal ‘modal atau kapital’-nya. Yang dimaksud dengan modal atau kapital di sini tidak hanya soal modal uang saja, tetapi lebih pada soal modal sosial dan modal kultural. Yang (dibuat) ‘rusak-rusakan’ adalah yang mempunyai modal (sosial, kulural) tinggi. Jika itu adalah sebuah panggung, aktor-aktor utamanya yang ‘dirusak’. Jika itu sebuah Perguruan Tinggi, rektor-nya yang terutama akan dirusak, misalnya. Dirusak melalui ‘panggung politik’ dalam scenario kebijakan, putusan, perilaku politik. Atau kalau mengingat pendapat Toynbee, yang dihancurkan memang peradabannya, dengan merusak potensi-potensi yang mampu menjadi ‘minoritas kreatif’. Toynbee melalui A Study of History, sekitar 1950-an, mengatakan bahwa peradaban itu berkembang karena adanya respon dan tantangan. Respon akan sangat dipengaruhi adanya si-minoritas kreatif. Sedang kebanyakan lainnya akan meniru. Di tempat lain Toynbee juga mengatakan bahwa dalam ‘hukum perjumpaan kebudayaan-kebudayaan’, sinar yang ‘rendah nilai’-nya akan lebih mudah menerobos. Maka jika yang mempunyai ‘kapital tinggi’ itu mengambil langkah yang ècèk-ècèk, dampaknya bisa sangat luas. Benar, bisa saja banyak yang mempunyai mentalitas tidak seperti digambarkan Koentjaraningrat 50 tahun lalu seperti sudah disinggung di atas –dan akan marah atau terusik jika dituduh punya mentalitas seperti itu, tetapi ketika pemegang-pemegang kapital tinggi, apalagi dengan sadar memang ingin merusak, hancurnya peradaban bisa akan membayang lekat.

Kaizen sering disebut sebagai salah satu pondasi suksesnya Toyota. Sebelumnya di awal abad 20, masalah quality management sudah berkembang di Amerika sono. Atau standarisasi produksi yang kemudian berkembang menjadi ISO-ISO-an itu, di tengah-tengah berkecamuknya perang. Tak bisa disangkal bahwa semua akan menekankan soal input-proses-output dalam sebuah ‘orkestrasi’-nya. Tetapi jika boleh memilih sebagai ‘paradigma’, itu semua sebenarnya menekankan soal ‘paradigma proses’. Terlebih jika Ciputra mendefinisikan soal entrepreneur, yang mengatakan seorang entrepreneur itu adalah yang mampu mengubah sampah menjadi emas. Artinya adalah, jika proses-nya benar maka hasilnya akan baik juga. Bahkan jika masukan atau input-nya tidak seperti yang diharapkan. Bertahun terakhir, dalam semua aspeknya, republik seakan digiring dalam ‘paradigma output’. ‘Ouput’ yang ugal-ugalan karena semau-maunya, tidak ada ‘patok duga’-nya, tidak ada benchmarking-nya. ‘Patok duga’-nya kemudian adalah mau-maunya sendiri. Yang sering melibatkan pelintiran yang sudah dilakukan berulang-dan-berulang dengan tanpa beban lagi.

Bertahun lalu pernah bekerja di sebuah rumah sakit swasta, dan salah satu keunggulannya adalah kebersihannya. Sungguh memang bersih. Mengapa bisa sampai begitu bersih tentu akan sangat tergantung dari petugas-petugas kebersihannya. Mengapa petugas kebersihannya bisa mempunyai etos begitu baiknya? Karena sudah ‘terlembaga’. Bagaimana bisa sampai ‘terlembaga’? Nampaknya karena yang pegang ‘kapital’ tinggi mampu secara terus-menerus mendampingi petugas kebersihan sehingga ‘imajinasi bersih’ itu kemudian mewujud dalam kebiasaan, dan akhirnya ‘terlembagakan’. Ada proses panjang. Seperti anak-anak yang sejak kecil dibiasakan kebiasaan baik oleh orang tuanya, terus menerus, dan bahkan sampai ia hidup lepas mandiri masih terus melaksanakan kebiasaan-kebiasaan itu.

Korban ugal-ugalannya ‘paradigma output’ jelas terutama adalah ‘paradigma proses’. Dari banyak penampakan bertahun terakhir, seakan kita kembali pada pertanyaan Koentjaraningrat 50 tahun lalu, seperti disinggung di awal tulisan. Bahkan salah satu klaster terpenting ‘paradigma proses’ yang semestinya dijaga: pendidikan, juga dirusak habis-habisan. Rejim bertahun terakhir ini memang hanya merusak republik saja. Ya, memang hanya merusak. Kerusakannya begitu luas dan dalam. *** (18-10-2024)

1533. Sodara-sodara Sekalian ...

20-10-2024

“Sodara-sodara sekalian ….. “

Plok … plok …. plok ….

“Lihat gambar besarnya, sodara-sodara sekalian ….”

“Nggiiiih …..”

“Ingkang mlarat tasih kathah, sodara-sodara sekalian ….”

“Betuuul ….”

“Nggih mboten bapak-ibu?”

“Nggiiiih …..”

“Ingkang kurang gizi tasih kathah, sodara-sodara sekalian ….”

“Betuuul ….”

“Nggih mboten bapak-ibu?”

“Nggiiiiih ….”

“Yang belum mendapat pekerjaan masih banyak, sodara-sodara sekalian …”

“Betuuuul …...”

“Nggih mboten bapak-ibu?”

“Nggiiih ..….”

“Masih banyak sekolah yang tak terurus, sodara-sodara sekalian …”

“Betuuul ……..”

“Nggih mboten bapak ibu?”

“Nggiiiih ……….”

(Monggo dilanjut piyambak-piyambak, bebas …., cuk.) *** (20-10-2024)

1534. 150 Tahun Kemudian

23-10-2024

Sekitar seratus lima puluh tahun lalu, Engels membayangkan perlahan negara akan melenyap, ketika sosialisme sudah menampakkan wujudnya. Tetapi ber-puluh-tahun terakhir, justru yang ‘maju paling depan’ dalam upaya ‘melenyapkan’ negara adalah si-kapitalis, terutama pemilik modal besar. Atau paling tidak sebagai ‘ultra-minimal state’. Atau bahkan (kebalikannya) sebagai negara fasis, yang ujung-ujungnya akan mengabdi sepenuhnya kepada modal besar. Atau negara menjadi fasilitator utama dalam apa yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession itu. Fasisme yang bahkan Marx dan Engels tidak membayangkan sebelumnya, menurut Wilhelm Reich (1897 – 1957). Wilhelm Reich yang juga berpendapat bahwa fasisme sebenarnya berakar pada irasionalnya massa-individual. Reich adalah seorang psikiater pengikut Freud. Atau jelasnya, akarnya adalah pada ‘struktur-dalam’ manusianya, bukan pada kelas, “ … fascism is not the problem of Hitlers’s person or of Nationalist Socialist party politics. It is a problem of the masses.”[1]

Fokus tulisan ini adalah pada bagaimana fasisme yang berakar pada irasional massa-individual. Eksploitasi keirasionalan massa-individual. Yang pada dasarnya sepuluh tahun terakhir di republik bisa menjadi pelajaran berharga. Dalam konteks ini bukan soal populisme itu apa-bagaimana, tetapi lebih pada ‘deteksi dini’ munculnya fasisme. Fasisme yang diujung sana akan lebih mengabdi pada modal besar. Yang sebenarnya memang di sana-sini sudah menampakkan diri melalui salah satunya, Proyek Strategis Nasional itu. Eksploitasi keirasionalan massa-individu sebagai ‘pintu masuk’ fasisme jika memakai term Freud bisa dibayangkan bahwa yang dieksploitasi adalah ‘level’ id, yang ada di bagian ketidak sadaran, unconscious. Id dimana insting, hasrat, dan sekitarnya itu ada dalam kerangka ‘prinsip kesenangan’, pleasure principle. Sebagai pembanding kontrasnya, bandingkan dengan peristiwa Desak Anies beberapa waktu lalu, dimana Anies B dan tim begitu susah payah untuk selalu ada di kerangka ‘prinsip realitas’, reality principle di ‘level’ ego yang ada di bagian sadar. Sangat tidak mudah, apalagi mengingat bahwa bagian sadar itu sangat kecil jika dibandingkan dengan bagian tidak sadar. Digambarkan sebagai puncak gunung es, sedang ketidaksadaran ada di bawah permukaan. Apalagi jika mengingat adanya Skandal Cambridge Analytica yang terbongkar sekitar 6-7 tahun lalu itu. Dengan bocornya berpuluh-juta data pribadi pengguna Facebook maka melalui algoritma tertentu dibuatlah profil-profil pengguna Facebook tersebut, dan dengan itu dikirimlah pesan-pesan yang sudah disesuaikan dalam kampanye Trump di tahun 2016. Artinya, semakin mungkin id diulik-ulik secara individual, bahkan sampai di ruang-ruang yang sungguh pribadi. Ditambah dengan berkembangnya neuronscience dalam mengeksplorasi mirror neuron system di penghujung abad-20, maka hal rasional, prinsip realitas semakin mudah saja untuk ‘dilompati’. *** (23-10-2024)

[1] Wihelm Reich, The Mass Psychology of Fascism, Orgone Institute Press, 1946, hlm. 83