1445. EHM Sebuah Teori Konspirasi?

19-06-2024

Salah satu kritik buku John Perkins Confessions of an Economic Hit Man (2004) adalah tudingan terkait dengan teori konspirasi. Atau kalau memakai kata-kata populer sekarang: hoaks –kurang lebihnya. Benarkah? Asal kata konspirasi sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari inspirasi, dari con atau com = bersama, spirare = bernapas: ‘bernapas bersama’, hanya saja seringnya dalam nuansa buruk-busuk. Tetapi bagaimana jika kita bicara soal ‘republic hit man’? Republic hit man yang bisa bermacam-macam ‘cabangnya’, bisa hit man terkait ekonomi seperti digambarkan buku John Perkins di atas, atau juga terkait hal kultur, budaya. Atau juga mentalitas? Jangan-jangan juga soal kohesi sosial, soal kerukunan antar-warga. Atau juga soal pendidikannya? Soal kesehatan? Dalam konteks republik misalnya, apakah penunjukan pimpinan yang sama sekali tidak punya pengalaman dalam pendidikan dan kesehatan untuk memimpin problem pendidikan dan kesehatan itu bisa kita lihat sebagai penempatan seorang hit man di ranah pendidikan dan kesehatan? Dan, apakah ‘republic hit man’ juga akan dituding sebagai sebuah teori konspirasi? Konspirasi atau tidak, mengapa kita tidak back to the things themselves? Apa-apa yang dialami sebagai ‘pintu masuk’-nya penghayatan. Atau juga soal bagaimana bermacam hal menampakkan diri pada kita.

Ketika masuk ruang-pajang mobil bekas Totok tertarik pada sebuah mobil yang seakan penampakannya tidak kalah dari yang baru. Totok mendekat didampingi penjual yang seakan sudah tahu mobil mana membuat Totok tertarik. Maka segala puja-puji meluncur dari penjual. Tiba-tiba perhatian Totok seakan tersedot pada satu bagian yang menurutnya itu bekas penyok dan kemudian di cat ulang. Segala puja-puji penjual ‘ditunda’ lebih dulu, dan mendekatlah Totok pada bagian ‘penyok’ itu. Dilihat dari kanan-kiri-atas, dan bahkan dengan lampu HP-nya. Seakan Totok beraksi sebagai ‘pemula’ saja. Setelah puas melihat-lihat terutama bagian ‘penyok’ itu, dan ada kesimpulan ‘sementara’ ia kemudian melakukan komunikasi dengan penjual. Dan seterusnya. Media sosial adalah salah satu pengalaman sehari-hari, pada satu saat menampilkan tagar yang bisa-bisa akan menyedot perhatian: asal mangap. Tentu dalam keseharian kita akan menjumpai peristiwa asal mangap ini. Atau asal njeplak. Bisa-bisa tidak hanya satu-dua kali.

Ternyata asal mangap kemudian menjadi keprihatinan banyak warga ketika negara terlalu banyak terlibat dalam peristiwa asal mangap ini. Sering asal mangap ini dihayati tidak jauh dari ngibul, atau tipu-tipu. Dari bermacam kerusakan republik semakin nampak bahwa pada awalnya adalah soal asal mangap. Yang tidak nampak dalam peristiwa asal mangap itu terutama adalah soal tanggung-jawab. Dan terkait dengan apa terutama soal tanggung-jawab ini? Tidak lain adalah: komitmen. Apa ‘bahan bakar’ utama sebuah komitmen? Bisakah kita melihat bahwa itu adalah kehormatan dan keberanian? Maka soal asal mangap di ranah negara ini ternyata tidak sederhana lagi, bola salju-nya ternyata menerjang-merusak soal tanggung jawab, soal komitmen, soal kehormatan-keberanian juga.

Asal mangap kelihatannya juga tidak bisa dilepas dari tipisnya keutamaan prudence, yang mana dasar utamanya adalah hal timbang-menimbang. Sama dengan keutamaan-keutamaan lainnya. Atau jika kita lhat di atas, semua yang diterjang oleh bola salju asal mangap itu adalah juga bermacam keutamaan. Tak mengherankan karena asal mangap itu menunjukkan juga tipisnya keutamaan prudence, dan seperti dikatakan banyak orang, keutamaan prudence itu adalah juga ibu dari segala keutamaan. Tetapi apa ‘esensi’ dari asal mangap yang meminggirkan dengan telak hal timbang-menimbang itu? Nampaknya adalah: jalan gampang (baca juga: jalan semau-maunya), jalan yang pasti tidak akan kompatibel dangan dunia yang semakin sulit diprediksi ini. Maka jika ada pemimpin republik sudah keranjingan asal mangap-nya, ia bukanlah pemimpin tetapi adalah: hit man, republic hit man. *** (19-06-2024)

1446. Naturalisasi Dokter Asing?

22-06-2024

Pada tahun 1839 Gubernur Jenderal Usmani untuk Mesir, Mohamad Ali Pasya yang terkenal itu, sudah tiga puluh dua tahun sibuk memperlengkapi diri dengan persenjataan tepat guna yang mengikuti contoh Barat di masa itu. Kegagalan ekspedisi Napoleon ke Mesir telah membuka mata Mohamad Ali, betapa pentingnya suatu angkatan laut yang tangguh. Ia telah bertekad untuk membangun armada yang terdiri dari kapal-kapal perang sejenis yang dimiliki Barat di masa itu. Ia sadar bahwa dia tidak akan mandiri di bahari selama ia tidak mampu membangun kapal-kapal perang Mesir. Ia menyadari pula, bahwa ia tidak dapat melengkapi diri dengan staf kaum teknik armada Mesir tanpa memperkejakan insinyur-insinyur perkapalan dan ahli-ahli Barat lain demi pendidikan para siswa Mesir. Maka diikhtiarkan oleh Mohamad Ali pemanggilan ahli-ahli Barat. Dan tertariklah calon-calon dari Barat yang memenuhi syarat untuk melamar pekerjaan di Mesir itu karena skala gaji yang ditawarkan oleh Pasya itu memang menarik. Namun toh para pelamar Barat itu tidak bersedia menandatangani kontrak bila belum ada kepastian tentang memindahkan keluarga mereka ke Mesir; dan mereka tidak bersedia memindahkan keluarganya tanpa kepastian jaminan yang cukup mengenai pemeliharaan kesehatan mereka menurut taraf pertolongan kesehatan berukuran Barat di waktu itu.

Begitulah Mohamad Ali mengalami, bahwa ia tidak dapat memperkerjakan para ahli bahari dari Barat yang sangat ia perlukan tanpa memperkaryakan juga tabib-tabib Barat untuk merawat para istri dan anak-anak para ahli bahari tersebut. Dan karena ia telah berkemauan keras untuk membangun armada Mesir, maka tabib-tabib itu pun ia karyakan. Para dokter serta para ahli dengan keluarganya datang bersama-sama dari Barat; para ahli membangun arsenal secara yang seharusnya, sedangkan para dokter merawat dengan baik para istri dan anak-anak dari pemukiman Barat di Iskandaria itu. Tetapi seusai para dokter itu bertugas terhadap para asisten Barat, ternyatalah mereka masih punya waktu berlebih …. dan karena mereka dokter-dokter yang penuh energi dan bercitarasa sosial, mereka memutuskan untuk berbuat sesuatu juga demi penduduk Mesir setempat. Mulai dengan apa? Perawatan wanita bersalinlah yang jelas paling diperlukan. Demikianlah kemudian timbul satu pelayanan untuk yang bersalin di dalam daerah-daerah tertutup arsenal angkatan laut itu disebabkan oleh suatu rentetan peristiwa yang seperti akan Anda akui, tidak dapat dihindari itu.[1] ***

[1] Arnold J. Tonynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Mangunwijaya (ed.), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. 1, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet.-2, hlm. 84-85

1447. Republik dan Tiga Prakondisinya (1)

23-06-2024

Dalam keadaan normal, tubuh memerlukan paling tidak tiga prakondisi. Atau katakanlah: terdukung. Pertama tubuh perlu dukungan nutrisi melalui bermacam asupannya. Juga termasuk di sini ‘asupan’ soal tempat berteduh, berlindung, juga pakaian. Kedua tubuh perlu bermacam ‘hal teknis’ seperti jantung memompa darah, ginjal terlibat dalam pembuangan ‘sampah’ tubuh, sampai dengan sel-sel darah putih yang terlibat dalam pertahanan tubuh. Dan banyak lagi. Dan supaya tubuh menjadi ‘tubuh manusia’ ia perlu juga kemampuan untuk ber-imajinasi, berpikir. Dengan ketiga prakondisi tersebut maka bisa dikatakan tubuh akan mempunyai potensi besar untuk menjadi tubuh manusia ‘yang terdukung’.

Republik untuk menjadi republik yang terdukung-pun ia perlu paling tidak tiga prakondisi, prakondisi politis, teknis, dan sosial. Prakondisi politis langkah pertamanya adalah pernyataan kemerdekaan, dan diakuinya kemerdekaan itu oleh bangsa-bangsa lain. Sampai dengan diakuinya laut-daratan sebagai satu kesatuan. Kondisi teknis adalah adanya pemerintahan dengan segala aparatusnya. Adanya bermacam peraturan-perundangan yang ditetapkan. Adanya bermacam lembaga termasuk eksekutif, legislatif, yudikatif dan lainnya bisa dihayati juga sebagai prakondisi teknis ini. Prakondisi sosial artinya warga yang hidup dalam republik mendukung adanya republik. Banyak hal akan terkait dengan prakondisi sosial ini, tetapi paling nampak adalah ketika warga negara membayar pajak dalam bermacam bentuknya. Apakah ketika ketiga prakondisi di atas kemudian republik akan menjadi ‘terdukung’? Ya, tentu, kemungkinan besarnya. Masalahnya kita tidak hidup hanya dalam ‘romantika’ di atas, tetapi bermacam dinamika, konflik dan bermacam hal yang sangat mungkin berjalan tidak dalam ‘garis lurus’-nya akan terus saja lekat membayangi. Katakanlah, bagaimanapun Hukum Gravitasi-nya Newton itu dalam batas-batas lebarnya tetaplah banyak gunanya sampai pada titik tertentu kaki berlari dalam kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Maka penghayatan akan ketiga prakondisi di atas sebagai ‘syarat mutlak’ masihlah dapat diterima. Tentu ini belumlah ‘mencukupi’.

Salah satu yang mungkin saja diingat selama pemerintahan Gus Dur, ia sering melakukan perjalanan ke luar negeri. Alasannya sangat kuat, terlalu banyak masalah dalam negeri yang sangat mungkin bisa diselesaikan jika mendapat ‘dukungan internasional’. Gus Dur sangat paham bagaimana ‘kondisi politis’ republik memang harus selalu ‘dirawat’. Atau kalau memakai pemikiran Richard Robinson dalam satu kuliah umumnya, hanya dengan mampu merefleksikan ‘kepentingan nasional’ terhadap kancah ‘kepentingan internasional’ maka bangsa itu akan menjadi kuat. Lontaran yang muncul di tahun-tahun awal pemerintahan Jokowi yang diglorifikasi saat itu diyakini akan membawa republik menjadi kuat. Richard Robinson tidak percaya, berdasarkan ‘premis’ di atas. Bertahun kemudian kita bisa menyaksikan bahwa Richard Robinson benar. Contoh lain yang dilakukan Rizal Ramli ketika memperbaiki kinerja PLN, bagaimana ‘prakondisi politis’ itu dimainkan dengan akrobat cantik. Dan …. bagaimana jika selama sepuluh tahun menapak kakinya di markas PBB saja tidak pernah? *** (23-06-2024)

1448. Republik dan Tiga Prakondisinya (2)

25-06-2024

Harold J. Laski (1893 – 1950) hampir sembilan puluh tahun lalu menulis The State in Theory and Practice. Melalui buku tersebut kita bisa membayangkan bahwa teori terkait ‘hal-hal teknis’ republik misalnya, bisa-bisa akan berbeda dalam prakteknya. Tetapi lepas dari itu, dari banyak pengalaman kita bisa belajar bahwa mestilah ‘hal-hal teknis’ itu punya ‘patok-duga’ sehingga kita bisa menilai apakah ‘hal-hal teknis’ itu memang dikelola dengan baik atau tidak. Dalam praktek, ‘patok-duga’ itu adalah terkait dengan efisiensi dan keadilan, jika kita meminjam istilah yang muncul dalam amandemen UUD 1945 dua-puluh lima tahun lalu: ‘istilah kompromi’, efisiensi berkeadilan. Sebuah istilah yang bisa dihayati sebagai lebih lugas dibanding dengan ‘pertumbuhan – pemerataan’. Kita memang meminjam istilah dalam ‘pasal ekonomi’, tetapi bukan berarti ‘hal-hal teknis’ kemudian disederhanakan hanya masalah ‘ekonomi’ saja. Bukan itu maksudnya, tetapi karena memang ‘kombinasi’ istilah tersebut akan mewakili banyak hal. Bahkan banyak hal yang ‘kontradiktif’ sifatnya.

Tetapi ada ‘pintu masuk’ yang mungkin saja akan memberikan imajinasi lanjutan ketika membicarakan soal ‘efisiensi berkeadilan’ ini, yaitu konsep keadilan menurut Platon. Menurut Platon keadilan akan merekah jika masing-masing menjalankan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apa yang dibayangkan Platon memang tidak lepas dari pendapatnya tentang tripartite jiwa. Atau katakanlah jika kelas petani-pedagang menjalankan fungsi-kewajiban masing-masing dengan baik, demikian juga kelas serdadu, dan juga kelas filsuf raja. Tentu ini masih bisa diperdebatkan terkait dengan konsep keadilan, tetapi bertahun terakhir kita mempunyai pengalaman bagaimana ketika masing-masing bagian ternyata tidak melaksanakan fungsi-kewajibannya dengan sebaik-baiknya, ternyata ujung-ujungnya tidak hanya menjadi tidak efisien tetapi juga tidak berkeadilan semakin dirasakan oleh khalayak kebanyakan. Terutama di ranah negara, di ranah ‘hal-hal teknis’-nya.

Apakah kemudian setiap efisiensi akan berujung pada merekahnya keadilan? Keadilan buat siapa? Ketika Amerika merdeka, industri di Inggris sudah begitu berkembang komplit dengan efisiensinya, sehingga produk tekstil Inggris misalnya, bisa lebih murah dibanding produk di AS saat itu. Alexander Hamilton (1757 – 1804) kemudian menetapkan tarif tinggi bagi produk-produk Inggris saat itu demi melindungi industri tekstil yang sedang mulai berkembang di AS sono. Argumentasi Hamilton: industri di AS masih infant sehingga perlu diproteksi. Tentu langkah-langkah seperti ini perlu negosiator yang tangguh sebab yang dipertaruhkan salah satunya adalah: perang. Entah perang dagang atau yang melanjut pada perang sungguhan. Tetapi apakah menjadi kuatnya industri di AS sono saat-saat itu hanya semata karena logika infant industries seperti yang di-introdusir oleh Hamilton itu?

Dua puluh empat tahun setelah Hamilton meninggal, Andrew Jackson (1767 – 1845), presiden Amerika ke-7, juga idolanya Donald Trump itu, mengintrodusir spoils system atau sering disebut juga sebagai sistem patronase, kira-kira tak jauh beda dengan republik jaman now. Atau jaman old. Spoils system ini kemudian disepakati untuk dihentikan pada tahun 1883, tiga-belas tahun setelah UU Agraria ditetapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Spoils system yang kemudian dihayati sebagai the winner takes all itu ternyata dalam praktek menjadi ugal-ugalan. The winner takes all tidak hanya dalam imajinasi sistem distrik saja. Dan cerita selanjutnya adalah inkompetensi dan korupsi merebak. Termasuk perkoncoisme dan nepotisme. Sistem meritokrasi dipinggirkan secara telak. Tak jauh-jauh amat dengan situasi republik jaman now. Ketika roda pemerintahan menjadi semakin tidak efisien dan rusak-rusakan, maka melalui Pendleton Civil Service Reform Act di tahun 1883 spoils system sepakat dihentikan. Meritokrasi dalam jajaran pemerintahan-pun kembali menjadi dasar penyelenggaraannya. Atau saat rekrutment. Dan transisinya perlu waktu berpuluh tahun memang, tetapi paling tidak semangatnya sudah mulai dihidupkan sejak awal-awalnya. Mengapa ‘masa transisi’ itu menjadi tidak mudah dan perlu jalan panjang? Pendapat Thomas Hobbes (1588 – 1679) kiranya bisa membantu memahami. Hobbes mengatakan dalam Leviathan (1651) bahwa hasrat akan kuasa itu tidak hanya akan dibawa sampai mati, tetapi adalah juga untuk mempertahankan apa-apa (kenikmatan) yang sudah diperolehnya. Bahkan Alvin Toffler dalam Powershift (1990) masih menulis tentang ‘partai siluman’: birokrasi. Di sekitar tahun-tahun Pendleton Act diberlakukan, mulai ada sekolah bisnis. Sekolah bisnis pertama yang menawarkan gelar MBA adalah Universitas Harvard pada tahun 1908, hampir satu dekade sebelum pecah Revolusi Bolshevik di daratan Eropa sana. Ada yang menyebut sekolah-sekolah bisnis ini sebagai ‘visible hand’, sebagai istilah ‘penyeimbang’ dari invisible hand-nya Adam Smith.

Maka laku nepotisme yang sungguh telanjang itu sudah bukan masalah sederhana lagi. Ia seakan sedang membuka tutup ‘kotak Pandora’. Segala ‘hal buruk’ ikutannya keluar juga. Spiral ugal-ugalan-pun bisa-bisa nampak tak terhentikan lagi, dan semakin tidak sungkan-sungkan lagi meminggirkan ‘hal-hal baik’. Jika tidak hati-hati, selangkah lagi bisa masuk dalam situasi ‘spiral kekerasan’ seperti digambarkan oleh Uskup Helder Camara (1909 - 1999). Sudah tidak efisien, tidak berkeadilan pula. Rusak-rusakan. *** (25-06-2024)

1449. 70 Triliun Untuk Membangun Komunitas

25-06-2024

Rencana alokasi anggaran sekitar 70 triliun rupiah per tahun untuk makan siang (atau sarapan) gratis, apapun itu, mestinya tidak hanya didekati dalam pendekatan pemecahan puzzle masalah gizi. Apalagi dengan pendekatan ‘proyek’. Tentu saja masalah gizi di banyak kalangan masihlah perlu perhatian penuh, dan bahkan banyak pula masih perlu dibantu dalam pemenuhannya. Tetapi soal itu adalah soal ‘siapapun akan tahu’ bahwa yang sampai di depan anak-anak sekolah semestinyalah makanan bergizi. Atau akan sangat mudah di-cek di lapangan apakah makanan yang tersaji itu ternyata ala kadarnya saja, misalnya.

Pertama-tama dari segi istilah sebaiknya diganti, toh sudah bukan musim kampanye lagi. Kata ‘gratis’ sebaiknya dihilangkan saja, sebab bagaimanapun pembiayaannya dari warga negara juga melalui tarikan pajak-pajak dalam bermacam bentuknya. Yang kedua, karena sasarannya adalah anak-anak sekolah maka apapun itu, termasuk makan siang bersama misalnya, harus terbingkai juga dalam penyelenggaraan pendidikan. Di beberapa negara yang menyelenggarakan makan siang bersama di sekolah, moment itu dioptimalkan juga untuk menanamkan nilai-nilai lain, selain perut diisi oleh makanan bergizi. Misalnya, bagaimana anak-anak yang lebih besar membantu adik-adiknya yang masih kecil. Atau pembiasaan soal kebersihan. Atau membiasakan menghabiskan makanan di piring: soal menghargai makanan dan keringat yang sudah mempersiapkannya. Dan banyak lagi –banyak hal baik yang sebenarnya dimulai dari meja makan. Jadi bukan hanya tubuh masing-masing anak yang ‘dikelola’ tetapi juga soal interaksi antar siswa-guru-dan lainnya dalam moment makan siang bersama itu.

Pelibatan orang tua murid dan bahkan perwakilan siswa dapat dilakukan untuk mendorong semakin terhayati bahwa pendidikan itu memang tidak lepas dari denyut komunitas. Dari sini memang mau tidak mau keterbukaan anggaran menjadi satu pintu masuk yang paling penting. Perilaku ngunthet atau ngemplang atau licik-licik-an kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat akan menjadi sungkan untuk keluar dari sarangnya, karena banyak mata dan telinga yang ikut terlibat. Bahkan sukarelawan dari orang tua-pun secara terjadwal bisa ikut dilibatkan, selain membantu pelaksanaan tentu saja secara sambil lalu ikut mengawasi juga. Bener nggak yang sampai di meja (makan) anak-anaknya itu sudah sesuai dengan yang direncanakan?

Karena outcome makan siang (atau sarapan) tidak hanya soal ‘perbaikan gizi’ seperti memberikan makan ayam petelur misalnya, tetapi adalah terbangunnya komunitas bersama maka soal input dan proses memang harus dipersiapkan dengan baik, dan serius. Karena faktanya memang gedung sekolah banyak yang tidak mengalokasikan untuk ruang makan bersama. Bahkan banyak yang kondisinya memprihatinkan. Maka memang banyak hal harus dibicarakan bersama oleh semua pemangku kepentingan. Untuk ‘kepentingan perut’ yakinlah orang tua murid akan dengan lebih ringan meluangkan waktunya. Ini adalah juga salah satu kesempatan untuk menguji-coba prinsip ‘subsidiaritas’, apa-apa ketika yang terkecil mampu menyelesaikannya, yang di atas sebaiknya menahan diri.

Selain itu siapa tahu prinsip kaizen –perubahan menuju yang lebih baik, dapat dikembang-biakkan dengan memberikan ruang dan waktu bagi masukan-masukan dari semua pihak, terutama dari orang tua dan terlebih dari para siswa sendiri. *** (25-6-2024)