1500. Rampok Tak Tahu Batas
30-08-2024
Unlimited accumulation by dispossession, demikian jika meminjam istilah David Harvey di sekitar-sekitar pergantian abad. Maka ‘aktor idaman’ di ranah politik-negara adalah ‘aktor-politisi’ tak tahu batas juga. Atau, ‘aktor-politisi’ yang sungguh tahu batas akan menjadi ‘musuh-bersama’-nya. Lalu apa yang menjadi nuansa ‘tahu batas’ itu? Jika memakai kata-kata Anies Baswedan baru-baru ini: aspirasi masyarakat. Atau kalau memakai istilah yang sering lekat dengan si-Bung, ‘penyambung lidah rakyat’. Respon terhadap fakta-fakta ‘material’ yang berkembang dalam masyarakat-lah yang akan membedakan apakah ‘aktor-politisi’ itu mempunyai potensi untuk tahu batas atau tidak. Rejim monarki, rejim aristokrasi secara potensial lebih mudah mengalami ‘pembusukan’ untuk berubah menjadi rejim tirani atau oligarki karena faktor di atas. Lebih mudah untuk menjadi sewenang-wenang meninggalkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Semestinya dalam rejim demokrasi, karena ‘aspirasi masyarakat’ menjadi ‘tulang-punggung’ maka pembusukannya lebih ‘tidak mudah’. Kecuali memang, jika rejim demokrasi itu dihayati dan bahkan dalam praktek seakan-akan sebagai rejim monarki dan atau aristokrasi.
Sejak sekitar 50 tahun lalu, ketika penyederhanaan partai melanjut dengan ‘depolitisasi’, ada satu garis kritis yang seakan ‘tidak boleh dilanggar’, tidak boleh pemimpin itu terlalu asyik dengan yang dipimpinnya, terutama khalayak kebanyakan. The great transformation itu kemudian berarti dis-embeddedness, politik yang kemudian dilepas dengan denyut mau-maunya khalayak kebanyakan. Dan perlahan-pun ekonomi semakin lepas dari denyut mau-maunya khalayak juga. Bahkan bertahun-tahun kemudian semakin nampak bahwa politik semakin ditentukan oleh denyut ekonomi yang sudah semakin lepas dari mau-maunya khalayak kebanyakan. Ekonomi bagi khalayak kebanyakan lebih sebagai ‘subsistensi’ saja, cukup untuk bertahan hidup dengan pertumbuhan sekitar 5%. Yang menurut sementara ahli, dengan segala potensi yang dimiliki republik, pertumbuhan sekitar 5% itu tak jauh-jauh amat jika tanpa pemerintahan sekalipun. Kemana larinya potensi pertumbuhan (jauh) lebih dari 5% itu?
Jika memakai istilah Negri dan Hardt di tahun 2000-an, bangunan kekuasaan yang dibayangkan adalah (little) empire, sebuah praktek ‘rejim campuran’ dengan pertunjukan utamanya: demokrasi. Demokrasi terutama sebagai ‘penjinak’ yang banyak saja. Yang dimaksud ‘rejim campuran’ adalah campuran rejim monarki (atau tirani), aristokrasi (atau oligarki), dan demokrasi. Karena ada si-mono maka oposisi menjadi ‘ke-tidak-normal-an’, selain itu kesibukan dari elit politik terutama adalah bagaimana bisa masuk lingkaran ‘aristokrasi’, jaman old melalui salah satu dari jalur A-B-G. Bagaimana dengan demokrasi? Seperti sudah disinggung di atas, lebih sebagai ‘penjinak’ khalayak kebanyakan. Maka tidak mengherankan jika sering muncul upaya ‘penjinakan’ itu bahkan sampai harus membawa cambuk-brutalnya, entah itu kecurangan atau melalui bermacam sandera kasus. Atau represi lainnya.
Mungkinkah demonstrasi besar-besaran di republik hari-hari ini bisa dikatakan adalah peristiwa multitude – istilah Negri dan Hardt, yang sedang meng-counter dinamika (little) empire? Lihat misalnya ada yang melihat celah Whistleblower Office, U.S. Securities and Exchange Commission di Washington sono sebagai tempat aduan sangkaan gratifikasi pada Presiden RI melalui anak dan menantunya itu. Artinya, bukan lagi masalah satu negara saja. Berhasil atau tidaknya gerakan masyarakat hari-hari ini adalah jelas pesannya, banyak yang tidak mau disatukan dalam keranjang kebodohan. Inter-subyektifitas melalui bermacam kanal komunikasi itu membuat tidak hanya bermacam keragaman muncul, tetapi juga mempercepat dan mempertebal apa yang kita kenal sebagai ‘masyarakat pembelajar’. Semakin tahu bahwa pertumbuhan yang hanya sekitar 5% itu berarti juga banyak potensi yang sudah, sedang, dan akan dirampok secara habis-habisan. Secara ugal-ugalan. Tak tahu batas lagi. *** (30-08-2024)
1501. Saat Kematian Tidak Pernah Menjadi Horison
31-08-2024
‘Wawancara’ Jokowi tentang UU Pilkada[1], segera saja mengundang banyak komentar. Juga tentang ‘tehnik-wawancara’-nya. “Pengen ketawa … Kok bisa ya seperti seolah-oleh diwawancara beneran. Kan mudah ketahuan kalau itu setingan,”[2] demikian salah satu komentar terhadap ‘wawancara’ tersebut. Nampaknya ada hal yang perlu dilihat lagi selain penampakan ‘tehnik-wawancara’ tersebut, yaitu keberulangan ‘tehnik’ yang seakan sudah masuk tahap keranjingan-kegilaan. Bahkan dalam waktu kurang dari dua bulan sebelum jabatan berakhir. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa ini?
Salah satu pelajaran adalah bagaimana ‘tehnik sihir’ tersebut ternyata telah menjadi sihir tersendiri bagi ‘pelaku’, seakan sebuah jalan yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, taken for granted. Seakan sudah menjadi hal yang tidak mampu lagi untuk berjarak. Bahkan ketika ‘kematian’ (rejim) sudah di depan mata-pun masih tidak mampu untuk berjarak. Nampaknya jangan-jangan memang bapak itu tidak pernah menghayati ‘kematian-rejim’ sebagai sebuah kemungkinan. Padahal salah satu hal mendasar dalam demokrasi adalah adanya kemungkinan akan ‘kematian rejim’.
Bahkan kemungkinan ‘kematian-republik’-pun bisa-bisa tidak ada dalam imajinasinya. Lihat bagaimana bermacam sumber-daya dikelola, di-‘obral-obral’ dengan segala keugal-ugalan itu. Ngawur habis-habisan. Dirampok-dicolong secara telanjang pula. Atau luas dan dalamnya korupsi yang tak terbayangkan sebelumnya. Belum utang menggunung telah membawa republik di bibir jurang keterperangkapan. Adu-domba yang juga seakan tanpa jeda. Keranjingan sandera kasus dan segala permainan hukumnya. Peraturan-perundangan yang enteng-enteng saja diubah-ditabrak, tanpa beban. Dan banyak lagi yang mana itu bisa saja bersumber dari tidak adanya horison akan ‘kematian-republik’.
Tetapi memang sebagian besar hidup dijalani dengan taken for granted saja. Tapi toh pada saat-saat tertentu, pada peristiwa tertentu ada ‘tuntutan’ untuk tidak taken for granted, tidak lagi ‘seperti biasanya’. Salah satunya ketika dihadapkan akan kemungkinan kematian. Suatu saat mestinya ke-tidak-otentik-an karena modus ‘seperti biasanya’ itu ‘ditunda’ lebih dahulu dan kemudian dikerahkan segala daya dalam membangun sikap atau putusan. Maka dalam satu komunitas akan dilahirkan pemimpin-pemimpinnya, yang mampu tidak hanya kematian diri yang dihadapi, tetapi juga kematian terkait yang dipimpinnya. Yang mampu dan mau untuk ‘lebih sering’ bersikap tidak taken for granted saja. Inilah sebenarnya salah satu hal mendasar dari ‘tahu batas’ itu. Dengan ‘tahu batas’ maka tiba-tiba saja ia sudah membangun sebuah horison. Dan juga dengan ‘tahu batas’ maka ia sebenarnya akan lebih mampu untuk mengakrabi sains, misalnya. Atau paling tidak, hal timbang-menimbang yang sangat penting dalam sikap etis. Karena dengan ‘tahu batas’ tiba-tiba saja bermacam kemungkinan seakan terlempar di depannya. Salah satu ‘batas’ adalah kemungkinan adanya kematian itu. Kemungkinan dimana segala hal menjadi tidak mungkin lagi.
Bagaimana ketika seorang (juga pemimpin) tidak pernah menjadikan kematian sebagai horison? Maka ia akan menjadi ‘tidak terlatih’ untuk menapakkan kaki di luar ‘yang biasa-biasa saja’. Dalam gambar besarnya, kemajuan-lah yang kemudian dipertaruhkan. Karena hal mendasar dari kemajuan itu sebenarnya adalah ‘memajukan horison’. Tetapi mau dijadikan horison atau tidak, toh kematian itu akan datang juga. Ia tidak akan pernah bisa menghindarinya. Salah satu kemungkinan (mbèlgèdès) yang mungkin saja akan menampakkan diri adalah menjadikan ‘kematian-yang-lain’ seakan sebagai ‘kematiannya’ sendiri. ‘Kewajiban’ dalam menghadapi kematian itu seakan diselesaikan melalui ‘kematian-yang-lain’. Melalui rute ‘mirror neuron system’. Maka tak mengherankan jika cerita tentang Remirro de Orco[3] yang disampaikan oleh Machiavelli-pun akan diulang dengan tanpa beban. ‘kematian-yang-lain’ seakan sudah terhayati sebagai ‘tumbal’ pengingkarannya akan kematian yang mestinya dihadapinya sendiri. Tidak bisa diwakilkan, demikian tegas Heidegger. Keranjingan hal seperti ini, sadar atau tidak ‘kematian-yang-lain’ seakan sudah sebagai ‘strategi dasar’ – karena ternyata diulang dan diulang, dalam melanggengkan kuasa. Baik itu ‘kematian-karakter’ yang lain melalui ‘pembunuhan karakter’ sampai pada ujung ekstremnya, ketika yang lain ditunggu-tunggu kapan ya ajal akan menjemput, misalnya. ‘Kematian yang lain’ – melalui sandera kasus juga misalnya, seakan sudah menjadi ‘ready for hand’, sekedar alat untuk melanggengkan kuasa. *** (31-08-2024)
[1] https://x.com/CNNIndonesia/status/1828426600725303392
[2] https://x.com/Puthutea/status/1828577976499478573
[3] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-10, no. 1124, dan lain-lainnya
1502. Power Distance
01-09-2024
Teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang itu sendiri, tetapi teori tentang manusia akan bisa mengubah manusia, demikian pernah dikatakan Abraham J. Heschel dalam Who Is Man? (1965). Bagaimana jika ‘manusia Asia’ misalnya, diteorikan menjadi lain karena mempunyai ‘asian values’? Atau ketika komunitas di republik bersama banyak komunitas lain diteorikan mempunyai power distance (index) tinggi?
Istilah power distance dipopulerkan oleh Geert Hofstede (1928-2020), psikolog Belanda yang meneliti tentang relasi-power di cabang-cabang IBM seluruh dunia di rentang waktu (1960-1970). Di puncak Perang Dingin, di sekitar istilah global village dipopulerkan oleh McLuhan. Dari penelitian tersebut maka kemudian dikenal istilah power distance tinggi dan rendah. Power distance (index) tinggi adalah ketika dalam suatu komunitas tidak terlalu ‘terganggu’ dengan adanya perbedaan distribusi power. Yang ada ‘di bawah’ cenderung tidak rèsèh, dan bahkan melihat power di atasnya sebagai ‘yang baik’, ‘yang putih-putih’ saja. Banyak komunitas-komunitas Asia dikelompokkan dalam komunitas dengan power distance tinggi. Tetapi bukan berarti Eropa sana misalnya, terus semua dengan power distance rendah. Tetapi lepas dari itu, tujuan tulisan ini lebih berangkat dari kutipan Abraham J. Heschel di awal tulisan, dengan sedikit ‘modifikasi’, bagaimana teori tentang manusia akan bisa mengubah manusia (-penguasa dalam olah kuasa). Apa yang akan dilakukan oleh Sang Penguasa jika meyakini bahwa ia hidup dalam komunitas dengan power distance tinggi?
Padahal penelitian terkait power distance itu dilakukan di puncak kejayaan modus komunikasi man-to-mass, terutama televisi, atau tergambarkan dalam istilah global village di atas. Bagaimana dengan, katakanlah 50 tahun kemudian, ketika modus komunikasi mass-to-mass melalui jaringan internet-digital bahkan sudah merebak lebih dari dua dekade? Apakah yang dulu dilihat sebagai komunitas dengan power distance tinggi masih ’setinggi-dulu’? Atau bahkan sudah berkembang mendekat ke power distance rendah? Kata Noam Chomsky di bagian awal dekade 1970-an, ketika satu dengan yang lain masing-masing semakin tahu sentimennya maka ‘status-quo’ akan menghadapi tantangan beratnya. Terbukti di akhir dekade 1970-an itu, Shah Iran yang begitu kuatnya jatuh setelah digerogoti oleh modus komunikasi mass-to-mass via rekaman tape recorder dari Ayatullah Khomeini yang digandakan-berantai-secara-horisontal dan diputar di masjid-mesjid, demikian penggambaran Alvin Toffler dalam Powershift (1990).
Maka tak mengherankan eksploitasi power distance tinggi bertahun terakhir khasiat-mujarabnya sebenarnya hanya bertahan 5 tahun saja, kalah jauh jika dibanding jaman old yang bisa bertahan 30 tahun. Maka tak mengherankan pula untuk mempertahankan kuasa harus ditambah dengan segala kecurangan dalam pemilihan. Kecurangan yang jelas-telanjang begitu dalam dan sungguh luas. UU ITE-pun ikut diperkenalkan. Belum sogokan yang sudah ‘semakin mahal’ saja, akibatnya: korupsi terjadi sudah sampai tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya, kekerasan-represi melalui aparat bersenjata-pun akan menjadi pilihan. Tak jauh-jauh amat dari jaman old, tetapi mempunyai potensi lebih dahsyat karena potensi ‘perlawanan’ akan meningkat pula. Maka ke depan, apakah semakin brutal? Jika tetap dipertahankan ‘asumsi’ dalam olah-kuasa bahwa power distance masih tinggi di khalayak kebanyakan, maka adanya gap yang terjadi karena fakta-material telah banyak berubah, jangan-jangan gap itu akan ‘diselesaikan’ dengan brutalisme yang semakin dalam dan luas? Semoga tidak. *** (01-09-2024)
1503. Persatuan dan Rodinda-nya
03-09-2024
Tidak hanya persatuan, demokrasi-pun ada rodinda-nya. Rodinda kata si-Bung: romantika, dinamika, dan dialektika. Tidak hanya persatuan atau demokrasi yang semestinya punya rodinda, tetapi bahkan kapitalisme-lah yang tanpa lelah melaksanakan rodinda itu! Lihat bagaimana (kelanjutan) romantika ‘menjadi kaya itu mulia’ seperti dikenalkan oleh Deng Xiao Ping. Atau ‘mimpi Amerika’ jauh di sana. Dilanjutkan dengan dinamika dan dialektika tanpa putus, jadilah China seperti sekarang ini, sekitar 50 tahun setelah Deng Xiao Ping memperkenalkan ‘menjadi kaya itu mulia’ dalam perjalanannya ‘ke selatan’-nya itu. Dari bermacam catatan sejarah, yang paling lentur dan mampu bertahan lama dalam ber-rodinda, salah satunya adalah pencarian keuntungan, profit. Joel Bakan dalam The Corporation (2003) telah menunjukkan sekitar awal abad-20, bagaimana merger terjadi dengan semakin membesarnya konsentrasi kapital. Bahkan Harold J. Laski hampir se-abad lalu menggambarkan bahwa jika itu harus melalui jalan fasisme-pun akan dijalani pula. Atau melalui jalan seolah-olah demokrasi? Atau bahkan ‘jalan reformasi’-pun akan dijalani. Akan dijalani entah dengan mlipir-mlipir sambil kayang atau koprol sekalipun, selama keuntungan terus bertambah. Sampai-sampai Jeffrey Winters-pun menggambarkan bermacam bentuk praktek oligarki itu.
Maka soal rodinda ini mungkinkah adalah soal ‘bertahan-mengembangkan hidup’? Revolusi seperti dibayangkan si-Bung ketika menjabarkan soal rodinda, bagaimanapun hanyalah salah satu dari bermacam bentuk upaya ‘bertahan-mengembangkan hidup’. Bagaimana dengan evolusi yang juga melibatkan ‘elan vital’ itu? ‘Elan vital’ yang ketika masuk ranah ‘segala pukul dan dipukulnya’ kemudian melahirkan kreatifitas, dan akan diuji-coba-tolak dalam upaya meningkatkan kualitas hidup? Bukankah romantika dalam banyak hal-nya ujung-ujungnya adalah sebuah ‘elan vital’ juga? Jika Toynbee mengatakan bahwa peradaban itu berkembang karena adanya tantangan dan respon, bukankah sebuah respon-tantangan itu ada dalam ranah ‘segala pukul dan dipukulnya’ komplit dengan ‘aksi-refleksi’-nya? Komplit dengan error dan eliminasi error-nya? Dan bagaimana si-‘minoritas kreatif’ akan pantang menyerah jika tidak ada romantika?
Dari bertahun pasca-1998, terutama bertahun terakhir yang namanya ‘gerakan’ itu ternyata tidak monopoli ada dalam term ‘gerakan rakyat’, tetapi ternyata dalam praktek ada juga ‘gerakan oligarki’ dan bahkan ‘gerakan tiran’, dengan masing-masing punya rodinda-nya sendiri-sendiri. Masing-masing akan berusaha ‘mempertahankan dan mengembangkan’ hidupnya. Kata si-Bung: “Adakah revolusi tanpa tiga syarat-mutlak itu tadi? Ada! Tetapi revolusi yang tanpa romantik, dinamik, dialektik massal, …. [r]evolusi yang demikian itu hanyalah merupakan sekedar “revolusi istana” saja – satu “palace revolution”, yang sekarang muncul, besok sudah hilang kembali.”[1] Cetak miring ‘massal’ adalah asli, mungkin si-Bung ingin menekankan dari aspek ‘rakyat-kebanyakan’. Tetapi benarkah ‘revolusi istana’ itu tidak punya rodinda-nya sendiri? Benarkah ‘revolusi istana’ itu akan ‘sekarang muncul, besok sudah hilang kembali’? Atau coba dipertimbangkan, dalam kapitalisme apakah yang dimaksud dengan ‘massal’ itu adalah konsumen?
Ataukah masing-masing individu punya rodinda-nya sendiri-sendiri. Yang disebut oleh Adam Smith misalnya, kepentingan diri itu? Rodinda-nya si-tiran kemudian adalah pemaksaan kepentingan diri si-tiran. Rodinda-nya si-olig kemudian adalah juga soal pemaksaan kepentingan diri dari anggota-anggota kelompok kecilnya, oligarki. Bagaimana dengan rodinda-nya si-‘massal’, atau katakanlah khalayak kebanyakan? Padahal di satu sisi, masing-masing punya kesibukan sendiri, dari-hari-ke-hari, terkait dengan kepentingan diri masing-masing? Maka tak mengherankan kemudian muncul istilah ‘intelektual organik’. Atau ‘partai pelopor’. Bahkan juga: ‘pendidikan kritis’. Dan seterusnya. *** (03-09-2024)
[1] Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 2, hlm. 564-565
1504. Asal Njeplak Sebagai Narasi?
05-09-2024
Jika Alasdair MacIntyre dalam After Virtue mengatakan bahwa “man is essentially a storytelling animal” maka pada dasarnya tidak lepas juga dengan istilah narasi. Narasi sendiri dari asal katanya memang tidak lepas dari aktifitas ‘mendongeng’ juga. Bahkan untuk meyakinkan bahwa sejarah itu lebih ditentukan oleh dinamika ‘basis’-pun Marx mesti harus membuat ‘narasi’ sampai berjilid-jilid. Atau soal luxury-good misalnya, apakah hanya soal ‘kelangkaan’ saja? Bagaimana dengan tambahan pernak-pernik di sekitarnya, termasuk bermacam narasi-nya?
“Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau lebih dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika.”
“Pengertian retorika biasanya kita anggap negative, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan,” demikian pernah ditulis Y.B. Mangunwijaya dalam Pendidikan Manusia Merdeka, Kompas 11 Agustus 1992. Apakah kemunduran dunia Barat, atau Amerika sono akan juga dimulai dari hadirnya retorika kucluk-kucluk-an a la Donald Trump itu? Mungkin saja.
Retorika dan narasi bisa saja akan berbeda dalam penggunaannya, tetapi outcome-nya bisa tidak jauh-jauh amat. Tetapi bagaimanapun juga, narasi sangat bisa menjadi bagian dari retorika. Narasi bisa menjadi bagian dari pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia yang menurut Mangunwijaya dalam kutipan di atas, rasio dan cita rasa (lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran). Narasi bisa membangkitkan kepenasaran yang bisa saja kemudian ditindak-lanjuti dengan olah-rasio, atau juga mendorong imajinasi terkait dengan ‘cita rasa’. Saat mengunjungi Museum Affandi misalnya, akan sangat terbantukan jika ada penjelasan dari pihak museum. Atau sebelumnya membaca apa-siapa Affandi. Atau bagaimana kita akan menghayati ‘mata hitam’-nya Jeihan? Bagi banyak orang melihat data distribusi kepemilikan rekening dengan rentang saldo tertentu keluaran Bank Indonesia, mungkin tidak berarti apa-apa. Tetapi bagaimana jika pemapar slide data misalnya, kemudian bicara soal ketimpangan?
Maka narasi adalah juga sebuah ‘bingkai’. Sebuah ‘jendela’ yang dengannya kita akan menghayati sesuatu. Yang dengannya saya akan menghayati siapa saya, dan akan mengambil bagian apa dalam ‘cerita’ yang sedang saya bangun, jika mengikuti pendapat MacIntyre di awal tulisan, “man is essentially a storytelling animal”. Tetapi ada dua hal yang mestinya kita pertimbangkan, pertama adalah adanya kecenderungan kuat dalam diri untuk ‘meniru’. Bisa dikatakan, ‘apa saja’, dan ini diperkuat oleh temuan di ranah ‘neuro science’ terkait dengan ‘mirror neuron system’. Yang kedua terkait dengan temuan Albert Mehrabian yang mengatakan bahwa sebagian besar keberhasilan komunikasi itu lebih ditentukan oleh bahasa tubuh. Setelah itu intonasi dan baru kemudian isi dari komunikasi.
Dari bertahun terakhir kita bisa melihat bagaimana eksploitasi ‘rumus’ Mehrabian itu memang sungguh berkhasiat, melalui bahasa tubuh dalam bermacam ekspresi dan pethakilan-nya. Bahkan karena terlalu keranjingannya dengan ‘sihir bahasa tubuh’, soal apa yang menjadi ‘isi’ dalam banyak halnya kemudian terasa sebagai ‘asal mangap’, ‘asal njeplak’. Dua-tiga-tahun berjalan, ‘asal mangap’, ‘asal njeplak’ ini semakin dirasakan ‘mengganggu’ hidup bersama. Dalam ‘rumus’ Merhabian itu, bagaimanapun soal ‘isi’ tidaklah terus menghilang, meski memang ada diurutan setelah ‘bahasa tubuh’ dan ‘intonasi’. Dan melalui bahasa yang dipakai dalam menyampaikan ‘isi’ inilah narasi sebenarnya dibangun. Maunya ada ‘deep frame’ – menurut Lakoff tempat dimana surface frame digantungkan, republik emas 2045, dan semua ‘surface frame’ akan ada tergantung dalam palang-nya, tetapi bagaimana yang ‘asal mangap’, ‘asal njeplak’ itu akan digantungkan dalam ‘deep frame’ republik emas 2045 itu? Tidak nyambung-lah. Maka semakin lama semakin tersingkap bahwa ‘deep frame’ dari ‘asal mangap asal njeplak’ itu bukan ada di republik emas, tetapi ternyata ada di ‘basis’. Dinamika pencarian atau akumulasi kekayaan yang ugal-ugalan, koruptif, penuh perburuan rente, ngemplang, rampok, nguntal, ngunthet, intinya jika meminjam istilah David Harvey, accumulation by dispossession. Semau-maunya. Rusak-rusak-an. Asu Kabèh.
Maka kerusakan republik memang sudah begitu dalamnya: rusak rasio dan ‘cita rasa’-nya. Taste serasa sudah sampai pada idiom unggahan akun kaskus fufufafa yang sedang ramai hari-hari ini. Juga tanpa beban pecicilan pamer kemewahan di tengah-tengah kesulitan yang sedang dihadapi khalayak kebanyakan, padahal sebagai pejabat publik ia harus ikut bertanggung jawab ketika banyak warganya sedang mengalami kesulitan. Atau logika hukum yang juga tanpa beban dijungkir-balikkan. Semau-maunya. Rusak-rusak-an. Asu Kabèh. *** (05-09-2024)