1465. Perlu Banyak Anies B.

25-07-2024

Kalau ‘alergi’ dengan nama Anies Baswedan, sebut saja si-‘katalis’, dalam hal ini: wajah manusia kongkret dengan kemampuan retorikanya.

Manusia yang terbedakan dengan dunia binatang salah satunya adalah kemampuan berpikirnya. Kemampuan dalam timbang-menimbang. Dan dengan itu pula hal etis bisa menjadi lebih mudah diraih. Atau dihadirkan. Atau jadi perbincangan serius. Atau menjadi lebih dimungkinkan untuk memaknai abad-21 ini sebagai ‘Abad Etika’. Retorika dalam ranah politik salah satunya muncul dalam debat, dan debat atau ilmu dialektika menurut Platon akan diajarkan pada bagian akhir pendidikannya. Setelah menjalani bermacam gemblèngan, sehingga berdebat tidak hanya asyik untuk berdebat saja, tetapi ada kebenaran yang memang sungguh sedang dicari. Tidak main-main. Tentu ini dari ‘sisi terang’, sedangkan dari ‘sisi gelap’ kaum Sofis pada jamannya akan berbeda pendapat. Jika Manguwijaya memandang kemajuan Barat itu sebenarnya bertumpu pada perjalanan panjang retorika maka kemunduran Barat-pun bisa-bisa karena retak-besarnya retorika. Paling tidak keretakan besar itu bisa dilihat dari ‘gaya’ retorika Donald Trump, sik-inciter-in-chief peristiwa 6 Januari 2021, ketika pendukung garis keras Trump merengsek masuk paksa ke gedung Capitol.

Ketika dalam sebuah kampanye pemilihan lima tahun lalu –di republik, seorang kandidat di depan pendukungnya dengan enteng-enteng saja mengolok-olok soal kebocoran anggaran, dengan sekeras-kerasnya berteriak penuh olok-olok: bocooor … bocooor … bocooor …., diulang dan diulang, dan disambut meriah para pendukungnya, tanpa berpikir lagi. Maka gegap-gempitalah sebuah olok-olok tentang hal yang sebenarnya sungguh penting untuk dicegah demi kuat dan terus berlangsungnya sebuah negara-bangsa: kebocoran anggaran. Dan setelah kandidat itu memenangkan pemilihan, sejarah justru mencatat bahwa kebocoran anggaran dalam bentuk korupsi dkk-nya itu terjadi dalam jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya. Gila-gilaan.

Jika politik adalah juga seni dari kemungkinan, maka itu tidak hanya terbatas pada soal lobi-lobi politik saja. Karena jika politik juga dihayati sebagai perang tanpa senjata, tanpa darah, maka politik akan selalu lekat dengan ‘gertak’. Dan salah satu ‘tukang gertak’-nya adalah: massa, suka atau tidak. Massa sebagai kemungkinan untuk berperan sebagai ‘tukang gertak’. Maka penampakan baris-berbaris, atau parade kemudian sering muncul dalam bermacam jamannya. Apalagi sambil menenteng senjata –apapun itu, dan di kanan-kiri diiringi bermacam senjata-berat-nya. Menggetarkan. Memabukkan.

Maka tak mengherankan para ‘entrepreneur massa’-pun berkembang dengan segala dukungan teknologi sampai cerdik-pandainya. Bagi Ciputra, seorang entrepreneur adalah yang mampu mengubah sampah jadi emas. Massa jelas bukan sampah, tetapi di tangan seorang inciter-in-chief –entrepreneur dari ‘dunia kegelapan’, melalui bermacam rute dan dukungan baik langsung atau tak langsungnya, sekelompok massa bisa-bisa menjadi ‘sampah’ peradaban. Film dokumenter DW TV, America’s Right-wing Radicals – US Veterans against Democracy[1] bisa menjadi salah satu gambarannya. Seorang ‘entrepreneur massa’ dari ‘dunia terang’ ia akan berusaha tanpa henti mendorong terbangunnya sebuah ‘rantai produksi’ di tengah ‘orang kebanyakan’ – warganya, sehingga kesejahteraan bersama akan semakin mampu didekati. Termasuk juga bagaimana ‘rantai distribusi’-nya. Jepang, dan sekarang China dalam skala ukuran jauh lebih besar, bisa menjadi contohnya.

Dalam Revolusi Informasi seperti sekarang ini, bermacam kemungkinan menjadi lebih berkembang. Bermacam ‘gerak molekuler’ membangun potensinya masing-masing, seakan pada titik tertentu sedang ‘menunggu’ hadirnya si-katalis, apapun itu. Salah satunya adalah seperti disinyalir oleh Manuel Castells di penghujung abad-20, bahwa dalam ‘dunia pencarian makna’ di era Revolusi Informasi seperti sekarang ini, identitas bisa-bisa menjadi sumber utamanya. Di tangan si-inciter-in-chief seperti di sebut di atas, demen-nya soal identitas ini seakan tinggal menunggu si-katalis saja untuk ‘meledak’. Si-katalis seperti sik-Trump dengan retorika kucluk-kuclukannya. Dan yang namanya identitas itu bisa-bisa berubah menjadi petaka peradaban.

Doxografi adalah salah satu tehnik penulisan sejak jaman Yunani Kuno, dimana seseorang yang akan menulis ia menghadirkan lebih dahulu bermacam pendapat dari yang sebelumnya. Baru kemudian ia tulis pendapatnya sendiri, atau juga setuju atau tidak setuju dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Merepotkan memang, tetapi dari tehnik yang ‘merepotkan’ itu beberapa pendapat yang hilang manuskrip-aslinya menjadi bisa terlacak. Selain itu paling tidak ada tradisi yang berkembang, siap untuk dikritisi, diuji-ulang. Sesuatu yang dalam sain menjadi salah satu pondasinya. Tetapi yang ‘tidak nampak’ adalah terkait dengan ‘konsep orisinalitas’. Klaim-klaim yang ‘paling orisinil’-pun kemudian melemah. Apakah ini kemudian bisa sedikit menjelaskan mengapa sik-Trump itu sering seperti orang mabuk-anti-sains? Atau sains yang terlalu sering diolok-olok seperti di republik. Entah dengan gelarnya dibuat sebagai main-main, atau ijasahnya, atau ‘logika’-nya. Atau keranjingan asal mangap, asal njeplak. Macam-macam, intinya buat apa berkeringat terkait dengan sains? Terlalu sering sains mengalami ‘pembunuhan karakter’-nya.

Ataukah untuk menghindari ‘bentrok-antar-identitas’, sains bisa sebagai ‘pihak ketiga’-nya? Yang dimaksud dengan judul, di ranah politik apakah tidak sebaiknya diperbanyak sosok seperti Anies B.? Retorika-nya jauh dari nuansa inciter-in-chief, dan di sana sini sering diselipkan idiom-idiom sains? Diperbanyak sosok ‘entrepreneur massa’ dari ‘dunia terang’. Membangun apa yang disebut Manuel Castells sebagai ‘masyarakat jaringan’, dengan tetap diupayakan terus kompatibel terhadap ‘Abad Etika’. *** (25-07-2024)

[1] https://www.youtube.com/watch?v=3W-rUY0nDxo

1466. Terlalu Banyak Rubicon Diseberangi

28-07-2024

Kurang lebih satu-dua minggu lalu saat jalan-jalan di Paragon Mall Semarang, ada penampakan yang tidak biasa. Bermacam model-warna mobil mewah Rubicon parkir di depan hotel yang ada juga di mall. Mungkinkah sedang ada acara khusus bagi ‘kelas’ penggemar mobil mewah tertentu? Tidak tahu juga. Tetapi peristiwa itu mendorong sebuah imajinasi tentang hikayat Rubicon. Sungai Rubicon yang akhirnya diseberangi oleh Julius Caesar di sekitar tahun 50 SM. Dan pecahlah perang saudara yang kemudian berujung naiknya Julius Caesar sebagai seorang diktator dengan sekaligus perluasan wilayah yang ada dalam otoritasnya. Sekaligus juga mengubur res-publika.

Peristiwa Reformasi sekitar 25 tahun lalu adalah juga mengingatkan untuk tidak menyeberangi ‘sungai (–sungai) Rubicon’, yang bisa kita bayangkan sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme. Serta profesionalisme tentara. Yang pegang senjata kembali ke fungsi yang semestinya. Juga ada ‘sungai besar’ tentang hak-hak asasi manusia. Semua itu kemudian sering ‘dibungkus’ dengan demokrasi. Suatu penyelenggaraan demokrasi pasca-1998 yang sebenarnya tidak akan terjelaskan jika lepas dari hal-hal di atas. Si-demos yang dibayangkan –melalui jalan demokrasi, mampu menjaga sisi bermacam ‘sungai Rubicon’ itu sehingga tidak ada yang coba-coba menyeberangi.

Ada yang menghayati hikayat ‘menyeberangi Sungai Rubicon’ adalah juga ‘passing a point of no return’. ‘Sungai-sungai Rubicon’ dalam imajinasi Reformasi memang lekat dengan ‘passing a point of no return’ jika diseberangi. Atau katakanlah, pertaruhannya sangat-sangat besar. Mengapa? Karena menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651), hasrat akan kuasa yang digendong manusia itu tidak hanya dibawa sampai mati, tetapi lebih dari itu, hasrat akan kuasa itu adalah juga untuk mempertahankan apa-apa yang sudah dipunyainya, sudah dinikmatinya. Maka bisa-bisa orang akan mempertahankan kuasa dalam paradigma at all cost demi mempertahankan apa-apa yang sudah dinikmatinya. Dan bagaimana jika itu melibatkan senjata di tangan?

Maka frasa ‘tanpa beban’ bisa-bisa akan menghantui perjalanan republik. ‘Tanpa beban’ kemudian akan dicatat sebagai ‘tidak peduli apa yang sedang dipertaruhkan’. Tak jauh saat Julius Caesar menyeberangi Sungai Rubicon lebih dari 2000 tahun lalu, ‘fase stabilisasi rejim otoriter’-pun semakin menancapkan kuku brutal-nya, dan sekaligus akan mengubur republik. ‘Orang itu’ memang hanya merusak republik saja. Bukan bodoh, konyol atau sejenisnya, tetapi: pengkhianat. Khianat adalah karakter aslinya. Machiavellian moment ini dapat kita lihat bersama bagaimana ujungnya semakin menampakkan diri: chaos. Dan dalam situasi seperti itu, siapa yang akan maju sebagai si-sovereign? “Sovereign is he who decides on the exception,” demikian Carl Schmitt sekitar 100 tahun lalu. Dan bagaimana jika yang memegang senjata merasa punya ‘hak-lebih’ untuk memutuskan? *** (28-07-2024)

1467. Ternyata Marx Salah!

29-07-2024

Ternyata bukan agama yang menjadi ‘candu’-nya masyarakat seperti dikatakan Marx di bagian akhir Abad-19, bukan …, ternyata bukan agama tetapi: tambang. Mungkinkah karena Marx lupa mendeteksi kapitalisme ‘jenis baru’? Yaitu ‘kapitalisme’ ngunthet, ngemplang, nguntal, dan sekitar-sekitarnya? Produksi kekayaan di ‘basis’ itu ternyata ada bagian yang dinamikanya lekat dengan relasi-relasi pengunthetan, pengemplangan, penguntalan. Hanya saja karena ngunthet, ngemplang, nguntal akan berdampak dalam produksi kekayaan jika dan hanya jika dilakukan oleh yang punya kuasa maka sebenarnya soal tambang itu bukanlah ‘candu’-nya masyarakat, tetapi lebih pada ‘candu’-nya para pejabat. Pejabat adalah yang sedang menjabat, entah di ranah negara, masyarakat sipil, maupun pasar. Di masyarakat sipil-pun bisa macam-macam, bahkan pejabat ormas keagamaan sekalipun sudah banyak yang mulai kecanduan. Kucluk-lah.

Jadi …, what is to be done, cuk Lèn?! *** (29-07-2024)

1468. Sok Mafioso

30-07-2024

Jika urusan mafia adalah kekerasan, itu baru sebagian benar saja. Karena menurut Diego Gambetta, mafia adalah specific economic enterprise, an industry which produces, promotes, and sells private protection.[1] Dari asal-usul katanya, kata mafia dalam salah satu penulusurannya adalah berasal dari kata Arab: maha, yang dalam dialek Sisilia dikatakan sebagai mafie.[2] Atau kita bayangkan sebuah buku tentang alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945, terutama bagian awal-awalnya, dan judul bukunya kemudian mirip-mirip dengan buku Diego Gambetta (lihat catatan kaki) yang menjadi sumber kutipan di atas: The Government of Indonesia, The Business of Public Protection, maka mafia-pun bisa-bisa akan berkembang menjadi semacam ‘negara dalam negara’ yang kesibukan utamanya sebagai sebuah industri – bukan negara, seperti dikatakan oleh Gambetta di atas, produces, promotes, and sells private protection. Atau kalau memakai terminologi Jeffrey Winters, mungkin akan dekat dengan istilah sultanistic oligarchy ketika ‘sik-mafioso’ ada di puncak ranah negara. Entah itu sungguhan atau sekedar boneka saja. Sama saja outcome-nya. Bahkan bisa-bisa akan lebih ‘kejam’ atau semau-maunya jika itu boneka, karena boneka jelas akan dengan enteng-enteng saja – tanpa beban, menampilkan wajah bukan manusianya. Padahal menurut Emmanuel Levinas, perjumpaan face-to-face itu semestinya akan menghadirkan hal etis. Yang dimaksud dengan face-to-face itu adalah wajah-wajah manusia dengan seluruh tarikan ekspresinya. Lha kalau salah satunya ‘boneka-kayu’?

Jika melihat definisi mafia seperti disebut Gambetta di atas, maka sebagai sebuah industri-pun mafia memang mempunyai potensi untuk menjadi kejam, karena dalam sebuah industri apalagi yang kapitalistik, godaan mengambil rute reifikasi akan membesar pula. Reifikasi akan melihat manusia sebagai yang sudah ‘di-benda-kan’. Jadi seperti digambarkan Levinas di atas, ketika terjadi perjumpaan face-to-face seakan ‘yang lain’ itu mengatakan, jangan bunuh saya, misalnya, sehingga saya menjadi ikut bertanggung jawab terhadap ‘yang lain’ itu, bisa-bisa itu tidak terjadi karena ‘yang lain’ sudah terhayati sebagai bukan manusia. Karena penghayatan terhadap manusia yang lain sudah tercemar oleh proses reifikasi.

Maka dikenal pula sebagai ‘negara mafia’, negara yang dikelola tak jauh dari prinsip-prinsip mafia, atau dalam praktek tak jauh-jauh amat dari: fasisme. Fasisme seperti digambarkan oleh Harold J. Laski dalam The State in Theory and Practice (1935), ketika terjadi dilema antara demokrasi yang katakanlah ingin peningkatan kesejahteraan buruh dan di sisi lain: pemaksimalan keuntungan, maka kemudian mengambil ‘jalan gampang’ dengan diselesaikan melalui fasisme. Keuntungan jalur privat yang ugal-ugalan itu kemudian di-proteksi oleh negara yang dijalankan oleh ‘sik-mafioso’.

Maka ketika ranah negara semakin kehilangan empati-nya terhadap warga kebanyakannya, jangan-jangan yang ada di puncak itu sudah merasa sebagai sik-mafioso. Jika itu yang terjadi maka tidak mengherankan kesibukan utamanya adalah memberikan perlindungan, produces, promotes, and sells private protection. Siapa mampu bayar lebih, maka akan dilindungi. Tak peduli siapa atau apa yang sudah dilakukan. Ketika ranah negara semakin kehilangan empati-nya terhadap warga kebanyakan, maka rasa ke(tidak)adilan-lah yang akan berkembang semakin kuat di kalangan warga kebanyakan. Rasa-merasa soal keadilan akan semakin terusik. Lalu dengan apa ini akan dihadapi? Salah satu-nya adalah dengan kekerasan, dan ketika itu dilakukan maka ketidak-adilan-pun akan semakin berkembang. Dan potensi terjadinya ‘spiral kekerasan’ seperti dikatakan oleh Dom Helder Camara akan semakin membayang. Maka yang terjadi seperti gambaran umum tentang dunia mafia, dunia kekerasan. Padahal itu semua mulai dari seperti digambarkan oleh Gambetta, berangkat dari ‘bisnis’ perlindungan. Rusak-rusakan.

Indikasinya? Kita lihat yang terakhir saja, yang sedang menjadi perbincangan: penampakan soal inisial T sik-bos-judi-on-line itu, jangan-jangan itu adalah proses penegasan diri siapa ‘sik-mafioso’ sesungguhnya. Jadi bukan hikayat pemberantasan judi-on-line. Maunya. *** (30-07-2024)

[1] Diego Gambetta, The Sicilian Mafia, The Business of Private Protection, Harvard University Press, 1996, hlm. 1

[2] Ibid, Appendix A, hlm. 259-260

1469. Serangan Balik 'Kutukan Sumber Daya'

01-08-2024

Siapa yang tidak risi terus menerus dikutuk? Jika kita membayangkan ada tiga ranah, negara, pasar, dan masyarakat sipil, maka bisa dikatakan istilah ‘kutukan sumber daya’ ini akan lebih disuarakan oleh masyarakat sipil. Kolaborasi (ugal-ugalan) antara negara dan pasar-lah yang akhirnya melahirkan si-terkutuk, sumber daya, atau katakanlah: tambang. Mungkin karena sudah terlalu lelah dikutuk terus menerus, akhirnya sik-sumber daya itu melancarkan serangan baliknya. Maka sik-sumber daya keluar ‘sarang’ dan menarilah dengan genitnya di depan masyarakat sipil. Ada yang langsung tergoda, ada yang tergoda kemudian, dan ada yang mulai membuat barisan untuk antre.

Maka mulailah istilah ‘eksternalitas’ itu diakrabi. Ketika sebuah supermarket di bangun dan membuat macet lalu-lintas sekitar pintu masuknya, kemacetan itu kemudian ‘dibaptis’ sebagai ‘eksternalitas’ (saja). Yang tidak ingin masuk ke supermarket – yang jumlahnya mungkin jauh lebih banyak, ikut-ikutan merana karena adanya kemacetan itu. Karena itu kemudian dihayati sebagai ‘eksternalitas’ maka: harap maklum. Karena itu bukan lagi tanggung jawab si-pemilik supermarket. Ada di luar urusan ke-supermarket-an. Meski mungkin saja ada peraturan ini dan itu yang ditujukan untuk menghindari terjadinya kemacetan, tetaplah tidak menghapus penghayatan akan ‘eksternalitas’ seperti tergambarkan di atas. Memang ada yang menggambarkan sisi eksternailtas yang ‘positif’, tetapi sebagian besarnya akan terhayati dalam konotasi ‘negatif’-nya. Tak jauh-jauh amat dari persoalan ‘legitimasi’, mana yang lebih menguntungkan.

Tetapi serangan balik dari ‘sik-sumber daya’ itu melebihi persoalan eksternalitas, apakah itu ‘positif’ atau apalagi ‘negatif’. Tetapi –seperti sudah disinggung di awal tulisan, adalah soal ‘menjinakkan’ masyarakat sipil. Dan bahkan lebih dari itu, ‘menjadikan logika pasar’ sebagai satu-satunya yang rasional. Komitmen sebagai benteng terakhir dari gerakan masyarakat sipil-lah yang sedang diusahakan untuk dikubur dalam-dalam. *** (01-08-2024)