1510. Hidup Dalam Dunia 'Ceteris Paribus'

15-09-2024

Depolitisasi a la jaman old – yang akan berujung pada menguatnya dunia oligarki atau bahkan ke-monarki-an, dan maunya diulang dengan beberapa variasinya di bertahun terakhir ini, pada dasarnya menempatkan ‘yang banyak’ dalam ranah ‘ceteris paribus’, dianggap ‘konstan’ saja. Konstan ‘mudah ditipu’. Atau ‘lapis kedua’: konstan ‘mudah ditekan’. Di-semprot-semprot saja nanti akan bubar juga, demikian ada keyakinan di antara ‘mereka’. Maka ‘musuh-besar-mereka’ adalah siapa saja yang ingin membuka ke-‘ceteris paribus’-an ‘yang banyak’ itu. Menempatkan (lagi) ‘yang banyak’ itu tidak dalam ranah ‘konstan’ yang tidak akan mempengaruhi politik. Menjadi tidak mudah untuk ditipu, menjadi tidak mudah lagi bubar meski sudah disemprot-semprot. Intinya, melawan depolitisasi.

Mengapa depolitisasi itu mesti dilawan? Karena (de)politisasi itu akan mempunyai daya ungkit besar. Depolitisasi bisa beranak-cucu macam-macam. Yang jelas adalah bagaimana ketimpangan itu akan bisa berlangsung secara ugal-ugalan. Bahkan perjuangan politik untuk mempersempit ketimpangan itu bisa-bisa menemui arus-balik-raksasanya: fasisme, demikian digambarkan Laski hampir se-abad lalu. Di balik permasalahan ketimpangan ini sebenarnya tidak hanya masalah ‘ekonomi’ belaka, tetapi ada soal etika di situ. Maka depolitisasi itupun bisa juga akan berujung pada ‘de-etikaisasi’. Bola salju akan terus menggelinding, dengan korban berikutnya: hal timbang-menimbang. Etika akan tidak lepas dari kemampuan timbang-menimbang, maka kita bisa membayangkan terkait dari apa yang mau diraih dari ‘gonta-ganti-kurikulum’ itu misalnya. Ber-dekade-dekade. Atau glorifikasi ‘paradigma output’ dalam pendidikan, di semua tingkatnya. Atau lihat selama bertahun terakhir bagaimana timbang-menimbang ini mengalami ‘pembunuhan karakter’ secara brutal. Dipojokkan secara brutal di balik tirai asap kerja-kerja-kerja itu.

Tetapi bagaimanapun ‘yang banyak’ itu akan disibukkan oleh urusan masing-masing, terutama dalam bertahan dan mengembangkan hidup. Tetapi benarkah pada peristiwa tertentu kesibukan itu tidak dapat ‘ditunda’ lebih dahulu demi sesuatu ‘di luar kepentingan diri’-nya? Salah satu yang mesti diperhitungkan di sini adalah jika kita bicara soal bermacam bentuk rejim adalah ‘spektrum keberagamannya’. Dalam rejim monarki, si-mono jelas tidak bicara soal keberagaman pada dirinya, demikian juga soal rentangnya kecil saja jika bicara keberagaman pada diri rejim oligarki. Bagaimana dengan rejim demokrasi? Dalam politik ranah negara salah satu ‘tata-kelola’ keberagaman itu adalah melalui partai politik. Maka dapat dilihat bahwa rejim monarki maupun rejim oligarki cenderung akan berusaha keras untuk ‘menjinakkan’ partai politik. Ia akan juga berusaha keras untuk ‘menjauhkan’ partai politik dari ‘yang banyak’ dan menyerap ‘energi-keterkaitan’-nya lebih pada oligarki, bahkan jika mungkin pada si-mono. Secara ‘kecenderungan’ ini memang lebih mudah dilakukan karena pada diri partai politik itu-pun menggendong juga potensi tumbuhnya oligarki.

Tidak hanya soal ketimpangan yang akan selalu membayangi sejarah perjalanan manusia, tetapi juga bagaimana ketimpangan itu dilawan. Dilawan oleh ‘yang banyak’ karena pada dasarnya korban ketimpangan itu lebih ada pada ‘yang banyak’. Masalahnya partai politik seperti digambarkan di atas, sering lebih terserap ‘ke atas’ daripada berpihak pada ‘yang melahirkan’, paling tidak dilahirkan oleh sebagian (masing-masing) dari ‘yang banyak’ sebagai fakta potensialnya. Paling tidak dalam ‘prakondisi sosial’-nya, yang terus menggelinding sampai terbentuk ‘pelembagaan’ partai politik itu. Maka ketika partai-partai politik itu, katakanlah sudah tidak bisa diharapkan lagi oleh ‘yang banyak’, muncullah apa yang mungkin saja disebut sebagai ‘partai momentum’. Sebuah peristiwa seakan sebagai ‘axis mundi’-nya gerakan sana-sini dari ‘yang banyak’. ‘Orang berkumpul’ tidak lagi membawa bendera partai politiknya, tetapi lebih karena merasa menjadi bagian dari ‘yang banyak’. Apakah kemudian menjadi ‘a-ideologis’? Benarkah? Bukankah adanya ideologi itu juga membutuhkan prakondisi sosial-nya?

Maka dalam rejim demokrasi salah satu pilarnya adalah memang keberagaman itu sendiri. ‘Yang banyak’ akan selalu ada dalam bermacam perbedaan. Majalah Prisma yang terbit pertama kali tahun 1971 misalnya, yang tetap eksis meski ada upaya ‘penyederhanaan partai’ dalam ‘dunia besar’-nya - sebagai bagian dari depolitisasi, apakah menjadi tidak bermakna hanya karena isinya cenderung ‘ketat’? Atau aktifis LSM yang begitu trampil menyampaikan banyak hal dalam bahasa sehari-hari juga tak bermakna? Tak bermakna ketika misalnya ada momentum perubahan di sekitar 1998 itu? Ketika ‘yang banyak’ itu dianggap sebagai ‘faktor konstan’ dalam dinamika ke-oligarkian, bahkan ke-monarkian, apapun itu, maka hanya melalui keberagaman-lah ‘penyederhanaan yang banyak’ sebagai yang konstan karena ‘mudah ditipu’ misalnya, itu akan bisa dilawan. Kita tidak tahu sampai mana ke-saling-keterpengaruhan satu sama lain dalam keragaman, atau melalui rute apa, dari yang bacaannya Prisma misalnya, dengan yang blusukan melalui LSM-LSM itu. Atau aktivis kampus. Atau lainnya. Macam-macam. Atau lihat bagaimana keberagaman itu mau ‘dikerdilkan’ lewat bermacam tebaran fanatisme, misalnya. Telanjang dan sangat mudah dirasakan bertahun-tahun terakhir bagaimana keberagaman yang mempunyai fakta potensial yang dahsyat itu terus menerus mau ditelikung. *** (15-09-2024)

1511. Peringatan C. P. Snow

16-09-2024

When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion,” demikian pernah dikatakan oleh Charles Percy Snow (1905-1980) pada akhir tahun 1960. Ungkapan Snow ini juga dikutip oleh Stanley Milgram dalam laporan eksperimennya, terbit sekitar sepuluh tahun kemudian. Eksperimen Milgram terkait dengan obedience. Demi ‘kesetiaan’ ternyata orang kemudian bisa melakukan apa saja, bahkan jika itu berlawanan dengan hati nuraninya. Bahkan ketika ia menemukan alasan-alasan logis bahwa sebenarnya ia mestinya melawan untuk melakukan sesuatu itu, tetapi demi ‘kesetiaan’ ia tetap melakukannya.

Mungkin sekali konteks beberapa hal di atas adalah tertangkapnya Adolf Eichmann, tokoh Nazi yang ditangkap dalam pelariannya di Argentina pada bagian awal tahun 1960. Setahun berikutnya pengadilan atas kekejaman Eichmann dalam holocaust selama Perang Dunia II digelar di Israel, dan dari catatan Hannah Arendt kemudian mengemuka istilah banality of evil. Hal timbang-menimbang menjadi sangat kerdil di depan ‘obedience’. Dan ujung-ujungnya ke-evil-an itu menjadi banal.

Bagaimana jika berandai-andai, ‘rebellion’ dalam kutipan di awal tulisan diganti dengan ‘oposisi’? Bertahun terakhir bangunan politik seakan diletakkan pada obsesi ‘obedience’. Dengan bermacam rute hitam-putih-abu-abu-nya. Dan dalam waktu bersamaan, oposisi terus diperlemah. Yang terjadi? Tidak jauh dari ungkapan C.P. Snow di atas, the long and gloomy history kemudian membayang lekat. Hampir di semua aspek hidup bersama. Apakah republik sedang dalam proses dimana bermacam ke-evil-an itu berjalan seakan sedang baris-berbaris menuju proses banal-nya? Karena kerdil dan terus saja menjadi semakin kerdil dalam hal timbang-menimbang di ranah negara itu maka seakan semua warga republik disuruh mengikuti peniup seruling negara untuk masuk jurang, tak jauh dari dongeng Peniup Seruling dari Hamelin itu. Mau? *** (16-09-2024)

1512. Baca

19-09-2024

Mengapa soal apakah membaca itu penting atau tidak, mesti diperdebatkan? Mungkinkah ini dimulai dari petinggi yang secara demonstratif menampakkan diri bahwa ia senangnya baca komik? Komik anak-anak. Tidak ada salahnya memang, tetapi secara demonstratif oleh petinggi? Apakah ia lupa bahwa sebagai petinggi itu sangat mungkin akan menjadi ‘model’ yang akan ditiru oleh khalayak kebanyakan? Disambung oleh ‘penerusnya’ yang secara terbuka mengatakan bahwa ia tidak suka baca. Masalah tambah runyam ketika kritik diajukan, maka pendukung dan penjilat-buzzer-buzzer para petinggi itupun kemudian membela dengan membabi-buta, jadilah soal membaca itu penting atau tidak kemudian masuk arena. Arena debat dan olok-olok.

Sekali lagi, bahkan ‘perdebatan’-nya adalah soal membaca itu penting atau tidak! Slogan ‘kerja-kerja-kerja’ itu ternyata menggendong collateral damage yang tidak kecil. Di luar soal ‘kerja (-kerja-kerja)’ seakan turun kelas, bahkan jika tidak ada-pun tidak masalah. Jika membaca itu tidak penting, mengapa ada program pemberantasan buta huruf yang bahkan dimulai sejak awal-awal kemerdekaan itu? Bagi Driyarkara –sekitar 10 tahun setelah Proklamasi, terkait dengan negara ia menghayatinya dalam istilah: menegara. Menegara itu adalah juga soal bagaimana negara diperbincangkan. Negara adalah soal bercakap-cakap, baik dari yang omon-omon saja sampai dengan perdebatan sengitnya. Maka membaca dalam banyak halnya akan terlibat baik secara langsung atau tidak dalam menegara itu. Bagi Heidegger, bahasa adalah rumah dari being, atau katakanlah, manusia. Dengan bahasa manusia juga lebih bisa membangun keberakarannya. Dengan bercakap-cakap maka modus menegara itu perlahan akan meluaskan penghayatan negara lebih dari sekedar habitat saja. Bercakap-cakap jelas tidak bisa dibayangkan jika tidak ada hal yang dicakapkan, entah itu fakta sehari-hari, atau masing-masing mimpinya, atau pertandingan bola besok malam. Atau hal-hal yang ditemui setelah baca ini dan itu. Ada hal-hal yang memang tidak bisa atau belum bisa dicakapkan, ya tidak usah dipaksa-paksa untuk dicakapkan.

Tetapi bagaimana jika hal yang dicakapkan itu kemudian ‘dilempar’ ke ‘dunia ketiga’-nya popperian? Bisa dipahat di dinding gua, di bilah bambu atau kulit, atau dalam bentuk-bentuk manuskrip dengan ditulis tangan. Atau kemudian dicetak massal, melalui mesin cetak inovasi Guttenberg, 650 tahun lalu? Atau dilempar dalam sosial media? Apa yang terjadi? Bermacam revolusi! Atau juga, Arab Spring di beberapa tahun lalu. Atau bahkan sebuah demonstrasi besar-besaran seperti di Inggris beberapa waktu lalu, bahkan ketika yang dilempar adalah dis-informasi. Maka kemampuan membaca ternyata bisa juga berujung revolusi. Membaca yang kemudian dilanjutkan dengan ‘bercakap-cakap’. Karena cakap-cakap itulah bermacam respon terhadap dinamika ‘basis’ itu kemudian menjadi respon ‘yang terdukung’. Bermacam respon terhadap bermacam kepenasaranpun kemudian dapat lebih diuji-ulang. Oleh orang lain, dan juga di lain waktu, lain tempat. Mampu dan mau membaca ternyata bisa berujung dahsyat. Ujung yang mungkin saja kita tidak pernah membayangkan sebelumnya. *** (19-09-2024)

1513. Sendimen

20-09-2024

Awan nang ngarep Balé Déso, Lurahé Mukidi diubengi karo poro wartawan. Nang mburi wartawan, ponakané Koh Bos komplit karo komplotané mèlu nonton ngrubung Lurahé. Nang mburiné poro wartawan. Sajak podho penasaran. Wartawan A takon nang Lurahé Mukidi karo nyedhaké mik: “Fa .. fa .. fi .. fu .. fu …”

Lurahé Mukidi : “Lho bédo … sèndimèn kali karo pasir kali kuwi bédo … Bédo adoooh …” Pak Él gagé nyedhaki Lurahé, bisik-bisik. Lurahé Mukidi terus ngralat: “Maksudé mau kuwi: sèdimin ….”

Ponakané Koh Bos lan sak komplotané langsung waé mbengok: “Entuut …

Wartawan B: “Fa … Fa … Fufu … fa … fi …” Pak Él gagé bisik-bisik manèh nang Lurahé Mukidi. Lurahé Mukidi terus ngralat manèh: “Maksudé mau kuwi: sèmindi ….”

Ponakané Koh Bos dkk: “Entuuuuuuut…”

Wartawan C: “Fufu … fafa… fifi .. féfé …” Pak El gagé bisik-bisik manèh nang Lurahé Mukidi. Lurahé Mukidi terus ngralat sepisan manèh: “Maksudé mau kuwi: “Mèndisi ….”

Ponakané Koh Bos dkk: “Entuuuuuuut…”

Wartawan D terus tepuk-tepuk pundaké wartawan C sing ngadeg persis nang ngarepé. Bar kuwi poro wartawan terus balik kanan ora sido wawancara karo Lurahé Mukidi. Liwat ngarepé ponakané Koh Bos dkk, ditakoni: “Ambuné opo Lik…?

Kompak poro wartawan kuwi nyahut: “Entuuuuut …” *** (20-09-2024)

1514. Politik dan Jangkauannya

21-09-2024

Satu kemampuan yang tidak dimiliki oleh pemimpin negara manapun, hanya Presiden Jokowi: Mencabut Isi Kepala Para Pendukungnya. Jangankan bajer ketengan, sekelas Profesor pun bisa hilang isinya, tak berbekas,”[1] demikian diunggah oleh @uyoktweet belum lama ini. Jangkauan politik memang bisa seperti sebuah jaggernaut yang meluncur dari atas bukit, istilah yang dulu sering dipakai untuk menggambarkan dinamika globalisasi. Terlebih dalam komunitas dengan power distance tinggi. Bahkan satuan keluarga-pun tidak lepas dari pengaruh politik. Misalnya ketika politik mulai mengangkat dengan serius soal kesetaraan gender, misalnya. Tidak hanya itu, di tingkat individu bisa juga sangat berpengaruh, misalnya ketika politik memutuskan apa yang pantas dipakai dan yang tidak pantas. Lihat misalnya terkait Mahsa Amini, perempuan 22 tahun yang meninggal setelah ditangkap karena urusan pakaian di Iran sana, dua tahun lalu.

Tetapi Karl Marx, baik secara langsung atau tidak telah memberikan tanda bagaimana sebaiknya ‘jangkauan politik’ ini dihayati, yaitu terkait pada soal ‘pembagian kesejahteraan’ atau vulgarnya, ‘pembagian kekayaan’. Asal tidak jatuh pada penghayatan over-deterministiknya, bagaimana determinasi ‘basis’ atas ‘bangunan atas’ bisa sebagai titik berangkat menghayati ‘jangkauan politik’ ini. Politik ada di ‘bangunan atas’. Jika memakai term David Harvey soal accumulation by dispossession di sekitar pergantian abad ini, bertahun terakhir sungguh bagaimana tesis David Harvey itu terbukti. Bagaimana perampokan bermacam lembaga dana pensiun, soal cuci uang misalnya, secara telanjang membuktikan salah satu fitur accumulation by dispossession: finansialisasi. Bagaimana BUMN dibuat bangkrut misalnya, ujungnya adalah: privatisasi. Atau juga terkait dengan fitur manajemen dan manipulasi krisis, berapa triliyun rupiah ‘numpang lenyap’ akibat tata-kelola pandemi? Dan terakhir yang semakin nampak, fitur state redistribution, contoh telanjang: Proyek Strategis Nasional itu. Atau soal bebas pajak justru bagi ‘yang besar’, tax holiday katanya. Atau juga rent seeking activities itu.

Bermacam fitur accumulation by dispossession pada dasarnya adalah sebuah booster bagi terkonsentrasinya kesejahteraan di tangan sedikit orang saja. Rute ‘akselerasi’ dibandingkan dengan ‘akumulasi primitif’. Maka tak mengherankan pula jika politik-pun kemudian selalu ‘berusaha’ untuk terkonsentrasi pula. Lalu bernyanyilah para ‘politisi’ itu soal ‘Asian values’. Budaya kita enggak mengenal oposisi, demikian refrain yang diulang-ulang. Tetapi ada yang bisa kita kembangkan terkait istilah terlontar ‘Asian values’ ini, terutama soal values-nya, soal nilai-nilai. Dan pada titik inilah sebenarnya soal over-deterministik dalam konteks Marxian di atas itu menjadi salah. Karena ada nilai-nilai yang diperjuangkanlah maka efek determinasi dari basis mesti ‘ditunda’ lebih dahulu, dan kemudian dilihat dari bermacam hal-nya. Siapa tahu di belakang segala dinamika ‘basis’ yang seakan berjalan secara ‘alami’ itu ada-lekat dengan soal de-humanisasi? Atau juga, ‘de-republikasi’? Jadi isunya bukanlah ada oposisi atau tidak, bahkan dalam ‘partai tunggal’-pun akan selalu ada kritik-otokritik, selalu akan ada oposisi, jika mau berumur panjang. Bahkan dalam diripun selalu ada oposisi jika mau hidup lebih ‘berkualitas’, misal melalui latihan keras dalam rute agere contra itu. Istilah devil advocate itupun muncul dalam konteks oposisi-oposisian juga. Atau bagaimana sains akan berkembang jika tidak mengenal ‘oposisi’?

Dan bertahun terakhir kita bisa melihat bagaimana hancur-nya nilai-nilai dalam ranah politik itu telah membuat accumulation by dispossession berjalan secara ugal-ugalan. Seakan membenarkan tesis over-deterministik itu. Bagaimana nilai-nilai jadi begitu hancurnya? Atau sengaja dihancurkan sehingga accumulation by dispossession bisa berlangsung seakan ‘tanpa lawan’? Dari bertahun terakhir, penghancuran nilai-nilai itu akan berjalan secara efektif dan efisien semakin nampak jika itu terutama didasarkan oleh mekanisme ‘sandera kasus’. Titik bidik ‘sandera kasus’ adalah salah satu benteng-kokoh adanya nilai-nilai: kehormatan. Kehormatan menjadi salah satu pengawal utama adanya nilai-nilai, sehingga kemudian ada ruang dan waktu untuk bertransformasi menjadi komitmen. Apa yang terjadi ketika komitmen menjadi salah satu korban utama dari ‘rantai-sandera-kasus’ itu? Maka yang terjadi adalah kepentingan diri itupun menjadi ugal-ugalan. Kepentingan diri yang pada dasarnya lebih didorong oleh segala hasrat itu. Terjadilah apa yang dulu sudah disinyalir oleh Hume, soal potensi hasrat akan memperbudak rasio. Ketika nilai-nilai melenyap maka ujungnya adalah merebaknya kejahatan hasrat yang sering dibungkus oleh kejahatan rasio, jika memakai istilah Camus. Termasuk ‘rasio-budaya’ tanpa oposisi itu, bisa menjadi ‘kejahatan rasio’ yang membungkus ‘kejahatan hasrat’. Atau banyak hal di atas bisa dikatakan juga bagaimana pragmatisme itu menjadi ugal-ugalan meminggirkan perdebatan soal nilai. Pragmatisme yang di belakangnya sebenarnya bersembunyi ‘ideologi’ tertentu, dalam konteks bahasan ini: accumulation by dispossession. *** (21-09-2024)

[1] https://x.com/uyoktweet/status/1836284288863449358