1085. Rejim Yang Tidak Bisa Diharapkan
13-02-2023
Enam-belas tahun setelah Kemerdekaan AS, regime dihayati sebagai "system of government or rule, mode of management”. [1] Rejim adalah ‘buatan’ manusia, oleh manusia, dan mestinya untuk manusia pertama-tamanya. Manusia dan seluruh ekosistemnya. Maka apapun bentuk rejimnya, pertama-tama ia adalah bicara soal manusia. Bahkan jika kemampuan Artificial Intelligence (AI) sudah berkembang sedemikian rupa. Pengelola kuasa di sebuah rejim, apakah ia bisa diharapkan atau tidak, pertama-tama adalah soal manusia, bagaimana ia bicara soal manusia. Entah itu soal apa yang dimakan manusia –soal pangan, soal papan, soal pendidikan, soal kesehatan, soal kebebasannya, soal hak-hak-nya, dan ‘di-puncak’ soal manusia, kematiannya. Politik kemudian tidak sekedar who gets what, when, how (Harold Lasswell), tetapi juga, untuk siapa?
Ada dua peristiwa di minggu-minggu terakhir yang layak kita renungkan lebih jauh, pertama, hilangnya nama Habibie di sejarah Iptek Indonesia buatan BRIN. Kedua, respon presiden ri ketika ditanya oleh wartawan soal tragedi Kunjuruhan Malang. Dua-duanya bicara soal manusia, dan sebenarnya juga sain. Jawabannyapun juga mirip, ‘tidak cukup ruang dan waktu’. Si-pengelola-pengurus rejim bagaimanapun ia mengurusnya tidak di ruang kosong, ia ada di ruang yang sangat mungkin terus berkembang dari waktu ke waktu. Dan jika mengikuti Alvin Toffler, kita telah sampai di masa kekuatan pengetahuan pemimpinnya. Tentu sain dalam ‘arti formal’-nya akan memegang peran utamanya, tetapi sain yang berkembang di kalangan khalayak-pun sangalah penting. Keduanya sama-sama harus membuka diri untuk ‘dibuktikan salah’. [2] Dengan bantuan sain misalnya, baik melalui olah sain-digital maupun bermacam kemiripan dari kesaksian khalayak, tragedi Kunjuruhan Malang itu semakin menampakkan diri apa yang sejatinya terjadi. [3]
Maka bisa dikatakan juga bahwa rejim yang tidak bisa diharapkan adalah ketika ia diurus oleh orang-orang yang tidak mempunyai perpsektif kemanusiaan yang tepat, dan ‘cara mengurusnya’ rejim itupun sudah tidak kompatibel dengan ‘jaman bergerak’-nya. Ketika ‘permainan’ sudah masuk dalam ranah sain, ia malah ‘mempermainkan’ sain. *** (13-02-2023)
[1] https://www.etymonline.com/word/regime
[2] Lihat juga, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-02, no. 1080
[3] Lihat misalnya, https://www.youtube.com/watch?v=tm9MN0_DW3U, Narasi Explains
1086. RI Ajukan Pinjaman ke China Rp 8 T Demi Tambal Bengkak Proyek Kereta Cepat
14-02-2023
Bang-sat
1087. Elit dan Fanatisme-nya
16-02-2023
Menjadi fanatik itu nampaknya merupakan ‘dependent parts’. Seperti warna merah yang bisa kita hayati ketika menempel di kursi, meja, atau lainnya. Apakah fanatisme hanya bisa dihayati ketika menempel pada agama, bangsa, boy-girl-band, atau lainnya? Ataukah menjadi fanatik itu juga tidak bisa lepas dari sebuah ‘respon’? Bukan pada sesuatu yang ‘difanatikinya’, tetapi menjadi fanatik itu tidak bisa dijelaskan lepas dari suatu respon. Bagaimana ia merespon sesuatu itu. Maka fanatik merupakan satu pilihan dari nuestro modo de proceder, cara kita bertindak. Jika benar begitu, maka kata kuncinya adalah ‘respon’. Yang bahkan dalam tubuh kita akan kita bawa sejak dalam kandungan sampai ajal menjemput, contoh ‘mekanisme umpan balik’ itu. Maka sebenarnya hanya pada agama saja respon dengan rute fanatik bisa kita bayangkan. Bahkan itu-pun ada perbincangan soal iman dan rasio, fides et ratio. Di luar agama? Panta rhei, dan jika itu ‘dibekukan-dalam-alam-kepastian’ melalui rute fanatisme, maka bukan kemajuan-lah yang akan ditapak.
Paulo Freire menyinggung soal sikap fanatik ini yaitu ketika ‘kesadaran transitif naif’ [1] tidak beranjak-berangkat menjadi ‘kesadaran kritis’. Bahkan menurut Paulo Freire di sekitar tahun 1960-1970-an hal tersebut justru di kota-kota lebih mungkin terjadi. Salah satu ujung dari situasi ini adalah massifikasi. “A massified society is one in which the people, after entering into the historical process, have been manipulated by elite into unthinking, manageable agglomeration; this process is called massification. It stands in contrast to conscientizacao, which is the process of achieving a critical consciousness,” demikian Paulo Freire.
Tetapi bagaimana jika justru ‘gerombolan elit’ itu yang ‘dimanipulasi’? Di-manipulasi oleh ‘bermacam-kerumunan’ ditambah tekanan dalam situasi ‘patron-jongos’, oleh yang mondar-mandir dalam ‘pakta dominasi primer’-nya? Setiap pemimpin pastilah akan ada dalam situasi ini, masalahnya adalah bagaimana respon-nya, cara bertindak-nya. Yang mondar-mandir di ‘pakta dominasi primer’ itu relatif ada di luar kendali, tetapi soal relasi dengan bermacam kerumunan itu sebenrnya ada dalam kendali. Terlebih ketika ada di ranah ‘penggunaan kuasa’. Terlalu sering ‘bermain-main’ dengan kerumunan saat penggunaan kuasa, bisa-bisa ‘dialektika-tuan-budak’ akan terus membayang. ‘Ke-tidak-berpikiran’ dari kerumunan itu bisa-bisa akan menjadi ‘tuan’, dan tiba-tiba saja ia –si pemimpin, sudah ‘terperangkap’ juga dalam ketidak-berpikiran. Jadilah ia seorang fanatik, yang salah satu fitur utamanya : tidak mau mendengar pihak lain. Bahkan akan sampai pada satu titik sikap, emang loe siapa? Ketika ini terus saja berkembang pada dasarnya demokrasi sudah di tepi jurang. *** (16-02-2023)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/422-Dari-Freire-ke-Milgram/
1088. Internasionalisasi Kegilaan (2)
17-02-2023
“Dark arts of politics: how ‘Team Jorge’ and Cambridge Analytica meddled in Nigerian election,” demikian judul laporan The Guardian, 16 Februari 2023. [1] Laporan itu menguak kegiatan para ‘agen-agen disinformasi’. Jika hampir 20 tahun lalu kita bisa melihat dengan terang agak benderang ulah para economic hitman (EHM) melalui karya John Perkins, kita sekarang tidak hanya melihat melalui laporan karya jurnalistik seperti disajikan The Guardian di atas, tetapi juga mengalami polah-tingkah-pecicilannya para ‘information hitman’, para agen-agen disinformasi itu. Dan seperti para agen EHM yang beroperasi di banyak negara, ‘IHM’ ini juga beroperasi di banyak pemilihan umum di berbagai negara, salah satunya di Nigeria seperti laporan The Guardian itu. Apakah sedemikian ‘sakti’-nya para IHM, para agen-agen disinformasi ini?
Kita mestinya tidak boleh meremehkan kekuatan para agen-agen disinformasi ini, janganlah. Tetapi kita juga tidak usah melihat mereka seperti dewa yang kekuatannya sudah tanpa batas. Mereka punya batas-batasnya sendiri, yang batas itu akan terbangun dari kemampuan khalayak sebagai ‘masyarakat pembelajar’. Mereka sangat sadar dengan apa yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln, terutama penggalan pertamanya, you can fool all the people some of time.[2] Jika memang ia sadar akan batas itu, lalu apa yang akan mereka –para IHM itu, lakukan? Tentu akan ada ‘kreatifitas’, tetapi ada satu yang musti kita perhatikan, peran ‘kekuatan kekerasan’. Yang akan dilakukan adalah ‘membangun latar belakang’, membangun background, atau jelasnya semacam ‘legitimasi’ sehingga ‘kekuatan kekerasan’ itu bisa bermain dengan enteng-nya. Cambridge Analytica (bersama dengan Team Jorge?) dengan meyakinkan bisa mendorong Donald Trump memenangkan pemilihan di tahun 2016, tetapi mengapa Trump masih saja dengan nekat memaksakan diri foto bareng dengan pimpinan angkatan perangnya saat menghadapi Biden? Untung Mark Milley, pimpinan angkatan perang AS saat itu sehari setelah foto itu beredar segera memberikan klarifikasinya. *** (17-02-2023)
[2] You can fool all the people some of time, and some of people all the time, but you cannot fool all the people all the time.
1089. Dua 'Mobnas'
Ada yang membandingkan ‘mobnas’ Timor dan Esemka, dan apakah itu hanya berhenti soal kandungan lokalnya? Soal teknologinya? Atau pernak-pernik regulasinya? Atau soal ngibulnya? Soal kong-ka-li-kong-pat-gu-li-pat-nya? Ada yang kadang kita lupakan, bagaimana khalayak menghayati kedua peristiwa itu? Bagaimana kedua peristiwa itu dihayati ketika belum ada sosial-media misalnya, dan yang sudah begitu merebaknya sosial-media? Ketika sekarang kita bisa dengan mudah dan cepatnya mengetahui ‘perasaan’ dari ‘yang lain’ tentang hal tersebut? Dengan ketika sumber utama arus informasi masih, katakanlah, ‘media mainstream’? Atau ketika ‘olah-disinformasi’ masih begitu ‘mujarab’-nya dalam olah kesadaran khalayak saat awal-awal ‘isu’? Dengan sekarang ketika bermacam informasi sudah tersedia dan begitu mudah ‘dipanggil-ulang’?
Maka akan menjadi berbeda dampak pada ‘suasana kebatinan’ khalayak, terutama soal luas dan kedalamannya, terkait dengan ‘dua mobnas’ di atas. Kalau kita ingat pendapat Maslow, krisis yang berdampak pada sulitnya pemenuhan kebutuhan dasar memang akan menjadi semacam ‘katalis’ ketika ‘proses-proses molekuler’ yang sudah berjalan lama sebelumnya. Suatu ‘gerak cepat’ yang sampai pada momentumnya menuju perubahan. Tetapi dengan modus komunikasi seperti sekarang ini, bisa juga tidak perlu sampai pada ‘krisis yang berdampak pada sulitnya pemenuhan kebutuhan dasar’ yang akan menjadi ‘katalis’ pendorong ‘gerak cepat’ perubahan. ‘Suasana kebatinan’ yang bersinggungan dengan bermacam ketidak-pastian dalam pemenuhan kebutuhan ‘di atas’ kebutuhan dasar-pun bisa tiba-tiba saja mampu menjadi sebuah ‘katalis’. Maka tak mengherankan pula para ‘agen-agen disinformasi’ berbaju pollsterRp itu tetap saja dapat kontrak kerjanya. Tetapi ini-pun akan riskan juga, karena ketika ‘suasana kebatinan’ dari ‘masyarakat pembelajar’ itu sudah sampai pada ‘titik kritis’-nya, pethakilannya pollsterRp ini akan kagak ngaruh bagi sebagian besar khalayak, kontra-produktif. Bahkan khalayak akan semakin menjadi kekuatan tersendiri, terlebih ketika ia mampu menggandeng yang jelas-jelas mulai merasakan sulitnya ‘pemenuhan kebutuhan dasar’-nya. Jika ini terjadi maka hanya kekuatan kekerasan-lah yang dimungkinkan untuk mengendalikan jika memang ingin tetap ‘status-quo’. Suram. *** (19-02-2023)