1435. Proyek Strategis Kemerdekaan

24-05-2024

Newspapers are unable, seemingly to discriminate between a bicycle accident and the collapse of civilization,” demikian pernah dikatakan oleh George Bernard Shaw (1856-1950). Apa yang dikatakan oleh Shaw ini sedikit banyak mengkonfirmasi bahwa memang tidak mudah berurusan dengan segala hasrat perut ke bawah jika dikaitkan dengan mengembangkan sebuah, katakanlah: ‘tindakan mulia’ –noble act, hasrat perut ke bawah terutama dalam hal ini adalah hasrat akan uang. Tak jauh seperti disinyalir Platon lebih dari 2000 tahun lalu. Pers misalnya, terlebih dalam situasi merebaknya ‘logika waktu pendek’ dalam era cepat-ringkasnya informasi seperti sekarang ini dan himpitan untuk bertahan hidup, ditambah lagi ada yang mau main kucluk-kucluk-an: melarang penayangan jurnalisme investigasi, menjadi semakin tidak mudah untuk berkelit dari apa yang disampaikan oleh Bernard Shaw di atas. Apalagi menurut Toynbee dalam ‘hukum pertukaran budaya’, ‘yang ringan-ringan’ saja akan lebih mudah menembus, tetapi yang bernilai tinggi akan lebih sulit untuk menembus.

Bermacam cara dalam berbagai ranah kemudian dikembangkan supaya apa yang dikategorikan sebagai ‘tindakan mulia’ itu kemudian tetap dimungkinkan untuk berkembang. Dalam dunia pers salah satunya kemudian dikembangkan kode etik pers, misalnya. Atau dalam ranah medis juga. Apa yang disebut sebagai profesionalisme kemudian juga dikembangkan dan diusahakan menjadi hal terdukung secara sosial. Bermacam penghargaan-pun kemudian diadakan untuk menunjukkan bahwa apapun bentuk dari ‘tindakan mulia’ itu memang perlu diapresiasi. Narasi-narasi tentang seni dari bermacam pihak adalah salah satu usaha lebih mendekatkan seni pada penghayatan kebanyakan orang. Termasuk juga cerita-dongeng terkait dengan ‘tindakan mulia’ itu. Bermacam hal di atas, tentu termasuk juga hukum dalam berbagai bentuknya, seakan adalah lapisan-lapisan dari tutup sebuah ‘kotak pandora’. Lapisan-lapisan yang seakan menjaga segala hasrat untuk tidak dengan mudah berubah menjadi ‘kejahatan hasrat’-nya.

Dalam ranah manajemen, dari asal katanya saja kita bisa membayangkan bahwa itu akan terkait dengan kontrol, untuk mengontrol kuda salah satunya pada awal-awalnya. Atau kalau kita memakai alegori kereta-nya Platon, untuk mengontrol kuda-kuda penarik kereta, terutama kuda hitam-nya. Dalam manajemen terutama dalam ‘perencanaan strategis’, maka dikembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai visi-misi-goals, misalnya. Juga ada yang menambahkan tentang ‘pernyataan-nilai-nilai’ yang mendasar. Memang ada ‘gaya’ manajemen lain, kalau ‘perencanaan strategis’ bisa kita hayati sebagai ‘musik klasik’ –yang ketat dengan partitur-partitur di depan mata, ada ‘gaya’ lain, layaknya seperti ‘musik jazz’. Musik jazz yang kadang masuk dengan begitu saja pemain saxophone, atau piano, atau lainnya. Dan tetap enak didengar. Bisa ditambah atau dikurangi sesuai dengan selera, atau situasi yang berkembang. Tetapi benarkah dalam jazz seakan tidak ada alurnya sama sekali? Dalam korporasi misalnya, tetaplah ‘bergaya bebas’ itu akan sampai pada pertanyaan dasar, soal keuntungan atau profit bagi perusahaan.

Demikian juga dalam ranah republik, ‘gaya bebas’ dalam ‘proyek strategis nasional’ –dengan menghilangkan GBHN itu, misalnya, bukankah itu juga pada titik tertentu akan bertemu dengan ‘proyek strategis kemerdekaan’ yang mesti dijalankan oleh pemerintahan republik, yang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 sudah disebut untuk (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial?

Dan bisa dibayangkan ketika ‘bergaya bebas’ tidak hanya melupakan ‘proyek strategis kemerdekaan’ tetapi juga lapis-demi-lapis tutup kotak Pandora itu (di)lepas satu per satu, bagaimana jika segala hasrat itu kemudian dengan mudahnya keluar-berubah menjadi ‘kejahatan hasrat’-nya? Dan yang terberitakan terus-menerus soal bicycle accident dari pada the collapse of civilization, misalnya? *** (24-05-2024)

1436. "Rantai Produksi" Kebijakan

26-05-2024

Ketika di-asumsikan bahwa rakyat kebanyakan itu adalah bodoh, kira-kira bagaimana ‘rantai produksi’ sebuah kebijakan akan berjalan? Atau meyakini bahwa dalam konteks index ‘power-distance’ (Hofstede) tinggi itu faktor dominan-nya adalah kebodohan? Karena kebodohan maka kuasa di atasnya akan dilihat sebagai yang ‘serba-putih’? Atau dalam pendidikan misalnya, bagaimana jika peserta didik dilihat sebagai ‘tempat kosong’ yang siap diisi lakyaknya pendidikan ‘gaya bank’ itu? Bandingkan dengan ‘pendidikan kritis’ ala Paulo Fraire. Atau sama-sama bekerja di perusahaan rokok, di Kuba (pabrik cerutu) selagi bekerja pimpinan produksi membacakan berita-berita dari koran, tetapi di tempat lain diperdengarkan musik-musik yang menurut penelitian itu bisa meningkatkan produksi. Seperti bahan makanan tertentu yang ditambahkan-dicampurkan pada pakan ternak dan diharapkan ayam petelur bisa memproduksi telur lebih banyak.

Maka dalam ‘rantai produksi’ kebijakan, mungkin sekali bukan pertama-tama soal ‘mengumpulkan data’ atau semacamnya, tetapi mengapa tidak menelisik dulu ‘pra-anggapan’ yang sadar-atau-tidak sudah lama ngendon dalam pikiran? Hampir 50 tahun lalu Syed Hussein Alatas menulis The Myth of the Lazy Native, kira-kira ingin membongkar ‘pra-anggapan’ yang ngendon di kalangan penjajah. Karena para penjajah itu punya asumsi bahwa yang dijajahnya (Indonesia, Malaysia, Philipina –sebagai studi kasusnya) adalah golongan lazy native maka mereka kemudian bisa semau-maunya. Bagaimana jika bukan lazy tetapi stupid?

Dalam sebuah penelitian, ada hal yang mesti ditentukan beratnya. Tentu tepatnya adalah ditimbang. Tetapi kemudian orang-orang awam diminta untuk menyebut berapa kira-kira beratnya. Hampir tidak ada yang tepat menyebut, tetapi ketika bermacam pendapat itu dikumpulkan dan dirata-rata, ternyata hasilnya mendekati berat sebenarnya. Maka memang kemudian bermacam survei itu menjadi dimungkinkan, dan mempunyai dasar akademiknya, terutama dari ilmu statistik. Tentu akan ada hal terkait manipulasi atau rusak-rusak-annya, tetapi yang mau dikatakan di sini adalah, tetaplah ada potensi munculnya ‘kecerdasan kolektif’ itu, the wisdom of crowds. Terlebih di era Revolusi Informasi seperti sekarang ini dimana inter-subyektifitas menjadi lebih dimungkinkan. Bahkan jika dikatakan bahwa rata-rata IQ sebuah komunitas disebut sebagai rendah, tetaplah dimungkinkan munculnya ‘the wisdom of crowds’ itu. Lihat misalnya bagaimana kegiatan Desak Anies dalam rentang kampanye pemilu beberapa waktu lalu itu, ternyata mendapat sambutan antusias dari berbagai lapis pemilih.

Maka jika meminjam istilah Thomas Kuhn, pemilihan umum lalu misalnya, bisa dikatakan sebagai pemilu ‘normal’ –karena tidak beranjak dari ‘paradigma lama’ yang dibangun dari ‘pra-anggapan’ bahwa rakyat kebanyakan itu bodoh. Sebaran puzzle-puzzle itu disusun berdasarkan gambar sebaliknya yang menggambarkan kebodohan rakyat kebanyakan. Padahal banyak hal sudah menunjukkan bahwa asumsi itu tidak benar. Rakyat kebanyakan tetap masih mampu membangun ‘the wisdom of crowds’ itu. Dan bukannya ‘mereka’ tidak tahu itu. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian dimaksimalkan-lah ‘kekuatan uang’ dan terutama: ‘kekuatan kekerasan’ dalam bermacam bentuknya. *** (26-05-2024)

1437. Membela Hidup Bersama (1)

29-05-2024

Lebih dari seratus tahun lalu, ugal-ugalannya modal membuat keprihatinan mendalam terhadap kaum buruh. Tetapi dengan meraksasanya bermacam korporasi, dan bahkan ada yang besaran penghasilannya lebih besar dari beberapa penghasilan negara, keprihatinan mendalam mulai dirasakan tidak hanya terhadap kaum buruh, tetapi semakin dirasakan terhadap hidup bersama. Ketika si-Machiavelli menumpuk harta, atau dalam kata-kata Leo Strauss, machiavellisme yang menua itu semakin mudah saja meng-kooptasi negara. Ketika ekonomi terhayati hidup dalam satu-satunya habitat: pasar bebas. Dan satu-satunya yang rasional adalah kepentingan diri. Maka perlahan seakan mulai muncul kelas ‘baru’, yang berkuasa dan yang tidak. Dimana sebenarnya ‘yang berkuasa’ itu lebih sebagai ‘pakta dominasi sekunder’ saja. Pakta dominasi primer masihlah seperti digambarkan Cardoso di dekade 1970-an: kapitalisme, hanya saja sekarang dengan kekuatan bermacam mega-giga-korporasi di belakangnya. Negara kemudian mempunyai potensi besar jatuh hanya sekedar sebagai cènthèng-nya modal besar. Terlebih sampai sekarang masihlah diakui bahwa negara-lah yang mempunyai hak monopoli dalam menggunakan kekuatan kekerasan. Kekuatan korporasi yang sebenarnya mulai sejak sekitar VOC, dan semakin besar seperti digambarkan Joel Bakan dalam The Corporation (2003) dimana terjadi ‘gelombang’ merger-mega-merger mulai sekitar awal abad 20-an. Lengkapnya judul buku Joel Bakan itu adalah The Corporation: The Pathological Pursuit of Profit and Power.

Untuk membayangkan bagaimana patologisnya hal di atas, maka bisa kita coba dengan mengganti corporation dalam judul bukunya Joel Bakan di atas dengan: partai politik. Bagaimana patologisnya dari hari-ke-hari partai-partai politik itu dalam memburu power dan profit. Bagaimana pernak-pernik partai-partai politik itu kemudian berperilaku memang akhirnya hanyalah berperan sebagai salah satu aktor dalam ‘pakta dominasi sekunder’ saja. Biaya politik yang semakin tinggi itu semakin nampak bukanlah sekedar ‘kecelakaan sejarah’. Profit atau hasrat akan uang dalam Alegori Kereta-nya Platon lebih dari 2000 tahun lalu digambarkan sebagai ‘kuda hitam’, dan bersifat tidak hanya semau-maunya sendiri, tetapi juga cenderung ‘meluncur ke bawah’. ‘Meluncur ke bawah’ menjauh dari ‘kebaikan para dewa-dewa’, dimana kereta mestinya diarahkan.

Eric Hobsbawm (1917-2012) dalam Nations and Nationalism Since 1780 (1991) menulis bahwa ketika bangsa ‘dibetot’ keluar dari cangkang-nya, maka akan segera nampak bentuk ‘lemah-lunak-sempoyongan-nya’. Dan cangkang itu adalah negara. Maka bisa dibayangkan ketika ‘cangkang-negara’ itu telah ‘dibajak’ oleh para pemegang modal besar, dan bangsa di dalamnya dengan segala harapan-impiannya dipaksa untuk ‘keluar’ dari cangkang, segera saja bangsa itu akan nampak ‘lemah-lunak’. Tetapi, benarkah? Sangat mungkin. Sangat beralasan jika ada kritik terhadap pembedaan antara negara-pasar-masyarakat sipil, dimana pembedaan semestinya adalah negara dan masyarakat sipil. Sedangkan pasar adalah bagian dari masyarakat sipil. Masyarakat-lah sebenarnya yang ‘melahirkan’ pasar.

Apa yang terjadi ketika negara telah ‘dibajak’, atau dalam kata-kata Noreena Hertz, di-takeover, oleh modal-besar yang urusan-utamanya adalah profit? Menurut Harold J. Laski (1893-1950) dalam The State in Theory and Practice (1935), ketika pada titik tertentu sampai pada sebuah dilema antara profit dan tuntutan-tuntutan kesejahteraan –misalnya kenaikan upah dan lain-lain, maka ‘jalan gampang’ akan semakin menggoda: fasisme. Yang menurut Leo Strauss di awal-awal 1950-an, fasisme sebagai krisis modernitas gelombang ketiga telah ‘mengatasi’ ranah ekonomisme, ia lebih berurusan soal kontrol atas manusia dan alam semesta.

Dari Platon seperti disebut diatas terkait dengan Alegori Kereta-nya, adalah pintu masuk dari judul tulisan. Ketika urusan ‘kuda hitam’ –hasrat akan uang, seks, kenikmatan, lebih sebagai yang dominan maka hidup bersama akan ikut-ikutan ‘meluncur ke bawah’, dan bahkan semakin menjauh dari ‘kebaikan dewa-dewa’ dalam hal ini cita-cita Proklamasi. Sudah kehilangan ‘cangkang-negara’-nya, hidup bersama masih harus berhadapan dengan segala yang keluar dari ‘kotak Pandora’. Bahkan ‘harapan’ yang ikut-ikutan keluar dari kotak-pun pagi-pagi sudah ‘dibunuhnya’. ‘Membela hidup bersama’ karena semakin nampak bahwa hidup bersama sebagai suatu bangsa ini memang ada upaya untuk merusaknya, demi sebuah penguasaan. Demi sebuah kontrol. *** (29-05-2024)

1438. Membela Hidup Bersama (2)

31-05-2024

Sekitar 40 tahun lalu, Christianto Wibisono (1945 – 2021) menerbitkan kumpulan tulisannya dalam buku berjudul Ke Arah Indonesia Incorporated. Penyebutan ‘incorporated’ di belakang nama negara mestinya memang problematis, tetapi bisakah itu dihayati sebagai hal ‘strategis’? Atau kalau memakai istilah dari dosen eks-Jerman Timur yang dikutip oleh Ignas Kleden dalam Sosialisme Dari Tepi Sungai Elbe (Kompas, 6 Juli 1996), berdiri sebagai ‘penantang’ daripada sebagai ‘pengganggu-penjinak’ kapitalisme. Bahkan sekedar menjadi ‘mangsa’ dari si-‘predator’? Artinya memang dengan sadar masuk dalam ranah ‘pertandingan’ kapitalisme: ber-kompetisi dengan para kapitalis-kapitalis. Jika maunya begitu maka kata kuncinya adalah daya saing. Dan memang yang dimaksud Christianto dalam Indonesia Inc. itu tidak lain adalah Indonesia yang ber-daya saing.

Sekitar 10 tahun sebelum Revolusi Bolshevik meletus, Max Weber (1864 – 1920) menerbitkan The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Terutama dalam hal ini ‘sekte’ Kalvinis. Menurut Carl Schmitt (1888-1985) dalam Political Theology (1922), negara modern adalah sekulerisasi dari teologi. Bisakah kemudian “the spirit of capitalism” itu terdorong oleh ‘negara modern’ seperti bisa kita bayangkan ketika Deng Xiao Ping ‘bersabda’: menjadi kaya itu mulia? Atau dalam kata-kata orang Amerika sono: American dream[1]? Jika kita melihat dengan kacamata Adam Smith (1723 – 1790) terkait dengan istilah famous sect yang disebut dalam The Theory of Moral Sentiment edisi terakhir, maka meski dalam segala pertukaran di pasar itu ada yang sudah mengatur-nya: tangan-tangan tak terlihat, tetaplah nuansa chaotic selalu membayangi karena itu didasari oleh kepentingan diri. Faktanya kapitalisme itu memang selalu lekat dalam bayang-bayang krisis. Untuk itulah perlu adanya si-sekte agung itu, sehingga bayang-bayang chaotic itu menjadi tidak mudah menjadi fakta faktualnya. Perlu ada semacam ‘axis-mundi’-nya. Bahkan dari Alegori Kereta-nya Platon (427 – 348 SM) kita dapat melihat bahwa meski kereta dimaksudkan diarahkan ke atas untuk mendekati ‘kebaikan para dewa’, tetaplah ia ditarik oleh dua ekor kuda: putih dan hitam. Kuda hitam yang menggambarkan segala hasrat perut ke bawah itu, uang, seks, makan, kenikmatan lainnya yang cenderung semau-maunya dan maunya meluncur ke bawah saja, tetap saja ‘dipakai’ dan tidak terus dibuang begitu saja. Bagaimana pintar-pintar-nya si-saislah sehingga si-kuda hitam itu dapat berkontribusi dalam menarik kereta untuk sampai ke tujuan. Sebab bagaimanapun juga tersimpan atau akan ada ‘ledakan energi’ besar dalam diri si-kuda hitam itu.

Fordisme yang terkait dengan industri otomobil di awal-awal abad 20 tidak hanya soal ‘manajemen-rantai-produksi’, tetapi juga bagaimana diputuskan kemudian menaikkan gaji karyawan sehingga si-karyawan menjadi mungkin untuk membeli mobil. Jepang pasca Perang Dunia II dengan sadar menaikkan harga beras yang diharapkan itu akan menaikkan daya beli si-petani. Amartya Sen melihat langkah ini sebagai sebuah langkah ‘sosialis’. Dan memang seperti dikatakan oleh dosen eks-Jerman Timur seperti dikutip Ignas Kleden dalam Sosialisme Dari Sungai Elbe, sosialisme itu akan berhasil jika ‘tidak diganggu’. Menaikkan harga beras demi menaikkan daya beli petani mesti harus di-proteksi, salah satunya dengan tarif masuk tinggi terhadap produk-produk beras. Atau juga diberantas itu mafia pangan, diberantas sampai ke-akar-akarnya. Tanpa itu semua, naiknya harga beras itu hanya akan dinikmati oleh si-mafia dan kapitalis luar yang sudah meneteskan air liur melihat tingginya harga beras di situ. Sedang daya beli petani, atau katakanlah ‘nilai tukar petani’ tetaplah rendah. Dan itu berarti pula bermacam produk UMKM misalnya, akan kehilangan salah satu segmen konsumennya: petani. *** (31-05-2024)

[1] https://www.merriam-webster.com/dictionary/the%20American%20dream#:

: a happy way of living that is thought of by many Americans as something that can be achieved by anyone in the U.S. especially by working hard and becoming successful. With good jobs, a nice house, two children, and plenty of money, they believed they were living the American dream.

1439. Belajar dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo (2)

10-06-2024

Bagian 1

Sumitro Djojohadikusumo membedakan dalam merespon soal perkembangan tekhnologi, sebaiknya membedakan dulu ranah teknologi tersebut sebagai advanced technology, adaptive technology, dan protective technology.[1] Hampir 50 tahun lalu Sumitro sudah bicara soal keberlangsungan lingkungan melalui apa yang disebutnya sebagai protective technology. Mungkin saja ada nuansa semangat Club of Rome dan diskusi-diskusi setelahnya. Tetapi tetaplah menarik di republik pasca 1965 muncul diskusi seperti itu, bahkan 50 tahun lalu. Jika kita kemudian membayangkan kompleksitas dunia pendidikan, apa yang diungkap oleh Sumitro ini bisa sangat membantu.

Jika pembedaan tekhnologi seperti di atas dibahasakan secara lain, katakanlah: soal ‘menembus batas’, makan hari-hari ini, dan merawat tempat hidup, maka bisa dikatakan pendidikan akan terlibat dengan hal-hal tersebut. Pendidikan tidak akan lepas dari soal riset misalnya, masuk pada dunia yang masih ‘remang-remang’. Tetapi pendidikan juga akan disibukkan untuk mempersiapkan lulusannya sehingga ia mampu menggapai kehidupan lebih baik, misal kemudian berkembang menjadi sosok dengan profesionalisme tinggi. Atau menjadikan dirinya semakin terlatih untuk mengerjakan sesuatu. Selain itu pendidikan juga akan sangat diharapkan terlibat dalam ‘merawat tempat hidup’, termasuk juga mereka-mereka yang hidup di dalamnya, para peserta didik.

Yang sering dilupakan adalah hal ‘merawat tempat hidup’ itu bobot terbesar sebenarnya ada di pendidikan dasar, katakanlah usia SD-SMP. Pada rentang usia tersebut tidak hanya soal potensi –bukan kompetensi, yang terpenting, tetapi juga adalah soal kebiasaan-kebiasaan (baik). Sebab ‘tempat hidup’ yang akan dirawat itu sebagian besarnya akan ditentukan oleh manusia-manusia, komplit dengan segala kebiasaan-kebiasaannya. Maka di banyak tempat, guru-guru terbaik justru lebih dikerahkan pada pendidikan dasar. Tentu ‘pendidikan’ tentang ‘merawat tempat hidup’ ini akan berlangsung terus menerus, bahkan ketika pendidikan (formal) telah selesai. Karena yang dimaksud dengan ‘tempat hidup’ ini lebih dari sekedar ‘habitat’, tetapi juga dengan segala inter-aksi-nya, terutama inter-aksi antar manusia-manusianya, juga inter-aksi antara manusia dan lingkungannya, bahkan inter-aksi antara masa lalu, sekarang, dan masa depan. Karena itu semua maka soal (berani) bicara dan mendengar akan menjadi penting. Trivium dalam pendidikan klasik sedikit banyak memberikan gambaran pentingnya tentang hal ini. Trivium terdiri dari grammar, logic, dan rhetoric. “Grammar is the art of inventing symbols and combining them to express thought; logic is the art of thinking; and rhetoric is the art of communicating thought from one mind to another, the adaptation of language to circumstance,” demikian menurut Miriam Joseph (2002). Jika melihat sejarah republik, maka bagaimana supaya ‘berani bicara’ tetaplah harus menjadi perhatian penuh terutama selama pendidikan dasar –SD SMP: 9 tahun, paling tidak jika kita ingat esai Gayatri Spivak, Can Subaltern Speak? (1988). Jika bicara soal ‘kejahatan pendidikan’ maka yang ‘paling jahat’ letaknya adalah di pendidikan dasar. Yang enteng-enteng saja datang ke dunia pendidikan dasar, dan ngibul habis-habisan, ia sebenarnya sedang melakukan ‘kejahatan’ terhadap anak-anak khususnya, dan komunitas pada umumnya. Yang keranjingan membangun citra di dunia dewasa melalui dunia anak-anak, ia sebenarnya tidak paham bagaimana semestinya sebuah komunitas dirawat. Atau lihat di beberapa pemberitaan, anak-anak dilatih a la militer atas nama ini dan itu, seakan ia tidak punya pilihan lain lagi. *** (10-06-2024)

[1] Lihat, https://www.pergerakankebangsaan.com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/