1550. Low Quality

08-11-2024

“Sing omong nang ngarep kaé sopo Cak?” Totok takon nang Cak Babo.

“Pak Prat ….,” jawab Cak Babo.

“Sekertarisé Lurahé Mukidi mbiyèn kaé?”

“Hè’èh Tok ….,” Likwan sing negeské.

“Ngomong opo Lik?”

“Yo mbuh ra-ruh wong durung mulai …”

Nang ngarep Pak Prat dhehem-dhehem ping pindo, mbenaké kocomoto, siap-siap omong. Sakdurungé nuthuk-nuthuk mik, dug … dug …, mulai pidato: ”Sedèyèk-sedèyèk ….”

Hadirin meneng, hening ….

“Nopo kok déso ora maju-maju?” Pak Prat mulai karo pitakonan. Ora ono sing njawab, meneng kabèh, hening ….

Pak Prat terus jawab dhéwé, nganggo boso Indonesia: “Kita menghadapi permasalahan SDM dan kebudayaan yang cukup berat yaitu pertama masyarakat kita, penduduk Indonesia mayoritas masih low quality …”[1]
Hadirin meneng waé, blas ora ono keplok-keplokan …

Penasaran kok hadirin anteng-anteng waé, Pak Prat mbaleni: “Mergo … low quality bapak ibu ….”

Hadirin tetap anteng. Ning ujug-ujug Totok sing lungguh nang mburi dhéwé ngadeg lan mbengok: “Entuuuut ….” Hadirin dadi semangat, terus keplok kabèh … Plok … plok … plok.

Pak Prat ora gelem kalah, setengah mbengok mbalèni: “Low quality ….!”

Hadirin tambah semangat. Bareng-bareng mbengok: “Entuuuuut …”

Pak Prat tambah jéngkél, tambah banter mbengok: “Low quality …!!!”

Hadirin yo tambah banter, cuk …: “Entuuuuuuuuut … !!!” *** (08-11-2024)

(Monggo diterusaken piyambak-piyambak ngantos pecas ndahé, cuk …)

[1] https://nasional.kompas.com/read/2024/11/07/17395681/menko-pmk-kita-hadapi-masalah-sdm-yang-cukup-berat-penduduk-indonesia.

1551. Alzheimer Irlandia (3)

09-11-2024

Tujuan tulisan ini adalah sebuah pengingat, atau tegasnya, cukup adalah cukup. Cukup sudah tehnik eksploitasi kerumunan dalam olah kuasa pasca-pemilihan. Sepuluh tahun terakhir nampak dengan telanjang bagaimana hadirnya penyuka-penikmat kerumunan itu telah membuat kerusakan berantai pada republik. Ketika banyak hal yang ngendon dalam ketidak-sadaran itu dieksploitasi. Ketika banyak hal hasrat menggebu yang cenderung ‘irasional’ itu dieksploitasi berulang dan berulang. Atau kalau memakai istilah Freud, ketika id dieksploitasi. Yang itu semua menurut Wilhelm Reich, bisa-bisa berujung pada fasisme. Dan bertahun terakhir kita juga bisa melihat dengan telanjang, tidak hanya pengetahuan dipinggirkan, tetapi justru dengan segala upaya ingin dikerdilkan. Bermacam kebijakan, bermacam perilaku semakin nampak bahwa itu memang ditujukan untuk mengkerdilkan pengetahuan, terutama sains. Bagaimana ‘lembaga-lembaga pengetahuan’ itu diobok-obok dan diolok-olok habis-habisan. Demi apa? Paling tidak ‘eksploitasi keirasionalan massa-individual’ itu menjadi tidak ada pembandingnya!

Maka ketika sik-‘yunior’ itu kemudian sering tampil di tengah-tengah kerumunan, atau dinampakkan dalam gambar-foto ada di tengah-tengah kerumunan, maka alarm deteksi dini semestinya sudah disiagakan. Jenis seperti ini ujung-ujungnya hanya akan merusak republik saja, tak jauh dari ‘senior’-nya. Kerusakan berantai yang akan menyasar semua aspek kehidupan republik. Rusak-rusakan. Rusak yang paripurna.

***

Sesudah bermacam smart-phone dilarang selama rentang waktu sekolah, dalam sebuah penelitian, dan terbukti menurunkan angka bullying secara signifikan, baru-baru ini pemerintah Australia sedang mempertimbangkan sosial-media dilarang untuk usia di bawah 16 tahun. Sebelumnya sudah banyak penelitian terkait dengan kecanduan sosial-media pada anak-anak remaja di banyak tempat. Pada anak-anak, kurang lebihnya sampai usia 10-11 tahun, pada dasarnya mereka belumlah punya konsep ‘primordialisme’. Ya mereka bermain dengan gembira saja tanpa harus melihat latar belakang suku, agama, misalnya. Main ya main saja. Atau bisa dikatakan soal ‘primordialisme’ ini memang akan melibatkan konstruksi sosial juga. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, apa-apa yang menjadi isi dari sosial-media itu, bisa dikatakan di luar kendali kita. Bahkan misalnya, isi dari sosial-media itu kemudian mampir juga terkait eksploitasi perbedaan, tetap saja itu di luar kendali kita meski sudah ada larangan. Jika memakai pemikiran Levinas, dimana dalam pertemuan face-to-face akan hadir soal etika, katakanlah ‘yang lain’ itu seakan menuntut pertanggung-jawaban kita terhadapnya, pelarangan sosial-media sebelum usia 16 tahun masuk akal juga. Supaya anak-anak lebih banyak ruang dan waktu untuk melakukan kontak face-to-face dengan anak-anak lainnya. Hal etis yang terbangun dalam pertemuan face-to-face diharapkan dapat sebagai modal ketika ia beranjak dewasa. Demikian juga ia tidak diusik soal ‘primordialisme’ via ‘kebrutalan’ sosial-media, sampai ia mampu menghayati konstruksi soal ‘primordialisme’ itu secara dewasa nantinya.

***

Tetapi dalam olah kuasa, sering terjadi hal teknis-nya menjadi semau-maunya. Bermacam etika ditabrak dengan tanpa beban. Termasuk penggunaan media-sosial sebagai bagian propaganda, misalnya. Atau sebagai jalan untuk menebar kebencian, mengadu-domba. Atau bahkan cuci otak. Ditambah dengan perkembangan neurosciences akhir-akhir ini, bisa dikatakan si-pengolah massa semakin percaya diri. Tidak mudah memang melawan ‘kebrutalan’ si-pengolah massa ini. Sejak jaman Gramsci, Paulo Freire, bagaimana telah diupayakan melengkapi massa dengan bermacam kemampuan, tetap saja pada titik tertentu massa akan ketemu juga titik-rapuhnya. Bahkan Marx sudah memberikan petunjuk bagaimana sejarah berlangsung, dengan menaruh perhatian lebih pada hubungan-hubungan kekuatan produksi di basis. Tetap saja si-pengolah massa terus saja mencari peruntungannya. Bagi mereka, massa adalah juga bagian dari basis. Terlebih menurut Leo Strauss ketika menelusuri perkembangan pemikiran dari Machiavelli, Hobbes, sampai dengan Locke, digambarkan kemudian bahwa ekonomisme adalah juga ‘machiavellisme yang menua’. Atau dibahasakan oleh Herry Priyono, ‘Machiavelli menumpuk harta’. Dan siapa yang akan menjaga harta yang sudah ditumpuk? Maka jika ada yang melihat massa juga di basis, itu karena akan terkait erat dengan olah kuasa, kuasa yang akan menjaga harta yang sudah ditumpuk dalam dinamika basisnya Marx. Akan lebih ‘gelap’ lagi jika bertumpuknya harta itu berkelindan erat dengan kuasa! Korupsi, perburuan rente, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, atau juga melalui seperti digambarkan David Harvey: accumulation by dispossession itu. Dan di balik massa sebagai basis itu, ada bongkahan besar gunung es di bawah permukaan, ketidak-sadaran yang digendong masing-masing individu. Itulah yang sedang menjadi favorit-nya si-pengolah massa untuk terus digelitik berulang dan berulang. *** (09-11-2024)

1552. Fresh and Instant (1)

11-11-2024

Dalam ‘propaganda’ atau iklan juga, kondisi ‘fresh’ bisa merupakan ‘penentu permainan’. Jika memakai istilah Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007), ke-fresh-an bisa dikatakan tak jauh-jauh amat dari ‘little shock’, karena bawaan sejak kecil itu, salah satunya kepenasaran - rasa ingin tahu, tiba-tiba digelitik. Bagai dalam semua ruangan diskusi dimana hadirin malah sibuk bicara sendiri, tiba-tiba saja langgam berisik itu menjadi patah-terdiam ketika palu dipukul keras-keras. Yang diharapkan dari ke-fresh-an itu adalah sebuah respon yang ‘instant’, segera saja muncul tanpa ba-bi-bu lagi. Seakan khalayak kebanyakan sedang meniru ke-instant-an dari hal yang fresh itu, melalui rute mirror neurons system-nya masing-masing.

Langgam internal time-consciousness itu seakan ‘terganggu’. Internal time-consciousness adalah waktu yang lebih mendasar dibandingkan ‘waktu obyektif’ maupun ‘waktu subyektif’. Dalam internal time-consciousness katakanlah kita mendengar nada-nada 1-2-3, saat kita mendengar nada (2), nada (1) tidaklah melenyap begitu saja, tetapi ia seakan mengalami retensi. Sedangkan nada (3) yang belum kita dengar seakan mengalami protensi, seakan sudah kita antisipasi kehadirannya. Tiba-tiba saja ada ‘shock’ atau yang lebih ‘ringan’, sesuatu yang fresh dan itu membuat intensionalitas menjadi bergeser. Dalam kasus ‘shock’ yang begitu dalam, intensionalitas tidak hanya bergeser, tetapi ‘melenyap’ bahkan digambarkan oleh Klein, kesadaran bagai kanvas putih yang kosong.

Dalam pemilihan presiden AS baru-baru ini, dari sisi fresh and instant ini dapat kita lihat naik turunnya. Ketika Biden terperosok dalam debat, tiba-tiba saja Kamala Harris maju menggantikannya. Harris tampil sebagai kandidat yang lebih fresh dibanding dengan Trump. Nampaknya banyak media modus man-to-mass yang menguatkan ke-fresh-an Harris. Ketika pihak Trump makin sempoyongan, datang Elon Musk tidak hanya memberikan dukungan, tetapi juga aktif di atas panggung. Kalau artis meng-endorse kandidat sudah biasa, tetapi seorang pengusaha dan orang terkaya? Sambil pethakilan di atas panggung? Langgam Harris nampaknya mulai terganggu oleh ke-fresh-an Elon Musk, dan siapa yang tidak curiga twitter juga ikut ‘main’ sehingga ke-fresh-an Musk itu menjadi lebih ‘terdukung’ dan kemudian menjadi ‘melodi’ yang mengiringi saat coblosan? Dan siapa yang tidak ingin meniru peruntungan Elon Musk? Atau kalau di republik, siapa tidak mau jadi crazy rich? Tentu banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, tetapi bukankah bagaimanapun juga ‘tindakan’ mencoblos itu adalah juga soal persepsi? Dan bagaimana ketika dunia persepsi itu tidak hanya dihadapkan pada soal fresh and instant, tetapi juga imajinasi soal chaos, soal ancaman ini-itu, soal kebencian terhadap ini-itu? Seakan scene good cop dan bad cop sedang dimainkan? *** (11-11-2024)

1553. Fresh and Instant (2)

12-11-2024

Hampir empat dekade setelah peneliti John Calhoun (1917 – 1995), meneliti tikus-tikus dalam ruang tertentu dengan segala kebutuhan dipenuhi oleh peneliti, Manuel Castells menulis soal space of flows. Manuel Castells membayangkan sebuah ruang yang akan lekat dengan segala flows melalui jaringan digital-internet yang saat itu masih sedang berkembang. Sosial media baru hadir sekitar lima belas tahun kemudian. Konsep space of flows ini menjadi lebih mudah dipahami jika kita ingat konsep lain dari Castells, space of places. Penelitian Calhoun di tahun 1950-an di atas jelas ada di ruang space of places. Bahkan bisa dikatakan sebagai ruang-places ‘tertutup’ dengan ukuran dan design tertentu. Apakah jika tikus-tikus itu mengenal konsep space of flows maka hasil penelitian yaitu berbulan-bulan dan diulang-ulang dalam seri-seri penelitian lanjutan, kemudian tikus-tikus itu (setelah beranak-pinak) akan saling bunuh karena sesak-nya ruang, akan berbeda? Spaces of flows yang akan mendorong penghayatan lain dari sesaknya ruang? Sebuah persepsi (baru) yang berkembang dalam penghayatan akan sesaknya ruang? Tetapi bukankah persepsi akan lekat dengan bermacam impuls yang mampir pada tubuh kongkret? Persepsi yang bahkan menurut Maurice Merleau-Ponty lima tahun sebelum Calhoun mulai penelitian telah dibaptis sebagai hal primer dalam ‘memandu’ tindakan? Jika benar seperti itu maka bahkan jika tikus-tikus itu punya konsep spaces of flows, tetap saja tidak mudah untuk diinterupsi sehingga terus tidak saling bunuh. Apakah kekhawatiran David Hume (1711 – 1776) bahwa rasio sangat rentan untuk diperbudak oleh insting atau hasrat itu menjadi beralasan kuat? Bagaimana will to power itu akan menemukan momentum puncaknya dalam an instinct to exclude -meminjam istilah Amy Chua? Apakah penelitian dari Calhoun di atas seakan mengkonfirmasi kuliah Leo Strauss –juga di awal 1950-an, bahwa krisis modernitas gelombang ketiga itu akan menampakkan diri dalam fasisme? An instinct to exclude yang dieksploitasi, demi kepuasan will to power atas manusia lain, atas manusia (biasa) lainnya, dan alam semesta?

Dari beberapa hal di atas, jika ada yang berpendapat bahwa the nature of progress itu sebenarnya lekat dengan horison, soal ‘memajukan’ horison sangat beralasan. ‘Ruang hidup’ tikus-tikus dalam penelitian Calhoun di atas, bagaimana jika tiba-tiba terhayati sebagai batas horison saat itu? Toh juga impuls-impuls yang sampai pada tubuh itu tetaplah dirasakan, dan akan membangun persepsi juga, tetapi bagaimana jika itu ‘terkombinasi’ dengan adanya ‘batas’ di luar yang tiba-tiba saja membangun sebuah horison? Horison yang dengan itu kemudian bermacam kemungkinan menampakkan diri? Lautan yang seakan tak bertepi dan menakutkan itu ternyata menghadirkan juga ‘ruang antara’ kita berdiri dengan segala tubuh menerima bermacam impuls dan garis batas horison nun jauh di sana, ternyata ada kemungkinan bintang bisa menjadi penuntun dalam mengarungi lautan. Van Peursen dalam Strategi Kubudayaan, terbit pertamakali tahun 1971-an, bisa memberikan bantuan besar dalam membayangkan hal-hal di atas. Mungkinkah tikus-tikus dalam penelitian Calhoun di atas menghayati ‘terbatasnya ruang hidup sesuai disain penelitian’ tidak pernah lompat dari penghayatan mitis-nya? Tidak pernah mampu menapakkan kaki dalam penghayatan ontologis dan fungsionilnya? *** (12-11-2024)

1554. Fresh and Instant (3)

15-11-2024

Tiba-tiba saja pemandangan sebagian hijaunya hutan itu berubah menjadi kepedihan karena kebakaran hutan. Tetapi beberapa hari kemudian, beberapa bulan kemudian, tumbuhlah tunas-tunas baru. Bahkan tanpa tangan manusia, alam mempunyai energinya sendiri untuk memperbaiki diri. Maka fresh and instant bukan hanya soal tehnik propaganda atau iklan misalnya, tetapi bisa juga menjadi salah satu penampakan dari dinamika tesis – antithesis, dan merekahlah tesis baru. Di balik fresh and instant adalah juga soal kesementaraan. Di balik ke-fresh-an itu sangat mungkin ada ‘proses-proses molekuler’ yang dengan hadirnya ‘katalis’ tertentu seakan tiba-tiba saja yang fresh menyeruak ke permukaan. Yang sekaligus menegaskan juga soal kesementaraan itu.

Sekitar lima puluh tahun setelah Marx menandaskan ‘keprimeran basis’ dalam menghayati gerak sejarah, Maurice Merleau-Ponty mengajukan soal ‘keprimeran persepsi’. Yang mungkin saja sebenarnya sudah ‘diantisipasi’ oleh Lenin dengan konsep ‘partai pelopor’. Atau secara potensial sudah diraba oleh Marx dengan metafora ‘camera obscura’ itu. Masalahnya dalam dunia pemilihan multi-partai, dari bermacam survei hanya sebagian kecil saja yang memilih benar-benar berdasarkan ‘ideologi’. Orang di AS sono bisa saja setuju dengan program-program ‘ideologis’ Partai Demokrat, tetapi tetap saja ia memilih Partai Republik karena alasan kepemilikan senjata, misalnya. Dan memang berdasarkan survei sebagian besar pemilih pada dasarnya memilih karena alasan-alasan ‘pragmatis’ saja.

Tetapi nampaknya apakah berangkat dari ‘keprimeran basis’ ataupun ‘keprimeran persepsi’, apapun itu nampaknya ada yang ‘lebih primer’ dalam hidup keseharian, yaitu bagaimana itu kemudian dikomunikasikan. Katakanlah misalnya, ‘se-salah-salah-nya’ sebuah penghayatan, ketika itu mempunyai kesempatan lebih untuk saling-komunikasi, hal baru mempunyai potensi lebih untuk dilahirkan. Kecenderungan untuk ada di sikap ‘persepsi selektif’-pun akan semakin terkendali dengan terbukanya komunikasi. Manusia itu berpikir lebih dahulu sebelum berbahasa. Dengan berbahasa maka tiba-tiba saja ada ruang untuk keberpikiran. Melalui bahasa bermacam pengalaman-tubuh yang kemudian membangun bermacam persepsi itu, atau bermacam imajinasi, kemudian mengalami cek dan ricek misalnya, dengan adanya saling komunikasi. Dengan bahasa tidak hanya hal kongkret saja yang bisa dikomunikasikan, tetapi juga hal abstrak.

Dalam rejim demokrasi, soal fresh and instant ini bisa-bisa menjadi salah satu yang terus saja lekat mengiringi langkahnya. Bagaimana dengan ‘demokrasi seolah-olah’ di jaman old, yang lekat dengan ‘itu-itu saja’? Fresh and instant tetaplah ada, paling tidak melalui sosok wakil-nya, tetapi lebih dari itu bagaimana soal fresh and instant ini bisa mengambil bentuk lain, melalui konsep kedaulatannya Carl Schmitt, sovereign is he who decides on the exception. Kalau Korea Utara membuat kanan-kirinya blingsatan dengan uji coba peluru kendali baru, itu bukan saja soal ancaman belaka, tetapi juga sebuah atraksi fresh and instant bagi rakyatnya. Harapan yang terus saja dijaga untuk tidak kalah melawan setan-setan di luar. Ancaman bisa saja merupakan hal kongkret, tetapi pada akhirnya ia merupakan hal abstrak ketika masuk ranah komunikasi. Kita bisa bicara tentang pertandingan bola nanti malam, tetap saja yang kita bicarakan saat ini adalah hal abstrak juga. Tetapi bagaimana jika bukan pertandingan sepak bola yang dibicarakan, tetapi potensi menjadi hancur-lebur? ‘Hati lebur jadi debu’, kata Jamal Mirdad. Dalam laku monarki jaman dulu, exception itu akan terus membayang dan itu ‘dijinakkan’ oleh si-mono. Kalau jaman now di Korut seperti contoh di atas, jaman doeloe si-mono akan menampilkan bermacam atraksi dengan segala pernak-pernik kebesarannya, secara rutin dari waktu ke waktu. *** (15-11-2024)