1125. Asumsi Kaum Neolib
10-04-2023
Asumsi adalah serapan dari bahasa asing, yang menjelang abad-17 salah satunya berarti “to take for granted without proof as the basis of argument.”[1] Banyak asumsi dalam bangunan keyakinan kaum neolib, dan tidak sedikit pula dengan susah payah ingin dibuktikan kebenarannya, bukan sekedar asumsi lagi. Salah satu asumsi kaum neolib adalah, katakanlah, orang itu tidak akan mau merawat dengan sungguh-sungguh apa-apa yang tidak punyanya. Titik berangkatnya adalah soal ‘kepentingan diri’. Pilihan ‘yang rasional’ itu adalah yang berangkat dari ‘kepentingan diri’. Di luar kepentingan diri maka tidak rasional. Contoh paling jelas adalah soal privatisasi itu.
Amartya Sen mengajukan kritik atas alur logika di atas dengan menganjukan konsep ‘komitmen’. Menurut Sen, komitmen itu adalah juga rasional, bahkan jika itu mengikuti rute kepentingan diri sebagai titik berangkatnya. Menjadi manusia yang ber-komitmen itu adalah juga pilihan (rasional). Akar kata dari komitmen ini akan bersinggungan dengan akar kata misi, dan ditambahkan di depannya, com (bersama).[2] Jadi soal komitmen ini bisa dikatakan juga mempunyai nuansa ‘misi bersama’. Atau katakanlah, hal ‘kepentingan diri’ itu mampu ditunda demi pilihan yang lebih besar dari soal ‘kepentingan diri’ itu sendiri. Contoh sederhana ketika kita belanja di pasar dan seorang nenek tua jual pisang. Ia menawarkan satu sisirnya Rp. 20.000, dan kita langsung saja tanpa menawar membelinya. Padahal kita tahu, dengan harga Rp. 15.000 kemungkinan akan dilepas pula oleh nenek tua itu. Itu kita lakukan karena ingin membantu si-nenek tua, tulus? Bisa tulus, tetapi juga dalam hati kecil kita mungkin saja kita menjadi nyaman juga telah berbaik hati. Tetapi apapun itu, hal di atas adalah buah dari sebuah komitmen. ‘Kepentingan diri’ kita ditunda dulu demi yang menurut kita saat itu, lebih besar.
Negara dengan segala yang ada, aset-asetnya, kekayaan alamnya, dan bermacam lagi, jelas juga bukan punya ‘nenek lu’, atau ‘kakek lu’. Tetapi apa itu kemudian tidak bisa dikelola dengan baik oleh para pejabatnya? Menurut kaum neolib: makanya harus di-privatisasi biar bisa diurus dengan bener. Itu yang ‘rasional’. Makanya paradigma ‘ultra-minimal state’ itupun dipompa juga. Komitmen selain terkait beberapa hal di atas juga terkait pula dengan ‘janji’. ‘Janji’, misal dalam sebuah kampanye, itu pada dasarnya adalah tawaran sebuah misi, katakanlah untuk 5 tahun mendatang. Menjadi misi-bersama selama 5 tahun. Menepati janji, menjalankan yang sudah menjadi ‘misi-bersama’ adalah juga sebuah komitmen. Maka apakah bayang-bayang neoliberalisme itu juga berarti ‘hancurnya sebuah komitmen’? Ataukah itu –segala asumsi kaum neolib, hanyalah kotbah-kotbah yang ditujukan pada ‘dunia-ketiga’ supaya accumulation by dispossession itu bisa berjalan dengan maksimalnya? Seperti yang dibayangkan oleh Ha Joon Chang soal ‘tendang tangga’ –kicking away the ladder, itu? *** (10-04-2023)
[1] https://www.etymonline.com/word/assume?ref=etymonline_crossreference
[2] https://www.etymonline.com/word/commit?ref=etymonline_crossreference
1126. Gelembung Masalah
11-04-2023
Kapitalisme akan selalu lekat dengan bayang-bayang krisis. ‘Tangan-tangan tak terlihat” –invisible hands, meski menurut Adam Smith di dalamnya ada unsur simpati, atau kalau dalam penghayatan sekarang, empati, tetap saja ia berdiri kokoh di atas rimba keserakahan. Atau halusnya, kepentingan diri. Kepentingan diri yang di Abad Pertengahan di Eropa sono dulu dihayati sebagai hal negative. Tetapi setelah itu kepentingan diri dihayati sebagai bagian manusia ‘apa adanya’, dan lebih seringnya bukan sebagai hal negative lagi. Tetapi apakah krisis dalam kapitalisme hanya muncul di ranah ‘invisible hands’? Ketika bermacam korporasi berkembang maka soal manajemen-pun berkembang pula. Dan soal manajemen ini bisa kita hayati juga sebagai ‘tangan-tangan terlihat’ –visible hands. Kalau kita dengar dari Ciputra soal apa itu entrepreneur, katanya, ketika sampah rongsokan bisa diubah menjadi emas. Dan itu adalah kerja-kerja ‘tangan-tangan terlihat’ di dalam dinamikanya ‘tangan-tangan tak terlihat’. Atau lihat munculnya krisis perbankan di sebagian network itu dalam bulan-bulan terakhir ini, sampai-sampai pemerintah Swiss melarang pemberian segala bonus untuk top manajer dari bank bermasalah. Ini sedikit banyaknya juga menunjuk bagaimana faktor visible hands itu bisa berperan besar dalam krisis. Karena ternyata baik tangan-tangan tak terlihat ataupun terlihat pada dasarnya ada di atas pondasi yang sama: keserakahan. Maka, apakah keserakahan itu sebaiknya dikurung atau dilepas?
‘Greed is good’, demikian Michael Douglas dalam film Wall Street. Atau kalau Deng Xiao Ping lebih halus: ‘menjadi kaya itu mulia’. Atau pada agen-agen pemasarannya yang banyak memperoleh penghasilan dari komisi, maka dikatakan oleh supervisor-nya, bahwa soal komisi itu ‘the sky is the limit’. Atau lihat misalnya di jajaran PNS soal ‘tunjangan kinerja’ itu. Dan banyak contoh lagi yang sebenarnya pada dasarnya berdiri di atas pondasi keserakahan. Karena memang di belakang keserakahan itu juga meletup-letup energi besarnya. Lalu bagaimana ‘orkestrasi’ laissez-faire bisa berujung pada ‘kesejahteraan bersama’. Apakah ‘kesejahteraan bersama’ itu hanya merupakan ‘kensekuensi yang tidak diharapkan dari awal’, karena itu akan terjadi ketika masing-masing individu menjadi sejahtera dalam orkestrasi laissez-faire di atas, seperti pandangan Adam Smith? Paradigma ‘ultra-minimal state’ itu sebenarnya lebih banyak ‘ngibul’-nya saja, terutama saat berkotbah di depan bagi ‘negara-negara berkembang’, dan terutama lagi yang mempunyai kekayaan alam berlimpah. Coba lihat saja berapa saja subsidi bagi petani dan peternak yang dikeluarkan oleh negara-negara maju itu bagi warga negaranya yang pada saat bersamaan ia menyampaikan kotbah-nya tentang ini dan itu-nya pasar pada ‘negara-negara berkembang’? Seakan membenarkan apa yang ditulis Thucydides lebih dari 2000 tahun lalu itu, intinya: do what we said not what we do, karena kami lebih kuat dari kamu. Katakanlah ketika mereka menjadi besar karena tangga proteksi, misalnya, maka kemudian ditendanglah tangga itu. Kicking away the ladder, demikian Ha Joon Chang mengatakan.
Tetapi terkait dengan hal di atas, bukankah dalam politik riil akan begitu dulu, sekarang, dan ke depannya? Dalam banyaaak hal-nya kita tidak bisa mendikte mereka, seakan itu di luar kendali kita. Tetapi selain itu, banyak hal yang sebenarnya masih ada dalam kendali kita. Banyak. Banyak permasalahan ‘dalam negeri’ yang sebenarnya itu nampak dengan jelas tergantung pada kita apakah mau menyelesaikan atau tidak. Jika kita nampak ‘nggak mutu’ sama sekali dalam penyelesaian bermacam masalah padahal itu sangat jelas tergantung pada kita, maka akan terjadilah ‘gelembung masalah’ itu. Ketika itu pecah maka akan sangat-sangat mahal harga yang harus dibayar oleh hidup bersama. Ketika ‘gelembung masalah’ itu semakin besar saja dan potensi pecahnya semakin dekat, maka jelas pula orang-orang itu –si pengelola pajak kita, adalah yang paling bertanggung jawab. Bukan yang lain-lainnya. *** (11-04-2023)
1127. Hal Buruk Jangan Dibiasakan
12-04-2023
Tidak akan ada yang membantah jika dikatakan bahwa kebiasaan itu mempunyai kekuatan dahsyat. Bahkan menurut Bourdieu, tindakan kita juga akan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, habit. Maka judul ‘hal buruk jangan dibiasakan’ akan segera saja diterima akal sehat. Pada umumnya. Tetapi dalam ranah politik, ungkapan seperti judul itu tidak serta merta kemudian semua akan setuju. Karena pasti akan ada yang ngèyèl maunya menyelipkan prasyaratnya, katakanlah ia akan berkata: jika hal buruk itu mendukung olah kuasa, mengapa tidak? Apakah khalayak akan serta merta mengisolir pelaku politik dengan pandangan seperti itu? Belum tentu juga, akan sangat dipengaruhi ‘olah propaganda’-nya juga. Apakah menjadi terdidik akan serta merta juga menjadi tidak mudah ‘termakan’ oleh propaganda seperti itu? Belum tentu juga. Maka memang menjadi sungguh tidak mudah membangun ‘hal buruk jangan dibiasakan’ dalam ranah politik. Apakah ini kemudian menjadikan kebanyakan khalayak menjadi ‘apolitis’ atau apapun itu disebut? Atau paling tidak ‘menjaga jarak’ terhadap politik-politik itu? Mungkin juga, tetapi bukan itu titik berangkatnya, bukan soal politik itu ‘wilayah abu-abu’, tetapi karena sebagian besar khalayak itu akan disibukkan dengan urusan masing-masing, terutama terkait bertahan hidup atau soal keinginan untuk ‘hidup lebih’. Wajar, sangat-sangat wajar. Terlebih ketika kaki sudah mulai menapak di jalan ‘benar’ dalam upaya mengembangkan diri. Maka tidak sedikitlah ‘orang-orang baik’ dan pekerja keras itu kemudian tidak mau terlibat dalam politik-politik-an.
Kadang-kadang soal ‘hal buruk jangan dibiasakan’ ini kemudian diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan bersama, misal soal Pendleton Act di AS sono di bagian akhir abad-19 itu, yang mengakhiri spoils system yang sudah berjalan selama sekitar 60 tahun sejak tahun 1829. Itupun presiden kucluk seperti Trump masih saja ingin mengembalikan spoils system itu.[1] Ataupun soal pembatasan masa jabatan presiden di republik, itupun masih saja ada yang main kucluk-kucluk-an mau mengganti. Atau terkait dengan yang terakhir ini, jika ada presiden yang di akhir masa jabatannya, dan dia menurut kesepakatan tertulis dalam perundangan sudah tidak bisa lagi mencalonkan diri, tetapi terus saja sibuk sana-sini tanpa beban merancang, melakukan ini dan itu demi meng-gol-kan calon pilihannya, maka hal seperti ini janganlah jadi kebiasaan di kemudian hari. Tidak ada larangan untuk itu memang, tetapi jelas itu adalah hal buruk di ranah ‘pembatasan masa jabatan’. Apalagi itu dilakukan secara ‘lintas partai’. Sungguh, hal buruk seperti ini jangan sampai jadi kebiasaan. Karena ini ranah politik maka kita tidak bisa hanya menghimbau saja, tetapi harus dengan ‘langkah politik’ juga: jangan pilih siapapun yang didukung oleh presiden seperti itu. Ojo cedhak-cedhak kebo gupak, demikian tetua mengatakan dulu. Atau jika suatu saat anak kita pamit untuk menjemput-merayakan di depan pintu penjara, menyambut bak pahlawan seorang napi koruptor yang selesai masa hukumannya, kita paling tidak bisa mengatakan pada anak kita: jangan pergi, nak…. *** (12-04-2023)
[1] Lihat, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-09, No. 1119
1128. Yang Privat dan Yang Publik
13-04-2023
Jika kita lihat 20-an tahun lalu, di awal-awal Reformasi, salah satu yang banyak muncul dalam perbincangan adalah ‘masyarakat sipil’. Baik melalui cetakan, media, dan juga diskusi-diskusi. Seakan ingin mengajak khalayak untuk mampu membedakan antara negara dan masyarakat sipil, dan juga pasar. Mengajak khalayak untuk mampu membaca ‘peta-besar’ ketika berhadapan dengan negara yang bertahun dirasakan begitu dominannya. Dengan menghayati adanya masyarakat sipil dalam ‘peta-besar’ hidup bersama maka diharapkan dominannya negara bisa tidak terulang lagi, dan hidup bersama bisa berjalan dengan bermacam cek-ricek.
Lebih dari 20 tahun kemudian –sejak Reformasi dilahirkan, nampaknya soal ‘yang privat’ dan ‘yang publik’ perlu sungguh diperhatikan dalam penghayatan akan ‘peta-besar’ hidup bersama. Karena bertahun terakhir rasa-rasanya banyak yang semestinya itu adalah ‘yang publik’ tetapi kemudian ‘dibelokkan’ seakan sedang ‘menyerang’ hal ‘yang privat’. Paling tidak ini sering muncul dalam sosial media. Tetapi tak jarang pula dapat dilihat dari respon pejabat publik ketika menghadapi kritik, misalnya. Fanatisme yang berkembang semakin mendorong pula kaburnya ‘yang privat’ dan ‘yang publik’ ini. Juga misalnya, sebenarnya itu soal ‘yang publik’ tetapi diurus seakan sebagai ‘yang privat’ saja. Apakah memang dalam komunitas yang cenderung ke paguyuban (gemeinschaft) akan mengalami kesulitan membedakan ‘yang privat’ dan ‘yang publik’? Tetapi dengan kemajuan teknologi komunikasi seperti sekarang ini, ketika kumpul-kumpul misalnya, yang nampak justru masing-masing asik dengan HP-nya sendiri-sendiri –asik dengan hal yang jauh di sana, masihkan ada masyarakat paguyuban itu? Tentu akan dijawab masih ada, tetapi seberapa besar telah terkikis? Apalagi di kota-kota besar. Apakah sedang terjadi pula pergeseran yang dibayangkan David Reisman dkk dalam The Lonely Crowd (1950) dari manusia tradition-directed, ke inner-directed, dan sedang membesar ke arah other-direction? Terlebih ketika masyarakat konsumsi itu semakin membesar? Seakan kita sedang ‘diculik’ dari ‘zona nyaman’ kita.
Maka, pembedaan ‘yang privat’ dan ‘yang publik’ itu sebenarnya juga membantu kita untuk tidak menjadi ‘kesepian’ dalam samudra bermacam ‘tawaran-arah’ dari yang lain. Ada semacam ‘ruang-ruang khusus’ yang katakanlah berjarak dari segala kepengapan ‘yang banyak’ dengan bermacam tawaran-tawarannya. ‘Yang privat’ memang pertama-tama adalah soal keluarga, tempat paling dimungkinkan untuk membangun tradition-directed atau inner-directed. Dan berbekal itu juga –salah satunya, kita akan masuk ke bermacam ruang-ruang publik. Keluarga memang menjadi yang utama dalam soal ‘yang privat’ ini, tetapi ‘batas’ inipun bisa lentur, dan bisa bermakna tidak selalu langsung terkait dengan ruang keluarga.
Maka dalam konteks merebaknya ‘other direction’ itu diperlukanlah banyak ruang-ruang publik sehingga seakan dalam ‘cerita-besar’-nya, si-aku juga merasa ikut terlibat dalam ‘arah’ tersebut. Tidak hanya semata sebagai ‘konsumen’ saja. Jika kita memang adalah ‘essentially a story-telling animal, seperti dikatakan oleh Alasdair McIntyre dalam After Virtue, maka pertanyaannya adalah ‘aku’ ada dimana dalam story-telling itu? Tidak mudah untuk manapak ini karena cerdas dan dahsyatnya bemacam iklan yang selalu hadir di kanan-kiri kita. Apalagi salah satu kecenderungan kuat kita adalah: meniru.
Bagaimana jika ruang-ruang publik ini justru dirusak oleh dinamika politik? Oleh olah-kuasa? Seperti contoh-sekilas di bagian awal tulisan? Atau ketika ruang-ruang publik itu semakin tidak mengenal ‘potensi-orgasmus’-nya? Misal soal kehormatan di ruang publik, tetapi para pelaku politik merasa tidak perlu memberikan ‘nuansa kepublikan’ soal kehormatan itu? Berulang dan berulang. Atau menyodorkan sebuah ‘story-telling’, tetapi isinya hampir semua ngibul doang, seakan menganggap ruang-ruang publik itu isinya orang-orang bodoh semua. Brutal. Maka jangan salahkan jika suatu saat ruang-ruang publik itu akan berkembang story-telling ‘tandingan’. Apapun itu, dan bisa-bisa akan mengagetkan kita semua outcome-nya *** (13-04-2023)
1129. Prau Cepet
14-04-2023
www.pergerakankebangsaan.com/833-Prau-Cepet/
“Sedèyèk-sedèyèk, prau cepet kulo pestè’ké, suk-suk, mbénjang-mbénjang pas nggawéné niku mboten ngagem kas déso, nggih mboten bapak ibu ....,” Lurahé Mukidi stèl yakin.
Kompak hadirin njawab kanthi remeng-remeng: “Entuuut ....” (nada dasar do)
“Lho kok malah njawab ‘entut’ niku pripun to bapak ibu .. niki soal prau cepet lho ....”
“Entuuuut .....” (nada dasar ré)
“Pasti tidak akan pakai kas desa lho bapak ibu ....”
“Entuuuuut .....” (nada dasar mi)
“Ingat kata-kata saya: ti-dak pa-kai kas de-sa ....”
“Entuuuuuut .....” (nada dasar fa)
Lurah Mukidi plenggongan garuk-garuk sirah, terus diambu driji sing nggo garuk-garuk sirah mau. Kebiasaan waé, cuk. Ora iso ngempet manèh, otomatis. Ora usah digathuk-gathukké karo wejangan Mbah Tung kaé.
Lurahé terus clingukan nggolèki Pak Él ... lha kaé gèk angop. Diawé Lurahé Pak Él gagé menyat nyedhak. Dibisik-bisiki sik karo Lurahé, terus Lurahé Mukidi mundur, ganti Pak Él sing maju ngadepi mik. Mbenaké kocomoto, dehem-dehem sedhélok, terus gaya othak-athik mik, siap-siap omong. Gèk ambil napas siap-siap omong, ujug-ujug waé Kang Yos wis ‘nyanyi’, nada dasar sol: “Entuuuuuuut ......” Suarané Kang Yos memang apik tenan, resik lan mentul-mentul. Likwan sing lungguh nang jèjèré langsung bereaksi: “Kang durung ... Pak Él waé durung omong jé ....”
Kang Yos pasang aksi lugu: “Durung to Lik ... Ning mau yo mung ambil suara kok Lik ...”
Totok: “Ambil suara kok dowo banget Kang ...”
“Ngono yo Tok ...”
“Hè’èh Kang.”
Pak Él tidak ambil pusing, terus mulai omong: “Niki mboten soal nopo-nopo, ning niki soal komitmen. Komitmen Lurahé Mukidi soal prau cepet meniko mangké mboten ngagem kas deso. Sekali lagi, ko-mit- ....” Durung rampung Pak Él omong, Kang Yos rengeng-rengeng nyanyi, nada dasar ré: “Ayo komit ... ayo komit ....”
Langsung hadirin kompak nyambung: : “Nang kebon ... nang kebon ...”
Kang Yos karo suarané sing mentul-mentul, tambah banter: “Tutupi godhong pring ... tutupi godhong pring ...”
Hadirin kompak karo ngacungké tangan kiwo koyo nèk pas mbengok ‘pro-wong-cilik-pro-wong-cilik’ kaé lho, mbengok sak kayangé neruské nyanyiané Kang Yos: “Bèn garing ... bèn garing ...”[1]
Hadirin terus kompak podho ngadeg, balik kanan, bubar jalan. *** (12-10-2021)