1245. Hancurnya Tiga Prakondisi
19-09-2023
Dahrendorf berpendapat bahwa suatu organisasi untuk dapat bertahan hidup memerlukan tiga prakondisi, yaitu prakondisi sosial, politik, dan teknis. Kondisi teknis, mengutip Malinowsky, menurut Dahrendorf adalah watak kelompok, personalia yang diperlukan, seperangkat norma, peralatan, seperangkat aktifitas rutin dan fungsi obyektif. Kondisi politis adalah tersedianya pengakuan hak berorganisasi, jaminan politik untuk melakukan kegiatan organisasi. Kondisi sosial dilihat dari masyarakat yang mewadahi organisasi, berkaitan dengan sistem komunikasi antar warga masyarakat, pengalokasian posisi di dalam keseluruhan struktur masyarakat, kepemimpinan, dan ideologi.[1] Jika katakanlah, organisasi itu adalah sebuah republik, akankah republik akan bertahan hidup jika kondisi teknis-nya disesaki oleh korupsi kolusi, dan nepotisme? Kondisi sosial-nya sudah sedemikian retak karena adu domba yang tidak habis-habisnya itu? Dan ditambah kondisi politis dimana hak ‘berorganisasi’ sebagai republik telah dikooptasi habis-habisan oleh imajinasi soal investasi?
Dari bermacam hal di atas, apa yang pertama-tama diperlukan sehingga republik tidak benar-benar menuju ke-kehancurannya? Tidak lain adalah retorika! Lihat misalnya bagaimana retorika Deng Xiao Ping kepada rakyatnya dalam upaya tidak kenal lelah saat menggeser China untuk lebih terbuka mulai awal-awal dekade 1980-an itu. Ketua Deng sedang menyiapkan, katakanlah ‘prakondisi sosial’-nya. Y.B. Mangunwijaya dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992), menuliskan: “Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika, atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika.” … “Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomnikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan.”[2] Dalam retorika salah satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah sisi pendengar. Dalam puisi, persoalannya adalah ekspresi diri si pembicara. Dalam retorik sebaliknya. Retorik akan banyak memberikan perhatian kepada para pendengar. Yang penting dalam retorik bukan saja pikiran dan perasaan pembicara, melainkan (dan terutama) apa yang dipikirkan dan dihayati oleh para pendengar.[3]
Jika apa yang dipikirkan dan dihayati oleh para pendengar itu adalah juga bagian dari ‘bangunan atas’ maka sebenarnya apa-apa yang terjadi di ‘basis’ –relasi-relasi kekuatan-kekuatan produksi, semestinyalah perlu sungguh diperhatikan. Dan itu akan ada dalam ‘ketegangannya’ dengan apa-apa yang menjadi alasan, katakanlah, suatu ‘organisasi’ republik disepakati kelahirannya. “Bukankah hakikat dari kerja mengurus negara adalah melihat lebih dahulu ke depan. Gouverner, c’est prévoir, to govern is to foresee,” demikian dikatakan Daoed Joesoef merujuk kata-kata Emile de Girardin.[4] Dari beberapa hal di atas maka retorika semestinyalah mempunyai ‘logika yang kuat’ terkait dengan ‘nada-nada’ masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Jika ini dilakukan maka memang retorika bisa menjadi salah satu rute penting dalam “pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa”. Dan tidak hanya itu, ia akan mendorong “emansipasi manusia menjadi tuan dan puan”. Bukan untuk menjadi kacung. *** (19-09-2023)
[1] Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985
[2] Dikutip dari, Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7
[3] Ignas Kleden, Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta, 2001
[4] Daoed Joesoef, Pikiran dan Gagasan -10 Wacana tentang Aneka masalah Kehidupan Bersama, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, hlm. 268
1246. Seni Dari Kata-kata
20-09-2023
Dalam pendidikan klasik dikenal adanya trivium dan quadrivium. Trivium terdiri dari grammar, logic, dan rhetoric, dan ketiganya sering disebut sebagai arts of the word. Sedangkan quadrivium terdiri dari arithmetic, astronomy, music dan geometry, dan sering dikenal sebagai arts of number or quantity. Dari trivium dan quadrivium ini maka penghayatan akan realitas akan semakin ‘utuh’. Dalam pendidikan biasanya trivium akan diajarkan sebelum quadrivium. Tentu bermacam ‘pengalaman langsung’ akan berkontribusi besar dalam berhasilnya pendidikan, tetapi kalau boleh melebarkan sedikit kita bisa juga bertanya, mengapa sampai Gayatri Spivak menulis esai “Can the Subaltern Speak”? Bahkan di ‘dunia ketiga’-pun untuk bicara mewakili diri sering seakan menemui bermacam tembok besar. Maka memang trivium dan quadrivium sering disebut liberal arts, karena ujung-ujungnya adalah ‘pembebasan’. Pendidikan ‘manusia merdeka’ semestinya dimulai di pendidikan dasar dengan trivium dan quadrivium ini.
Tulisan ini lebih pada ‘pembelaan’ istilah retorika, karena kadang istilah retorika itu dipakai dalam konotasi negatif, misal, bicara yang tidak ada isinya, atau jauh dari tindakan. Seperti dalam istilah ‘NATO”, not action talk only. Padahal menurut Mangunwijaya, retorika bisa menjadi rute untuk pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa.[1] Ketika arts of the word dipojokkan secara brutal, dan arts of number secara ugal-ugalan dimanipulasi seperti dinampakkan pada angka-angka survei dari para pollsterRp, maka ‘kebenaran’-pun akan semakin menjauh. Realitas akan semakin kabur, dan jika ditarik lebih jauh lagi, ranah sains-pun akan meredup. Akan seperti apakah hidup bersama ini berkembang?
Maka ‘pendidikan dasar’ yang masuk dalam rentang ‘wajib belajar’ itu adalah sangat penting. Dan sayangnya, anak-anak kita yang masih suka kejar-kejaran itu sudah dituntut untuk kompeten ini dan itu, belum lagi jika dilihat dari beban belajarnya. Apakah kita sudah menyediakan ruang dan waktu yang cukup untuk menumbuh-kembangkan keberanian bicara bagi anak-anak kita? Bahkan dari soal ‘berani-bicara’ saja, seperti disinyalir Spivak sekitar 35 tahun lalu itu kita bisa meraba adanya ‘kelas-kelas’ tersendiri. Jika untuk berani-bicara saja seakan menghadapi tembok, bagaimana kita bisa meraba bermacam potensi yang ada di anak-anak kita? Belum lagi seperti dikatakan Mangunwijaya, tidak hanya soal ‘menguak’ potensi, tetapi retorika juga bisa memainkan peran penting dalam emansipasi manusia menjadi tuan dan puan.[2] Maka pendidikan retorika sebenarnya bisa juga menjadi ujung tombak untuk menggempur ‘budaya bisu’ yang adanya sudah ditunjukkan oleh Paulo Freire.
Tentu kata-kata bisa jatuh pada sekedar propaganda saja. Atau sebagai alat utama untuk ngibul di sana-sini. Nipu yang sudah tak tahu malu, tak tahu batas lagi. Tetapi semua itu tetaplah bukan alasan untuk memojokkan atau membunuh karakter dari arts of the word. Dan juga termasuk di sini arts of number or quantity. Karena sungguh itu adalah alat utama manusia untuk memperjuangkan kebebasannya. *** (20-09-2023)
[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-35, No. 1245
[2] Ibid
1247. Jawaban Negarawan
21-09-2023
Tidak mudah untuk menjadi pengelola, pengurus sebuah negara-bangsa, karena yang dikelola-diurus itu adalah sebuah ‘imajinasi’. Paling tidak menurut Ben Anderson, negara-bangsa adalah imagined community, komunitas terbayang. Suatu imajinasi yang terus menerus selalu dihadapkan dengan masalah-masalah kongkret, aktual maupun potensial. Maka adalah menarik ketika salah satu calon presiden, Anies Baswedan menjelaskan bagaimana imajinasi soal kebangsaan itu berkembang, dan peristiwa-peristiwa kongkret yang ikut mendorong berkembangnya imajinasi itu, mulai dari yang kita kenal sebagai Hari Kebangkitan itu, Sumpah Pemuda, Proklamasi, RIS, sampai ketika laut diantara pulau-pulau diakui dunia sebagai satu kesatuan dengan daratan. Sebuah penghayatan akan imagined community yang tidak lepas dari perjalanan sejarahnya. Merespon fakta bahwa sebagai bangsa memang ‘belum selesai’ itu bukan berarti terus melupakan sejarah. Justru dalam merespon hari ini maupun mengantisipasi masa depan sebagai ‘bangsa yang belum selesai’, ‘nada’ masa lalu perlu dihayati dengan cerdas karena suka atau tidak ia akan memberikan nuansa bagaimana kita menghayati persoalan aktual sekarang dan potensial ke depannya. Dalam ‘tindakan politik’, mengingat dan berjanji itu bagi yang mengelola-mengurus negara sebenarnya tidak akan pernah sebagai pilihan antara A atau B.
Sama-sama melihat Gunung Merapi dari Muntilan misalnya, Si-A, B, C bisa-bisa lain penghayatan, dan jika itu dituangkan dalam lukisan, bisa-bisa lain juga hasil lukisan di atas kanvas. Hal ini dicontohkan van Peursen dalam Strategi Kebudayaan tentang bagaimana seorang dengan dominan penghayatan mitis, akan berbeda lukisan pada satu pemandangan di pinggir danau dengan yang dominan penghayatan ontologis, maupun fungsionil. Demikian juga terkait dengan masa lalu.
Tahapan-tahapan mitis, ontologis, fungsionil ini bukanlah tahapan yang kemudian mendefinisikan satu lebih unggul dari yang lain, dan bahkan semuanya itu akan ada dalam diri. Yang jadi masalah, bagi si-pengelola negara, si-pengurus negara, tahapan mana yang lebih harus teruji, terutama terkait dengan soal masa lalu? Atau sebenarnya juga masa kini dan masa depan? Pada tahap ontologis-lah ia mesti lebih teruji, tahap dimana ia mampu meraba hal mendasar, hal esensial. Pada tahap fungsionil yang menuntut operasionalisasi, ia akan didampingi oleh cerdik pandai, atau juga kaum teknokrat. Demikian juga tahap mitis. Kaum cerdik-pandai yang tidak akan mengusulkan supaya kemana-mana ‘tongkat komando’ mbah-nya diangkat-angkat untuk menyihir massa. Enggak gitu-lah … Intinya adalah, setelah hal esensial terhayati maka ia memang masih perlulah kaum berpikir dan kaum terampil. Dengan teruji di tahap ontologis maka diharapkan ‘bablasan’ tahap mitis dan fungsionil bisa lebih dikendalikan. Ia menjadi tidak mudah tergoda untuk mengeksploitasi masa lalu secara ‘magis’ untuk menyihir, terutama massa. Ataupun ia menjadi tidak mudah untuk jatuh dalam ‘operasionalisme’ seperti yang terjadi bertahun terakhir di republik. Kerja, kerja, kerja, tiba-tiba saja kita sudah berdiri di tepi jurang.
Bermacam masalah tentu akan selalu ditemui dalam perjalanan, tetapi hidup bersama tidak hanya soal bagaimana masalah itu mendapatkan solusi pemecahannya, tetapi lebih dari itu, bagaimana solusi itu kemudian ditemukan. Kadang memang tindakan-tindakan pragmatis diperlukan, misal ketika terjadi kebakaran, jika disitu tersedia air, atau pasir, atau APAR misalnya, maka gunakanlah sesegera mungkin tanpa perdebatan lebih dahulu. Mumpung api masih kecil. Setelah itu, sesegera mungkin panggil unit pemadam kebakaran. Tetapi tidak semua masalah didekati seperti itu, karena bagaimanapun juga di belakang pragmatisme itu juga bekerja ‘ideologi-ideologi’ atau asumsi-asumsi tertentu. Jadi tidak netral-netral juga. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, pendekatan sebagai ‘pemecah teka-teki’ dan bahkan sudah lekat dengan ‘operasionalisme’ itu seakan sudah sampai pada fase ‘menuai badai’-nya. Pendekatan yang lebih ‘paradigmatik’ kiranya diperlukan untuk mencegah republik ini masuk jurang. Dan itu hanya bisa dilakukan jika si-pengelola negara, si-pengurus negara, teruji dalam penghayatan ontologis-nya terhadap ‘komunitas terbayang’ yang sedang atau akan di-urusnya. Mempunyai kemampuan untuk meraba hal mendasar, yang esensial. Perlahan paradigma ‘baru’ dibangun berangkat dari hal-hal mendasar itu, dan dari situlah bermacam solusi, bermacam hal praktis kemudian diproses kelahirannya. Semakin nampak bahwa yang dinamakan ‘perubahan’ itu adalah juga sebuah ‘pergeseran paradigma’. Maka jelas tidak akan mudah-mudah saja. *** (21-09-2023)
1248. Wisuda
24-09-2023
Sabtu kemarin saya menghadiri anak wisuda di Jakarta. Dan juga orang tua-orang tua lainnya. Atau juga kakak, adik, ada juga kakek-neneknya, atau pacar si-wisudawan. Macam-macam. Di sekitar balairung banyak yang jualan souvenir, ada bunga, ada boneka, sampai payung. Macam-macam juga. Tak lupa banyak yang ikut mencari peruntungan dengan menjual makanan, minuman, dan juga sesi foto dukumentasi, atau sampul untuk ijazah sehingga bisa lebih awet disimpan. Kegembiraan menjadi bertambah semarak, orang-orang berkerumun dengan wajah-wajah sumringah, gembira. Tiba-tiba kegembiraan menjadi sedikit berkurang, ketika ingat petinggi, bahkan tertinggi pernah mengatakan bahwa ijazah itu tidak penting. Tentu konteksnya adalah, rajinlah berusaha, atau bekerja, jangan mudah menyerah. Suatu petuah yang siapapun akan mengatakan bahwa itu adalah baik adanya. Tetapi mengapa harus ‘menginjak’ atau bahkan ‘menghina’ si-pemegang ijazah?
Belum lama ini bakal calon presiden mengatakan yang ‘logika’-nya mirip-mirip dengan itu. Konteksnya adalah soal pendidikan, mbok ya-o yang masuk dalam lulusan 10 terbaik itu jadi dosen, kira-kira begitu maksudnya. Siapa yang tidak setuju dengan ini? Sebagian besar akan setuju, tetapi masalahnya mengapa harus ‘menginjak’ atau ‘menghina’ profesi MC, atau juga diteruskan: jurnalis? Si-Jurnalis yang kebetulan menjadi pembawa acara atau pewancara saat itu langsung saja menegaskan bahwa jurnalis itu adalah juga profesi yang mulia, kira-kira begitu. Apakah dua peristiwa itu adalah hanya sekedar kata-kata saja, yang bisa disikapi dengan sambil lalu, atau serius? Benarkan hanya sekedar kata? Ingat yang namanya politik itu memang tidak lepas dari kata-kata. Atau bahkan Heidegger, seorang filosof, pernah menegaskan bahwa bahasa adalah ‘rumah’ bagi being, katakanlah: manusia. Atau kita bayangkan jika hidup bersama tidak mengenal bahasa (verbal) maka akan banyak kesulitan ketika andalannya hanya bahasa isyarat.
Mengatakan sesuatu, dan untuk memperjelas maksud memang kadang dilakukan dengan ‘menegasi’ lainnya, tetapi di sinilah ‘ujian’ penting bagi seorang negarawan, orang-orang yang sedang mengurus negara, mengatakan sesuatu tanpa mencederai ‘kesetaraan’ misalnya, tanpa merendahkan profesi atau kondisi dari sesama warga yang mestinya itu, sekali lagi, dipandang setara oleh negara. Tidak mudah memang, makanya tidak semua mampu untuk mengurus negara. Atau memang perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh.
‘Drama’ memang tidak lepas dari soal negara-bangsa, apalagi jika kita ingat bahwa bagaimanapun ‘negara-bangsa’ itu adalah juga sebuah ‘komunitas-terbayang’. Maka sangat diperlukan ‘cerita’ yang mendasari ‘teater-negara’ itu untuk sungguh sudah diperhitungkan dalam segala aspeknya, terlebih terkait dengan mengapa negara-bangsa itu menjadi dimungkinkan ada, atau untuk apa adanya. Cerita, termasuk juga ‘latar-belakang’ mengapa suatu saat cerita itu dipentaskan dalam sebuah ‘drama’ untuk dipertontonkan. Termasuk di sini ketika bahasa, kata-kata menjadi salah satu bagian dari ‘drama’. Ketika kata-kata dalam bermacam ‘drama’ itu dibangun secara ‘jalan gampang’, bahkan ‘serampangan’, dalam ranah negara itu bisa-bisa akan berkontribusi besar dalam merubah ‘cita-rasa’ hidup bersama. Termasuk di sini seperti dua contoh di atas. Maka memang benarlah seperti dikatakan oleh Napoleon: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” Maka tetaplah kami mengucapkan selamat bagi wisudawan. Kita sebagai orang tua tahu persis bagaimana sulitnya memperoleh ijazah itu. Tentu ini barulah satu-dua tapak untuk lebih berkembang, semua orang tahu itu. *** (24-09-2023)
1249. 'Lingkaran Setan' Power Distance Tinggi (1)
25-09-2023‘
Power distance (Hofstede) adalah soal kultur. Bagaimana kultur dalam menghayati struktur, dalam hal ini relasi-relasi struktur kuasa dalam ‘ketimpangannya’. Komunitas dengan power distance tinggi akan cenderung tidak rèsèh terkait dengan tidak meratanya distribusi kuasa. Tidak terlalu terganggu dengan timpangnya distribusi kuasa. Maka juga cenderung tidak mau mempertanyakan bermacam keputusan dari kuasa yang lebih tinggi. Power distance ini lahir dari penelitian Hofstede di sekitar dekade 1970-an, di cabang-cabang IBM seluruh dunia. Di puncak Perang Dingin, dan di puncak pula modus komunikasi man-to-mass, terutama lewat televisi dan radio. Juga surat kabar.
Ada potensi besar untuk terjadinya pergeseran dari power distance tinggi ke power distance lebih rendah, mestinya, dengan berkembangnya modus komunikasi mass-to-mass melalui jaringan internet-digital. Kata Noam Chomsky, ketika semakin besar yang lain tahu sentimen lainnya maka ‘status quo’ bisa-bisa akan terganggu. ‘Manufacturing consent’ itupun sebenarnya akan semakin tidak mudah saja. Tetapi benarkah kemudian ‘pendekatan struktural’ dalam komunitas dengan power distance tinggi terkait merebaknya modus komunikasi mass-to-mass menjadi semakin mudah?
Bagi Noam Chomsky ketika sentimen satu sama lainnya semakin saling-tahu, status quo akan semakin kerepotan mempertahankan statusnya. Tetapi bagaimana bagi orang-orang di belakang Cambridge Analytica, misalnya? Yang membuahkan skandal di tahun 2014 itu? Tidak usah tahu sentimen orang per orangnya, tetapi dengan puluhan juta data-data pribadi yang diperoleh dari ‘kebocoran’ Facebook 10 tahun lalu itu, dan dengan algoritma tertentu dari silang-tukar ungkapan bisa dibayangkan ‘profil’ psikologisnya termasuk sentimen-sentimennya, dan dengan itu pula ‘pesan-pesan elektoral’ misalnya –langsung atau mlipir-mlipir lebih dahulu, bahkan bisa masuk ke dalam ruang-ruang privat pengguna jaringan digital. Apa yang dibayangkan Chomsky ternyata bisa juga di-takeover, tidak jauh beda dari yang dibayangkan oleh Noreena Hertz ketika demokrasi di-silent takeover oleh kekuatan modal. Bahkan sebenarnya itu adalah ‘kudeta’ man-to-mass terhadap mass-to-mass! Mungkinkah itu? Mengapa tidak? Paulo Freire di sekitar tahun 1970-an sudah menunjukkan potensi itu, yaitu ketika sudah sampai pada kesadaran transitif-naif tetapi tidak juga beranjak terus ke kesadaran transitif-kritis, dan melalui ‘dunia-di-tangan’: smart-phone dan sejenisnya, meneroboslah masuk kegilaan orang-orang di belakang Cambridge Analytica, atau komplotan lainnya, melalui pesan-pesan yang sudah disesuaikan dengan ‘profil-psikologis’ si-penerima. Langsung di ruang-ruang privatnya, bahkan jika itu sedang di toilet sekalipun. Maka ‘meledaklah’ fanatisme itu, seperti ditunjukkan oleh Paulo Freire.[1] Ketika fanatisme merebak maka bukan lagi ‘struktur’ yang nampak tetapi lebih pada sang-aktor-nya, si-‘jembatan keledai’-nya.
Dari Negri dan Hardt dalam Empire (2000), kita bisa membayangkan apa sebenarnya ‘Little Empire’ itu, dan jika memakai analogi Negri dan Hardt soal ‘rejim campuran’ yang sukses di lebih 2000 tahun lalu jaman Yunani Kuno: campuran antara rejim monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Dan kalau kita lihat dari bagaimana demokrasi-nya dipraktekkan, ini bukanlah soal si-demos berdaulat, tetapi adalah soal bagaimana si-demos dikendalikan. Soal mengendalikan ‘yang-banyak’, sisa-nya. Sisa setelah si-mono dan aristo di-‘sendirikan’ dengan ‘logika’ beda. Soal senjata yang ‘haus darah’ itu adalah soal sebagian dari si-aristo dalam ikut mengendalikan ‘yang-banyak’. Jika memakai ungkapan si-Bung soal azas, azas-perjuangan, dan taktik maka ‘mengendalikan yang-banyak’ itu adalah soal ‘azas’. Soal ‘taktik’ akan menyesuaikan dengan situasi berkembang. Sedangkan ‘azas-perjuangan’ salah satunya adalah ‘tebar ketakutan’, misalnya.
Maka segera saja kita bisa melihat bahwa soal power distance yang masuk dalam index tinggi di republik kemudian menjadi lekat pada soal ‘azas’. Suatu komunitas dengan power distance tinggi sebenarnya mempunyai paling tidak dua kemungkinan, justru ketika hadir pemimpin yang mak-nyus maka kemajuan bisa-bisa mengalami percepatan bahkan sampai yang tak terbayangkan sebelumnya. Di lain pihak jika ketemu pemimpin yang justru mengeksploitasi tingginya index power distance ini maka kemajuan akan sekedar supaya ‘yang banyak’ itu tidak mudah ‘berontak’ saja. Maka esensi jaman old adalah soal ‘mengendalikan yang banyak’, dan sekaligus membangun struktur monarki dan aristokrasi. Jaman old, si-aristo akan direkrut melalui jalur A, B, dan G. Jaman now sebenarnya tak jauh-jauh amat dari itu, dengan beberapa ‘modifikasi’. Intinya ada ‘jalur-jalur khusus’ untuk masuk sebagai ‘kelas-bangsawan’-nya. Maka meski si-demos sedang banyak terkapar karena pentungan dan gas airmata misalnya, ‘kelas’ bangsawan-pun tak akan sungkan-sungkan berjoget ria. Si-mono akan ambil jarak, dan sambil pecingas-pecingis akan menikmati ketika ‘lingkaran-bangsawan’-nya sedang berjoget. Bagi si-mono, rakyat adalah sejauh mata memandang si-‘bangsawan’ itu, kaum aristokratnya. Bukan yang sedang di-penthungi itu. *** (25-09-2023)
[1] Lihat juga, https://www.pergerakankebangsaan.com/153-Manipulasi-Di-Tiga-Lapangan-1/ dst.