1555. Latihan Sebagai "KPU-Watch"
15-11-2024
“Remember the first rule of politics. The ballots don’t make the results, the counters make the results. The counters. Keep counting,” demikian salah satu dialog dalam film Gangs of New York (2002). Ada beberapa pendapat siapa yang pertama kali mengatakan itu, tetapi apapun itu kutipan di atas menjadi sangat penting dalam bangunan demokrasi. Bermacam pilar demokrasi bisa disebut, tetapi dari pengalaman bertahun terakhir nampaknya perlu ditambahkan satu pilar lagi, lembaga penghitung suara dalam pemilihan. Di republik bisa disebut KPU, Komisi Pemilihan Umum. Ya, dari pengalaman bertahun terakhir semestinyalah KPU harus dihayati juga sebagai salah satu pilar demokrasi. Di negeri yang mengklaim sebagai kampiunnya demokrasi, Amerika sono, bahkan soal ‘KPU-KPU-an’ ini telah melahirkan catatan kelam. Tuduhan suara sudah dicuri di pemilihan presiden empat tahun lalu telah melahirkan kekacauan 6 januari 2021, saat pendukung garis keras Trump merengsek ke dalam Gedung Kapitol. Giliran sekarang Trump menang secara fantastis dengan menyapu bersih (!) negara-negara bagian penentu (swing state), perlahan mulai merebak Elon Musk dengan Starlink-nya telah mengotak-atik hasil pemilihan. Bahkan isu yang terus saja muncul dari waktu ke waktu, soal peretasan hasil pemilu oleh Rusia. Benar tidaknya terkait hal tersebut, tidaklah menghapus kebenaran bahwa KPU memang sebaiknya dihayati sebagai pilarnya demokrasi.
Pilkada 2024 yang akan berlangsung dalam hitungan hari ke depan, sebaiknya bisa menjadi momentum untuk semakin mengangkat KPU dan Bawaslu juga) terhayati sebagai pilarnya demokrasi. Karena bagaimanapun juga untuk menjadi pilarnya demokrasi tidak hanya sebatas ‘pembaptisan’ saja, tetapi itu membutuhkan prakondisi sosial, politis, dan teknis.
Dalam konteks membangun prakondisi sosial-lah momentum Pilkada nanti itu bisa dimaksimalkan. Dari pengalaman sendiri maupun negeri lain, prakondisi sosial ini harus dimaknai pertama-tama jika mengambil istilah Manuel Castells, sebagai yang ada di space of places. Dimana kita hidup bernapas, makan, minum, buang air, secara bersama-sama di masing-masing daerah-terkecilnya menjadi “KPU-Watch” dalam praktek. Mulai dengan mendokumentasikan daftar pemilih, sampai dengan hasil perhitungan dari unit terkecil tempat pemungutan suara. Bahkan yang mengambil sikap untuk tidak memilih-pun, atau golput, ada baiknya ikut mengawasi. Ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai ‘anti tesis’-nya dari atraksi yang ada di ranah space of flows, di republik menampakkan diri melalui Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) itu.
Ketika penghitungan suara masuk dalam tahap berjenjang, maka sebaiknya pula ‘KPU-Watch” ini juga melakukan cek-ricek secara berjenjang pula, dengan selalu terjaga kepresisiannya. Tentu meski bisa dibilang kok sampai gitu ya …, kotak suara mesti juga ‘diamankan’. Apapun caranya. Semua itu harus dilakukan dengan pintu berangkatnya adalah persis seperti kutipan di awal tulisan ini. Jika ada mantan presiden mau ikut kampanye, mau kayang-koprol di atas panggung, biarkan saja, katakanlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. ‘KPU-Watch’ tetap fokus pada penghitungan suara. Bahkan jika perlu, para pemilih pemula dilibatkan dalam ‘KPU-Watch’ ini sebagai pendidikan politik. Ikut latihan dalam membangun ‘KPU-Watch’, sehingga prakondisi sosial ‘KPU-Watch’ ini semakin mempunyai dasar berkembang ke depannya. *** (11-15-2024)
1556. Mengelola "Bablasan" (1)
16-11-2024
Istilah ‘bablasan’ kalau tidak salah pertama kali digunakan oleh Mochtar Pabottingi, konteksnya bicara soal ‘bablasan Orde Baru’. Tidak jauh dari penghayatan Mochtar Pabottingi soal bablasan, hanya saja dalam tulisan ini lebih ‘didekatkan’ pada metafora globalisasi (dulu), yang seolah sebagai juggernaut. Tidak hanya menerus, tetapi sudah dekat dengan kegilaan yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Semua diterjang oleh bablasan itu. Atau bisa dikatakan, bablasan di sini lebih soal bablasan hasrat. Hasrat yang kemudian diterima sebagai bagian ‘manusia apa adanya’ dalam era modernitas, ketika hidup bersama bergeser pada antropo-sentris, setelah sebelumnya lebih pada kosmo-sentris, dan kemudian teo-sentris.
Tulisan ini didorong oleh unggahan https://x.com/politvidchannel/status/1857408678175047847 yang di-reposted oleh https://x.com/ariel_heryanto. Unggahan: “BREAKING: Australia has introduced a new bill that will Ban billionaire like Elon Musk from buying Elections in Australia.” Ternyata juggernaut itu tidak hanya menabrak batas-batas negara, tetapi semua saja ditabrak. Jika kita mengenal militer-isme dan atau polisi-isme, maka uang-isme itu memang fakta. Jika pada masa kosmosentris alam-semesta memberikan kekuatannya untuk ‘menekan’ bablasan hasrat, atau juga ketika bergeser ke teosentris, konsep tentang Tuhan, maka semestinyalah ketika bergeser ke antroposentris, manusia mampu membangun sesuatu sehingga bablasan hasrat itu tidak merusak ‘tertib tatanan’.
Tetapi ternyata era modernitas itu melahirkan bermacam krisis juga, yang sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat bablasan hasrat. Dan jika Leo Strauss benar bahwa krisis modernitas gelombang ketiga yang menampakkan diri dalam fasisme, yang itu sudah bukan lagi soal ‘ekonomisme’, tetapi adalah soal penguasaan alam dan manusia lainnya. Jika bukan lagi soal ‘ekonomisme’, lalu mengapa bisa sedahsyat itu? Atau jika memakai Alegori Kereta-nya Platon, apa yang bersembunyi dalam ‘sayap-sayap’ kereta sehingga arah kereta menjadi tidak terdorong olehnya untuk ‘naik’ mendekati ‘kebaikan dewa-dewa’? Terlebih penampakan telanjangnya sebenarnya masih lekat dengan ‘ekonomisme’, atau kalau memakai Alegori Kereta-nya Platon di atas, si-‘kuda hitam’ yang sudah bablas ugal-ugalannya. Si-kuda hitam yang menggambarkan hasrat perut ke bawah, makan, seks, dan terutama hasrat akan uang.
Dengan Alegori Kereta-nya Platon di atas kita bisa juga membayangkan bagaimana rute atau taktik sehingga si-kuda hitam itu bisa dengan leluasa pecicilan ugal-ugalan. Pertama adalah mengajak si-kuda putih untuk bisa berkerja sama, dan perlahan dikooptasi. Kuda putih dalam Alegori Kereta itu menggambarkan kehormatan, dan oleh Platon dibayangkan sebagai kelas serdadu, atau katakanlah yang pegang senjata. Meski karakter berbeda, misal kuda putih lebih mudah untuk dibisiki si-sais, rasio-nalar, toh keseharian ia butuh juga makan, seks, dan terlebih uang. Kalau tidak ia sendiri, bisa juga melalui anak-anaknya, diajak bekerjasama mendirikan perusahaan, misalnya. Atau diberi saham, atau lainnya. Atau bahkan jadi cèntèng-nya si-kuda hitam. Jadi tidak hanya manut lagi semata pada si-sais. Atau sejak masih perwira rendahan sudah didekati, ‘dibina’. Atau lihat betapa sumringahnya ketika banyak pengusaha foto bareng dengan yang pegang senjata itu.
Si-kuda hitam bisa saja dengan segala upaya naik dan menggantikan sais, ia berdiri di belakang ‘kemudi’ sebagai si-sais. Atau ia menempatkan seseorang sebagai boneka di belakang kemudi. Tetapi mengendalikan si-sais ini tidaklah mudah, karena ia menggambarkan rasio atau nalar yang tidak mudah untuk ‘dikandangi’ begitu saja. Maka paling tidak si-kuda hitam harus ‘main’ di tiga prakondisi. Mengambil alih posisi di belakang kemudi, atau menempatkan boneka itu baru ‘prakondisi politis’. Masih perlu ditambah ‘main’ lagi di ‘prakondisi teknis’, katakanlah misalnya, Perguruan Tinggi khususnya dan lembaga-lembaga pendidikan lain dirusak, diobok-obok. Juga bagaimana lembaga-lembaga riset dikebiri. Atau juga ‘menulikan’ diri dari segala masukan yang berdasar nalar atau rasio. Bagaimana ‘prakondisi sosial’ digarap? Yang paling telanjang bagaimana ‘lembaga pengetahuan’ itu kemudian diolok-olok, salah satunya melalui bermacam ‘doktor abal-abal’ itu. Atau juga ketika berulang-ulang asal njeplak, asal mangap di depan publik dengan tanpa beban lagi. Atau juga pengangkatan ‘duta-duta’-an yang di luar nalar pada umumnya. Semau-maunya. Atau terakhir, bagaimana profesi jurnalis itu di olok-olok oleh buzzer bayaran.
Jika memakai pembedaan Freud ego-super ego-id, secara spekulatif dapat kita bayangkan dalam Alegori Kereta itu, sais adalah ego, kuda putih maupun kuda hitam adalah id, sedangkan sayap di kanan kiri adalah super ego. Bagaimana jika kemudian sayap-sayap itu diperlakukan sebagai id? Atau dieksploitasi sebagai id? Misalnya soal kebencian terhadap ini atau itu? Instinct to exclude itu digelitik terus menerus? Atau kita bayangkan pendapat Wilhelm Reich soal fasisme, yaitu ketika bagian bawah sadar itu dieksploitasi habis-habisan.[1] Sayap-sayap yang kepakannya maunya seiring-senada dengan kegilaan si-kuda hitam. Bertahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjang sebuah rejim dengan dominan kegilaan si-kuda hitam. Lengkap dengan paket-komplit ‘pendukung-pendukung’-nya, di ranah prakondisi politis, teknis, maupun sosial. Rusak-rusakan (paripurna). Jadi, what is to be done? *** (16-11-2024)
[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-95, No. 1548 dst
1557. Mengelola "Bablasan" (2)
17-11-2024
Apakah kemudian si-kuda hitam menjadi si-terkutuk? Tidaklah. Bahkan dengan segala tenaga yang meledak-ledak itu, tanpa kuda hitam maka tidaklah mungkin kereta naik ke atas untuk semakin mendekat ke ‘kebaikan dewa-dewa’. Kesejahteraan umum akan lebih didekati jika ada kuda hitam yang tangguh. Masalahnya, seperti ada dalam judul, ‘bablasannya’. Bablas dengan akibat segala macam ‘pagar’ kemudian ditabrak begitu saja. Apakah jika ‘pagar-pagar’ itu tidak ditabrak maka akankah seperti Adam Smith berpendapat, kesejahteraan umum akan tercapai ketika banyak kuda hitam semakin tangguh-sejahtera? Atau ketika masing-masing individu mengejar kepentingan diri laksana si-kuda hitam itu dan masing-masing kemudian menjadi sejahtera, otomatis kesejahteraan umum akan tercapai? Sebagai ‘teori’ mungkin saja Adam Smith tidak salah-salah amat, tetapi dari banyak catatan sejarah menampakkan bahwa memang si-kuda hitam itu seperti gambaran Platon, semau-maunya, atau katakanlah memang cenderung tak tahu batas. Bahkan Leo Strauss berpendapat, ekonomisme itu pada ujungnya bisa dibayangkan sebagai “Machiavellisme yang menua”, atau dibahasakan oleh B. Herry Priyono, “Machiavelli menumpuk harta”.
Dari pengalaman bertahun terakhir, dan juga dari komunitas lain, tuntutan Reformasi 1998 terkait dengan profesionalisme TNI, atau juga dalam hal ini: yang pegang senjata, sungguh sangat beralasan. Jika politik adalah ‘perang tanpa pertumpahan darah’, di belakang itu mengandaikan tidak digunakannya bermacam senjata dalam berbagai bentuknya. Atau kalau kita pakai ‘yang masih dalam kendali dan yang tidak’, menjaga tentara dan polisi (yang pegang senjata) untuk tetap profesional dalam bidangnya itu sebenarnya masih ada dalam kendali. Sedang semau-maunya si-kuda hitam, pada dasarnya itu di luar kendali. Tentu jika kita bicara soal suap-menyuap misalnya, si-penyuap tetaplah kena pasal, apalagi yang disuap. Benteng terakhir dari kelas yang pegang senjata ini jika mengikuti Platon adalah kehormatan. Dan tentu juga segala ‘bisikan’ dari si-sais. Dua hal yang bertahun terakhir kita bisa melihat dengan sungguh telanjang bagaimana kehormatan sudah dipinggirkan, dan bagaimana yang punya senjata itu ditarik-tarik untuk ‘lompat pagar’. Tak mengherankan jika kemudian si-kuda hitam itu seakan mendapat celah besar untuk semakin semau-maunya. Korupsi sungguh terjadi dengan keluasan dan kedalaman yang tak terbayangkan sebelumnya. Cèntèngisme merebak dengan tanpa beban lagi. Praktek fasisme-pun kemudian terjadi di sana-sini, demi gumpalan profit yang menggiurkan. Penggusuran, pencaplokan demi profit bisa berjalan dengan sungguh brutal.
Belum lagi suka atau tidak, republik masih dalam bayang-bayang lekat sebagai yang ada di ‘pakta dominasi sekunder’. Akankah ada pengaruh ketika Donald Trump yang ada di ‘pakta dominasi primer’ sono menang pilpres, misalnya? Maka adalah sangat penting dalam mengelola bermacam ‘bablasan’ untuk tidak melupakan peran penting dari ‘sayap-sayap’ dalam Alegori Kereta-nya Platon. Jangan sampai terperosok masuk dalam ‘ranah id’ Freudian. Caranya? Salah satunya adalah terus-menerus ‘refleksi diri’ itu berangkat dari yang mendasar dari republik, yaitu Pembukaan UUD 1945. Jangan sampai narasi yang terbangun adalah soal kebencian. Jangan sampai yang dieksploitasi adalah an instinct to exclude itu, meminjam istilah Amy Chua dalam Political Tribes (2019). Pembukaan UUD 1945 yang kemudian menjadi elan vital republik, termasuk dalam hal ini sebagai ‘penjaga utama’ dari kehormatan yang sudah babak belur bertahun terakhir. Jangan sampai genderang yang ditabuh Trump dan lingkarannya itu justru yang menjadi narasi utama menggeser kekayaan narasi Pembukaan UUD 1945. *** (17-11-2024)
1558. Di Bawah Bendera Perang
19-11-2024
Bukan Di Bawah Bendera Revolusi, judul buku kumpulan tulisan si-Bung, tetapi di bawah (bayang-bayang) bendera perang. Hidup yang semakin tidak pasti tidak hanya karena kedaruratan iklim, tetapi perang-perang lokal--regional yang semakin membayang akan meluas. Perang-perang yang semakin membuat tekanan lebih untuk memperbanyak sekutu, bagi banyak pihak. Perang-perang yang semakin mendorong kerakusan dalam menumpuk sumber daya, bahkan juga membuka pasar-pasar baru. Bukan hal baru memang, tetapi sekarang dan ke depannya, tekanan akan menjadi lebih besar.
Kata si-Bung seperti ditulis Cindy Adams: Di Solo dan dekat Jogja kami mengadakan serangkaian rapat umum. Malam itu aku untuk pertama kalinya berbicara tentang “Perang Pasifik yang akan meletus”. Ini Tahun 1929. Setiap orang mengira aku gila. Dengan darahku yang mengalir cepat dari perasaan gembira yang tidak tertahankan, keluarlah dari bibirku ucapan yang sekarang sangat terkenal: “Kaum imperalis, perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan melepaskan dirinya dari penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.”[1] Hampir seratus tahun kemudian, republik tiba-tiba saja ada di tengah-tengah membesarnya potensi berkecamuknya perang. Perang besar yang jika benar-benar meletus hampir bisa dipastikan ada di luar kendali kita. Dengan segala dampak hampir pasti pula akan menerjang republik. Sekali lagi, menerjang seakan di luar kendali kita juga. Romantika dari apa yang disampaikan oleh si-Bung di atas semestinyalah masih membuat darah kita mengalir semakin cepat. Romantika yang jelas juga harus dihayati tidak lepas dari dinamika dan dialektika-nya realitas berkembang. Dinamika dan dialektika yang terus saja terjadi ‘di seberang jembatan emas’. Error dan error elimination yang semestinya terus berlangsung juga. Bermacam rute bisa ditempuh demi tercapainya cita-cita Proklamasi di seberang jembatan emas.
Sekitar tujuh tahun sebelum si-Bung pidato soal “Perang Pasifik”, Carl Schmitt dalam Political Theology berpendapat bahwa “sovereign is he who decides on the exception”. Beberapa tahun sebelumnya Lenin mengatakan terkait dengan ‘rantai terlemah’ (kapitalisme). Perang dengan segala akibatnya jelas akan menghadirkan situasi ‘exception’ seperti digambarkan oleh Schmitt di atas. Dan juga kemungkinan besar: ‘rantai terlemah’. Pertanyaannya adalah, apakah republik mampu membuat ‘kata putus’ sehingga tetap berdaulat dalam upaya memperjuangkan cita—cita Proklamasi? Di seberang jembatan emas pertanyaannya adalah apakah bermacam ‘lembaga’ yang terbangun selama ini mampu mendukung kemampuan untuk memberi ‘kata putus’? Apakah prakondisi politis, teknis dan sosial-nya sungguh tersedia untuk mendukung kemampuan membangun ‘kata putus’ di tengah-tengah situasi ‘exception’?
Bertahun terakhir republik dikelola seakan dalam paradigma pecingas-pecingis. Glècènan, sok-sok-an, gegayaan, seakan republik miliknya para pemimpin. Di sini ngibul, di sana ngibul, di mana-mana ngibul tak tahu batas lagi. Sumber daya dihambur-hamburkan semau-maunya. Korupsi merebak dengan keluasan dan kedalaman yang tak terbayangkan sebelumnya. Artinya adalah, prakondisi politis itu sudah lupa bahwa ia bertanggung jawab penuh pada satu kemungkinan yang selalu ada dalam sejarah manusia: krisis. Lihat misalnya, bagaimana pandemi sebagai salah satu penampakan sebuah krisis, dan prakondisi politis itu malah mengingkari fakta pada awal-awal krisis. Sama sekali tidak punya sense of emergency. Tebar gimmick, besok gimmick lagi, dan seterusnya. Persis seperti ‘lapor mas wapres’ itu, buang-buang energi, buang-buang perhatian. Terlebih juga ketika geopolitik-geoekonomi semakin menampakkan gejolaknya. Prakondisi politis itu justru menampakkan diri lebih sebagai sosok kacung.
Prakondisi teknis terutama terkait dengan hancurnya ‘tata-lembaga’ yang ada. Juga hancurnya tiga sumber kekuatan pendukung ‘kata putus’, kekuatan ‘uang’, kekuatan ‘kekerasan’, dan kekuatan ‘pengetahuan’. Utang ugal-ugalan akhirnya terbukti justru hanya menyengsarakan warga negara kebanyakan, misalnya. Belum lagi bagaimana ‘tentara dan polisi’ yang terus saja ditarik-tarik masuk ranah politik. Kekuatan pengetahuan? Telanjang, bagaimana itu terus saja diobok-obok, diolok-olok. Apalagi prakondisi sosial, adu-domba seakan tiada putus lagi. Maka jika rejim bertahun terakhir ini mengalami bablasan-nya, bisa dipastikan jika perang besar meletus, republik akan tercerai-berai. Hilang dari peta. Dalam praktek ia akan hilang kedaulatannya, dan segala ‘kata putus’ akan diputuskan oleh majikan nun jauh di sana. Atau dalam kata-kata Emha Ainun Najib, jadi jongos total![2] *** (19-11-2024)
[1] Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno – Penerbit Media Pressindo, edisi revisi, 2011, cet-2, hlm. 111
[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/002-Cak-Nun-dan-Elysium/
1559. Sekali Dayung Dua Pulau
20-11-2024
Mengapa makan siang gratis nanti sebaiknya tidak hanya soal ‘daya pikir’, tetapi juga ‘daya beli’? Sekali dayung dua-tiga pulau? Tidak hanya soal ‘daya pikir’, ‘daya beli’, tetapi juga memberdayakan komunitas? Jika bicara kapitalisme, maka salah satu hal paling mendasar adalah soal ‘daya beli’. Atau kita bisa membayangkan, langkah “Fordisme” dalam skala lokal, bahkan negara. Salah satu langkah dalam fordisme adalah meningkatkan gaji karyawannya sehingga mereka mampu membeli mobil yang diproduksinya. Tentu kita tidak sedang bicara soal mobil, atau gaji, tetapi intinya adalah bagaimana meningkatkan ‘daya beli’ itu. ‘Daya beli’ orang kebanyakan. Atau sebuah ‘rantai produksi’ yang melibatkan bermacam ‘simpul-simpul’ komunitas? Jepang dan juga China, membesar mulai dari meningkatkan ‘daya beli’ ini. Di Jepang, pada rentang waktu tertentu harga beras dinaikkan demi naiknya ‘daya beli’ petani, dan dengan itu mampu membeli produk-produk hasil inovasi dari yang punya kemampuan inovatif, kreatif. Dan akhirnya ‘spiral-daya-beli’ ini mempu membangun pondasi bagi berkembangnya industri, misalnya. Termasuk di dalamnya, ‘rantai produksi’.
Tidak hanya soal ‘daya pikir’ yang dibayangkan akan didukung oleh kenyangnya perut oleh makan bergizi, tetapi juga soal ‘melatih diri’, makan yang bersih misalnya, sebaiknya tidak ada yang dibuang, zero waste. Membersihkan meja tempat makan, dan mencuci piring, dst. Juga bagaimana yang besar menolong yang masih kecil jika makan bersama dalam satu ruangan. Itu baru dari sisi anak. Dari sisi komunitas penyedia makan, bagaimana latihan menyiapkan makanan bergizi yang bersih, dan enak di lidah, misalnya. Pengetahuan dan ketrampilannya. Ada alokasi dana beredar di situ, baik yang melatih maupun yang dilatih, dalam kurun waktu tertentu. Dan juga bermacam bahan mentah disediakan oleh sekitarnya, lokal jika mampu. Dan semua itu daya dorongnya, elan vital-nya adalah kecintaan pada anak. Dengan ‘akibat yang tidak ditujukan pada awalnya’, ekonomi lokal sedikit bisa bergerak.
Maka adalah penting dalam menyiapkan program makan siang gratis, langkah pertama adalah tendang dulu si-pemburu rente itu. Jika ada relawan sudah meneteskan air liur melihat bongkahan dana yang besar itu, segera saja tendang masuk got. Jangan sungkan-sungkan, termasuk juga ‘pimpinannya’. Jangan sampai program ini menjadi ‘bancakan proyek’, dijarah sana sini dengan buasnya. Maka pendekatannya adalah ‘padat karya’, dan bukan ‘padat modal’. Repot? Pada awalnya mungkin saja banyak kerepotannya, tetapi toh itu bukan berarti tidak mungkin untuk dilaksanakan. Bagaimana program ini tidak hanya berhenti sebagai ‘stimulus’ bagi anak, tetapi juga bagi komunitas, bagi banyak orang juga. Bukankah sedang dipikirkan bermacam ‘stimulus’ ekonomi bagi orang kebanyakan? *** (20-11-2024)