1540. Kembali ke Posyandu
29-10-2024
Keinginan meningkatkan kualitas anak didik melalui intervensi perbaikan gizi tentu harus didukung, entah itu melalui makan siang bergizi gratis atau bentuk lainnya. Tetapi jangan sampai keinginan itu menjadi melupakan ‘pondasi’ lainnya terkait dengan upaya peningkatan kualitas anak bangsa. Jangan lupa Posyandu! Melalui Posyandu yang sudah berumur 40 tahun itu, banyak hal menjadi lebih mudah dijangkau. Terlebih soal bagaimana intervensi gizi di usia anak dalam rentang ‘golden period’-nya. Rentang usia dimana tumbuh-kembang otak akan mengalami percepatannya. Otak berkembang dalam percepatannya sampai usia 2 tahun, dan terus sampai usia 4-5 tahun-an dengan kecepatan yang berkurang. Setelah usia masuk SD, relatif otak sudah tidak bertumbuh lagi, dan mencapai pertumbuhan (pelan sekali jika dibandingkan usia-usia dini) penuhnya sekitar umur 20 tahun.
Maka Posyandu-lah yang sebenarnya ada di ujung tombak, dan bahkan bukan PAUD, atau TK, tetapi sekali lagi: Posyandu. Karena Posyandu juga berurusan dengan perkembangan otak bahkan sebelum anak lahir, melalui kesejahteraan ibu hamil. Dan suka atau tidak, sebagai sebuah ‘tubuh organik’ Posyandu sudah terbangun bahkan katakanlah sudah sampai tingkat ‘deep structure’-nya. Dengan masukan dari para ahli dan yang berpengalaman di lapangan bertahun, ‘surface structure’ baru yang diinginkan akan jauh lebih mudah untuk dilaksanakan. Sebagai sebuah ‘gerakan’, para penggerak di lapangan sudah sangat tersedia, dan mereka-mereka itu jauh dari nuansa ‘relawan’ pemilihan yang sedang gencar-gencarnya meneteskan air liur terkait dengan penyelenggaraan makan siang gratis itu. ‘Bakat menjarah’-nya sudah dinampakkan dengan tanpa sungkan lagi, dengan tanpa beban lagi. Like father, like son.
Dan lebih dari itu, akibat (positif) yang mungkin saja tidak diharapkan muncul di desain awal, yaitu bagaimana pengetahuan khususnya para penggeraknya itu tentang hal gizi anak, dan lain-lainnya. Dan bagaimana itu menular pada yang berkunjung rutin ke Posyandu. Bahkan bermacam ketrampilan dasar dalam pengukuran status gizi dan lain-lainnyapun terkuasai juga. Ketika ada berita penundaan program makan siang gratis sampai tahun depan, gunakan sisa waktu sampai akhir tahun ini untuk membuka dan membuka lagi potensi ‘harta karun terpendam’ ini: Posyandu. *** (29-10-2024)
1541. Memburu Waktu
31-10-2024
Memburu waktu dalam hal ini bukan tentang waktu tersisa, tentang berapa lama sebelum semuanya berhenti karena usia tua, karena sakit, atau sebab tak terduga. Bukan ‘waktu obyektif’ yang semua bisa sepakat mengenai rentang-lama dalam detik, menit, atau jam, dan juga bukan ‘waktu subyektif’, dimana sama-sama lima menit, bagi si A bisa berbeda dengan si B ketika menghayati lamanya lima menit itu. Si A yang sedang menunggu kerabat di ruang tunggu UGD, dan si B sedang ngobrol gayeng dengan sahabat. Lima menit akan terhayati lama, sementara satunya tak terasa bahkan ketika sudah satu jam ngobrolnya. Waktu dalam hal ini adalah waktu dalam arti paling primordialnya, internal time-consciousness.
Internal time-consciousness adalah waktu (internal) dalam alirannya, dalam flow-nya. Dapat kita bayangkan sebuah nada 1-2-3, dan sekarang kita mendengar nada (2), bukan berarti nada (1) terus melenyap begitu saja, tetapi ia seakan tertahan, mengalami retensi. Nada (3) yang belum sampai ke telinga itupun juga seakan sudah hadir, ia mengalami protensi yang sudah kita antisipasi kehadirannya. Bagi Husserl, kesadaran itu selalu kesadaran tentang. Ia akan begitu lekat dengan intensionalitas, katakanlah, keterarahan. Dan ini tidak lepas dari ‘aliran’ internal time-consciousness di atas. Jadi kesadaran itu bersifat temporal. Sifat temporalitas yang akan berperan penting juga dalam penghayatannya akan masa lalu, karena ketika masa lalu itu diingat, ia diingat pada masa sekarang, katakanlah, ia di nada (2) seperti contoh di atas. Maka ‘melodi’ seperti apa yang sedang didendangkan ketika masa lalu itu sampai di nada (2) akan berpengaruh juga dalam ‘antisipasi’-nya.
Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007) menggambarkan bagaimana bermacam ‘melodi’ yang mengiringi langkah keseharian kita bisa tiba-tiba saja ‘melenyap’ melalui bencana. Dicontohkan oleh Klein Badai Katrina yang menerjang New Orleans di Agustus 2005. Akibat dahsyatnya badai dengan segala akibatnya, membuat kesadaran khalayak kebanyakan seperti ‘kanvas putih’. Dan dalam kondisi seperti itu, menurut Klein, tangan-tangan kaum neolib kemudian ‘melukis’ dengan bebasnya bermacam jalan neoliberalisme. Hasilnya? Pasca badai tiba-tiba saja banyak sekolah negeri yang kemudian mengalami ‘privatisasi’, atau jumlahnya menyusut dan berkembanglah sekolah-sekolah swasta. Demikian dicontohkan Klein dalam The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism.
Ataukah bisa kita bayangkan bagaimana ‘badai mobil esemka’ itu kemudian memberikan ruang dan waktu bagi pihak-pihak tertentu untuk melukis sosok ‘orang baik’? Pihak-pihak yang 10 tahun kemudian sangat paham ketika muncul ‘badai prestasi’ dari #1, akan menghapus dengan cepat segala kenikmatan yang sudah diperoleh selama 10 tahun terakhir? Termasuk bagaimana penghayatan akan masa lalu ketika ‘melodi’ yang terdengar sekarang adalah ‘melodi prestasi’?[1] Bahkan jika ‘prestasi’ itu masih dalam bentuk ‘fakta potensial’ dalam ranah ‘omon-omon’. *** (31-10-2024)
1542. Salam Dari A. Riyanto ...
1543. Tidak Sekedar Publik/Privat
02-11-2024
Bertahun terakhir seolah khalayak kebanyakan ‘dilatih’ untuk menghayati secara ‘kabur’ pembedaan hal publik dan hal privat. Hal yang memang tidak mudah dalam komunitas dengan nuansa gemeinschaft kuat. Tetapi dalam konsep negara modern tak terelakkan pembedaan hal publik dan hal privat merupakan hal mutlak. Apalagi jika memakai kata res-publika. Bahkan dalam satu komunepun akan ditemui garis tegas tentang hal privat. Maka pembedaan itu akan ada dalam sebuah ‘spektrum’, tetapi apapun itu terkait dengan ‘rentang perbedaannya’, hal publik dan hal privat tetaplah akan hadir, meski untuk mengenal batas-batasnya perlulah ‘latihan sosial’ terus menerus. Sayangnya, jika ada pelajaran kewarga-negaraan, civic education, justru bertahun terakhir pengelola negaralah si-perusaknya, merusak pendidikan kewarga-negaraan bagi warga negaranya, yang sebagian besarnya adalah juga pembayar pajak!
Salah satu perilaku pengelola negara bertahun terakhir yang justru merusak pendidikan kewarga-negaraan adalah justru seakan sengaja mengaburkan pembedaan yang publik dan yang privat. Justru malah tidak ‘melatih’ warga negara untuk semakin ‘trampil’ dalam menghayati pembedaan tersebut. Apakah ini sekedar soal ‘teknis’ olah kuasa? Dimana sebenarnya pembedaan di atas tidaklah sekedar pembedaan saja, tetapi di belakang itu ada pertanggung-jawaban. Katakanlah, ada ‘hak’ dan ‘kewajibannya’. Lihat misalnya di ranah publik, ternyata memang sungguh nikmat ketika dibaptis sebagai ‘orang baik’, dan perlahan semakin nikmat saja ketika pertanggung-jawaban publikpun semakin menipis. Ingkar janji, bohong-ngibul, asal mangap asal njeplak seakan berjalan dengan tanpa beban lagi berulang dan berulang, padahal ia pejabat publik! Tetapi, pejabat publik yang ‘baik hati’! Kucluk-lah.
Ketika soal ‘tanggung jawab’ menampakkan diri maka di balik itu adalah soal ‘batas’. Horison akan selalu melibatkan ‘batas’ dan dengan adanya ‘batas-horison’ tiba-tiba saja bermacam kemungkinan muncul di ‘ruang antara’: ruang antara kita berdiri dan batas horison. Dan adanya bermacam kemungkinan itulah kita akan membuat pilihan-pilihan, sebagai langkah pertama ‘latihan’ bertanggung jawab. Atau bisa dikatakan, semakin pertanggung jawaban menipis, menipis pula kemampuan-ketrampilan penghayatan akan batas-batas. Jika itu terjadi di ranah pengelola negara, akan semakin tipis juga ketrampilan akan penghayatan apa yang disebut sebagai pembedaan antara Realpolitik dan Weltpolitik. Atau jika memakai kata-kata Richard Robinson dalam satu kuliah umumnya di tahun-tahun awal Jokowi naik ke kekuasaan periode pertama, dimana Robinson tidak percaya republik akan kuat dan besar di bawah Jokowi saat itu –melawan euphoria yang berkembang saat itu, karena Jokowi tidak mampu merefleksikan kepentingan nasional dalam dinamika kepentingan internasional. Dan Richard Robinson delapan tahun kemudian terbukti sangat benar.
Selain hal yang disinggung oleh Richard Robinson di atas, tidak terlatihnya soal ‘tahu batas’ ini perlahan sebuah kepemimpinan akan pula mempunyai potensi besar semakin menjauh dari dinamika sains. Sebab bagaimanapun sains akan berkembang karena hal batas itu akan dipasang di depan pintu masuknya. Batas yang perlahan atau mengalami percepatan dengan loncatan besarnya, dimajukan, didobrak dengan metode-metode tertentu.
Apa yang mau disampaikan di sini adalah, satu sisi dari bablasan rejim terdahulu, rejim semau-maunya itu, adalah bagaimana pembedaan hal publik dan hal privat ini akan dikelola, sebagai salah satu ‘latihan’ bersama, sebagai salah satu pendidikan kewarga-negaraan yang mesti dibangun bersama. Dan ketika ada pejabat publik dengan bangga dan tanpa beban mengekspos diri betapa baik-hatinya dia –siap menyumbang tanah pribadi sekian hektar misalnya, pembayar pajak mesti harus sudah membunyikan alarm deteksi dininya. Atau ada orang-orang sekitar yang mulai memuja-muji betapa baiknya sosok pemimpin, segera saja singkirkan orang seperti itu dari ‘lingkaran dekat’-nya. *** (02-11-2024)