1320. TPS Mengepung KPU (3)
12-12-2023
Empat tahun sebelum 1998 jaringan internet sudah ada di republik. Dan gejolak di 1998 itu mendapat perhatian internasional karena jaringan internet juga. Mata luar negeri kemudian juga membuka lebar-lebar terkait apa yang sedang terjadi di republik. Yang sudah berkuasa lebih dari tiga dekade itu-pun tidak hanya menghadapi tekanan dalam negeri, tetapi perlahan tekanan dari luar negeri itupun menguat juga. Mungkin bisa dibayangkan bagaimana besarnya tekanan dari luar yang sedang dihadapi Netanyahu saat ini, misalnya. Tiba-tiba multitude bergerak di bermacam belahan dunia –membesar dan semakin besar, menolak kebrutalan perang. Melawan kepongahan Empire.
Pemilihan umum di republik hari-hari ini seakan juga sedang berhadapan dengan bermacam kepongahan. Tidak hanya kepongahan dalam mempermainkan hukum, tetapi juga logika. Pongah karena menganggap ‘yang banyak’ itu bodoh semua. Pongah karena seakan jejak-jejak digital itu tidak ada gunanya jika ‘dipanggil’ lagi. Pongah karena merasa cukup-lah ‘yang banyak’ itu diberi kata-kata ala kadar-nya saja. Seakan ada yang sudah merasa duduk dengan nyaman di Empire ‘mini’ itu. Emang lu mau apa kalau aku panggil itu kepala-kepala desa? Begitu mungkin pikirnya. Belum lagi ‘permainan-dis-informasi’ yang semakin menggila saja. Bermacam ‘skenario’ diumpankan dengan sudah tanpa beban lagi. Sahut-sahutan yang ujung-ujungnya adalah: menipu. Bahkan aspek kemanusiaan, aspek empati terhadap yang terusir dan terkatung-katung tanpa harapan sebagai pengungsi itu dimainkan juga secara keji. Tetapi mengapa kok ya ada yang semau-maunya itu? Nampaknya ada yang merasa mereka punya kebenaran sendiri, mereka punya lapangan bermain sendiri, yang berbeda dengan ‘yang banyak’. Sadar atau tidak, ada yang sudah merasa sebagai ‘kaum bangsawan’-nya dalam tubuh Empire ‘mini’ itu. Maka ditengah-tengah ‘apapun akan dimainkan’ dengan tanpa melihat perasaan ‘yang banyak’ –karena merasa diri sebagai kaum ‘bangsawan’, sebagai pemilih apa yang mesti diperbuat?
Dari beberapa penampakan, semakin terasa bahwa apa yang disebut Negri dan Hardt sebagai multitude itu semakin menggeliat. ‘Yang banyak’ itu sudah semakin mampu mengatasi ‘kotak-kotak’ imajiner untuk kemudian bersama bergerak. Sadar atau tidak, keinginan untuk membangun demokrasi yang ‘genuine’ sebenarnya sudah mulai meluas. Modus komunikasi mass-to-mass seperti sekarang ini ternyata juga dapat mempercepat berkembangnya ‘masyarakat pembelajar’. ‘Reputasi’ diri dalam menggunakan hak pilih-nya seakan semakin tebal dengan semakin banyak yang mampu melawan tekanan. Dan ini nantinya akan semakin menjadi ‘bola salju’ perlawanan terhadap tekanan. Ungkapan ‘kami muak’ hanyalah satu dari banyak gejala perlawanan ini. Tidak hanya terhadap tekanan, tetapi juga terhadap ‘politik adu domba’ yang semakin terkuak lapis demi lapis siapa di belakangnya itu. Dan apa kepentingan di baliknya.
Bagi Negri dan Hardt, ‘logika’ multitude itu tidak hanya terbatas dalam satu negara, tetapi ia sudah mengatasi batas-batas negara. ‘Kampung-kampung’ TPS yang berjumlah sekitar 800.000 itu tidak akan dibiarkan berjuang sendiri ‘melawan’ 553 KPU Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota yang dari pengalaman mempunyai potensi besar untuk dimainkan oleh Empire ‘mini’ itu. Dan itu semua berasal dari keinginan untuk ‘memilih secara otentik’, hak pilih yang digunakan oleh seorang wargaa negara yang bebas. Dan lebih dari itu, yang juga mau secara bersama-sama dengan yang lain memperjuangkan kebebasan itu. Jika ini terjadi maka ‘mengawal’ perhitungan hasil coblosan adalah langkah berikutnya. Dokumentasikan hasil perhitungan di setiap TPS-nya, dan dengan itulah TPS akan mengepung KPU. *** (12-12-2023)
1321. Jelas dan Terpilah
15-12-2023
Ketika seorang pasien masuk ke UGD dengan kondisi ke-gawat-daruratan, maka dokter jaga dan tim-nya akan berusaha keras menyelamatkan jiwa pasien. Yang akan dilakukan oleh dokter tentu bukan terus mencari-cari jiwa pasien dan setelah ketemu jiwa-nya kemudian segera saja diselamatkan. Tetapi dokter akan segera menangani kondisi tubuh pasien yang menyebabkan ia jatuh dalam kondisi ke-gawat-daruratan itu. A-B-C dan kemudian D, airway breathing, circulation dan drugs, adalah langkah-langkah pertama dalam penanganan. Setelah tubuh kemudian lepas dari situasi ke-gawat-daruratan maka bisa dikatakan dokter dan tim telah ‘menyelamatkan jiwa’ pasien.
Bagaimana jika ‘menyelamatkan pikiran’? Pikiran yang tidak hanya ada-melekat dalam tubuh dimana tubuh adalah salah satu anggota ‘dunia pertama popperian’, tetapi juga yang sudah banyak ‘terlempar’ di ‘dunia ketiga-nya’ Karl Popper? Apakah ‘menyelamatkan’ pikiran itu juga dalam arti menyelamatkan buku-buku dari pembakaran massal? Atau juga lukisan, musik, patung, partitur-partitur, atau bahkan jejak-jejak digital? Tetapi lepas dari itu semua, memang sepertihalnya ‘menyelamatkan jiwa’, menyelamatkan tubuh, terutama otak sebagai bagian tubuh itu juga berarti menyelamatkan (potensi) pikiran. Pikiran –apalagi dengan semakin terkuaknya bermacam hal di otak, bisa-bisa juga dihayati sebagai non-independent part dari tubuh jika kita memakai istilah dalam Fenomenologi. Ia layaknya warna merah yang tidak bisa kita hayati sebelum ia menempel di kursi, atau meja misalnya. Jika memang begitu, menempel dimanakah sehingga pikiran itu bisa dihayati? Apakah dalam tubuh seperti disinggung di atas? Tetapi bagaimana untuk orang di-luar tubuh ‘yang bersangkutan’? Nampaknya adanya pikiran dari ‘yang bersangkutan’ sebagian besarnya akan ‘menempel’ pada bahasa, ‘menempel’ pada kata-kata, sehingga ‘yang lain’ bisa menghayatinya. Ada juga yang lewat lukisan, atau bahasa tubuh, atau bahkan musik.
Tetapi tubuh sebagian besarnya adalah ‘dunia umpan balik’. Akan sangat jelas jika kita melihat dinamika hormonal tubuh. Apakah pikiran dan tubuh, meski ia ada dalam ‘hubungan’ non-independent part juga ada dalam ‘dunia umpan balik’? Tidak hanya ‘dalam tubuh sehat ada pikiran sehat’ tetapi juga sebaliknya? Apakah kemudian bisa dibayangkan ada ‘sistem tertutup’ dalam tubuh termasuk dengan adanya pikiran sebagai bagiannya? Tetapi bukankah misalnya saat bayi atau anak-anak, ada peran penting dari bermacam stimulus terkait dengan tumbuh-kembangnya? Bahkan jika kita membayangkan ada sistem global yang ‘terganggu’ sehingga terjadi kedaruratan iklim seperti sekarang ini, bukankah sebelum itu semua bumi sendiri sudah ada di ‘zona Goldilocks’?
Apa yang mau disampaikan di sini adalah tubuh sebagai suatu sistem, tidak hanya soal ‘dalam tubuh sehat ada pikiran sehat’ tetapi juga sebaliknya. Olah ‘kanuragan’ sedikit banyak-nya akan juga mempengaruhi bagaimana kita berpikir. Olah ‘berpikir’ demikian juga akan mempengaruhi bagaimana tubuh akan memberikan respon umpan baliknya. Sakit misalnya, apakah itu soal ‘organ sakit’ semata atau juga melibatkan persepsi? Akan bertambah menarik jika kita kemudian membayangkan republik sebagai satu ‘sistem tubuh biologis’. Bagaimana jika ada ‘bagian-bagian tubuh’ yang rusak, akankah ini mempengaruhi dalam olah pikir? Atau olah pikir yang ‘begitu-begitu saja’ bisa-bisa akan memberikan umpan-balik pada bagian-bagian tubuh lain menjadi juga berkembang ‘begitu-begitu saja’ sehingga menjadi rentan rusak?
Ataukah kita bisa juga membayangkan pendapat Mangunwijaya terkait dengan retorika dan kemajuan hidup bersama?[1] Retorika dalam konteks pendapat Mangunwijaya bisa dihayati juga sebagai pikiran yang ‘mengalir’ lewat bahasa, lewat kata-kata. Dalam retorika salah satu unsur pentingnya adalah, meminjam istilah Descartes, jelas dan terpilah, clear and distinct. Inilah yang dimaksud dengan judul, bagaimana melalui retorika kita ‘melatih-diri’ bersama terkait ‘jelas dan terpilah’ ini. Melatih diri menghayati salah satu prasyarat terkait berkembangnya sains, atau ilmu pengetahuan. Melatih diri mengembangkan akal sehat kita, rasio kita. Tetapi, apakah kita kemudian perlu menjadi was-was akan menjadi makhluk yang rasional saja? Menilik pendapat Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, menjadi rasional, atau katakanlah masuk dalam ‘tahap’ ‘fungsionil’ tidaklah kemudian berarti meninggalkan hal ‘mitis’ dan ‘ontologis’.
Maka terlebih dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), retorika dari seorang pemimpin adalah sangat penting. Retorika yang salah satunya banyak terlontar tentang bermacam hal, dan retorika yang baik ia akan menjelaskannya secara ‘jelas dan terpilah’. Penting di sini diingat bahwa ini bukan soal ‘menjelaskan’ saja, tetapi lebih dari itu adalah soal ‘umpan balik’ seperti di sebut di atas. Mengapa ada penekanan pada ‘jelas dan terpilah’ ini? Salah satunya jika kita melihat di luar ‘tubuh’ republik, katakanlah dalam ‘tata-kelola kapitalisme global’ misalnya: suka-tidak-suka, seakan ada ‘pembagian’ yang secara kasar bisa dikatakan, akankah kita mau-mau saja diposisikan lebih sebagai konsumen? Bagi yang banyak mengambil keuntungan dengan republik lebih ‘diposisikan’ sebagai konsumen, maka lahirnya seorang pemimpin dengan retorika yang baik, dengan mampu menjelaskan bermacam hal secara ‘jelas dan terpilah’, dan itu cepat atau lambat akan ber-umpan-balik dengan ujung keluarannya sains dan ilmu pengetahuan semakin berkembang, maka potensi sebagai ‘negara produsen’-pun akan semakin berkembang pula, ia –negara yang diuntungkan karena adanya konsumen se-republik, akan lebih senang jika pemimpin yang muncul tidak pandai ber-retorika. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya sekadar ala-kadarnya. Maka jika boleh menghimbau, janganlah ‘dibunuh’ itu dunia kata-kata, karena di dalamnya tersembunyi potensi yang maha dahsyat itu. Hanya orang pandir saja yang tidak paham bagaimana kekuatan kata-kata. *** (15-12-2023)
1322. Penantian Panjang 'Kekuatan Pengetahuan' (1)
16-12-2023
Hampir 60 tahun lamanya republik ini tidak mengalami ‘orgasmus’ karena keintimannya dengan kekuatan pengetahuan. Hampir 60 tahun kekuatan pengetahuan seakan melenyap dalam kabut yang dibentuk oleh kekuatan kekerasan dan kekuatan uang. Memang ada rentang waktu dimana kekuatan pengetahuan seakan mulai merekah, sayangnya layu sebelum berkembang. Meredup sebelum terkonsolidasi, yaitu di era Habibie dan Gus Dur. Atau katakanlah, 10 tahun pertama di jaman old karena peran kaum teknokrat. Tetapi apa yang dimaksud dengan kekuatan pengetahuan itu?
Jika ada pendapat bahwa pengetahuan itu sebenarnya sudah ada, melayang-layang di semesta ini, menunggu untuk ‘ditangkap’ atau ‘ménclok’ hinggap pada seseorang itu bukannya asal njeplak saja. Lihat misalnya dalam Fenomenologi yang berpendapat bahwa kesadaran itu selalu saja ‘sadar akan sesuatu’. Masalahnya sesuatu hanya memberikan dirinya (presence) kepada kita tidaklah lengkap, bahkan sebagian besarnya tidak nampak (absence). Apakah ke-absence-nya bagian dari sesuatu itu juga akan mendorong berkembangnya pengetahuan? Mendorong berkembangnya pengetahuan dari olah-pikir si-binatang rasional?
Maka pengetahuan sebagai hasil dari olah pikir, atau apapun caranya sehingga ada dalam pikiran, sebagai sebuah power ia sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah gaya dalam fisika, atau power dalam arti dunamis-nya.[1] Ia akan menjadi ‘kratos’ jika menemukan ‘pasangan’ material-nya, yang dalam hal ini, sebagian besarnya: bahasa. Ia akan menjadi ber-kekuatan seperti dimaksud dalam tulisan ini adalah ketika ia ‘berubah’ menjadi arché. Ketika yang sedang berbahasa itu kebetulan adalah si-pemegang hegemonia. Atau kalau dalam ranah demokrasi, si-pemenang pemilihan umum. Masalahnya ketika itu berubah menjadi arché salah satu kesibukannya adalah merawat hirarki. Godaan ini memang akan membesar dan membesar karena arché itu pada dasarnya adalah kontrol.
Masalahnya tidak hanya di situ saja, tetapi juga karena itu ‘melekat’ pada manusia yang tidak hanya semata sebagai ‘binatang rasional’ tetapi ‘persoalan’ pada dirinya secara mendasar adalah soal hasrat. Spinoza bahkan menandaskan bahwa manusia itu esensinya adalah soal hasrat. Bahkan David Hume setelahnya berani mengatakan hasrat bisa memperbudak rasio. Dan ‘merawat hirarki’ seperti disebut di atas, bukankah itu sangat dekat dengan hasrat? Apalagi jika ia memegang bermacam kontrol, terutama kontrol akan ‘yang banyak’. Massa yang selalu saja mengelu-elukannya. Maka tak mengherankan di jaman old-old muncul seruan di tengah-tengah khalayak: presiden seumur hidup! Atau jaman now ada yang merasa begitu nyaman saat bertemu dengan ‘relawan-relawan’-nya yang tidak hanya selalu mengelu-elukan, tetapi juga siap pasang badan jika ada yang mengusiknya.
Tetapi apapun itu, tetaplah kita ‘merindukan’ kekuatan pengetahuan dapat memimpin hidup bersama ini, terlebih kita sudah hampir seperempat-abad masuk dalam abad-21, abad yang menurut Alvin Toffler kekuatan pengetahuan semestinyalah yang memimpin. ‘Merindukan’ bukan soal diri semata, tetapi kita bisa belajar juga dari komunitas lain mengapa mereka bisa lebih maju. Kekuatan pengetahuan yang ada di tangan ‘si-hegemon’ digunakan untuk membuat kebijakan-kebijakan. Untuk menjelaskan pada yang dipimpinnya soal tantangan yang sedang dihadapi, misalnya. Dan lebih dari itu, ketika pemimpin akan juga berperan sebagai ‘model’, hasrat akan pengetahuan diharapkan akan ditiru oleh khalayak kebanyakan. *** (16-12-2023)
1323. Imperfect Obligations
17-12-2023
Dalam The Idea of Justice (2009) Amartya Sen menyontohkan soal imperfect obligations dengan contoh nyata. Digambarkan pada pertengahan 1960-an seorang pekerja wanita pulang kerja pada dini hari. Sesampainya di depan apartemennya –di daerah ‘rawan’ di AS sono, tiba-tiba saja ia diserang oleh perampok. Wanita itu berteriak-teriak minta tolong, tetapi tetangga-tetangganya meski mendengar dan membuka tirai jendela kembali menutup tirai dan tidak berbuat apa-apa. Akhirnya wanita itu terkapar dan seluruh harta bendanya dirampok. Mungkin jika itu terjadi di negeri Wakanda akan berbeda ceritanya, misal: wanita itu melawan dan tiba-tiba saja ia mampu meraih batu dan dipukulnya kepala si-perampok yang mengakibatkan si-perampok terkapar dan gegar otak. Di negara Wakanda, wanita itu bisa-bisa malah jadi tersangka! Tetapi kembali ke-‘laptop’, yang dipermasalahkan Sen ada sikap tetangga yang tidak mau membantu dan memilih diam saja. Itulah yang dinamakan sebagai imperfect obligations, semestinya tetangga itu bisa membantu melawan, meng-eliminasi ketika ada ketidak-adilan yang sedang dialami wanita itu.
Perfect obligation ketika kita melakukan ini dan itu karena memang dari aturan atau perundangan mewajibkannya. Sen mengembangkan pembedaan perfect obligation dan imperfect obligation dari ‘kearifan lokal’ India. Sebelum Sen memang sudah ada yang menyebut imperfect duties, oleh Kant misalnya. Tetapi lepas dari itu, imperfect obligations ini bisa kita kembangkan bersama. Misalnya kita membayangkan bukan soal melakukan sesuatu untuk ikut mencegah ketidak-adilan di kanan-kiri, tetapi justru tidak-melakukan sesuatu karena jika sesuatu itu dilakukan maka potensi ketidak-adilan akan membesar. Contoh, misalnya tidak melakukan ‘politik dinasti’ ugal-ugalan dengan tanpa melihat aspek meritokrasi lagi. Tidak ada undang-undang atau peraturan yang dilanggar, lha wong undang-undangnya sudah dirubah kok. Tetapi pengingkaran akan ‘sistem meritokrasi’ ini jelas-jelas akan mengusik rasa keadilan dari banyak pihak. Belum lagi jika secara telanjang itu terjadi karena main-main kuasa secara sewenang-wenang, misal dengan merubah undang-undang se-mau-gue itu.
Atau lihat pada masa kampanye untuk memilih pemimpin dari 250 juta-an manusia –di pemilihan 2019 lalu, soal kebocoran anggaran jadi bahan olok-olok. Bocor … bocor … bocor … bocor …, teriaknya dari atas panggung kampanye, dan diikuti oleh kerumunan pendukungnya. Tak kalah lantang, tak kalah garang. Semestinya ia tahu persis bahwa kebocoran anggaran itu akan dihayati sebagai sebuah ketidak-adilan bagi khalayak kebanyakan, terlebih mereka-mereka itu sudah bayar pajak dalam bermacam bentuknya! Menjadikan kebocoran anggaran sebagai bahan olok-olok itu jelas menggambarkan ketidak-tahuan ia yang sedang di atas panggung kampanye itu, soal pentingnya imperfect obligations. Ia mestinya tidak melakukan olok-olok terhadap kebocoran anggaran itu. Ada yang berpendapat bahwa dari bagaimana orang bersikap tentang imperfect obligations itu, sedikit banyak karakter dari orang tersebut dapat juga dibayangkan. Demikian juga ketika soal etika menjadi bagian dari olok-olok yang hari-hari ini sedang ‘viral’. Kalau orang itu paham soal imperfect obligations, ia semestinya tidak melakukan olok-olok terhadap etika. Baik itu di ruang tertutup atau ruang terbuka. Sebab salah satu sumber ketidak-adilan adalah karena etika ditinggalkan. *** (17-12-2023)
1324. Penantian Panjang 'Kekuatan Pengetahuan' (2)
19-12_2023
Jika kita memakai pembagian kesadaran Freud: sadar, pra-sadar dan tidak sadar, maka memang perjuangan untuk menempatkan ‘kekuatan pengetahuan’ di posisi ‘puncak’ sungguh tidak mudah. Jika mengikuti Freud maka ‘remote control’ perbuatan kita itu sebagian besarnya ada dalam kubangan tidak sadar. Hanya sekitar 5% saja perbuatan kita sehari-hari ada dalam ‘kontrol’ lapangan sadar. Eksploitasi ke-tidak-sadar-an tentang ‘rasa takut’ misalnya, bisa-bisa akan menenggelamkan tawaran program yang penuh dengan kandungan ilmu pengetahuan. Ranah sadar bisa digambarkan sebagai puncak gunung es, yang nampak di permukaan itu hanyalah bagian kecil saja, sebagian besar layaknya gunung es, pra-sadar dan tidak sadar ada di bawah permukaan, dan jauh lebih besar dibandingkan yang nampak di permukaan, terutama bagian tidak sadar-nya.
Kadang-kadang sebagian besar perbuatan atau tindakan kita sehari-hari memang taken for granted saja. Menunda sebuah persepsi misalnya, dan kemudian mulai sebagai ‘pemula’ untuk melihat lebih dalam akan sesuatu –katakanlah mengambil langkah ‘sikap fenomenologis’, sering merupakan ‘kemewahan’ tersendiri. Memang hidup akan penuh kerepotan jika dalam banyak hal-nya harus dilalui sebagai ‘pemula’ lebih dahulu. Tetapi toh pada titik tertentu ‘kerepotan’ itu pastilah akan dijumpai juga. Pada moment-moment tertentu. Makanya tidak semua mau dan mampu jadi pemimpin, karena hal-hal tersebut seakan menjadi ‘terbalik’. Sebagian besar hidup seorang pemimpin mestinya tidak dijalani secara taken for granted saja. Makanya pula ia akan selalu dikelilingi oleh bermacam orang-orang kompeten di bidangnya, yang akan membantunya untuk melihat bermacam aspek dari sesuatu, juga profilnya, dan bermacam sudut pandang lain lagi. Sehingga akan semakin terkuak-lah apa yang menjadi ‘identitas’ dari sesuatu itu, dan dengan itu pula ia akan menetapkan bermacam kebijakan. Akan berbeda jika di sekitarnya disesaki oleh yang ‘kompeten’ dalam menjilat, yang ‘kompeten’ dalam memuja-muji, misalnya. Atau yang penuh dengan keserakahan.
Jika kemudian teori kepribadian Freud kita bicarakan maka pada bagian sadar bersemayam ego, pra-sadar: super-ego, dan tidak sadar: id. Dalam id bersemayam bermacam ‘insting’, bermacam naluri. Dan ia katakanlah, bergejolak dalam ‘prinsip kesenangan’. Dalam id ada naluri soal seks, ada gejolak soal libido, dan juga dan soal ketakutan, terutamanya ketakutan akan kematian. Ego akan berangkat dari ‘prinsip realitas’. Dan ia akan menimbang-nimbang melalui akal. Ego menurut Freud ada di ruang sadar. Super-ego adalah ruang di mana hati nurani, moralitas, etika, bersemayam. Ia ada di pra-sadar, jadi sebenarnya relatif lebih mudah untuk ‘dipanggil’. Super-ego akan berusaha mengingatkan id untuk bisa ‘menahan diri’ karena tuntutan moralitas masyarakat, misalnya. Ia juga bisa ‘membujuk’ ego supaya mengalihkan perhatian pada moralitas, atau paling tidak mempertimbangkannya.
Dari pembedaan ‘lapangan bermain’ di atas, maka segera nampak bahwa memang tidak mudah untuk melawan laku eksploitasi ‘prinsip kesenangan’ atau juga insting ketakutan yang ada dalam id. Apalagi soal etika misalnya, sudah dibuat babak belur dalam jangka waktu lama. Lihat misalnya ‘kombinasi’ pemilihan umum di jaman old, di satu sisi ‘prinsip kesenangan’ ditawarkan dengan mengatakan bahwa pemilu itu adalah sebuah ‘pesta’, tetapi di lain pihak ‘ketakutan’ untuk menjadi berbeda dengan penguasa merebak di sana-sini. Ada ancaman ‘kematian’ karir jalur B jika aèng-aèng, misalnya, tak jauh-jauh amat dengan jaman now yang sering disebut sebagai ‘sandera kasus’ itu. Lihat jaman now, ‘resep’ yang tak jauh berbeda: pemilu itu soal jogèt-jogèt-an-riang-gembira, dan …. kepala desa dikumpulkan, misalnya. Atau lihat ‘bocor-alus’-nya Tempo soal pengerahan aparat yang pegang senjata itu. Serasa ‘komplit’ ketika melihat bagaimana etika bahkan dijadikan bahan olok-olok. *** (19-12-2023)