1225. Opo Sing Diangkat Mbak’é Kaé Cuk?
28-08-2023
“Opo sing diangkat mbak’é kaé, Cuk?” Nyah Ndut takon nang Cuk Bowo karo nunjuk berita nang TV.
“Sing gèk siaran langsung nang tivi kuwi Nyah?”
“Hè’èh Cuk ...”
“Penthung Nyah ...”
“Penthung?!” Nyah Ndut sajak ora percoyo. Gagé wae Mas Amir nyopot kocomoto: “Ki Nyah … nganggo kocomoto iki dhisik …”
Nyah Ndut terus nganggo kocomotoné Mas Amir, terus rodo nyedhak nang layar tivi: “Bener Cuk … penthung …”
“Kandani ora percoyo …,” Cuk Bowo grenengan, bisik-bisik nang Totok.
Nyah Ndut dadi rodo njengat: “Yo ora ngono Cuk … masalahé mbak’é ngangkat penthung kok terus wong-wong kuwi dadi podho sorak-sorak histeris …”
“Histeris?!” Ganti Cuk Bowo sajak ora percoyo. Gagé Nyah Nduut nyopot kocomotoné Mas Amir, diulungké nang Cuk Bowo: “Ki Cuk … nganggo kocomotoné Mas Amir dhisik ...”
Cuk Bowo terus nganggo kocomotoné Mas Amir, terus rodo nyedhak nang layar tivi: “Bener Nyah … histeris …”
“Kandani ora percoyo …,” Nyah Ndut grenengan, bisik-bisik nang Kang Yos. Kang Yos nyambung glécénan: “Pancèn Cuk Bowo nèk lali ngombé obat dadi koyo ngono kuwi Nyah … Yo opo ora Cuk?”
“Ya’é Kang …,” Jawab Cuk Bowo sak kenané, lanjut: “Masalahé kétoké mau kuwi penthungé Mbahé Kang …”
Likwan nimbrung: “Tenané Cuk?!”
“Mbahé sopo Cuk?” Cak Babo telat penasarané.
Nyah Ndut: “Yo Mbahé mbak’é to Cak …”
“Ngono yo Nyah …”
“Ya’é …”
Cuk Bowo terus nyopot kocomotone Mas Amir, di ulungke nang Likwan: “Iki Lik dienggo sik, delok dhéwé nèk ora percoyo …”
Likwan terus nganggo kocomotoné Mas Amir, nyedhak layar tivi: “Bener Cuk … penthungé Mbahé kuwi …”
“Kandani ora percoyo …,” Cuk Bowo grenengan nang Totok.
Totok terus omong nang Likwan: “Lik tulung kocomotoné …”
“Mèlu ora percoyo Tok?”
“Ora ngono Cuk … kok dadi sensitif banget …, mau sekilas aku kok weruh Cak G siap-siap nyanyi …” Totok nganggo kocomotoné Mas Amir terus nyedhak nang layar tivi: “Bener Lik, ono Cak G nèntèng gitar siap-siap nyanyi …”
Mas Amir penasaran, nyedhak layar tivi: “Bener Tok … Cak G …” Nyah Ndut penasaran nang Mas Amir: “Kok kocomotoné ora dipasang dhisik Mas?”
Mas Amir karo pecingas-pecingis: “Ora usah Nyah … Kuwi kocomoto nol-nétral waé, nggo gaya-gaya’an thok. Tuku selawé-èwung nang pinggir dalam kaé lho Nyah …”
Nyah Ndut karo grenengan: “Mas Amir gombal …” Lanjut karo nunjuk nang layar tivi: “Lha kaé Cak G siap-siap nyanyi …”
“Laguné kiro-kiro opo Nyah?”
“Laguné Lik?”
“Hè’èh Nyah …”
“Kugadaikan penthung-ku Lik …”
Kompak sak cakruk nyanyi bareng-bareng, sak kayangé: “La … la … la… la …. la…. di radio …” *** (28-08-2023)
1226. Koentjaraningrat Dalam Satu Kata
29-08-2023
Bagaimana hari-hari ini kita menghayati apa-apa yang pernah diungkap Koentjaraningrat 50 tahun lalu? Saat Koentjaraningrat menulis mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan? Yaitu, tidak percaya diri, tidak mau bertanggung jawab yang kokoh, tidak berdisiplin murni, tidak menjunjung tinggi mutu, dan suka menerabas? Nampaknya hari-hari ini beberapa hal di atas bisa terhayati sebagai: curang. Curang sebagai puncak gunung es dari bermacam ‘jalan-gampang’ yang sungguh sudah merebak. Dan merusak.
“Logika waktu pendek” yang semakin menampakkan diri melalui kecepatan dan ‘keringkasan’ informasi ternyata tidak hanya membayangi dinamika media massa, tetapi bisa dikatakan sudah menelusup di bermacam sisi kehidupan kita. “Aktual, cepat, dan ringkas mendefinisikan logika waktu pendek. Pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika waktu pendek,” demikian ditulis Haryatmoko dalam Etika Komunikasi (Kanisius, 2007, hlm. 10) Dalam logika waktu pendek, kedalaman dan keluasan akan menjadi ‘korban’ utamanya. Dalam politik ketika ‘kedalaman’ dan ‘keluasan’ juga menjadi ‘korban’ maka bisa kita bayangkan juga bahwa soal etika-pun akan menjadi mudah terseret menjadi korbannya pula. Dan ketika soal, katakanlah, baik-buruk didekati secara ‘gampang-gampang dan gampangan’ saja, dalam olah kuasa itu bisa berakibat munculnya rentetan peristiwa yang bisa-bisa tidak terbayangkan sebelumnya. Kuasa yang dikelola dengan ‘tanpa beban’ itu bisa-bisa justru akan melahirkan bermacam beban yang meretakkan-menghancurkan hidup bersama. Dan dari bermacam penampakan yang ada, kita bisa meraba bahwa itu semua berasal, sekali lagi: dari ‘kepakan-sayap’ kecurangan. Bermacam kecurangan.
Jika Mangunwijaya benar bahwa “sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan,”[1] maka ketika kekuasaan dikelola secara ‘jalan gampang’ dan penuh kecurangan itu langsung atau tidak pasti akan mempengaruhi sifat, watak, wajah, dan suasana hidup kita sebagai sebuah bangsa. Rusaknya sebuah rejim itu ujungnya akan merusak bangsanya juga. Bangsa yang sudah rusak ia akan dengan mudah untuk dikuasai. ‘Tahap penguasaan’ dalam Perang Modern yang sering disinggung oleh Ryamizard Ryacudu itu seakan tinggal selangkah lagi. Kecuali jika kita ingat ‘fatwa’ Wiji Thukul: Lawan! *** (29-08-2023)
[1] Y.B. Mangunwijaya, Kini Kita Semua Perantau (1989) dalam Pasca-Indonesia Pasca Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302
1227. Masyarakat Jaringan vs Jaringan Keserakahan
30-08-2023
Tigabelas tahun setelah krisis subprime mortgage di AS sono, banyak yang kemudian ketar-ketir terkait dengan krisis yang dialami pengembang properti terbesar China, Evergrande. Kedua-duanya sebenarnya mempunyai dasar penyebab tak jauh berbeda: serakah. Keserakahan yang menjadi tidak berdiri sendiri, tetapi seakan sudah ‘membangun-jaringan’-nya sendiri, dan bahkan ‘menyandera’ lainnya dalam logika too big to fail. Kurang ajar memang, kalau untung dimakan-makan sendiri, tetapi ketika gagal yang lain –terutama si-pembayar pajak, diminta ikut menanggung melalui bermacam bail-out dari negara, si-pengumpul-pengelola pajak. Dalam sejarahnya, kapitalisme memang lekat dengan berbagai krisis, terlebih ketika keserakahan itu menemukan potensi lebih dalam mengambil keuntungan melalui bermacam ‘jaringan’ dimana bermacam produk, termasuk produk-produk mbèlgèdès-nya, ditempatkan di situ. Bagaimana tidak mbèlgèdès bahkan isu yang tidak jelas juntrungannyapun ikut-ikutan diperdagangkan. Dan sekali lagi, jika untung dimakan-makan sendiri, jika gagal bisa-bisa ‘ngemis’ dalam logika too big to fail itu. Sementara para petani di bermacam lahan, tukang-buruh, kaum profesional ‘dunia riil’, dosen, guru, dan banyak lagi mesti berjibaku dengan segala keringatnya untuk mendapatkan penghidupan.
Masyarakat jaringan sebenarnya sudah ada sejak jaman dulu, dan disinggung oleh beberapa pemikir. Tetapi Manuel Castells memberikan tekanan terkait dengan berkembangnya jaringan komunikasi (digital) seperti sekarang ini. Manusia banyak ‘berkumpul’ di sekitar ‘node-node’, simpul-simpul jaringan komunikasi-informasi dan dengan itu terbangunlah masyarakat jaringan itu. Apakah dengan itu ‘jaringan keserakahan’ ikut-ikutan memperoleh juga momentumnya? Atau ‘jaringan’ peer-group, se-minat, ‘sejenis-seidentitas’ juga berkembang? Macam-macam, dan seakan itu berkembang di luar kendali kita. Maka masalahnya adalah apa yang sebenarnya ada dalam kendali kita, yaitu respon kita terhadap perkembangan yang difasilitasi oleh jaringan komunikasi digital, dan itu adalah bagaimana meningkatkan nilai atau value dalam ‘perdagangan riil’.
Maka membangun ‘lapangan-informasi’ soal bermacam ‘hal kongkret’ –baik aktual maupun potensial, yang dilakukan oleh manusia-manusia kongkret, dan bagaimana itu kemudian menjadi salah satu bagian penting untuk mengambil keputusan dalam meningkatkan nilai atau value. Kadang orang menyebut ini sebagai ‘sistem informasi’ …., yang (….) bisa diisi dari bermacam ranah, misal ranah pertanian, kesehatan, rumah sakit, dan lain-lain. Maka manusia-manusia kongkret yang banyak ‘berkumpul’ di sekitar simpul-simpul informasi itu bisa berharap bahwa masyarakat jaringan itu sungguh bisa meningkatkan kesejahteraan hidup bersama. Tentu ini belum cukup karena masih perlu peran negara. Mengapa peran negara penting? Karena ia punya dua sisi wajah, justru sebagai ‘penghancur’ maupun sebagai ‘pendukung’. Sebagai ‘penghancur’ ketika ia menjadi ‘res-diabolika’ –iblis menjadi pengelola negara, tetapi negara bisa menjadi ‘pendukung’ ketika ia benar-benar menjadi ‘res-publika’. Bagaimana negara benar-benar menjadi ‘res-publika’? Dalam praktek sering republik menjadi res-publika ketika ‘publik’ sedang dalam ‘situasi negatif’, terlebih ketika ada dalam situasi yang tidak adil. Lihat misalnya analisis Dom Helder Camara soal spiral kekerasan itu, mulainya adalah soal ke-tidak-adil-an. Atau bahkan anak-anak kecil-pun akan merasa ketika ia diperlakukan tidak adil. Atau bagaimana akan nampak kesibukan-kerepotan negara dalam membuat tirai asap tebal ketika ke-tidak-adil-an itu merebak. Karena memang soal ke-tidak-adil-an itu lebih soal rasa-merasa, soal ‘cita’. Maka bukan ‘terwujudnya-keadilan’ yang dituntut publik terhadap si-pengurus negara, tetapi adalah ‘gairah’ akan keadilan itu. ‘Gairah’ akan keadilan yang itu akan dirasakan oleh ‘kumpulan’ manusia-manusia kongkret di sekitar simpul-simpul informasi. Bukan kegilaan fictitious capital para zombie yang diurus, tetapi jaringan manusia kongkret dan hal-hal kongkret lain di sekitarnya yang akan lebih diurus, dalam ‘gairah’-nya akan keadilan. *** (30-08-2023)
1228. Apakah Engkau Memang Bajingan?
31-08-2023
Setelah engkau intervensi utk batalkan kabel listrik bawah laut, engkau bangun PLTU di dekat Jakarta, dan setelah PLTU menjadi penyebab polusi, engkau jualan mobil listrik. Apakah engkau memang bajingan ?
1229. Tetap Bertaruhlah Pada Anies
01-09-2023
Dalam pemilu 2024, gol-put sebaiknya menjadi pilihan kedua-ketiga. Mengapa? Karena pilkada-pilkada hanya diikuti 1 pasang calon saja toh ‘mereka’ tetap riang-gembira. Maka pilihan pertama tetaplah memilih. Pertama, ketika tidak menggunakan hak-pun bisa-bisa akan tetap ‘dihitung’ memilih, misal ‘dicobloskan’, atau modus curang lainnya. Jadi pesan mengapa tidak mencoblos itu juga tidak akan sampai. Justru akan disambut dengan riang-gembira, semakin mudah dimainken saja. Yang kedua, memang ini adalah ‘bertaruh’. Jadi katakanlah, masuk ranah minus malum. Untuk pemilihan legislatif memang sudah tidak ada lagi yang dipertaruhkan, tetapi untuk pemilihan presiden kita bisa bertaruh pada Anies, siapapun partai pengusungnya, siapapun wakilnya. Mengapa Anies? Karena sosok seperti Rizal Ramli misalnya, masih belum jelas apakah bisa ikut nyalon atau tidak.
Maka biarkanlah beberapa calon presiden yang sudah muncul itu memberikan stimulusnya pada kesadaran, dan itu akan bertemu dengan bermacam harapan yang ada. Harapan yang terbangun dari bermacam –terlebih, situasi-situasi negatif yang seakan sudah mendekatkan hidup bersama ini pada ‘kematiannya’. ‘Kematian’ hidup bersama yang semakin mendekat itu akan menjadi ‘horison’ dalam membuat keputusan. Bahkan sebenarnya, dalam rejim demokrasi, ‘kematian rejim’ adalah tak terelakkan, dan semestinyalah itu juga menjadi ‘horison’ ketika satu rejim mendapatkan kesempatan mengelola negara. Ketika potensi ‘kematian rejim’ menampakkan diri banyak diingkari, maka bisa dirasakan bagaimana ugal-ugalan-nya rejim tersebut. Keutamaan prudence akan dengan ringan-ringan saja ditinggalkan. Horison akan kematian kemudian dihadapi dengan rasa takut, dan tidak mengherankan pula ketakutan-lah yang kemudian ditebar.
Dalam merebut kekuasaan melalui proses pemilihan, demokrasi dalam res-publika akan dihadapkan pada dua ‘kematian’, kematian rejim dan kematian hidup bersama. Semestinya ‘kematian hidup bersama’-lah yang menjadi horison saat pemilihan, tetapi faktanya ‘pengingkaran kematian rejim’ dari yang sedang berkuasa akan menambah kerumitan yang tidak kecil. Dalam bermacam bentuknya. Dan fakta hari-hari ini adalah seperti itu. Jika kita memakai pengalaman jaman old, hari-hari ini adalah hari-hari ‘penyederhanaan partai’. Yang membedakan, masih ada kesempatan calon seperti Anies untuk berpotensi besar dalam kontestasi. Kita berharap juga Rizal Ramli misalnya, juga mendapatkan kesempatannya. Jika tidak maka memang hanya tinggal Anies tempat kita bertaruh. Karena sampai sekarang hanya Anies yang mengangkat ‘kematian hidup bersama’ sebagai horison. Kematian karena merebaknya ke-tidak-adil-an. *** (01-09-2023)