1077. Internasionalisasi Kegilaan (1)

1/31/20231 min read

“Orang-orang gila” seluruh dunia, bersatulah! Demikian kira-kira seru Goebbels-nya Empire yang tanggal 20 Januari 2023 selesai rapat di Davos, Swiss – terutama faksi radikal-nya. “Orang-orang gila” yang imajinasi kegilaan-nya sudah dianggap normal-normal saja. Kegilaan tidak hanya di ‘basis’ tetapi juga di ‘bangunan atas’. Atau kalau mengikuti Marx, kegilaan ‘bangunan atas’ yang mengikuti saja kegilaan di ‘basis’. Kegilaan dalam salah satu fitur accumulation by dispossession itu -meski perlu pendalaman lebih lanjut, ‘manipulasi krisis’ bertahun terakhir itu selain membuat kemiskinan semakin merajalela, tetapi juga menampakkan bagaimana super-super-rich itu telah melipat-gandakan diri. Kegilaan res-privata yang sedang menebar imajinasi liar-nya untuk mengubur habis res-publika. Terkubur dalam kooptasinya. Kata kaum neolib, pasar bukanlah bagian dari hidup bersama tetapi hidup bersama itu bagian dari pasar, diatur oleh hukum-hukum pasar! Di bagian akhir abad-19, situasi seperti ini terus menggelinding dan berujung perang besar di bagian pertama abad-20.

Paradigma ekonomi setelah Perang Dunia adalah memberikan peran lebih negara dalam membangun welfare state. Yang sebenarnya langsung saja dilawan oleh von Hayek dkk secara ‘terorganisir’ melalui MPS (Mont Pelerin Society)–dua tahun setelah PD II berakhir sampai sekarang, dengan menebar ‘kebencian’-nya terhadap paradigma ‘negara-ikut-campur-tangan’ dalam ekonomi. Yang ditakutkan adalah sentralisasi ekonomi dengan ujung-ujungnya akan menekan kebebasan berusaha. Bahkan mereka khawatir akan munculnya perbudakan baru. Di dekade 1960-an, litani yang terus didengung-dengungkan oleh MPS ini semakin mendapat dukungan dari big business yang merasakan diri dalam situasi stagnan, seakan terikat oleh bermacam ‘aturan’ dalam paradigma welfare state pasca Perang Dunia II itu. Setelah peristiwa 1965 di republik, kudeta terhadap Allende di Chile di 1973-an menegaskan bahwa apa yang dibayangkan oleh von Hayek dkk semakin mendapat momentum politiknya. Memuncak dengan naiknya Thatcher sebagai PM Inggris di tahun 1979 dan Reagen sebagai Presiden AS di tahun 1980. Dan bagaimana kita bisa melihat di tahun-tahun kemudian, runtuhnya Tembok Berlin dan pecahnya USSR. Deng Xiao Ping-pun kemudian membawa China membuka diri. ‘Gelombang globalisasi ke-dua’ itu seakan tak tertahankan lagi, dan semakin keras dalam menggedor-gedor untuk dibukakan pintu. Penguasa yang tidak mau membuka pintu lebar-lebar satu-per-satu harus lengser. “Who gets what, when, how”-nya jelas dalam ‘politik pintu terbuka’ ini. Dan seakan membenarkan kata kunci kampanye Bill Clinton : “It’s the economy, stupid!” *** (30-01-2023)