1590. Medioker Di Tengah Ketidakpastian (2)
13-01-2025
When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity (Napoleon)
Faktor utama yang membuat kebakaran di Los Angeles menjadi begitu menghancurkan adalah: angin. Tentu hikayat angin ini jauh berbeda dengan angin di Stadion Kanjuruhan dua tahun lalu. Di Los Angeles, dan bahkan kemarin kebakaran besar satu gedung apartemen di New York, faktor angin sungguh memang sangat berperan dalam bencana. Kalau toh angin kemudian duduk di kursi terdakwa, mungkin ia akan menjadi terdakwa utamanya. Bertahun terakhir yang kemudian semakin menampakkan diri bagaimana carut-marutnya republik, salah satu aktor utamanya adalah juga ‘angin’: angin kemediokeran, tak jauh-jauh amat dari kutipan pendapat Napoleon di atas.
Apakah menjadi ‘medioker’ adalah sebuah ‘dosa besar’? Tidaklah, toh itu juga pilihan. Tetapi di ‘ranah publik’ terlebih yang mengelola great enterprises, itu akan menjadi masalah besar. Komunitas yang mampu membuka pintu kesejahteraan bersama, kita bisa melihat dari banyak perjalanan sejarah biasanya ranah publik dikelola tidak secara medioker. Dan tentu itu tidaklah jatuh dari langit, tetapi satu hal yang ‘terdukung’. Bukan hanya soal ‘prakondisi politis dan teknis’, tetapi juga ‘prakondisi sosial’. Di belahan dunia sono kita mengenal soal meritokrasi, di belahan dunia lain kita mengenal shangshangce[i], atau di tempat lain, bushido. Maka tak mengherankan ketika wacana ‘revolusi mental’ ditabuh sepuluh-sebelas tahun lalu, banyak yang menyambut dengan antusias. Seakan keinginan bawah sadar (kolektif) itu diulik-ulik dan kemudian menyeruak ke permukaan sebagai harapan hidup bersama menjadi lebih baik. Tetapi jika sekarang ada pejabat publik bicara soal ‘revolusi mental’? Mungkin segera saja ia akan dilempar telur busuk!
Tetapi bagaimana disebut medioker ketika mengelola ranah publik? Apakah perlu ‘patok duga’ sehingga dugaan kemediokeran itu bisa diraba? Penelitian Hofstede di sekitar tahun 1970-an kiranya perlu diingat sebelum melangkah lebih jauh. Menurut Hofstede dalam konteks bagaimana persepsi terhadap kekuasaan, dibedakan komunitas dengan power distance tinggi dan rendah. Komunitas dengan power distance tinggi persepsinya terhadap kuasa di atasnya relatif oke-oke saja. Tidak banyak mempertanyakan, bahkan kuasa itu terhayati ‘putih’ adanya. Tentu harus diingat bahwa penelitian itu berlangsung di puncak modus komunikasi man-to-mass, misalnya melalui televisi, radio, surat kabar, dan sekitarnya. Internet belum dikenal secara umum, apalagi sosial media. Tetapi meski sekarang sosial media sudah sedemikian merebak dan ‘intersubyektifitas’ menjadi hampir tidak ada batas dalam modus mass-to-mass, tetaplah soal power distance di atas masihlah bisa digunakan. Karena membongkar ‘arketipe’ itu akan membutuhkan waktu lama. Yang mau dikatakan di sini adalah, dalam komunitas dengan power distance tinggi seperti di republik ini, membangun ‘prakondisi sosial’ tetaplah sangat penting dan sentral sifatnya, tetapi ‘prakondisi politis’ juga sangat penting. Bahkan bisa berwajah ganda, di satu sisi bisa mem-booster perbaikan, di sisi lain bisa mempercepat rusak-rusakannya.
Kembali pada masalah di atas, apa ‘patok duga’ kemediokeran? Kita bisa memakai endapan tilikan dari seorang intelektual-cendekiawan Koentjaraningrat 50 tahun lalu tentang mentalitas yang tidak sesuai pembangunan: (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya diri, (4) tak berdisiplin murni, (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Dan itu bukan untuk melihat khalayak kebanyakan seperti ketika Pancasila untuk melihat rakyat sudah ber-Pancasila atau belum di jaman old, tetapi pertama-tama adalah untuk menilai tingkah-polah dari pengelola negara. Sayangnya, bertahun terakhir kelima hal di atas justru menampakkan diri dari pengelola negara dengan tanpa beban lagi. Tanpa sungkan-sungkan. Ugal-ugalan. ‘Rejim orang baik-sederhana’ ternyata memang rejim-kacung yang disuruh merusak republik. Siapa yang menyuruh? Siapa yang di depan mata dan semakin dekat saja akan menguasai republik? *** (13-01-2025)
1591. Medioker Di Tengah Ketidakpastian (3)
15-01-2025
Ketidakpastian adalah juga wahana ‘latihan’ keberdaulatan. Menurut Carl Schmitt dalam Political Theology seabad lalu, “sovereign is he who decides on the state of exception”. Latihan sebelum benar-benar state of exception itu hadir di depan mata. Tilikan Koentjaraningrat 50 tahun lalu seperti disinggung pada Bagian 2, sebenarnya bisa dihayati sebagai ‘jalan sulit’. Sejarah menunjukkan pada kita bahwa yang namanya ‘kedaulatan’ itu pastilah akan menapak ‘jalan sulit’. Berbatu, penuh tikungan. Lawannya adalah ‘jalan gampang’ yang bertahun terakhir republik mendapatkan banyak pelajaran bagaimana ‘jalan gampang’ itu seperti sudah dinormalkan oleh rejim kacung-jongos. Maka semakin nampak saja apa yang sedang dipertaruhkan, yaitu: kedaulatan.
Penampakan paling gampang-vulgar dari ‘jalan gampang’ di ranah publik ini adalah ‘asal mangap, asal njeplak’. Bertahun terakhir terlalu banyak bisa menjadi bukti asal mangap, asal njeplak, gegayaan, sok-sok-an. Apakah ini sebagai konsekuensi berantai yang ‘tidak diharapkan pada awalnya’ dari berkembangnya modus komunikasi via jaringan digital-internet? Kalau meminjam kritik terhadap Wikipedia -est. 2001, di awal-awal berdirinya yang dikatakan sebagai ‘hegemonia kaum amatir’, nampaknya memang ada bongkahan besar potensi asal njeplak, asal mangap itu memang sudah ada di bagian tidak sadar. Yang sering dilupakan adalah dari tahun ke tahun pengelola Wikipedia itu terus saja memperbaiki diri sehingga pada titik tertentu bagian tidak sadar (id) itu mendapat imbangan serius dari super-ego dan (terutama) ego, katakanlah begitu. Apakah ‘hegemonia kaum amatir’ di ranah publik itu kemudian mengalami ‘bablasannya’? Seiring dengan dieksploitasinya bongkahan bermacam ‘potensi’ (lain) yang selama ini ngendon di ketidak-sadaran? Atau bisa kita bayangkan, seratus tahun kemudian ‘Komite Creel’[1] itu menjadi mainan baru (lagi) yang begitu menggoda di era yang disebut sebagai Abad Informasi ini, terlebih dengan bermacam kemudahan baru? Seabad lalu, penumpang terang’ dari Komite Creel adalah Woodrow Wilson, sekarang? Jangan-jangan ‘penumpang gelap’-nya adalah segala keserakahan sik-modal itu. *** (15-01-2025)
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Committee_on_Public_Information
1592. Medioker Di Tengah Ketidakpastian (4)
17-01--2025
“Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan. Bangsa yang merdeka per definitionem adalah bangsa yang efektif mampu mengendalikan kekuasaan dalam suatu keseimbangan, demi kebaikan dan perbaikan masyarakat seluruhnya,” demikian ditulis oleh Mangunwijaya dalam Kini Kita Semua Perantau, Kompas 1-3 September 1989. Maka tidak salah-salah amat jika ada yang melihat apa yang terjadi dalam ber-lalu lintas di jalan raya sedikit banyak menggambarkan sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa. Karena dalam lalu lintas di jalan raya sering menampakkan ‘relasi-relasi kuasa’ dalam bermacam penampakan telanjangnya. Baik dari segala fasilitas rambu-rambu termasuk garis-garis marka, para ‘penegak hukum’-nya, sampai dengan pengguna jalan. Bahkan termasuk preman-preman jalanannya juga. Juga kebijakan-kebijakan terkait jalan raya, misal pembatasan jumlah kendaraan, buangan emisi, dan lain-lain.
Transformasi pelayan kereta api era Jonan bisa menjadi ‘studi kasus’ menarik. Entah dikaitkan dengan konteks index power distance (Hofstede) yang tinggi atau tidak, kita bisa melihat bagaimana transformasi itu bisa mengalami percepatannya melalui kebijakan publik. Bagaimana pembiasaan akan hal baik itu perlahan mulai nampak melalui kebijakan publik yang tepat dan konsisten. Sebaliknya terjadi di rejim bertahun terakhir, bermacam ‘hal buruk’ mengalami percepatannya melalui kebijakan publik yang ugal-ugalan dan perilaku para pemimpin yang semau-maunya. Rejim bertahun terakhir itu memang rejim yang sungguh merusak.
Atau lihat dokumenter di Rwanda[1] terkait dengan upaya sungguh-sungguh dengan kebersihan. Negeri yang tiga-puluh tahun lalu tidak hanya masuk dalam perang saudara, tetapi bahkan juga genosida. Paul Kagame sebagai presiden sejak tahun 2000, dan terpilih lagi dan lagi sampai sekarang, menjadikan isu kebersihan sebagai salah satu program unggulan. Tidak hanya soal prakondisi politis melalui kebijakan, tetapi juga disediakan dukungan teknis, dan terpenting: prakondisi sosial. Bersih lingkungan dalan arti ‘basis’-nya, bukan yang di ‘bangunan atas’ itu. Bersih karena lingkungan yang betul-betul bisa diraba dengan segala reseptor yang ada di tubuh. Kagame berhasil membangun ‘pihak ketiga’ yang mampu menjadikan hidup bersama sebagai ‘persahabatan sejati’: bersih lingkungan. Atau katakanlah dalam teori segitiga hasrat-nya Girard, bukan ‘kambing hitam’ yang dimunculkan, tetapi ‘kambing putih’. Dan seperti ditunjukkan oleh Arnold J. Toynbee (1953) terkait bagaimana satu hal bisa ‘menyeret’ hal lain, tingkat korupsipun perlahan menurun. Tetapi juga harus diingat, Rwanda sebagai sebuah negara relatif dijauhkan dari ‘kutukan sumber daya’ -resources curse. Kekayaan yang dikandung dalam bumi Rwanda relatif tidak banyak. Hanya tongkat yang jadi tanaman, batu tidak, begitu kata Koes Plus. *** (17-01-2025)
[1] Misal lihat, https://www.dw.com/en/how-rwandas-capital-became-africas-cleanest-city/video-70917624
1593. Akses (1)
19-01-2025
Akses adalah serapan bahasa asing: access, yang dari asal usul katanya terkait dengan ‘habit or power of getting into the presence (someone or something’.[1] Tulisan ini lebih terkait dengan masalah hak-hak sosial yang secara umum memang akan lekat dengan soal ‘akses’. Salah satu hak sosial adalah akses ke pelayanan publik yang berkualitas. Pagar laut yang lagi menghangat adalah pelanggaran nyata dari hak-hak sosial warga negara, tidak hanya soal akses dalam pekerjaan, tetapi juga soal akses ke (pelayanan) publik. Hal kepublikan laut yang sudah ditetapkan oleh perundangan.
Hak-hak sosial adalah hak yang pemenuhannya bisa dituntut ke negara. Sedangkan hak-hak individu baik itu dituntut atau tidak, negara dan juga termasuk individu-individu lain semestinya menghormatinya. Tuntutan kepada negara terkait dengan hak sosial ini wajar-wajar saja sebab hak sosial muncul ketika hidup bersama ada dalam satu ‘kesatuan kedaulatan’. Tetapi bagaimana dalam paradigma ‘ultra-minimal state’ seperti dimaui-maui oleh kaum neolib? Dalam banyak alasannya memang kaum neolib akan meminggirkan wacana soal hak-hak sosial. Karena satu-satunya ‘yang rasional’ menurut mereka adalah kepentingan diri. Dan lapangan pertarungannya adalah ranah survival of the fittest. Atau pasar sudah ada yang mengatur sendiri, self-regulating market katanya. Benarkah? Bagaimana dengan munculnya istilah dari Leo Strauss di sekitar 1950-an yang memotret ekonomisme sebagai Machiavellianism come to age itu? Diterjemahkan oleh B. Herry Priyono sebagai Machiavelli menumpuk harta. Contoh terhangat, kasus pagar laut itu. Atau menurut Harold J. Laski lima-belas tahun sebelum Strauss di atas (dalam The State in Theory and Practice), fasisme bisa-bisa menjadi pilihan ketika demokrasi dan aksi ambil untung mengalami dilemanya. Ketika ekonomi dilepas dari asal kata aslinya: oikos-nomos, dan kemudian berkembang menjadi semata sebagai lapangan krematistikos belaka.
Beberapa hal di atas sedikit banyak menggambarkan bagaimana the wealth of nations dalam dunia kapitalisme akan menjumpai banyak kerepotan dalam pencapaiannya. Apa yang diusung dalam manifesto-nya (2017) Partai Buruh di Inggris sono: for the Many not the Few, sungguh bukan perkara mudah lagi. Sudah bukan pilihan lagi antara aktor dan sistem, karena dua-duanya sudah menjadi hal mutlak perlu diperhatikan. Terlebih ketika nuansa kebrutalan terlalu sering menampakkan diri, sistem sebagai sebuah kesepakatanpun bisa-bisa akan menjadi korban kebrutalan juga. Bertahun terakhir adalah pelajaran berharga di republik bagaimana sang-aktor bisa dengan tanpa beban lagi mengacak-acak bermacam sistem hasil kesepakatan-kesepakatan itu. Semau-maunya. *** (19-01-2025)
1594. Akses (2)
20-01-2025
“I think we have gone through a period when too many children and people have been given to understand ‘I have a problem, it is the Government’s job to cope with it!’ or ‘I have a problem, I will go and get a grant to cope with it!’ ‘I am homeless, the Government must house me!’ and so they are casting their problems on society and who is society? There is no such thing! There are individual men and women and there are families and no government can do anything except through people and people look to themselves first,” demikian jawaban Margaret Thatcher dalam salah satu interview di tahun 1987. Interview tersebut biasanya diberi judul “No Such Thing as Society”. Margaret Thatcher menjadi PM Inggris pada tahun 1979-1990. Thatcher sendiri besar-dewasa dengan melihat sendiri bagaimana ‘generasi bunga’ merebak dan hadir di depan matanya. ‘Generasi malas’ itu -menurut Thatcher, ditudingnya sebagai akibat dari paradigma welfare state pasca Perang Dunia II. Dengan interview di atas, dan juga banyak ungkapan-ungkapan sebelumnya sebenarnya Thatcher sedang menggedor tentang ‘tanggung jawab individual’. Atau dalam kata-kata salah satu menterinya di tahun 1980: “Get on your bike!” Naiki sepedamu dan carilah itu pekerjaan. Yang sering kurang diperhatikan adalah fakta sejak mulai tahun 1960-an bisnis terutama bisnis besar mengalami stagnasi. Katanya karena ‘beban sosial’ yang terlalu tinggi sebagai konsekuensi logis dari paradigma walfare state. Maka tak mengherankan jika ada yang kemudian melihat bahwa ‘gelombang globalisasi ketiga’ - dari sudut lain bisa saja dibaca: imperialisme, sudah siap-siap meluncur di awal dekade 1970-an. Bertahun kemudian ‘gelombang globalisasi (ketiga)’ itu kemudian merasa ‘terganggu’ dengan bercokolnya para diktator yang salah satu konsekuensi tak terhindarkannya adalah modal yang mau masuk harus susah payah ‘minta ijin’ lebih dahulu. Atau ‘kompromi’ dengan jaringan kroni-kroninya. Merasa lebih terganggu lagi ketika kesempatan dirasa semakin lebar setelah Tembok Berlin runtuh dan USSR tercerai-berai. Jika memakai istilah si-Bung saat memotret bagaimana UU Agraria di jaman kolonial di sekitar tahun 1870-an itu dengan memakai istilah ‘politik pintu terbuka’, gelombang-gelombang globalisasi itu bisa dilihat sebagai ‘politik pintu terbuka’ juga.
Jika kembali pada kutipan interview Thatcher di atas, jangan-jangan ada ‘suasana kebatinan’ dari sik-kanan (jauh) sekarang ini yang tidak jauh berbeda dengan 50-60 tahun lalu? ‘Kampanye’ LGBTQ seperti sekarang ini seakan terhayati oleh mereka tidak jauh dari merebaknya ‘generasi bunga’ yang mengusik Thatcher? Bagaimana dengan ‘arus modal’ dan terlebih naik-turunnya ‘akumulasi’? Bagaimana dengan adanya gejolak geopolitik dan geoekonomi global? Apakah yang dibayangkan Alvin Toffler di tahun 1990 sedang mengambil bentuknya? Yaitu bergeraknya power-shift? Dan apakah sedang dan akan ada ‘kesibukan’ besar untuk memastikan kemana shift semestinya mengarah? *** (20-01-2025)