1680. Brutalitas Sebagai 'Semangat Jaman'?

26-05-2025

When we are planning for posterity, we ought to remember that virtue is not heredity.” Thomas Paine, Common Sense, 1776

Apa yang bisa dilihat melalui Google Books Ngram Viewer ketika dimasukkan kata ‘brutal’[1]? Kata ‘brutal’ nampak banyak digunakan sejak Revolusi Industri (dalam grafik, sejak tahun 1800) dan naik lagi setelah 1980. Dalam rentang waktu antara dua Perang Dunia dan melanjut pada Perang Dingin, relatif ‘stabil’ lebih rendah dibanding dua rentang waktu dua atas. Apakah kebrutalan dalam rentang waktu 1917-1980 sedang mendapat ‘legitimasinya’ sehingga relatif stabil ‘rendah’? Untuk sebuah kesimpulan grafik yang dimaksud di atas memang masih perlu banyak variable lagi. Hari-hari ini dengan meluasnya penggunaan sosial media, terlebih yang menaruh per-hati-an, kebrutalan di nun jauh di sana serasa begitu dekat di depan mata. Yang secara berulang-ulang menghampiri kita. Di sekitar dekade 1970an, Cardoso membedakan antara pakta dominasi primer dan pakta dominasi sekunder. Saat itu dimaksudkan adalah terkait dengan kapitalisme sebagai yang lekat dengan pakta dominasi primer. Bagaimana jika kapitalisme komplit dengan kebrutalannya? Apa ‘tacit knowledge’ dari sang operator ketika Allende digulingkan dengan sebuah operasi bersandi ‘Operasi Djakarta’? Bagaimana ketika kebrutalan di nun jauh sana telah menjadi bola salju dan menerjang-mengendap dalam pikiran si-operator negara republik? Dalam ‘hukum perjumpaan budaya-budaya’ menurut Toynbee, sinar budaya yang bernilai rendah justru akan lebih mudah diserap. Akan lebih sedikit resistensinya. Maka kebrutalan itu bisa-bisa teradopsi secara taken for granted saja. Brutal yang dari asal katanya memang tak jauh-jauh amat dari dunia kebinatangan. Binatang yang terbedakan dengan manusia terutama dalam berpikir.

Maka dalam hal ini, kebrutalan dipahami bersumber pada ketidak-berpikiran, malas berpikir. Jika memakai pembedaan kekuatan dari Alvin Toffler, kebrutalan tidak hanya soal kekuatan kekerasan, tetapi juga dalam kekuatan pengetahuan dan kekuatan uang. Di ranah operasional negara, kita bisa melihat bagaimana korupsi sudah berkembang sedemikian brutalnya. Seakan ranah negara banyak dikelola oleh para binatang saja. Ada juga ketika negara ‘dipinjamkan’ ke swasta dalam bentuk Proyek Strategis Nasional yang berujung sungguh bagaimana kebrutalan menjadi begitu telanjangnya. Belum lagi bagaimana operator negara itu telah berlaku brutal terhadap pembayar pajak dengan menghambur-hamburkan uang yang terkumpul dari keringat pembayar pajak dengan membuat bermacam giga-proyek, giga-program dengan anggaran fantastis. Gila-gilaan. Seakan seperti sekumpulan heyna kelaparan. Malas berpikir, ugal-ugalan, ditambah dengan mbudeg. Belum lagi berulang dan berulangnya kebrutalan dengan kekuatan kekerasan.

Di ranah kekuatan pengetahuan? Lihat bagaimana kebohongan sudah masuk dalam tahap brutalnya. Sudah seperti binatang saja yang hanya dilatih untuk berbohong. Tahunya hanya berbohong. Atau kebrutalan buzzer-buzzer itu. Atau juga asal mangap, asal njeplak, asal ancam oleh pejabat publik, seakan sudah menjadi kebiasaan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dan hari-hari ini, kasus ijasah palsu itupun sudah masuk fase brutal-nya. Malas berpikir, tidak mau ‘adu-pikir’, akhirnya yang muncul adalah banality of evil. Semau-maunya. Akankah republik sedang masuk fase stabilisasi rejim brutal-nya? *** (26-05-2025)

[1] https://books.google.com/ngrams/graph?content=brutal&year_start=1800&year_end=2022&corpus=en&smoothing=3

1681. Melukis Masa Lalu

27-05-2025

Dalam Strategi Kebudayaan, Van Peursen mencontohkan bagaimana sebuah gunung dilukis secara berbeda oleh pelukis dengan ‘strategi’ pendekatan berbeda, entah itu pada tahap mitis, ontologis, maupun fungsionil. ‘Nada-nada’ yang ada dalam consciousness of internal time itu akan lekat ketika ‘kesan pertama’ -first impressions, hadir dalam pengalaman dan bisa-bisa melanjut-mewujud pada lukisan-lukisan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada dua contoh bagaimana ‘masa lalu’ sedang naik daun hari-hari ini, tentang isu ijazah palsu dan kemauan menulis ulang sejarah.

Untuk isu ijasah palsu, jika kemudian dibayangkan bagaimana isu tersebut sedang di lukis di lapangan, penonton di tribun bisa saja sedang melihat beberapa strategi yang sedang dipraktekkan oleh pihak-pihak yang sedang ‘bertarung’ di tengah lapangan itu. Ada yang mendekati itu dengan modus mitis, paling tidak ada yang mau dicapai melalui ‘sihir kerumunan’ misalnya. Atau juga dalam tahap fungsionil-nya, bahkan bablasannya: operasionalisme, dengan salah satu ujungnya menolak ‘verifikasi ulang’ pihak lain dan merasa benar sendiri. Ada pihak yang berusaha ‘kembali pada barangnya’ dan mencoba melalui bermacam cara mencari apa yang menjadi esensinya sehingga ijazah itu bisa dihayati apakah memang palsu atau tidak. Mencoba lapis demi lapis selubung fakta dikupas dengan bermacam cara, dari berbagai sudut atau aspeknya.

Dari teori tindakannya Bourdieu maka akan sedikit banyak membantu melihat dinamika di atas. Menurut Bourdieu, tindakan akan dipengaruhi oleh capital, habit, dan ranah. ‘Subyek’ yang bertindak akan dipengaruhi juga katakanlah oleh subyek-subyek lain yang masing-masing menggendong ‘capital’ tertentu, bisa capital simbolik, kultural, atau bahkan juga uang. Dengan power tertentu pula dalam ranah tertentu. Habit bisa juga kita bayangkan sebagai modus mitis, ontologis, atau fungsionil, misalnya. Atau juga bagaimana consciousness of internal time ‘mengalir’ sehingga akan menentukan penghayatan first impressions kita. Ranah jika kita meminjam istilah dalam Fenomenologi, kurang lebihnya bisa kita bayangkan sebagai ‘dunia kehidupan’, lifeworld yang lekat dengan pengalaman kita sehari-hari. Atau kalau kita memakai istilah ‘waktu’, itulah waktu yang sungguh kita alami, waktu dalam arti waktu subyektifnya. Apakah faktor capital dengan segala pernak-pernik yang bisa ‘diukur’, misalnya capital yang lekat dengan dan bisa diukur melalui baju putih, menenteng stetoskop di ranah rumah sakit misalnya, jika memakai istilah waktu bisakah kemudian dihayati sebagai ‘waktu obyektif’? Jika ya, maka apakah tindakan kita bisa dikatakan sebagai yang ‘mewaktu’ dalam semua dimensinya?

Tetapi benarkah ranah-ranah tersebut dapat merupakan ‘lembaga otonom’? Hampir 50 tahun lalu ranah perguruan tinggi di republik ternyata harus ‘dinormalkan’ kehidupannya melalui program NKK/BKK di jaman old. Perang Dingin dan penumpang gelapnya saat itu, kapitalisme big business itu ternyata sedemikian kuat denyutnya. Ternyata ada ‘bingkai lebih besar’ atau jika meminjam istilah George Lakoff, ada deep frame dimana ranah-ranah ‘kecil’ itu bisa saja merupakan surface frame yang akan digantungkan pada deep frame yang ada. Ada ranah lebih besar yang mungkin saja tidak secara langsung terlibat dalam pengalaman sehari-hari. Atau dalam kasus isu ijazah palsu, apakah perguruan-tinggi sungguh merupakan sebuah ranah yang relatif otonom dengan segala ‘aturan permainannya’? Atau juga ranah pengadilan? Ranah kepolisian? Ranah keserdaduan? Dan bagaimana itu semua ‘berdialektika’ dengan ‘suasana kebatinan’ -deep frame, yang bisa juga merupakan ‘langit-langit suci’ itu?

Meski memang tidak mungkin mempunyai otonomi absolut, tetapi apa yang dipertaruhkan ketika otonomi masing-masing ranah itu menjadi begitu rapuhnya? Ketika ‘dialektika’ pada dasarnya tidak pernah berdenyut karena tidak ada A dan non-A? Jika mengikuti argumentasi Platon tentang keadilan, maka bisa kita bayangkan ketika masing-masing ranah itu menjadi begitu rapuh ‘otonominya’, maka ketidak-adilan akan mempunyai potensi lebih besar untuk merebak. Menurut Platon, keadilan akan semakin bisa didekati ketika masing-masing menjalankan tugas-kewajiban dengan sebaik-baiknya. ‘Masing-masing’ adalah ‘refleksi’ dari tripartite jiwa (menurut Platon) dalam ‘polis’.

Tujuan tulisan ini adalah mecoba melihat kemungkinan-kemungkinan jawaban dari pertanyaan apakah ‘syarat kemungkinan’ ketika ada keinginan untuk ‘melukis (ulang) masa lalu’? Masa lalu yang tiba-tiba saja akan ‘diantisipasi’ itu? Di tengah-tengah bermacam ‘persaingan’ dari bermacam ‘capital’? Maka di sinilah pentingnya kita bicara ‘suasana kebatinan’. ‘Suasana kebatinan’ apa yang akan terbangun ketika korupsi sungguh sudah menyebar luas dan dalam jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya? ‘Suasana kebatinan’ seperti apa ketika upaya pencitraan dan kebohongan sudah tidak tahu batas lagi? ‘Suasana kebatinan’ seperti apa ketika republik diplesetkan menjadi ‘republik konten’? Bagi Platon persahabatan sejati akan selalu melibatkan ‘pihak ketiga’ yang menjadi per-hati-an bersama. Dan itu selalu merupakan hal-hal baik karena memang ‘kereta itu’ sebaiknya selalu diarahkan untuk mendekati ‘kebaikan para dewa’. Jelas, hal-hal di atas (korupsi, kebohongan tak tahu batas, asal mangap asal njeplak, dan seterusnya, dan sekitar-sekitarnya itu) tidak akan mendorong ‘kereta’ untuk naik ke atas ‘mendekat pada kebaikan dewa--dewa’. Maka lebih baik soal keinginan ‘melukis masa lalu’, menulis ulang sejarah itu ditunda saja dulu, mengapa tidak fokus saja untuk membuat sejarah? Yang akan ditulis oleh generasi berikut? Jika dipaksakan padahal ‘syarat kemungkinannya’ begitu tipis, jangan-jangan yang muncul adalah ‘sejarah kambing hitam’ nantinya.

Ijazah palsu yang dipermasalahkan hari-hari ini memang adanya terkait dengan masa lalu. Tetapi jelas pula seakan itu sedang mengalami ‘retensi’ dan segala akibat terkait dengan ‘ijazah palsu’ itu seakan pula sedang diantisipasi meski belum hadir. Apa yang belum hadir itu adalah ‘suasana kebatinan’ baru yang akan menjadi ‘latar belakang’ bagaimana dunia kehidupan atau lifeworld akan terbangun. Maka bagi siapa saja yang tersangkut kasus di masa lalu, ada baiknya untuk mempertimbangkan serius hal ini. Hanya dengan mampu membangun ‘suasana kebatinan’ yang mampu mendorong ‘kereta’ naik ke ataslah penghayatan akan masa lalu itu bisa menjadi ‘seimbang’. Bagi republik, itu berarti: berantas korupsi, tidak banyak berbohong lagi, jangan banyak omon-omon, jangan asal mangap, asal njeplak, asal ancam: berkeutamaan prudence. Tidak ada pilihan lain, termasuk jika sekarang ini mau menulis sejarah ulang, jelas ini bukanlah pilihan yang tepat, cuk … Bisa dikatakan bahwa keinginan menulis sejarah ulang saat ini adalah juga sebuah ‘kesalahan kategori’. Jika tidak hati-hati, jangan-jangan ujungnya adalah ‘main-kayu’. *** (27-05-2025)

1682. Akreditasi

28-05-2025

Sekitar 20 tahun lalu saya terlibat dalam menyiapkan ‘akreditasi rumah sakit’ ketika bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Semarang. Saat itu terlibat dalam Pokja UGD dan kemudian pindah ke Pokja K3. Beruntung saat itu ada dua senior yang menjadi ‘guru’ dalam hal akreditasi. Tidak hanya karena keduanya pernah mengambil MARS, tetapi juga mampu menjelaskan apa-apa di balik akreditasi tersebut. Jika dibayangkan ada input-proses-output, mungkin karena baru tingkat awal akreditasinya sehingga sebagian besar penilaian lebih pada input. Apakah bermacam input sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan? Ada pepatah: garbage in garbage out. Ada beberapa proses dan output yang diminta juga, terutama memang dokumentasinya, arsip-arsipnya. Jika komunitas rumah sakit itu dipandang sebagai sebuah komunitas, bisa dibayangkan akreditasi sebenarnya membawa nuansa kuat gesellschaft. Padahal rumah sakit tempat saya berkerja dulu itu lama (sudah berdiri sebelum si-Bung ditangkap Belanda) lebih dibangun dalam nuansa gemeinschaff. Jadi memang menjadi agak pontang-panting dalam upaya pemenuhan standar-standar yang ditetapkan. Banyak yang sebenarnya sudah dilaksanakan begitu saja, tetapi mana arsipnya? Mana dokumennya? Dan seterusnya. Akreditasi adalah serapan bahasa asing yang dari asal-usul katanya memang lekat dengan ‘percaya’, credo. Jadi akreditasi memang tidak hanya soal bagaimana standar-standar dipenuhi, tetapi pada dasarnya adalah bagaimana lembaga itu mampu menjadi lembaga yang bisa dipercaya.

Tetapi apa yang menyebabkan kemudian dapat dipercaya oleh ‘konsumen’? Istilah manajemen mungkin bisa membantu: corporate culture. Budaya yang berkembang dalam rumah sakit itulah yang akan sampai pada pori-pori pasien dan keluarga, sampai pada mata dan telinga, sampai pada hidungnya juga. Bahkan hatinyapun disapa juga. Mulai dari tukang parkir di depan, petugas keamanan, petugas admisi, dan jika rumah sakit paling utama adalah pelayanan gawat daruratnya. Segala yang tampak dan menghampiri tubuh itu akhirnya akan membangun persepsi. ‘The primacy of perception’ demikian Merleau-Ponty dalam Phenomenology of Perception, terbit 18 tahun setelah rumah sakit di Semarang itu berdiri.

Tulisan ini bukan soal rumah sakit, tetapi bagaimana jika hasil penelitian polisi terkait isu ijazah palsu Jokowi baru-baru ini yang karena laboratoriumnya sudah terakreditasi maka semua pihak kemudian diminta percaya? Jika dilacak lebih jauh, akreditasi itu sebenarnya adalah produk perang, yaitu ketika senjata yang dibuat dari Amerika dikirim secara terpisah ke Eropa saat Perang Dunia berkecamuk. Juga ketika membuat senjata melibatkan bermacam pemasok. Jadi ketika bermacam standar itu dipenuhi oleh sebuah lembaga, jika kita memakai idiom perang, tetaplah ada soal man behind the gun. Dan itulah mengapa kita bicara soal corporate culture, karena yang membangun budaya itu terutama adalah manusia-manusia kongkretnya. Akreditasi adalah ‘syarat mencukupi’, yang menjadi ‘syarat mutlak’nya adalah orang-orangnya, manusia kongkretnya. Dan ini bukanlah dikotomi antara aktor-sistem, tetapi saling terpengaruh, saling hidup-menghidupi.

Kasus Sirekap KPU beberapa waktu lalu sebenarnya bisa menjadi pelajaran berharga. Banyak kritik, banyak masukan, banyak ‘tantangan’, tetapi KPU-nya mbudeg, katanya sistem yang ada di Sirekap itu sudah ‘diakreditasi’. Kalau itu ranah privat misalnya perusahaan swasta, mbudeg mungkin ya silahkan saja. Mau berkembang atau gulung tikar relatif ditanggung sendiri. Tetapi di ranah publik? Dimana KPU misalnya, anggarannya itu kan dari para pembayar pajak yang terhormat, dan kemudian mbudeg? Jangan main kayu-lah …. Mengapa tidak terima ‘tantangan’ untuk diuji bersama? Katakanlah sebagai ‘second opinion’ gitu …. Jangan pengecut-lah ….. Jangan seakan merasa sebagai advocatus dei tetapi menolak hadirnya advocatus diaboli ….. Bisa runyam republik, cuk …. *** (28-05-2025)

1683. Republik Tanpa Ruang Peduli?

30-05-2025

Duapuluh tahun lalu Mel Gibson merilis film The Passion of the Christ, kisah sengsara Yesus Kristus. Kepedulian, rasa kasih sayang, simpati bahkan empati dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan sebagai compassion, com + passion. Peduli terutama terhadap yang sedang menderita dalam bermacam bentuknya. Bersama dengan ‘perasaan-perasaan’ lain, juga bermacam hasrat, ‘insting’, lebih banyak ada di ruang ketidak-sadaran, atau id jika memakai terminology Freud. Segala gejolak yang ‘menganut’ prinsip kesenangan -pleasure principle, yang cenderung minta segera dipuaskan. Bahkan termasuk rasa iba, compassion ini, sehingga ketika itu dieksploitasi jadilah ia menjadi bagian dari ‘masyarakat melodramatik’ kata Sukardi Rinakit 15 tahun lalu, mudah bosan, mudah lupa, dan mudah kasihan.

Id yang bersemayam dalam ruang ketidak-sadaran -merupakan bagian terbesar dibanding ruang bawah sadar dan sadar, bagi manusia ini perlu ‘dilatih’ sehingga tidak menghancurkan hidup bersama. Jika peta Freudian id, super-ego, ego dipakai, ‘melatih’ id ini bisa dilakukan melalui ego, melibatkan hal timbang-menimbang. Atau melatih supaya mampu mendengar bisikan hati nurani yang ada di super-ego. Atau hal-hal moralitas, etika yang sudah disepakati komunitas, misalnya. Bisa juga dengan ‘menabrakkan’ satu hasrat dengan hasrat lain. Misalnya hasrat yang mendorong kemalasan ditabrakkan dengan kenikmatan yang akan diperoleh jika tidak malas lagi. Bagaimana jika soal ‘tabrak-tabrakan’ hasrat ini menjadi salah satu dari ‘tehnik’ politik?

Judul tulisan, republik tanpa ruang peduli sebenarnya mengandung kontradiksi, bagaimana mungkin ‘urusan publik’ -res-publika, tanpa ruang peduli? Bagaimana mau ikut-ikutan dalam urusan publik tanpa ada kepedulian? Peduli, compassion adalah salah satu hasrat yang ada di id juga. Bayangkan saat berjalan di taman, tiba-tiba mendengar tangisan bayi di balik semak-semak? Mendahului hal timbang menimbang, mendahului pertimbangan moral atau bisikan hati nurani, rasa iba sudah datang lebih dahulu. Menyeruak mendesak keluar dari nun jauh ketidak-sadaran kita, dan mendorong kita untuk mencari sumber tangisan. Dan menurut Freud memang sebagian besar tindakan kita didorong dari ‘lembaga’ ketidak-sadaran ini. Atau kalau kita memakai teori tindakannya Pierre Bourdieu dimana tindakan akan dipengaruhi oleh capital, habit, dan ranah,[1] bisa kita bayangkan di ‘lembaga ketidak-sadaran’ inilah juga habit bersemayam. Dan kita bisa bayangkan bagaimana the power of habit ini begitu dahsyat kekuatannya.

Dalam ‘tehnik politik’ terkait ‘tabrak-tabrakan hasrat’ seperti sudah disinggung di atas, mana hasrat paling ‘menangan’ dalam kompetisi tabrak-tabrakan itu? Dalam Alegori Kereta-nya Platon, kuda hitam menggambarkan segala hasrat perut ke bawah, seks, makan, dan terutama uang. Mengapa uang? Karena dengan uang maka segala kepuasan seks dan makan, dan lainnya itu akan bisa dipuaskan dengan tanpa batas lagi. Kuda hitam itu mempunyai karakter semau-maunya, cenderung meluncur ke bawah, dan agak tuli juga dalam arti tidak mudah mendengar kata-kata sais, dan sayangnya mempunyai energi yang meledak-ledak. Inilah yang terjadi mengapa dalam konteks Perang Dingin misalnya, mengapa hasrat akan ‘ideologi kiri’, hasrat untuk peduli pada ‘bayi’ seperti contoh di atas (baca: kaum miskin yang terus saja teriak atau bahkan diam saja atas kemiskinannya) perlu dihadapi dengan ‘sikap kejam’ yang dibangun di atas hasrat akan uang. Maka dibiarkanlah kebocoran ‘bantuan’ Bank Dunia yang sampai 30% itu -bertahun-tahun, di jaman old, misalnya. Demikian juga ketika ada ‘ideologi kanan’ atau bahkan ada gejolak hasrat yang mendorong munculnya sikap patriotic, misalnya. Hasrat-hasrat yang akan ditabrakkan dengan hasrat akan uang,, atau orang-orang dengan dominan hasrat akan uang. Tidak hanya hasrat akan uang, tetapi uang yang diperoleh dengan ‘jalan gampang’.

Inilah ‘latihan’ berpuluh tahun dalam ranah ‘tehnik politik’ yang semakin dalam diyakini bahwa hasrat akan uang akan selalu ‘menang’ melawan bermacam hasrat ‘baik’. Uang memang diperlukan dalam mempertahankan dan juga mengembangkan hidup, tetapi siapa yang tidak mau lebih? Tidak mau lebih, lebih, dan lebih? Terlebih jika itu diperoleh dengan ‘jalan gampang’? Coba saja ini ditanyakan pada sebagian aktivis 1998 itu, misalnya. Hasrat ‘peduli’-pun kemudian semakin lama semakin menipis di ruang publik. Republik semakin jauh dari adanya ruang-ruang peduli. Menurut Harold J. Laski dalam The State in Theory and Practice, bagaiman kita bisa mengenali karakter sebuah negara? Tidak lain melalui pemerintahannya, yang pasti akan melibatkan aktor-aktor kongkretnya. Republik yang semakin menjauh dari ruang peduli karena aktor-aktor yang mengelola negara itu memang sudah tipis kepeduliannya, karena kalah telak terhadap hasrat akan uang. Tak jauh-jauh amat dari hikayat kebocoran 30% bantuan Bank Dunia di jaman old, dengan latar belakangnya: Perang Dingin. Sebenarnya khas dalam dunia patron-klien, si-klien yang kemudian merasa diperbolehkan untuk semau-maunya selama upeti bagi sik-patron telah lunas-tuntas dibayarkan. Khas kacung, tanpa kehormatan, tanpa akal juga. Apa yang sebenarnya merupakan ‘tehnik politik’ saja -tabrak-tabrakan hasrat dengan juaranya selalu hasrat akan uang dalam hal ini, kemudian menjadi ‘keseluruhan’ politik itu sendiri. *** (30-05-2025)

[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulsn-122, no. 1681

1684. Pancasila Lahir Bukan Dari Kebohongan

02-06-2025

Pancasila lahir bukan dari kebohongan, tetapi dalam praktek kadang Pancasila digunakan sebagai tirai asap tebal untuk menutupi kebohongan. Dan itu bisa mendatangkan kenikmatan luar biasa bagi sementara pihak. Karena Pancasila tidak hanya rangkaian kata-kata saja, tetapi ia mempunyai ‘daya paksa’ karena sila-silanya tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Gabungan antara ‘harapan’ dan ‘daya paksa’ membuat tirai asap bisa menjadi efektif. Gabungan antara ‘harapan’ dan ‘rasa takut’.

Per aspera ad astra adalah motto NASA. Mungkin jika NASA ada di Muntilan mottonya: jer basuki mawa beya. Per aspera ad astra dimaksudkan bahwa jalan sulit akan ditempuh untuk menuju bintang. Dan Pancasila adalah juga ‘bintang penuntun’ -leitstar, maka bisa dibayangkan untuk semakin mendekatinya diperlukan kemauan dan kemampuan dalam menempuh jalan sulit. Jika Reformasi 1998 salah satu tuntutannya adalah berantas KKN: korupsi, kolusi, nepotisme, sebenarnya ini bisa dihayati sebagai ‘tampak depan’ dari Pancasila lebih sebagai tirai asap saja. Karena KKN bagaimanapun juga adalah ‘jalan gampang’ yang sungguh berlawanan ketika berupaya mendekat pada ‘bintang’ Pancasila di nun jauh sana. Bisa dibayangkan bahwa penghayatan otentik terhadap Pancasila adalah mau dan mampu menempuh ‘jalan sulit’, sedang Pancasila dengan segala distorsinya bisa-bisa akan menampakkan sebuah ‘jalan gampang’.

Bertahun terakhir kita bisa melihat dengan mata telanjang bagaimana ‘rejim jalan gampang’ ini maunya terus saja berlanjut dan berkeinginan untuk masuk ‘stabilisasi rejim’-nya. ‘Rejim jalan gampang’ yang bahkan telah menjadikan KKN sebagai salah satu pilar utamanya. Semua maunya disogok saja, dan selesai: gampang sekali. Bicara asal mangap, asal njeplak, asal ancam begitu mudah keluar dari mulut pejabat publik. Ngibul dengan tanpa beban lagi, begitu gampang keluar dari bacot pejabat publik. Maka bisa dipastikan jika ada pejabat publik bicara soal Pancasila sekarang ini, boleh didengarkan, boleh tidak.

Pancasila dilahirkan tidak hanya tidak dengan kebohongan, tetapi juga dengan pertaruhan tidak kecil. Jika Pancasila dihayati tidak lepas dari keseluruhan Pembukaan UUD 1945 maka segera nampak apa yang sedang dipertaruhkan di situ. Menghadapi penjajahan, dan juga soal kemanusiaan dan keadilan. Itu yang juga dipertaruhkan. Ketika Pancasila kemudian lebih sebagai tirai asap saja, maka tiba-tiba saja pertaruhan terhadap penjajahan, kemanusiaan, dan keadilan akan segera saja melenyap. Karena Pancasila sebagai tirai asap ia akan dilepas dari keseluruhan Pembukaan UUD 1945, dan kemudian sibuk sendiri pethakilan sebagai tirai asap.

Pada dasarnya sebagai tirai asap itu adalah juga sebuah distorsi, sebuah kemampuan dari camera obscura yang digunakan Marx sebagai metafora penjungkir-balikan realitas dalam kritik ideologinya. Dan tidak mesti ideologinya, bisa juga ‘anak-anak ideologi’ yang dikemas dalam bermacam ‘harapan’. Bermacam narasi. Masalahnya ketika bermacam distorsi itu secara obyektif sudah melayang-layang sebagai imajinasi, ia akan bertemu dengan imajinasi-imajinasi lain. Atau ada yang akan melakukan cek-ricek dengan realitas yang ada. Apa yang menjadi aslinya mau-maunya itu bisa-bisa sedikit demi sedikit akan terkuak juga. Dan cerita selanjutnya bisa ditebak, demi tidak terbongkarnya tirai asap itu, demi tidak terkuaknya bermacam distorsi itu, ujungnya adalah kekuatan kekerasan yang akan maju. Tak jauh-jauh amat dari jaman old. Resep lama. *** (02-06-2025)